Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KOLERA DIKENALI DARI GEJALANYA

Edisi 165 April 2008

(( Dengan demikian kita tidak akan bingung lagi bila mendapati pada ayam terdapat sumbatan lendir di saluran pernafasan, lendir menggantung seperti tali, pial bengkak, keunguan, kotoran encer berwarna hijau, perdarahan pada jantung, hati pucat dan berbintik kuning keabuan. ))

Seorang praktisi peternakan menceritakan pengalamannya terkait dengan serangan kolera di wilayah kerjanya, "Untuk mendiagnos penyakit kolera ini dibutuhkan kejelian tersendiri karena tanda-tandanya sering kali nampak seperti penyakit lain misalnya ND, CRD atau Fowl thypoid.”
Memang, beberapa penyakit lain dapat dikelirukan dengan penyakit kolera ini yaitu ND, fowl thypoid dan colibacillosis. Diagnosa Kolera biasanya dilakukan berdasarkan gejala klinis dengan adanya kematian yang mendadak dan pemeriksaan bedah bangkai dengan mengamati perubahan yang terjadi pada organ-organ tubuh.
Masa inkubasi penyakit Kolera sendiri berlangsung selama 3-9 hari. Seorang praktisi yang banyak mengamati kasus kolera pada ayam petelur di Blitar ini mengatakan, "Serangan kolera terjadi pada umur lebih dari 4 bulan. Kadang-kadang ayam mati tanpa gejala klinis yang jelas, biasanya pada malam hari."
Menurut referensi ilmiah, kejadian penyakit dapat dibedakan menjadi 3 bentuk.

Perakut

Pada bentuk perakut kasus Kolera, biasanya terjadi kematian mendadak tanpa didahului oleh gejala klinik. Pada bedah bangkai, kejadian perakut dijumpai berbagai bentuk perdarahan pada jantung, hati, paru-paru, jaringan lemak, rongga perut dan emmbrana mukosa saluran pencernaan termasuk usus, proventrikulus dan lambung/ampela.

Akut

Pada kejadian yang bersifat akut gejala klinik dapat diamati beberapa jam sebelum ayam mati. Ayam tampak lesu, mengantuk, bulu berdiri, demam, nafsu makan dan minum menurun. Tampak adanya cairan agak kental keluar dari mulut dan menggantung seperti seutas tali.
Diare yang terjadi pada awalnya encer, berwarna kekuningan dan berangsur menjadi kehijauan bercampur lendir dan berbau busuk. Adanya lendir dalam saluran pernafasan bagian atas mengakibatkan suara ngorok basah. Jengger dan pial membengkak berwarna ungu kebiruan (cyanosis).
Pada kejadian Kolera yang bersifat akut, cairan pada selaput pembungkus jantung dan ascites dapat ditemui. Hati bengkak dan pucat.
Pada sejumlah kasus yang disebabkan P multocida yang ganas dijumpai hati dengan jalur berwarna kuning pucat disertai bintik perdarahan dan bintik kelabu-kekuningan.
Dijumpai juga folikel telur yang sudah dewasa yang membubur dan memenuhi rongga perut. Pada folikel telur yang masih muda kadang-kadang berwarna merah akibat perdarahan.
Ayam yang mampu bertahan hidup menjadi kurus dan mengalami dehidrasi. Angka kematian sangat bervariasi, mencapai lebih dari 20%. Di samping timbulnya kematian, juga terjadi penurunan produksi telur.

Kronis

Penyakit dalam bentuk kronis ditemukan jika ayam dapat bertahan selama fase akut atau terinfeksi oleh bakteri dengan keganasan rendah. Perubahan yang terjadi pada organ tubuh tergantung proses penyakit yang timbul dan kerapkali merupakan peralihan bentuk akut dan kronis.
Gejala yang tampak pada periode kronis umumnya berkaitan dengan infeksi lokal seperti pembengkakan (abses) pada salah satu ataupun kedua pial, persendian kaki, persendian sayap ataupun telapak kaki.
Gangguan persendian kaki menyebabkan ayam sulit bergerak atau lumpuh. Kadang-kadang terlihat adanya cairan dari konjungtiva dan tortikolis. Ayam yang terserang kolera bentuk kronis dapat mengalami kematian, menjadi carrier atau sebaliknya menjadi sembuh.
Dengan demikian kita tidak akan bingung lagi bila mendapati pada ayam terdapat sumbatan lendir di saluran pernafasan, lendir menggantung seperti tali, pial bengkak, keunguan, kotoran encer berwarna hijau, perdarahan pada jantung, hati pucat, berbintik kuning keabuan.
Itulah beberapa tanda yang dapat mengarah pada diagnosa penyakit Kolera pada ayam. (YR/ berbagai sumber)

MEMBUNUH BAKTERI KOLERA

Edisi 165 April 2008

(( Untuk mengatasi datangnya penyakit yang mungkin beruntun, antibiotik yang digunakan dipilih yang efektif kerjanya. Para ahli kesehatan hewan menyatakan, penyakit kolera ini dapat diobati dengan menggunakan antibiotik khusus yang bekerja secara sistemik terhadap bakteri Gram-negatif. ))

Sesungguhnya penyakit bakterial seperti kolera menimbulkan kerugian yang cukup banyak. Selain kematian, penurunan produksi pada ayam yang telah bertelur dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu.
"Kematian yang ditimbulkan memang tidak banyak. Akan tetapi kerugian yang diakibatkan kolera ini cukup signifikan. Bila menyerang ayam yang sedang dalam masa bertelur, penurunan produksi telur yang terjadi cukup lumayan selama beberapa waktu lamanya," jelas seorang praktisi.
Bila kasus sudah telanjur terjadi, “Jangan lupa musnahkan ayam yang mati dan karantina ayam yang sakit serta berikan pengobatan," ujar seorang peternak.
Bakteri penyebab kolera ini ‘senang’ bersembunyi di tempat-tempat yang tak terjangkau, misalnya di limphoglandula perifer di daerah leher. Oleh karena itu kolera sering muncul karena tidak runtasnya pemberantasan pada ayam petelur dewasa dimana kasus ini lebih banyak menyerang.
Penyakit kolera pada unggas ini disebabkan oleh bakteri kelompok Gram-negatif yang berkapsul, Pasteurella multocida. Oleh karenanya penyakit ini disebut juga sebagai pasteurellosis. Pasteurella multocida penyebab penyakit kolera mempunyai 5 serotipe yaitu A, B, D, E dan F. "Sedangkan yang menimbulkan gangguan pada ayam biasanya serotipe A, B dan D," kata seorang akademisi dari sebuah fakultas kedokteran hewan sebuah perguruan tinggi ternama.
Tingkat keganasan bakteri ini berbeda-beda dan ditentukan oleh kapsul yang membungkus bakteri. Bila kapsul tersebut rusak tingkat keganasan bakteri akan berkurang bahkan tidak berbahaya lagi. Meskipun bakteri tahan hidup selama beberapa bulan dalam litter atau bahan yang mudah membusuk, tetapi mudah terbunuh oleh sinar matahari, pengeringan, pemanasan ataupun dengan berbagai desinfektan.
Untuk mengatasi datangnya penyakit yang mungkin saja beruntun seperti ini, antibiotik yang digunakan dipilih yang efektif kerjanya. Para ahli kesehatan hewan menyatakan karena disebabkan oleh bakteri, penyakit kolera ini dapat diobati dengan menggunakan antibiotik khusus yang bekerja secara sistemik terhadap bakteri Gram-negatif.
Namun, anjur para ahli, sebaiknya pemakaian antibiotik ini juga digilir agar tidak menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotik tertentu, karena sensitivitas kuman dapat terjadi.
Beberapa pakar menyarankan pemakaian antibiotik khususnya golongan penisilin seperti amoxycillin maupun sulfa untuk mengatasi serangan kolera pada ayam, maupun septicaemia atau menyebarnya bakteri ke seluruh tubuh.
Preparat seperti flumequin dan quinolon dapat dipakai untuk mengobati penyakit kolera pada unggas. Jaringan yang mengalami kerusakan akibat adanya peradangan perlu direhabilitasi dengan memberikan terapi supportif (multivitamin) dan memberikan pakan yang berkualitas dengan kandungan nutrien yang cukup.
Pengobatan yang dilakukan dengan memberikan antibiotika memberikan hasil yang berbeda-beda. Hal ini bisa terjadi karena P multocida mempunyai banyak serotipe yang mungkin mempunyai respon yang berbeda-beda pula terhadap antimikroba.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang terbaik tentunya dilakukan uji sensitivitas. (YR/ berbagai sumber)

LARA PETERNAK KARENA KHOLERA

Edisi 165 April 2008

Di kalangan peternak kholera ayam lebih sering disebut ”berak hijau”. Nama itu berkaitan dengan feses atau kotoran yang dikeluarkan yang sakit berwarna hijau. Namun bagi sebagian peternak yang sudah sering berinteraksi dengan kalangan akademisi, dimana sering mengikuti aneka seminar, lebih sering menyebutnya sebagai kholera. Atau setidaknya kholera ayam.

