Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Ketika Dokter Hewan Pedesaan Peduli

Dengan tajuk Dokter Hewan Pedesaan Peduli, pada 4 Oktober 2009 sebuah organisasi yang bernama Forum Komunikasi Praktisi Dokter Hewan se-Kabupaten Bantul Yogyakarta (FORKOM PDH) menggelar Bhakti Profesi sekaligus menggalang Dana untuk Korban Bencana alam di Padang Sumatera Barat.

Lebih dari 100 ekor sapi potong milik peternak rakyat di sebuah kawasan pedesaan Bantul Yogyakarta diperiksa kesehatan umum dan reproduksi oleh sekitar 20 orang dokter hewan. Antusiasme peternak nampak jelas tergambar ketika mereka sebelumnya menerima informasi ilmu pengetahuan praktis dan tepat guna dari salah seorang peserta bhakti profesi.

Lalu lintas tanya-jawab antara para praktisi dan peternak berjalan cair, santai dan sangat interaktif. Menurut Drh Aida Zumaroh yang menjadi pengisi sekaligus pemandu tukar-bagi ilmu itu, bahwa problema serius pada sapi potong adalah bagaimana mengelola sapi betina.

”Peternak sapi potong skala rakyat, umumnya lebih cenderung menggantungkan keuntungan usahanya dari kelahiran pedet (anak sapi). Sangat berbeda sekali dengan perusahaan penggemukan sapi potong (feedlotter) yang justru orientasi profit atas dasar penambahan bobot badan sapi itu.

Oleh karena itu, jika manajemen sapi betina oleh para peternak skala rakyat tidak dijalankan dengan benar, maka perolehan keuntungan itu tidak akan dapat diraih. Bahkan menurut Aida, peternak malah jatuh dalam kerugian, jika benar-benar usaha itu dihitung secara ekonomi modern.

Point penting pemeliharaan sapi betina adalah menjaga dan mencermati siklus reproduksinya. Dengan dasar itu, maka peternak akan meraih banyak keuntungan yaitu berupa masa kosong fungsi organ sistema reproduksi yang pendek. Artinya begitu birahi segera dikawinkan sehingga akan diperoleh calon anak baru. Setelah melahirkan pun dicermati kapan muncul birahi lagi agar segera dapat dikawinkan secara cepat dan tepat waktu. Jika hal ini lalai dan tidak dicermati, maka sudah pasti akan merugikan peternak.

Untuk mencapai kondisi sapi bisa birahi memang banyak faktor yang berpengaruh. Secara normal memang siklus birahi sapi betina di daerah tropis seperti Indonesia ini, adalah tiap 18-23 hari sekali. Artinya jika sapi itu sistem organ reproduksinya normal, maka siklus birahi itu akan terus ada, kecuali sapi sedang dalam masa bunting.

Namun demikian, ujar Aida meskipun sapi dengan sistem organ reproduksinya normal, jika pemberian pakan kurang mencukupi jumlah dan nilai gizi yang diperlukan seekor ternak sapi, maka tentu saja siklus birahi itu tidak akan muncul. Kalaupun memang birahi, akan tidak terlihat oleh peternak.

Setelah acara berbagi ilmu pengetahuan dan ketrampilan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan umum dan reproduksi. Selain itu juga diberikan pengobatan bagi sapi yang sakit dan diberikan aneka vitamin. Kegiatan yang mendapat restu dari Kepala Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan Kabupaten Bantul itu, berlangsung cukup sukses dan mengesankan bagi kedua belah pihak. Selamat dan terus berkiprah FORKOM PDH....Bravo FORKOM. (iyo)

BEHN MEYER Bantu Korban Gempa Sumatera Barat

Dalam rangka turut meringankan beban saudara-saudara kita yang tertimpa bencana gempa bumi di Sumatera Barat, pada tanggal 28 Oktober 2009, Behn Meyer Group memberikan sumbangan sebesar USD 26.000. Penyerahan sumbangan ini dilakukan secara simbolis oleh Bapak Adhita Susilardjo, President Direktur PT. Behn Meyer Kimia kepada Bapak Trias Kuncahyono, Deputy Chief Editor Kompas.