Berikut ini rangkuman pendapat dari praktisi peternak dan petugas kesehatan lapangan:

”Kholera...? Waah penyakit itu banyak membuat duka lara para pengelola farm dan peternak,” ujar Drh Jon Sumar Temse ketika diminta pendapatnya tentang penyakit itu. Sebab penyakit itu, menurut Jon tidak saja sangat merugikan oleh karena banyaknya ayam yang mati, mesti perjalanan waktu akan jumlah ayam yang mati tidak secepat seperti penyakit ND atau Gumboro. Namun justru lebih banyak menyita pikiran dan tenaga untuk mengatasinya.

Drh Jon Sumar Temse, adalah seorang petugas kesehatan lapangan dari PT Tekad Mandiri Citra di Yogyakarta. Ia mengungkapkan pengalamannya yang sebelumnya pernah selama 2 tahun bergulat langsung dalam pemeliharaan ayam potong. Menurut Jon sebenarnya dalam menghadapi penyakit itu kalau sudah tahu justru sangat simple.

Memang penyakit itu, jika kurang tepat penangannya akan membuat kita terkuras tenaga, pikiran dan juga dana. Sebab begitu ada ayam yang terkena, seolah seperti deret ukur ayam-ayam yang lain cepat tertular. Jika lambat bertindak, maka sudah pasti akan diikuti dengan deretan kematian ayam. Maka ketepatan diagnosa menjadi salah satu hal penting untuk bisa cepat bertindak.

Menurut penuturannya, kasus penyakit itu sebenarnya sangat mudah untuk dikendalikan dan bahkan dienyahkan. Atas dasar pengalamannya secara langsung mengelola ayam potong dengan populasi 40 000 ekor di sebuah Kota di Kalimantan, kasus itu sangat mudah ditekan bahkan diminimalkan.

Kunci pertama dan utama dari segala jenis penyakit bakterial adalah pengelolaan kandang dan lingkungan yang bersih. Pada umumnya, lanjut Jon Sumar para pengelola dan peternak kurang begitu intensif pada aspek itu secara total. Jikalau ada, umumnya hanya parsial, atau tidak menyeluruh.

Banyak yang lebih mengutamakan kebersihan kandang, akan tetapi mengabaikan lingkungan. ”Saya hampir bisa memastikan lebih dari 50% para peternak dan pengelola farm, sangat kurang memperhatikan hal itu secara penuh dan total. Pada umumnya mereka memang sangat perhatian pada kebersihan akan tetapi lebih mengutamakan kandangnya. Sedangkan kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar kandang diabaikan,” ujarnya tegas dengan logat Jawa Timur yang sangat medok.

Padahal, lanjutnya, ”Secara umum penyakit dengan penyebab apapun, hal itu mutlak penting untuk diperhatikan. Dan secara khusus pada penyakit bakterial, menurut pengalaman saya, aspek kebersihan adalah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itu mutlak sebagai sebuah persyaratan untuk mendapatkan hasil yang optimal.”

Awalnya ketika Jon Sumar diberi beban tugas untuk mengelola ayam potong dengan populasi sebanyak itu sendirian, maka hal yang pertama kali dilakukan adalah menggencarkan kegiatan membersihkan kandang, karena secara kasat mata ia melihat kondisi kandang yang sangat jauh dari bersih. Ia sangat yakin hal itu dan menjadi penyebab utama bahwa farm ini kurang mampu memberikan hasil yang optimal.

Seperti umumnya, aspek fundamental itu memang tidak mudah dan membutuhkan waktu, dana dan tenaga yang ekstra. Akhirnya memang membuahkan hasil yang menggembirakan karena ketika panen, ada perbaikan performans yang sangat signifikan di banding pada periode sebelum dikelola oleh Jon.

Dari hasil itu, Jon Sumar semakin kuat dan yakin bahwa langkah yang ia tempuh itu adalah benar. Keyakinan dan kebenaran atas langkahnya itu semakin diperkuat oleh pendapat pakar yang ia baca di Infovet.

Namun pada periode berikutnya, ternyata hasil itu kembali mengalami penurunan. Dugaan penurunan itu oleh karena adanya serangan kolibasiolis dan ND ringan. Meski muncul dugaan itu, namun ia tetap gelisah dan bersemangat untuk mencari penyebabnya dan juga solusi atas terjadinya penurunan hasil itu. Selain itu Jon, bahkan mulai goyah dengan pendapatnya sendiri.

”Ketika terjadi penurunan hasil panen, meski kebersihan kandang tetap ia utamakan, saya sempat berpikir ulang dan goyah dengan pendapat saya semula. Memang penurunan itu oleh karena diduga adanya sergapan penyakit lain. Namun saya yakin kholera bukanlah menjadi penyebab kali ini,” papar Jon Sumar.

Meski demikian, lanjutnya, ”Dalam kegelisahan saya itu, akhirnya saya tetap yakin dan teguh dengan pendirian saya bahwa kebersihan adalah syarat mutlak. Sampai akhirnya, saya melihat lebih luas lagi, bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Ternyata dugaan saya mengarah ke lingkungan sekitar kandang yang harus mendapatkan perhatian juga.”

Langkah itu segera dilakukan yaitu dengan membersihkan lingkungan kandang. Semua pekerja kandang dicurahkan tenaganya untuk membuat lingkungan yang bersih, semak-semak ilalang dipangkas serta yang terpenting adalah Jon membuat lobang khusus sampah yang relatif dalam dan tertutup.

Menurut penuturan Jon, langkah itu memang tidak mudah dan pada awalnya akan banyak menghabiskan waktu, tenaga dan dana. Namun ternyata berbuah juga langkah itu. Panen pada periode berikut sedikit mengalami kenaikan hasil yang lumayan. Dan pada periode berikutnya meningkat lagi, bahkan sergapan dan gangguan penyakit lain relatif semakin jarang.

Menceritakan mengapa ia membuat lobang galian sampah yang dalam dan tertutup, bahwa itu sangat penting untuk melokasir bangkai yang dibakar, aneka sampah lain dari aktifitas kandang dan manusianya. Selain itu kotoran di bawah kandang panggung jika 2 hari sekali dibersihkan akan terasa sekali suasana lingkungan kandang dan sekitarnya yang segar dan nyaman. Kondisi ini, jika manusia bisa merasakan nyaman maka sudah pasti, ayam yang dipelihara juga akan merasakan hal yang sama.

”Tumpukan kotoran ayam di bawah kandang sangat tinggi sekali kandungan amoniaknya, dan menurut saya kholera juga muncul oleh karena kandang amoniak yang tinggi. Penyakit lain pun akan cepat menyerang jika situasi ligkungan yang kurang kondusif,” ujarnya.

Ketika ditanyakan, apakah benar pada ayam yang muda jauh lebih tahan terhadap penyakit ini, dibandingkan ayam yang lebih tua. Jon menggelengkan kepala, sambil berkata kalau itu jujur ia mengakui benar-benar tidak tahu.

Akan tetapi menurut pengalamannya, barangkali ketika masih muda sudah terlalu banyak penyakit yang siap menerkam, maka tentu saja penyakit viral akan jauh lebih terlihat gejala klinisnya dibanding penyakit bakterial, seperti kholera. Sedangkan kholera bisa saja muncul ketika ayam masih muda, akan tetapi oleh karena penyakit kholera berjalan relatif lamban, maka ayam mungkin lebih dahulu mati sebelum muncul gejala klinis kholera.

Drh Fauzi Ahmad, seorang praktisi peternakan di Solo mengungkapkan pendapatnya bahwa Kholera sebenarnya termasuk salah satu penyakit yang sangat penting pada usaha peternakan ayam. Menurutnya penyakit yang bersifat infeksius, alias mudah menular itu juga sulit dikendalikan. Bukan saja hanya karena aspek kebersihan yang kurang. Akan tetapi lebih cenderung adanya banyak burung-burung liar yang menjadi pembawa penyakit dan sering berada disekitar kandang, sehingga itu akan terus menjadi sumber penular paling potensial.

Menurut pengalamannya selama ini pada ayam petelur akan cepat menyebabkan anjlognya produksi telur dan relatif lama untuk memulihkannya atau proses recoverynya. Biasanya pada ayam, saat awal terjadi infeksi, belum terlihat gejala klinis yang menciri. Hanya umumnya seperti penyakit lainnya yaitu nafsu makan melorot turun, bahkan terkadang sama sekali tidak mau makan. Nafsu minum memang masih ada akan tetapi juga mengalami penurunan.

Pada musim peralihan, dari musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya angka kejadiannya akan meningkat. Akan tetapi umumnya kasus penyakit itu banyak dialami para peternak dan juga diakui oleh para peternak sendiri oleh karena kualitas ransum yang jelek. Baik itu pakan dari pabrikan ataupun bahan pakan lain yang digunakan untuk pencampuran.

Pada musim penghujan meski dari pakan yang berasal dari pabrik pakan berkualitas baik, akan tetapi dalam perjalanan pengangkutan dan penyimpanan, maka potensi untuk munculnya penyakit itu sangat besar. Juga harus mendapatkan perhatian jika melakukan pencampuran sendiri dengan bahan-bahan pakan seperti jagung, katul hendaknya bahan-bahan itu harus yang bebas dari jamur dan kontaminan lainya.

”Pengalaman saya memang paling sering kholera itu muncul ketika musim peralihan. Akan tetapi pada saat musim hujan prevalensi penyakit ini juga sangat tinggi. Oleh karena itu memang sebaiknya pengawasan penyimpanan pakan di gudang harus sangat diperhatikan,” ujarnya Selain itu ketika musim hujan, umumnya tumpukan kotoran semakin meninggi dan kandungan amoniak melonjak, maka hal itu semakin mendukung munculnya penyakit itu.

Jumlah ayam yang sakit dalam suatu populasi,menurut Fauzi memang tergolong banyak, juga ayam yang mati. Namun sebenarnya jumlah ayam yang mati dapat ditekan apabila upaya terapi segera dilakukan. Keterlambatan penanganan, umumnya karena akibat keterlambatan diagnosa. Oleh karena itu, memang dibutuhkan tenaga lapangan yang handal untuk meneguhkan sebuah diagnosa. Sehingga kerugian karena kematian dapat diitekan.

Sampai sekarang upaya pencegahan memang harus menciptakan situasi kandang yang nyaman bagi ayam. Sebab kondisi seperti itu akan menekan munculnya penyakit itu dan penyakit lainnya. Benar adanya pendapat Jon Sumar, bahwa kebersihan itu penting, akan tetapi jika tidak diikuti dengan kualitas pakan yang baik, tetap saja akan muncul penyakit itu.

Menurut sepengetahuan Fauzi, tidak seperti pada penyakit coryza yang sudah tersedia bacterin alias vaksin bakteri, pada kholera sampai saat ini belum tersedia vaksinnya. Mungkin hal itu, lanjut Fauzi bakteri Pasteurella sp itu amat banyak strain atau serotype. (iyo)

TANGANI KOLERA BERSAMA PRAKTISI BOGOR

Edisi 165 April 2008
(( Jelasnya, profesionalime penanganan Kolera di peternakan, mutlak dibutuhkan. ))

Karena kondisi harga pakan meningkat, sementara DOC sulit, maka berakibat pemasaran obat pun turun. Mulai Januari 2008 itulah terjadi penurunan pemasukan DOC pun turun, populasi ayam turun, pengambilan antibiotik dan vitamin turun. Pengaruh penyakit biasanya ada beberapa penyakit. Yang sering terjadi adalah penyakit Gumboro, CRD dan Kolibasilosis. Adapun kolera terjadi beberapa kasus pada ayam layer. Demikian banyak diungkap oleh petugas teknis kesehatan hewan di lapangan.

Maka Infovet pun mengkonfirmasikannya pada narasumber di lapangan. Kali ini kita berjumpa dengan Drh Yuli Hernanto salah satu area supervisor PT Sanbe Farma Divisi Veteriner & Akuakultur di Bogor. Menurut Hernanto, penyakit Kolera banyak terjadi pada puncak produksi, karena pada saat ini kejadian stres paling tinggi. "Serangan kolera pada ayam petelur lebih banyak dijumpai pada waktu tingkat stress-nya tinggi. Biasanya pada saat awal dan puncak produksi waktu ayam berumur 25 sampai dengan 30 minggu,” katanya.

Menurut Drh Yuli Hernanto, untuk mengetahui ayam terserang kolera, tanda-tandanya adalah ayam berak hijau yang tampak pada warna kotorannya yang mengotori air, pakan dan lain-lain, keluar cairan dari mulut dan tubuh ayam, nafsu makan ayam turun yang dapat dilihat juga, pial bengkak berwarna biru. Pada saat bangkai ayam dibedah, tampak hatinya membesar, perdarahan pada hati, lambung (proventrikulus).

”Diagnosa banding kolera ini adalah tetelo alias New Castle Disease,” tambah Drh Yuli Hernanto Dengan memperhatikan tanda-tanda penyakit seperti kotoran yang berwarna hijau dan pial yang berwarna kebiruan, disertai dengan penurunan produksi, adanya telur yang pecah di dalam perut ayam serta hati yang terlihat seperti belang-belang, dokter hewan ini menaruh kecurigaan pada kolera

Menurutnya, kasus Kolera ini biasanya ditangani dengan Amoksilin dan Cilistin. Sedangkan selain obat-obatan, maka sanitasi lingkungan dijaga ketat dengan desinfeksi dan penyemprotan rutin setiap bulan.

Adapun praktisi kesehatan hewan di lapangan yang lain yang dijumpai Infovet di Bogor adalah Puji Hartono SPt, juga salah satu area supervisor PT Sanbe Farma Divisi Veteriner & Akuakultur di Bogor. Sudah tentu untuk mengetahui adanya kejadian kolera pada ayam di peternakan itu bukan sekedar cerita atau baca buku, namun seperti petugas lapangan yang ini, ia berkunjung di peternakan-peternakan pelanggan perusahaannya.

Puji Hartono SPt mengatakan setiap minggu ia menjadual kunjungan ke peternakan dan berhubungan dengan petugas kesehatan hewan di peternakan yang dikunjungi. Di situlah ia melakukan kontrol peternakan, dan ada kalanya menjumpai kasus penyakit. Ia pun menganalisa kasus, untuk kemudian setelah dianalisa ia memberi advis dan treatment serta perbaikan-perbaikan.

Untuk akhirnya bila ia menganjurkan harus adanya pemberian obat, ia mengatakan itu pn harus memperhatikan banyak faktor, misalnya kandang dan suhu. Untuk aplikasi pemberian obat pun juga perlu diskusi dengan petugas kesehatan hewan peternakan pada setiap kunjungan. Jelasnya hal ini, kata Puji Hartono. ”Untuk mencari solusi yang terbaik bagi kandang yang dikunjungi. Tidak boleh sepihak.”

Hal itu pulalah yang dilakukannya bila menghadapi kasus Kolera ayam di lapangan. Menurutnya, kasus kolera dan kolibasilosis lebih sering muncul karena permasalahan air, di mana pada musim penghujan, sekam kandang acapkali basah. Padahal, ayam juga suka ke lokasi yang basah. ”Untuk itu treatment sekam harus diperhatikan,” katanya. Bila ayam sudah mengalami kembung, Puji Hartono mengatakan, bahwa hal ini sudah banyak bakteri yang berkembang di dalam tubuh ayam. Ia pun menganjurkan peternak memberikan antibiotik pada ayam, pada kasus pencernaan ayam yang jelek ini.