Behn Meyer & Co. didirikan di Singapura pada tahun 1840 sebagai sebuah perusahaan perdagangan oleh dua pelaut muda dari Hamburg - Theodor August Behn and Valentin Lorenz Meyer.

Awalnya perusahaan ini memperdagangkan hasil bumi dari wilayah tropis seperti minyak kelapa, kopra, lada, kamper, rotan, dll; hingga kemudian memperluas usaha ke bidang pengiriman dan asuransi.

Saat pecahnya Perang Dunia Pertama, Behn Meyer memiliki kantor dan cabang di Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia dan Filipina. Saat itulah Behn Meyer menjadi perusahaan perdagangan dan pelayaran terbesar di kawasan ini. Namun Behn Meyer sempat kehilangan semua aset dan kantornya di Asia Tenggara selama Perang Dunia Kedua. Akan tetapi, hubungan perdagangan kembali berlanjut setelah 1945.

Behn Meyer sekarang memiliki kelompok perusahaan yang beroperasi di Jerman, Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Vietnam, Myanmar, Kamboja dan Jamaika. Perusahaan induk Behn Meyer (D) Holding AG & Co (sebelumnya dikenal sebagai Arnold Otto Meyer) berbasis di Hamburg.

Behn Meyer Group bergerak dalam bidang perdagangan yang memiliki beberapa divisi seperti divisi food & personal care, nutrisi ternak, bahan kimia industri karet, bahan kimia industri kulit, industri plastik dan water treatment.(Red)

ASOHI Setelah Melewati 3 Dekade

Saat tulisan ini disusun, saya bersama tim penulis baru saja menyelesaikan proses penulisan buku yang berjudul “30 Tahun ASOHI Mengabdi, Maju Bersama Meningkatkan Kesehatan Hewan” Buku ini berisi rangkaian perjalanan ASOHI selama 30 Tahun, yaitu sejak berdiri tanggal 25 Oktober 1979 hingga tahun 2009. Proses penyusunan kurang lebih berjalan satu tahun, melalui proses wawancara dan dialog dengan lebih dari 20 narasumber, penelusuran dokumen organisasi serta pengamatan saya selaku penyusun buku.

Semula saya merancang buku ini disusun berdasarkan catatan hasil Musyawarah Nasional (Munas) ASOHI, yang telah berlangsung 5 kali. Dalam organisasi ASOHI, Munas adalah forum tertinggi organisasi yang berlangsung lima tahun sekali dan mengagendakan penyempurnaan AD/ART Organisasi dan Kode Etik Organisasi, Penyusunan Program Kerja, dan pemilihan pengurus. Namun setelah menelusuri dokumen-dokumen Munas, dokumen rapat, surat-surat penting, catatan kegiatan, serta hasil wawancara narasumber, saya menyimpulkan ada 3 tahapan penting yang dialami ASOHI selama 30 tahun, yang masing-masing tahap berlangsung 10 tahun (satu dekade)

Dekade pertama (1979-1989) saya sebut sebagai Tahap Pemantapan Wadah Tunggal. Tahap ini eksistensi ASOHI mendapat pengakuan penuh dari pemerintah sebagai satu-satunya organisasi di bidang usaha obat hewan. Dengan pengakuan pemerintah bahwa ASOHI adalah”wadah tunggal”, pengurus ASOHI memperkuat jalinan kerjasama dengan pemerintah. ASOHI menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dengan perusahaan obat hewan. Pada tahap ini pula ASOHI mengusulkan ke pemerintah agar ASOHI ikut berperan sebagai filter pertama perusahaan baru melalui bentuk rekomendasi perijinan usaha.