Jelasnya, profesionalime penanganan Kolera di peternakan, mutlak dibutuhkan. (YR)

Mengulik Tehnik Beternak Layer Modern

Fokus Infovet Mei 2008

Siapa orang Indonesia yang tak pernah makan telur ayam ras, pastinya hampir semua orang pernah makan telur. Namun tak semua orang tahu darimana asalnya telur yang setiap hari dikonsumsi ini. Telur-telur ini berasal dari “mesin-mesin pencetak telur” hidup yang disebut ayam layer.
Ayam layer mulai masuk ke Indonesia pada periode tahun 1960-an dengan produksi paling banter 200 butir telur setahun. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan maka kualitas genetik ayam layer juga semakin diperbaiki. Demikian pula dengan cara pemeliharaannya. Saat ini saja rata-rata layer modern mampu menghasilkan telur diatas 320 butir/ekor sampai pemeliharaan 72 minggu.
Cara pemeliharaan ayam petelur modern kini sudah tak bisa lagi disamakan dengan cara pemeliharaan berpuluh tahun silam yang lazim dilakukan peternak layer. Hal ini disebabkan karena perubahan sifat genetik dari ayam tersebut yang sangat drastis dan dalam pemeliharaannya membutuhkan perhatian ekstra agar produktivitasnya optimal.
Produksi yang optimal dapat dilihat dari jumlah, berat, ukuran, bentuk.dan keseragaman telur yang dihasilkan. Belum lagi bicara tentang nutrisi pakan ayam layer modern yang cenderung rewel kala terjadi perubahan kualitas pakan.
Oleh karenanya, peternak harus sadar betul hal apa saja yang menjadi syarat keberhasilan pemeliharaan ayam petelur. Produksi telur yang optimal dapat diartikan ayam mampu menghasilkan telur dalam jumlah maksimal dalam waktu lama atau secara bahasa praktisnya adalah ayam bisa mencapai puncak produksi dan hen day (HD) berada diatas 90% dalam waktu lama.

Baru Muncul di Era Tahun 2000-an
Sebelum lebih jauh membahas tentang manajemen layer modern, kita harus tahu dulu apa itu layer modern. Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita yang memiliki pengalaman puluhan tahun di pemeliharaan ayam layer angkat bicara menjelaskan latarbelakang munculnya layer modern.
Menurutnya, layer modern mulai muncul sejak tahun 2000 yang merupakan hasil rekayasa genetik dari proses seleksi yang panjang. Seleksi itu ditujukan untuk mendapatkan potensi genetik yang diinginkan berupa produktivitas maksimal dan efisiensi yang tinggi.
Lebih lanjut, kata Hadi, kelebihan layer modern ini diantaranya memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dengan kematangan seksual lebih awal 2 minggu. Selain itu bentuk badan yang lebih kecil menyebabkan layer modern lebih efisien dalam kebutuhan ransum.
Ia juga menambahkan bahwa layer modern saat ini memiliki puncak produksi 2-3% lebih tinggi, dengan hen day 90%, 8 minggu lebih lama serta feed convertion ratio (FCR) yang lebih rendah.

Berikut adalah perbandingan performa salah satu strain ayam layer di bawah:
Perbandingan Performan
Peforman Isa Brown (1984) Isa Brown (2004)
Berat badan umur 17 minggu 1500 gram 1400 gram
HD 50% 22 minggu 20 minggu
Puncak produksi 91-92% 95%
Berat telur 63 gram 62,6 gram
HH egg production 310 350
HH mass production 19,5 kg 21,9 kg
FCR total 2,35 2,14
Daya hidup 93-94% 97%

Sangat Rentan di Awal Pemeliharaan
Di tempat dan waktu berbeda Drh Brigita, technical services PT Medion Farma Jaya pernah menjelaskan tentang strategi sukses beternak layer modern pada acara Diklat Medion belum lama ini yang secara khusus diikuti Infovet. Gita, begitu ia biasa disapa, menjelaskan bahwa kelemahan layer modern diantaranya adalah bila terjadi gangguan pertumbuhan akan sulit dikompensasi pada masa pertumbuhan berikutnya.
Selain itu layer modern yang dikembangkan dengan teknologi tinggi ini juga lebih mudah stres karena perubahan keadaan lingkungan. Ditambah nafsu makan yang lebih rendah terutama di umur 4 minggu pertama dan saat mendekati masa produksi.
Hal ini dibenarkan oleh Drh Hadi Wibowo, katanya, Layer modern mudah sekali stres, sering terjadi pada saat awal pemeliharaan. Terutama saat DOC baru datang rentan terhadap cekaman temperatur. Saraf sensoris diujung-ujung kaki dan paruhnya sangat peka terhadap perubahan suhu kamar. Untuk itu suhu kamar harus optimal sehingga 1-2 jam sebelum DOC datang pemanas harus sudah dinyalakan. Bila suhu sekam dingin cenderung membuat anak ayam diam dan pasif bergerak. Sehingga menyebabkan anak ayam terlambat untuk mulai makan dan minum yang juga berbuntut tidak tersedianya energi, vitamin, dan antibiotik yang dibutuhkan ayam di fase awal pertumbuhannnya.
Lebih jauh, Hadi menjelaskan, semakin cepat ayam makan dan minum maka semakin cepat rangsangan terhadap sel epitel usus untuk berkembang. Oleh karenanya Hadi menyarankan ke peternak dan anak kandang dilapangan untuk memperhatikan tembolok ayam saat 8 jam pertama harus terisi sekitar 80%. Dan saat 12 jam pertama tembolok harus sudah terisi 100%.
Betapa pentingnya kualitas dan kuantitas pakan diperiode awal pemeliharaan. Karena gangguan sekecil apapun akan mempengaruhi performa pertumbuhan di fase berikutnya. Hadi menambahkan, gangguan pada hari pertama akan menyebabkan pertumbuhan bursa fabricius di hari ke-4 akan terhambat. Padahal organ ini berfungsi sangat vital guna menghasilkan zat kebal tubuh dari serangan kuman patogen dari lingkungan. Pada saat minggu ketiga sel timus mulai berkembang yang juga menghasilkan sel yang bertanggung untuk kekebalan tubuh.
Hadi sangat menyayangkan pola pikir peternak yang kolot atau dalam bahasa Jawa ‘ndableg’ atau susah mengikuti perubahan untuk memperbaiki manajemen pemeliharaan ayam petelurnya. Karena menurut mereka dengan pengalaman beternak lebih dari 20 tahun sudah cukup dengan manajemen seadanya seperti waktu mereka mulai beternak. Tapi mereka lupa bahwa sifat genetik ayam telah jauh berubah dan membutuhkan perhatian lebih intensif agar dapat berproduksi optimal.
Pada kesempatan berbeda Drh Sugeng Pujiono Marketing Manager PT Sanber Farma Divisi veteriner dan Akuakultur menyampaikan bahwa perubahan kualitas genetik yang begitu pesat menuntut perbaikan manajemen yang optimal.
Sugeng mencontohkan pada fase brooding di 2 minggu pertama peternak harus ekstra hati-hati, sebab bila terjadi gangguan akan menyebabkan terlambatnya penyerapan kuning telur yang berujung pada terlambatnya pembentukan kekebalan tubuh.
Selain itu, pria kelahiran Gresik, 20 November 1963 ini menekankan bahwa keseragaman berat badan harus sudah dicapai sebelum usia 6 minggu disesuaikan dengan standar yang ditentukan pembibit, sebab bila tidak akan memunculkan beragam problem dalam pemeliharaan, seperti masalah penyakit, mundurnya awal produksi, tidak tercapainya puncak produksi dan tidak bertahan lama, sehingga terjadi inefisiensi.
”Pastikan juga sebelum pullet naik ke kandang baterei telah terbebas dari infeksi cacing. Maka berikan obat cacing setidaknya 2 bulan sekali,” ujar alumni FKH Unair tahun 1981 ini.
Vaksinasi sebagai tindakan pencegahan penyakit penting dilakukan, karena berbagai penyakit yang menimpa diumur muda akan tetap berdampak permanen hingga masa produksi contohnya IB, ND, dll.
”Sebenarnya peternak sekarang ini lebih mengaharapkan ayam petelur yang puncak produksinya tidak terlalu tinggi misalnya 80-85% yang penting peak produksi tersebut bisa bertahan lama. Dibanding layer modern saat ini yang puncak produksinya tinggi 90-92% tapi kalau sudah turun, turunnya bisa anjlok sekali,” terang Sugeng.
Namun ketiga narasumber Infovet tersebut sepakat bahwa keberhasilan mencapai puncak produksi dan persistensi hen day (HD) diatas 90% dalam waktu lama tak bisa didapatkan secara instan dan singkat. Tapi peternak sebelumnya harus memperhatikan kondisi ayamnya secara sungguh-sungguh mulai sejak ayam datang di kandang (chick in) sampai ayam bertelur.
Bukan suatu hal yang mudah tentunya. Namun, juga bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Penerapan sistem pemeliharaan yang baik dengan didukung dengan manajemen kesehatan yang baik tentu akan dapat mewujudkan hasil yang optimal tersebut.