Dekade kedua (1989-1999) saya sebut sebagai Tahap Penguatan Pilar Organisasi. ASOHI sudah memiliki fondasi yang kuat untuk berkembang sehingga yang dibangun di era ini adalah pilar-pilar organisasi yang kuat. Pilar-pilar ini terdiri dari manajemen kantor sekretariat yang makin tertata, penerbitan majalah Infovet sebagai cikal-bakal badan usaha ASOHI, pembentukan dan pengembangan ASOHI daerah, pengurus pusat dan daerah yang makin mantap dan terkordinasi, serta kegiatan seminar dan pelatihan untuk anggota mulai diselenggarakan rutin. Pada dekade ini pengurus ASOHI tidak lagi harus direpotkan kegiatan harian administrasi sekretariat organisasi seperti penyusunan naskah pidato, nutulen rapat, surat menyurat dan urusan administrasi lainnya, karena sudah ada staf khusus di sekretariat yang bertanggung jawab pada urusan teknis pengelolaan harian organisasi.

Dekade ketiga (1999-2009) merupakan tahap profesionalisme organisasi. Tahap ini ASOHI melakukan kaderisasi kepemimpinan, memperkuat peran ASOHI Daerah, meningkatkan partisipasi anggota dan sistem kerja organisasi dikelola sebagaimana layaknya manajemen modern. Dalam periode ini struktur organisasi ASOHI makin diperkuat, terjadi peralihan kepemimpinan organisasi yang berlangsung demokratis serta pelaksanaan visi dan misi yang lebih terorganisir.

Pada periode ini ASOHI mulai berkiprah di forum Internasional, dimana melalui ASOHI, Indonesia merupakan negara ketiga ASIA setelah Jepang dan Korea Selatan yang diterima sebagai Anggota International Federation For Animal Health (IFAH). ASOHI juga ikut memprakarsai berdirinya ASEAN Federation of Animal Health Industry (AFAH). Periode ini merupakan dimulainya seminar nasional perunggasan secara rutin, sejumlah pelatihan anggota dan Program Temu Anggota ASOHI (Protas).

Berdirinya organisasi ASOHI tidak lepas dari pertumbuhan usaha ayam ras yang mulai populer di Indonesia tahun 1970an. Pada saat yang bersamaan, Indonesia pimpinan Presiden Soeharto saat itu sedang melaksanakan program pembangunan lima-tahunan yang dikenal dengan nama Pelita. Dan tahun 1979 adalah awal Indonesia memasuki Pelita III.

Lima orang tokoh pendiri ASOHI adalah Prof. JH Hutasoit (waktu itu Dirjen Peternakan), Haji Abdul Karim Mahanan (pengusaha obat hewan), Dr drh Soehadji (saat itu Direktur Bina Program), Drh IGN Teken Temadja (saat itu Direktur Kesehatan Hewan), Dr Sofjan Sudardjat MS (saat itu Kepala Seksi Informasi Wabah Dan Pelaksana Harian Kasubdit Wabah di Direktorat Kesehatan Hewan). Dalam proses pendirian ini Abdul Karim Mahanan merupakan wakil dari perusahaan obat hewan dan merupakan tokoh senior obat hewan kemudian dipercaya menjadi Ketua Umum ASOHI hingga akhir hayatnya di tahun 2004. Selanjutnya Gani Haryanto dikukuhkan dalam Munas V tahun 2005 sebagai Ketua Umum menggantikan A. Karim Mahanan.

Hampir semua narasumber, baik itu pendiri, Pengurus Harian, Dewan Pakar, Dewan Kode Etik, semuanya mengaku bahwa kekuatan ASOHI sejak berdiri hingga sekarang adalah kemitraannya dengan pemerintah benar-benar berjalan, bukan sekedar program di atas kertas saja. Kemitraan ini meliputi diskusi mengenai sistem perijinan obat hewan dan masalah obat hewan lainnya, bersama-sama menyusun rancangan peraturan, bersama-sama melakukan sosialisasi peraturan, bekerjasama menerbitkan buku, menyelenggarakan seminar, training, saling tukar informasi perkembangan iptek dunia dan sebagainya.