Kenali Fase Kritis Pemeliharaan Ayam Layer

Fokus Infovet Mei 2008

Fase kritis pemeliharaan ayam layer adalah saat di awal pemeliharaan. Keberhasilan menciptakan kondisi yang optimal bagi tumbuh kembang anak ayam hingga pullet menjadi modal dasar suksesnya peternakan ayam petelur. Demikian diungkapkan Tim Teknis Medion yang diwakili Drh Brigita saat ditemui Infovet di Bandung belum lama ini. Infovet secara khusus hadir mengikuti Diklat yang saat itu membahas tentang manajemen layer modern. Diklat Medion ini rutin digelar oleh PT Medion untuk meningkatkan wawasan peternak binaannya.
Lebih lanjut menurut Gita, demikian ia akrab disapa, untuk mencapai hal tersebut diperlukan usaha yang ulet dan teliti. Faktor-faktor penentu keberhasilan produktivitas pun perlu kita ketahui dan pahami bersama. Faktor kritis tersebut antara lain pencapaian berat badan sesuai standar dan uniformity (keseragaman), frame size (ukuran kerangka) yang optimal, nutrisi yang benar, vaksinasi dan pengobatan yang tepat serta stimulasi cahaya dalam peningkatan produktivitas ayam.
Gita menambahkan, ayam layer modern selain memiliki kelemahan mudah stres, juga lebih peka terhadap kualitas dan kuantitas ransum. Layer modern juga lebih mudah terinfeksi bibit penyakit, karena berat relatif organ lymfoid (red. perbandingan berat organ lymfoid dengan berat badan) lebih kecil.
Oleh karenanya faktor kritis yang telah disebutkan diatas patut menjadi perhatian peternak. Tiga parameter yang lazim dijadikan tolok ukur performan ayam petelur adalah data hen day (HD), feed conversion ratio (FCR) dan tingkat kematian. Dari ketiga parameter tersebutlah bisa diketahui apakah hasilnya sesuai atau bahkan melebihi standar (target performan) dari perusahaan pembibit. Syukur kalau memenuhi standar atau bahkan melampaui target dengan bayang-bayang keuntungan yang menggiurkan. Tapi kalau ternyata hasilnya jauh dibawah standar tentu inefisiensi biaya produksi dan kerugian telah menanti.
“Sebelum memulai produksi kita harus menentukan target produktivitas ayam petelur yang kita pelihara. Tentu saja target tersebut bersumber dari manual guide atau manual management yang dikeluarkan oleh perusahaan pembibitan. Data produktivitas ayam petelur rekanan kita yang telah melebihi standar juga bisa menjadi acuan kita dalam menentukan target ini,” jelas Gita.
Perlu menjadi perhatian kita bersama, saat kita telah menentukan sebuah target produktivitas maka dapat diartikan kita telah mempunyai sebuah tujuan yang jelas. Setelah itu, kita akan selalu berusaha untuk mencapai tujuan itu dengan baik. Jika kita belum memiliki tujuan tentu saja arah kita dalam pemeliharaan ayam petelur pun tidak menentu. Contoh target performan (produktivitas) ayam petelur coklat (layer brown) dari berbagai strain yang ada di Indonesia bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Target Performan (Produktivitas) Ayam Petelur
Parameter Satuan Strain Ayam Petelur
Hisex Hy Line ISA Brown Lohmann
Dayahidup % 94,5 96-98 93,2 93-96
Umur saat HD 50% Hari 142 145 143 150
HD puncak produksi % 96 94-96 95 94,5
Rata-rata berat telur g 62,5 62,7-66,9 63,1 63,3
Jumlah telur per hen house butir 352 ND 351 310,4
Berat telur per hen house kg 22 23,2 22,1 19,65
Konsumsi ransum rata-rata g 112 109 111 112,8-113,6
FCR 2,17 1,96 2,14 2,1
Sumber: Manual Guide atau Manual Management Breeder, 2006-2007
Untuk strain Hisex, Hy Line dan Isa Brown merupakan target performan umur 18-80 minggu sedangkan Lohmann merupakan target performan umur 18-72 minggu.

Mengejar Pertumbuhan yang Optimal
Ayam petelur modern saat ini merupakan ayam hasil rekayasa genetik dengan potensi mampu menghasilkan telur dengan jumlah yang banyak (red. Hen Day tinggi) dan bertahan lama persistensi produksi telur baik) dengan tingkat efisiensi yang semakin baik. Meskipun produktivitas telurnya dibuat setinggi mungkin, namun berat badannya didesain dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan generasi sebelumnya. Desain berat badan ayam petelur ini bertujuan menekan kebutuhan nutrisi yang dipakai dalam proses maintenance (perawatan) tubuh sehingga asupan nutrisi bisa lebih banyak diposisikan untuk pembentukan telur.
Namun, desain terbaru ayam petelur ini membawa konsekuensi tersendiri dan yang paling mencolok adalah pencapaian berat badan yang relatif sulit. Kasus ini terutama terjadi saat masa starter (umur 1 bulan pertama) maupun saat mendekati masa produksi telur. Dan yang lebih parah lagi, ketertinggalan berat badan ini relatif sulit dikompensasi di masa pemeliharaan berikutnya. Dan efeknya pun akan selalu terbawa saat ayam masuk pada masa produksi telur. Ayam yang mengalami masalah pencapaian berat badan di umur 4-5 minggu juga akan mengalami hal yang sama pada umur 16 minggu yang berefek pada kemunduran umur awal produksi.
Pencapaian berat badan sesuai standar menjadi salah satu parameter utama yang menentukan baik tidaknya produktivitas ayam. Berat badan ayam melebihi standar, bukan suatu hal yang baik. Kita tahu, kelebihan berat badan (ada yang berpendapat >10%) mengakibatkan saluran pencernaan dan saluran reproduksi banyak terdapat lemak sehingga perkembangan saluran reproduksi terhambat dan parahnya saat memasuki masa produksi, biasanya akan banyak ditemukan kasus prolapse (keluarnya sebagian saluran reproduksi) yang diakhiri dengan kematian ayam.
Timbunan lemak itu dapat menurunkan elastisitas saluran reproduksi sehingga saat pelepasan telur (terjadi kontraksi saluran reproduksi) posisi saluran reproduksi tidak bisa kembali seperti semula atau tidak bisa masuk kembali. Keadaan ini memicu ayam lainnya mematuknya sehingga akhirnya ayam tersebut mati.
Berat badan ayam yang terlalu kecil (di bawah standar) juga akan membawa konsekuensi tersendiri, yaitu telur yang dihasilkan mempunyai ukuran yang lebih kecil dari standar dan masa rentang bertelurnya menjadi lebih pendek. Kondisi inipun sangat sulit untuk dipulihkan. Penyebabnya ialah pada masa-masa awal bertelur, selain dituntut untuk menghasilkan telur ayam juga harus menambah berat badannya, sekitar 300 gram sampai puncak produksi. Hal ini semakin diperparah dengan tingkat konsumsi ransum yang lebih sedikit.