Tapi bukan berarti semua proses kerjasama dengan pemerintah berjalan mulus. Pergantian pejabat yang akhir-akhir ini berlangsung lebih sering, menjadi tantangan tersendiri bagi ASOHI. Padahal, sangat dimungkinkan dinamika birokrasi semacam itu akan terus berlangsung di masa mendatang. Itu sebabnya dalam buku ini juga disinggung tantangan utama yang akan dihadapi ASOHI pada dekade berikutnya.

ASOHI merumuskan 3 tantangan utama. Pertama, dinamika birokrasi pemerintah dimana pergantian pejabat yang lebih dinamis. Hal ini menuntut komunikasi yang lebih intens antara ASOHI dengan pemerintah, dengan harapan semua program yang telah dirancang dan disepakati dapat berjalan dengan lancar.

Kedua, adanya otonomi daerah dimana terjadi perubahan struktur organisasi pemerintah daerah dan perubahan pola kerja pemerintah pusat dan daerah. Hal ini menuntut pengurus ASOHI Daerah lebih proaktif menjalin hubungan dengan pemerintah daerah setempat.
Ketiga adalah dampak globalisasi, dimana penyebaran penyakit hewan lebih cepat, menuntut kesiapan ASOHI dalam berperan menanggulangi masalah penyakit hewan dan meningkatkan kesehatan hewan.

Adanya buku ini, setidaknya generasi muda ASOHI dapat melihat perjalanan ASOHI selama 30 tahun dan dapat memetik manfaat untuk mengembangkan ASOHI di masa yang akan datang.
Buku ini diterbitkan oleh Gita Pustaka, salah satu divisi dari PT gallus Indonesia utama (penerbit majalah Infovet). Selain buku 30 tahun ASOHI, Gita Pustaka tahun ini menerbitkan buku Indeks Obat Ikan Indonesia (INOI), buku Memilih Anjing Ras Mini, dan sebentar lagi akan menerbitkan buku Indeks Obat Hewan Indonesia (IOHI).

Selamat Ulang Tahun ASOHI.
Bambang Suharno,
penulis buku “30 Tahun ASOHI”

UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Digugat

Pemerintah dan DPR harus menghadapi uji materi UU yang baru saja mereka sahkan. Pasalnya, UU No 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan dimohonkan uji materinya di Mahkamah Konstitusi. Pengajuan ini dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Wahana Masyarakat Tani Nelayan Indonesia (Wamti), Gabungan Kopersai Susu Indonesia (GKSI), dan Institute for Global Justice (IGJ).

Kuasa Hukum pemohon, Hermawanto SH, menyatakan bahwa permohonan mereka diajukan pada Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) dan (4), serta Pasal 68 ayat (4) UU No 18 Tahun 2009. Ia menyatakan pasal-pasal tersebut telah melalaikan aspek keamanan konsumsi daging impor. “Semangat pasal-pasal ini adalah membuka impor daging sebesar-besarnya dengan mengabaikan keselamatan,” ujarnya ketika ditemui Infovet di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat (16/10).

Ia menyatakan pasal-pasal ini telah menunjukkan cuci tangan pemerintah pada risiko-risiko penyakit hewan di dalam negeri atau daging hewan impor. Pada Pasal 44 ayat (3) disebutkan bahwa pemerintah tidak memberikan kompensasi atas depopulasi terhadap hewan yang terjangkit penyakit. “Ini jelas merugikan peternak hewan,” ujarnya.

Padahal dalam Pasal 59 ayat (2) dan (4) menyatakan bahwa pemerintah membuka impor daging dari luar negeri berdasarkan basis zona. Dengan pola ini, berarti jika sebuah negara yang memiliki jejak rekam penyakit hewan tidak serta merta diblokir dalam perdagangan. “Namun hanya zona tertentu. Ini tetap saja berbahaya, kaitannya karena penyakit hewan itu sifatnya endemik dan bisa berkembang,” ungkapnya.