Ketertinggalan Bisa Dikejar
Memahami 2 alinea sebelumnya, semakin memantapkan kita bahwa pencapaian berat badan ayam mulai dari umur 1 hari sampai memasuki masa produksi menjadi hal yang sangat essensial. Bagaimana halnya dengan ayam yang “sempat” tertinggal berat badannya namun akhirnya dapat mencapai berat standar? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengetahui fase perkembangan dari organ-organ tubuh ayam.
Pertumbuhan daging dapat terjadi setiap saat sampai ayam mati dan sama halnya juga dengan pertumbuhan bulu. Berbeda halnya dengan pertumbuhan tulang atau kerangka yang mempunyai batas akhir dimana pada saat tertentu tulang hanya mengalami pertumbuhan yang sedikit atau boleh dikatakan tidak terjadi pertumbuhan lagi.
Saat ayam berumur 12 minggu, frame (kerangka) ayam telah terbentuk secara sempurna sedangkan sebelumnya (umur 6-7 minggu) 80% kerangka tubuh ayam telah mencapai dimensi akhir. Hal ini dapat diartikan bahwa ketertinggalan pertumbuhan tulang sebelum umur 12 minggu masih relatif bisa dikejar meskipun dengan biaya yang relatif besar. Perkembangan kerangka yang optimal dapat kita lihat dari panjang kaki (tulang shank) maupun lebar tulang selangka (os pubis). Pengaruh panjang kaki terhadap produksi telur tercantum pada Tabel 2.
Keberadaan tulang atau kerangka yang optimal akan sangat mendukung dihasilkannya telur yang berkualitas. Hal ini disebabkan komponen penyusun kerabang telur, yaitu kalsium (Ca) salah satu sumbernya adalah dari tulang kerangka ayam. Jika pertumbuhan tulang tidak optimal, selain menyebabkan kerabang telur menjadi tipis dapat juga mengakibatkan terjadinya kasus lumpuh layu (cage layer fatique). Pada kasus ini, suplementasi kalsium penting dilakukan.

Tabel 2. Pengaruh Panjang Kaki terhadap Produksi Telur
Berat Badan (gram) Panjang kaki (mm) Puncak Produksi (%)
1.339 99 84
1.285 98 86
1.298 103 87
Sumber: Miller, 1992

Keseragaman Harus Diatas 80%
Selain pencapaian berat badan sesuai standar kita juga harus memperhatikan uniformity (keseragaman) dalam populasi ayam yang kita pelihara. Keseragaman minimal yang harus tercapai ialah 80%. Jika keseragaman turun, bisa dipastikan puncak produksi akan sulit tercapai.
Langkah pencapaian berat badan dan keseragaman yang baik harus dilakukan sejak awal DOC masuk dalam kandang (chick in). Kontrol berat badan ayam harus dilakukan dengan teknik dan waktu yang tepat. Kontrol berat badan ayam yang dipelihara di kandang postal dan baterai berbeda. Jika ayam dipelihara di dalam kandang postal maka pengambilan sampel ayamnya dilakukan dengan memakai sekat berbentuk segi empat yang dilengkapi dengan jaring. Sekat ini diletakkan pada salah satu sisi kandang, misalnya di bagian tengah kandang. Setiap ayam yang terdapat dalam sekat tersebut ditimbang satu per satu. Jumlah sampel yang bisa mewakili teknik ini minimal 100 ekor. Jika 1 floks terdiri dari beberapa kandang maka pengambilan sampel dilakukan di setiap kandang dengan jumlah sampel 50 ekor. Hasil tersebut kemudian di buat rata-rata. Jika ayam dipelihara pada kandang baterai, pengambilan sampelnya diwakili oleh 5 atau 6 bagian kandang (cage) yang dipilih secara acak. Seluruh ayam yang berada pada cage tersebut ditimbang satu per satu.

Salah satu program kontrol berat badan adalah:
 Umur 0 dan 4 minggu, penimbangan berat badan dilakukan pada seluruh ayam karena keseragaman sangat sulit tercapai pada periode ini
 Umur 4-26 minggu, kontrol berat badan individual dilakukan tiap minggu
 Umur26-35 minggu penimbangan dilakukan setiap 2 minggu
 Umur >35 minggu sampai panen, penimbangan dilakukan 1 bulan sekali

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat penimbangan berat badan adalah :
 Jumlah ayam yang ditimbang 5-10% dari total populasi. Usahakan ayam yang ditimbang selalu sama setiap penimbangan.
 Penimbangan ayam harus dilakukan satu persatu jangan dilakukan secara kelompok misalnya sekali timbang ada 5 ekor ayam.
 Alat timbang yang digunakan harus selalu sama
 Skala ketelitian alat timbang tidak boleh Iebihdari 20g
 Waktu pelaksanaan penimbangan harus selalu sama, misalnya akhir minggu

Jika keseragaman berat badan tidak sesuai standar segera lakukan evaluasi pada beberapa hal berikut:
 Jumlah dan distribusi tempat ransum dan tempat minum
 Kepadatan ayam di dalam kandang
 Kualitas dan kuantitas ransum
 Kualitas potong paruh
 Adanya serangan penyakit
 Terjadinya stres pada ayam, baik karena lingkungan kandang yang kurang nyaman maupun perlakuan yang kurang sesuai

Nutrisi Harus Cukup, Lighting Juga Penting

Fokus Infovet Mei 2008

Asupan nutrisi yang cukup dan berkualitas menjadi syarat mutlak untuk tercapainya produksi telur yang optimal. Sumber utamanya dari ransum yang kita berikan. Selain itu, penambahan feed supplement juga dapat melengkapi kandungan nutrisi mikro, seperti vitamin, mineral maupun asam amino.

Dengan semakin berkembangnya genetik ayam, kebutuhan nutrisinya pun menjadi semakin kompleks. Ayam petelur sekarang akan langsung memberikan respon jika kualitas ransum kurang sesuai. Kasus ini pernah terjadi pada awal tahun 2007 saat suplai jagung berkurang, banyak peternak yang kebingungan karena ayamnya tidak mau bertelur. Kasus feed intake yang kurang juga sering ditemui.
Berbicara tentang ransum ayam petelur, ada 2 hal perlu diperhatikan yaitu kualitas ransum (red. kelengkapan dan keseimbangan nutrisi dalam ransum) dan feed intake. Nutrien yang diperlukan ayam petelur antara lain energi metabolisme, protein, asam amino terutama lisin dan metionin, minyak, asam lemak (asam linoleat) maupun mineral kalsium dan fosfor. Nutrien itu akan dimanfaatkan untuk beberapa proses, diantaranya mempertahankan (maintenance) tubuh, pertumbuhan bulu, pertumbuhan berat badan maupun produksi telur. Jenis maupun besarnya kebutuhan nutrisi sangat tergantung dari fase produksinya. Contoh kebutuhan nutrisi ayam petelur tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Kebutuhan Ayam Petelur Berdasarkan Tingkat Produksi
Zat Nutrisi Kebutuhan Nutrisi (g/ek/hr)
>57,5 55,5-57,5 <55,5
Berat Telur (g/ek/hr)
Protein kasar 19,60 18,40 17,80
Metionin 0,44 0,38 0,36
Lisin 0,87 0,83 0,78
Triptofan 0,21 0,20 0,19
Treonin 0,64 0,58 0,55
Kalsium 4,10 4,30 4,40
Fosfor tersedia 0,42 0,38 0,33
Sodium 0,17 0,17 0,17
Klorin 0,17 0,17 0,17
Asam linoleat 2,00 1,60 1,20
Sumber: Pedoman Pemeliharaan Layer MB 402, 2006

Kualitas ransum yang baik akan mendorong tercapainya feed intake. Meskipun demikian bukan suatu keniscayaan jika feed intake tetap tidak sesuai. Jika hal ini terjadi kita harus jeli untuk melakukan evaluasi pada tata laksana pemberian ransum. Apakah frekuensi pemberian ransum telah kita atur sedemikian rupa sehingga palatabilitas dan nafsu makan ayam tetap baik? Bagaimana dengan kondisi suhu dalam kandang kita, panas atau dingin? Berkurangnya nafsu makan juga menjadi salah satu indikasi awal serangan penyakit.
Kasus rendahnya feed intake sering kali kita temukan pada umur awal (1-4 minggu) dan saat mendekati masa produksi telur. Sedangkan kita tahu bahwa di kedua waktu ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap produksi telur. Masa awal menjadi pondasi bagi pertumbuhan seluruh organ vital dalam tubuh ayam. Jika terhambat maka akan sudah barang tentu pertumbuhan pada umur berikutnya akan terhambat. Mendekati masa produksi, di dalam tubuh ternak terjadi perubahan hormonal dimana mulai mempersiapkan untuk menghasilkan telur. Selain itu, ayam ini juga harus mengalami perlakuan paksa, seperti potong paruh ulang, pindah kandang dan pemberian vaksin inaktif. Oleh karenanya saat mendekati masa produksi ini sangat diharapkan ayam memiliki berat badan di atas standar (<10%) sehingga saat mengalami beberapa kondisi yang tidak nyaman dan terjadi penurunan berat badan, saat berproduksi telur berat badannya tetap baik.
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga kualitas ransum tetap baik dan asupan nutrisi terpenuhi:
 Lakukan pengujian kualitas ransum secara rutin. Cek kondisi fisik ransum saat penerimaan dan lakukan uji laboratorium setiap 6 bulan sekali atau saat pergantian suplier ransum
 Terapkan manajemen first in first out (FIFO) atau ransum yang datang lebih dulu diberikan lebih awal
 Perhatikan manajemen penyimpanan ransum yang baik, seperti adanya balok alas ransum, suhu dan kelembaban gudang ransum
 Berikan ransum secara periodik, saat masa awal pemberian ransum dilakukan setiap 2-3 jam sekali sedangkan setelah dewasa ransum dapat diberikan 2-3 kali sehari.
 Langkah untuk meningkatkan nafsu makan antara lain melakukan pemba-likan ransum atau melakukan pengo-songan tempat ransum terutama pada siang hari
 Pembalikan ransum menjadi salah satu cara meningkatkan nafsu makan
 Jika dalam 1 hari terjadi penurunan feed intake maka kita harus secepat-nya tanggap dan berusaha mengejar kekurangan itu secepatnya

Pencahayaan Perlu Perhatian Lebih
Manajemen yang satu ini, sering kali kurang diperhatikan oleh peternak. Meskipun kita tahu, pencahayaan yang kita berikan pada ayam petelur berpengaruh pada proses kematangan organ reproduksi dan pertumbuhan. Adanya pencahayaan, baik pencahayaan alami (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu) akan menstimulasi hipotalamus di otak. Selanjutnya, “sinyal” cahaya akan diteruskan ke kelenjar-kelenjar tubuh, seperti hipofisa, tiroid dan paratiroid untuk menstimulasi disekresikannya hormon.
Kelenjar hipofisa akan mensekresikan “folicle stimulating hormone (FSH)” atau hormon perangsang perkembangan sel ovum pada indung telur (ovarium). Hormon inilah yang sangat berperan penting untuk pembentukan sebutir telur. Adanya sinyal cahaya juga menstimulasi kelenjar tiroid mensekresikan hormon tiroksin yang berfungsi mengatur kecepatan metabolisme tubuh sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Kelenjar paratiroid juga terstimulasi oleh adanya cahaya untuk mensekresikan hormon paratiroksin yang berperan dalam pengaturan metabolisme kalsium (Ca) dan fosfor (P). Setelah melihat fungsi dari adanya pencahayaan tersebut maka sudah selayaknya kita memberikan perhatian yang lebih pada program pencahayaan.
Beberapa hal yang selayaknya kita ketahui tentang program pencahayaan antara lain lama waktu pencahayaan, besarnya intensitas cahaya dan kapan pencahayaan tersebut dilakukan. Pada ayam petelur, lama waktu dan intensitas pencahayaan sangat dipengaruhi oleh fase atau umur produksi.
Pada masa starter diberikan pencahayaan dengan intensitas paling tinggi (20-40 lux) dan waktu paling lama (24 jam pada 1 minggu pertama). Tujuannya ialah mempermudah ayam mengenali tempat ransum dan air minum maupun untuk memacu pertumbuhan. Saat fase grower, program pencahayaan diberikan cahaya dalam waktu paling singkat (12 jam atau hanya dari cahaya matahari) dengan intensitas terendah (5-10 lux). Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol perkembangan saluran reproduksi dan pencapaian berat badan yang optimal saat mulai berproduksi.
Lain halnya saat fase layer, lama (16 jam) dan intensitas pencahayaan (10-20 lux) berada diantara fase starter dan grower. Pada fase layer ini, adanya pencahayaan akan membantu proses pembentukan telur, pertumbuhan berat badan dan membantu metabolisme Ca dan P yang sangat diperlukan untuk pembentukan kerabang telur dan tulang. Jumlah lampu yang diperlukan untuk memperoleh intensitas yang dikehendaki dapat diketahui dengan rumus:

Berikut adalah perhitungan jumlah lampu yang dibutuhkan untuk luasan kandang dan jenis lampu tertentu.

∑ lampu = Luas kandang x Intensitas cahaya
Watt lampu x K faktor

K faktor merupakan konstanta yang nilainya tergantung daya lampu, yaitu :
Watt Lampu
15 25 40 60 100
K Faktor 3,8 4,2 4,2 5,0 6,0

Selain lama waktu dan intensitas pencahayaan, penentuan waktu untuk menambah atau mengurangi pencahayaan juga wajib diperhatikan oleh peternak. Dua hal penting tentang pencahayaan adalah jangan menambah jam terang selama masa pertumbuhan (fase grower) dan sebaliknya jangan mengurangi jam terang selama masa produksi. Jarak dan distribusi lampu juga harus diperhatikan. Jangan sampai jarak maupun intensitas lampu yang digunakan tidak sama. Jarak pemasangan lampu yang kurang baik, yaitu jarak antar satu lampu dengan lainnya tidak sama dapat mengakibatkan perbedaan intensitas cahaya.
Data penelitian menunjukkan adanya pengaruh pencahayaan terhadap performan produksi telur. Ibnu Katsir Amrullah (2003) menjelaskan bahwa ayam yang diberi pencahayaan selama 8 jam pada masa grower dan 14 jam pada masa layer mampu menghasilkan telur dalam jumlah lebih banyak (berbeda signifikan) meskipun berat telurnya sedikit lebih ringan.
Pemberian cahaya yang sama antara masa grower dan layer terbukti mempunyai produksi telur lebih rendah meskipun berat telurnya lebih besar. Namun pemberian cahaya secara terus-menerus (tanpa pengaturan) akan mengakibatkan ayam kurang peka rangsangan cahaya saat memasuki masa layer (produksi telur). Selain itu, pemberian cahaya yang kurang sesuai (terlalu lama) akan menyebabkan berat badan ayam lebih besar.
Dari penelitian Ibnu Katsir Amrullah (2003) juga diketahui bahwa ayam grower yang dipelihara dengan lama pencahayaan 14 jam terus-menerus mempunyai berat badan 60 gram lebih berat pada umur 19 minggu.
Penambahan cahaya juga dapat mempercepat dewasa kelamin (umur bertelur). Ibnu Katsir (2003) menyatakan jika penambahan cahaya dilakukan dua hari lebih awal maka ayam akan bertelur lebih cepat 1 hari. Namun perlu diingat, ayam yang terlalu cepat bertelur namun berat tubuhnya belum optimal akan menghasilkan telur dengan ukuran yang lebih kecil. Dan hal ini akan relatif sulit untuk diperbaiki karena saat mulai bertelur sampai puncak produksi (masa kritis), ayam harus mengalokasi ransum yang dikonsumsi untuk 2 proses penting, yaitu produksi telur (mencapai puncak) dan pertumbuhan (± 300 gram). Sama halnya jika terlalu gemuk, penambahan cahaya akan memicu terjadinya prolapse.
Melakukan kontrol berat badan secara ketat, program vaksinasi yang sesuai, pemberian ransum sesuai kebutuhan dan memberikan stimulasi cahaya menjadi langkah penting untuk tercapainya produksi yang optimal. Produksi telur tercapai, keuntungan pun tinggi. (Infovet)

Ketika Ayam Petelur Kegemukan

Fokus Infovet Mei 2008
Oleh: Tony Unandar (SAS Group)

(( Jargon “more eggs less feed” tampaknya sudah lengket dengan karakteristik umum ayam petelur modern (APM). Kecerobohan dalam tata laksana pemeliharaan awal APM, tidak saja menyebabkan keuntungan yang sudah di depan mata melayang, tetapi juga dapat menjadi faktor pencetus masalah baru yang kompleks. Sindroma obesitas yang diikuti oleh “yolk peritonitis” misalnya, adalah suatu contoh yang paling representatif. ))