Sementara itu, dalam Pasal 68 ayat (4) disebutkan bahwa menteri dapat mengambil alih kewenangan profesi dokter hewan. Hermawanto menyatakan bahwa pasal-pasal ini bertentangan dengan UUD 1945. “Khususnya pasal Pasal 28 A dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945,” tegasnya.

Perwakilan PPSKI, Teguh Boediyana, menyatakan bahwa aturan ini telah menjelaskan keberpihakan terhadap pengusaha tanpa memperhatikan peternak dan petani. Pasalnya mereka memilih risiko penyakit dibandingkan peningkatan produk ternak dalam negeri. “Ini jelas tidak adil,” ujarnya. Hadir pula mengawal proses penyerahan berkas gugatan diantaranya Indah Suksmaningsih (IGJ/YLKI), Drh Wiwik Bagja (PDHI), Hendri Saragih (SPI), dr Drh Mangku Sitepoe, dll.

Belajar dari pengalaman sejarah, Indonesia menerapkan kebijakan maximum security dalam melakukan impor daging ternak. Indonesia pernah mengalami kerugian ekonomi yang sangat besar di masa silam sebagai akibat serangan penyakit PMK dari untuk mengatasinya membutuhkan waktu hingga 100 tahun untuk bebas dari penyakit ini.

Selain itu, belajar dari pengalaman negara lain, ketika PMK melanda Inggris tahun 2001 yang menyebabkan negara tersebut mengalami kerugian sekitar 70 miliar poundsterling. Kerugian tersebut dialami akibat diterapkannya stamping out di mana puluhan ribu ternak produktif terpaksa dimusnahkan.

Atas dasar itulah Indonesia menerapkan payung hukum kesehatan hewan yang ketat terutama yang berkitan dengan impor hewan ternak dari negara yang berpenyakit PMK. Hal tersebut diatur melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Undang-undang ini tidak mencabut Staatsblat 1912 No. 432 tentang Campur Tangan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan. Pada Bab 3 butir 1 jelas dinyatakan dilarang mengimpor daging dari negara yang tertular penyakit hewan menular.

Selain mengajukan gugatan, Institute for Global Justice yang dikoordinator oleh Revitriyoso Husodo bersama sejumlah peternak dan elemen mahasiswa menggelar aksi damai di depan halaman Mahkamah Konstitusi Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat dengan pengawalan sejumlah polisi.(wan)

MIPI Gelar Seminar Perunggasan Hadapi Krisis Global

Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) menggelar seminar bertajuk “Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global” pada Senin, 26 Oktober 2009 di Bogor. Acara yang dihadiri lebih dari 100 orang dari kalangan mahasiswa pasca sarjana, Dinas Peternakan, peneliti, perusahaan dan ketua-ketua asosiasi bidang peternakan.

Seminar menghadirkan pembicara Prof Dr Peni S Hardjosworo (Guru Besar Fapet IPB) yang mengulas tentang Unggas dan Perunggasan di Indonesia. Kemudian dilanjutkan pemaparan Anwar Sunari Kasubdit Peternakan, Direktorat Pangan dan Pertanian BAPPENAS yang menjelaskan tentang Perunggasan dalam Konteks Perencanaan Pembangunan Nasional.

Tak kalah menarik pemaparan dari Dr Ir Arief Daryanto MEc (Direktur MB-IPB) yang mempresentasikan Poultry Industry Outlook 5 Tahun ke Depan. Dari pihak peternak juga ikut ambil bagian yang diwakili oleh Ir Tri Hardiyanto (GOPAN) dengan makalahnya berjudul Kiat Menghadapi Krisis dan Seluk Beluk Usaha Perunggasan. Pembicara terakhir dari pemerintah DKI yaitu Drh Edy Setiarto MS Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta yang menjelaskan Kebijakan Perunggasan DKI Mulai 2010 dan Dampak Penerapannya.