Perkembangan genetik APM memang sangat spektakuler. Jika diikuti dengan perbaikan tata laksana pemeliharaan yang baik, seekor APM mampu menghasilkan 335 butir telur setahun produksi. Bandingkan dengan sebelumnya, rata-rata hanya 285 butir. Itu saja tidak cukup, bobot telurnya pun lebih besar, yang tadinya berkisar antara 55-60 gram per-butir menjadi 58-65 gram. Perbaikan penampilan fenotip ini tentu saja menuntut perkembangan bobot badan dan keseragaman ayam yang baik selama masa pullet.
Salah satu sifat APM adalah pertumbuhan kerangka dan konformasi tubuh yang sangat dominan sampai dengan ayam berumur 6 minggu. Itulah sebabnya, pada saat APM berumur 6 minggu, maka bobot badan harus mencapai bobot minimal berdasarkan standar strain dan dengan keseragaman ayam yang harus di atas 85%. Gangguan pertumbuhan pada fase ini tentu berarti terhambatnya perkembangan tipe hiperplasia (pertambahan jumlah sel) dari sel tulang (osteoblast) maupun sel-sel sistem tubuh lainnya. Bobot badan yang mencapai bobot standar dan adanya lemak perut (abdomen fat) dengan ketebalan tidak melebihi setengah sentimeter pada umur 14 minggu merupakan suatu indikator yang baik untuk membaca kecukupan nutrisi yang diperoleh APM selama masa pullet.
Pertumbuhan hiperplasia tersebut terus berlanjut sampai ayam berumur 8 sampai 10 minggu, tergantung jenis sistem tubuh. Yang jelas, pertumbuhan hiperplasia kerangka tubuh sudah mendekati jenuh pada saat ayam berumur 8 minggu. Itulah sebabnya, tidak tercapainya bobot badan ayam pada umur 6 minggu akan membawa dampak yang cukup signifikan pada penampilan produksi dan kualitas telur dari flok ayam yang bersangkutan pada fase selanjutnya.
Gangguan pertumbuhan hiperplasia kerangka tubuh akan membatasi pertumbuhan matriks tulang yaitu tempat untuk menyimpan senyawa kalsium yang sangat dibutuhkan pada saat produksi. Kerangka tubuh yang relatif lebih kecil akan mengakibatkan kelebihan nutrisi yang dikonsumsi pada fase-fase selanjutnya dengan mudah dideposit menjadi lemak tubuh, khususnya lemak perut (abdomen). Ini berarti, obesitas alias kegemukan lebih mudah terjadi.

Pola Pemberian Makan yang Ceroboh
Penyebab Obesitas
Di samping itu, strain-strain baru dari APM cenderung mempunyai konversi pakan yang sangat baik pada saat umur 8-12 minggu. Keteledoran dalam mengelola pemberian pakan akan memperbesar peluang untuk terjadinya kegemukan. Dalam fase ini juga sering terjadi menurunnya keseragaman ayam. Terbanyak disebabkan karena pola pemberian pakan yang sangat ceroboh. Oleh sebab itu, monitor bobot badan ayam secara mingguan sangat dianjurkan pada fase ini secara ketat.
Pada kejadian obesitas, tingginya deposit lemak abdomen akan mengakibatkan beberapa hal pada masa produksi seperti (a). Meningkatnya kasus prolaps yang diikuti dengan kanibalisme dan kematian ayam, (b). Tingginya kejadian mati mendadak akibat terjadinya perlemakan hati (fatty liver syndrome), dan (c). Meningkatnya kasus “floating eggs” (ovum terlempar ke dalam rongga perut) yang berlanjut dengan yolk peritonitis. Kondisi terakhir ini biasanya berkembang menjadi lebih parah jika terjadi infeksi sekunder oleh kuman Koli.
APM yang umumnya mempunyai kerangka tubuh (body frame) relatif lebih kecil dibandingkan dengan ayam petelur klasik tentu akan mempunyai kepekaan yang lebih tinggi terhadap efek obesitas. Menyempitnya liang pubis merupakan suatu contoh yang paling representatif. Kondisi ini jelas akan mengakibatkan gangguan fisiologis saat ayam akan bertelur, yaitu dalam bentuk manifestasi prolaps yang terjadi beberapa saat setelah peletakan telur. Prolaps yang ditemukan akibat adanya obesitas biasanya terjadi beberapa minggu sebelum puncak produksi telur dan terus berlanjut sampai 2-4 minggu setelah puncak produksi tercapai. Keadaan inilah yang mengakibatkan penyusutan (deplesi) ayam selama produksi akan meningkat antara 0,2 sampai 0,3% per-minggu atau bahkan lebih dari itu. Padahal, dalam kondisi normal, penyusutan ayam selama produksi adalah 0,1% per-minggu.

Yolk Peritonitis yang Berulang
Obesitas juga akan mengakibatkan gangguan fisiologis bagian infundibulum dari oviduk (saluran reproduksi). Kondisi ini akan mengakibatkan tidak selarasnya pembukaan ujung infundibulum dengan sel telur (ovum) yang dilemparkan dari indung telur pada saat ovulasi terjadi. Tegasnya, pada ayam yang mengalami obesitas, adanya “floating eggs” yang diikuti dengan yolk peritonitis merupakan suatu hal yang paling sering ditemukan. Itulah sebabnya, mengatasi kasus yolk peritonitis di lapangan sering kali membawa rasa frustasi.
Bagaimana tidak, kuman Koli (Escherichia coli) yang sering dituding menjadi penyebabnya seolah tidak bergeming sedikitpun dengan preparat antibiotika. Benarkah kuman Koli sebagai penyebab utama? Atau problem resistensi preparat antibiotika terhadap kuman Koli memang sudah terjadi? Perlu diketahui, ditemukannya kuman Koli pada pemeriksaan di laboratorium merupakan efek lanjutan proses obesitas tersebut di atas. Jadi selama problem obesitas masih ditemukan pada individu-individu ayam dalam suatu flok, maka kejadian yolk peritonitis seolah-olah terjadi berulang-ulang dan tidak memberikan respon yang baik terhadap program pengobatan dengan antibiotika. Infeksi sekunder jelas terjadi beberapa saat setelah terjadinya “floating eggs”.
Di atas telah disebutkan bahwa obesitas juga akan mempermudah terjadinya “fatty liver syndrome” (FLS). Pada kasus yang ringan, adanya FLS jelas akan mengakibatkan terganggunya sintesa albumin di dalam jaringan hati. Dengan demikian, putih telur cenderung akan lebih encer dan atau rasionya dibandingkan dengan kuning telur cenderung akan menurun. Ujung-ujungnya adalah bobot telur akan menjadi lebih ringan dan atau telur akan menjadi lebih kecil dari ukuran standar strain. Manifestasi FLS juga akan mengakibatkan menurunnya respon terhadap vaksin, terutama terhadap kekebalan humoral.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, lakukan beberapa langkah umum seperti yang tercantum di bawah ini:
 Yakinkan konsumsi pakan APM pada awal kehidupannya tercapai. Untuk ini, temperatur indukan buatan (brooder) harus sesuai dengan yang dibutuhkan dan frekuensi pemberian pakan sebanyak 6-9 kali per-hari untuk minggu pertama serta 4-6 kali per-hari untuk minggu kedua. Pakan untuk 4 minggu pertama sebaiknya diberikan ad libitum (secukupnya). Sangat dianjurkan tercapai “cumulative protein intake” sebesar 120 gr/ekor sampai dengan ayam berumur 4 minggu.
 Lakukan pengecekan kebutuhan energi dan protein yang dapat dicerna dari strain ayam yang dipelihara berdasarkan buku penuntun pemeliharaan ayam. Dengan demikian, pengaturan jumlah pakan yang diberikan per hari tidak menyimpang dari yang dibutuhkan ayam.
 Lakukan seleksi yang ketat terhadap APM yang ada, terutama setelah minggu pertama. APM yang relatif kecil harus dipisahkan dan dikumpulkan menjadi satu kelompok tersendiri atau dibuang.
 Lakukan penimbangan bobot secara berkala, dianjurkan dimulai di minggu kedua, segera setelah vaksinasi Gumboro atau ND yang kedua. Pada saat ayam berumur 4 minggu dianjurkan ditimbang 100% dari populasi, sedangkan lebih dari 4 minggu, maka penimbangan sebaiknya dilakukan setiap minggu sebanyak 5-10% dari total populasi, tergantung pada keseragaman ayam pada penimbangan sebelumnya. Pada umur 4 minggu, rata-rata bobot badan ayam paling tidak harus sudah tercapai 290 gram/ekor.
 Monitor bobot badan APM tersebut sebaiknya juga disertai dengan analisa keseragaman ayam. Pada saat ayam berumur 4 minggu, sebaiknya keseragaman tidak boleh kurang dari 85%