Seminar yang dimoderatori Dr Desianto B Utomo (Ketua MIPI) berlangsung penuh dinamis dilihat dari banyaknya pertanyaan diskusi yang disampaikan peserta. Sementara berturut-turut Dr Drh I Wayan T Wibawan MS (Dekan FKH IPB), Dr Ir Luki Abdullah MSc Agr (Dekan Fapet IPB), dan Ir Sucipto MM (Agrobased Group Corporate Bank Mandiri) hadir sebagai pembahas.
Seminar ini terselenggara atas kerjasama MIPI, Poultry Promo dan perusahaan sponsor. Hasil dari seminar ini akan menjadi masukan bagi pemerintah untuk menentukan arah kebijakan perunggasan ke depan ditengah himpitan krisis global. (wan)

Swasembada Daging Nasional Diundur Jadi 2014

Permintaan produksi daging sapi domestik terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, meningkatnya pendapatan masyarakat dan kesadaran pemenuhan gizi. Sebaliknya, produksi ternak sapi domestik (dalam negeri) masih rendah yang ditunjukkan dengan masih berlanjutnya impor daging.

Sementara itu, target swasembada daging sapi yang dicanangkan pemerintah pada 2010 sejak 2004 mundur hingga 2014. Indonesia bisa mencapai swasembada daging sapi pada 2014 dengan target tingkat produksi pertahun mencapai 200 ribu ekor selama lima tahun yaitu dari 2009 hingga 2014.

Kondisi tersebut menjadi topik utama dalam seminar nasional Percepatan Peningkatan Populasi Ternak Sapi di Indonesia yang digelar Pusat Studi Hewan Tropika Centras LPPM-IPB di IICC Botani Square, Kamis (15/10). Hadir dalam acara tersebut Dirjen Peternakan Deptan RI Prof. Tjeppy D. Soedjana dan Bupati Sukabumi H. Sukmawijaya sebagai salah satu pembicara.

Menurut Dirjen Tjeppy, saat ini kemampuan suplai daging sapi dalam negeri baru dua pertiga dari total kebutuhan konsumsi yang mencapai 1,7 juta ekor pertahun. Oleh karena itu, untuk memenuhi sisa yang sepertiga tersebut harus dipenuhi dari impor sapi bakalan. “Berkisar 500.000 ekor dan impor daging sapi berkisar 70.000 ton per tahun,” tandasnya.

Sedangkan dalam kemampuan penyedian susu konsumsi dalam negeri baru mencapai seperempat dari kebutuhan, oleh karenanya sebagian besar juga harus diimpor dalam bentuk bahan baku susu.

Hal tersebut dibenarkan Dr Ir Suryahadi Kepala Centras LPPM-IPB yang menyebutkan kebutuhan susu dalam negeri masih dipasok impor 80 persen. Sementara 20 persen dipasok produksi dalam negeri, dan hanya 5 persen yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat selebihnya diolah oleh industri persusuan.

Sementara itu, dalam upaya untuk meningkatkan produksi ternak dan konsumsi daging sapi berikut pemanfaatan susu sapi, Bupati Sukabumi H. Sukmawijaya telah menerapkan program Gerimis Bagus atau gerakan intensif minum susu bagi usia sekolah.

“Kami mengharuskan penduduk Sukabumi minum susu. Tapi untuk tahap awal kami terapkan pada siswa SD dan MI sebanyak 320 ribu anak, atau butuh 20 ton produksi susu,” katanya.
Sukmawijaya menjelaskan, peternakan sapi di Sukabumi adalah salah satu potensi andalan, akan tetapi masyarakat yang berternak sapi masih sedikit dan masih disuplai dari luar. “Meski permintaan ternak sapi tinggi tapi harga produk sapi peternak masih murah,” imbuhnya. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer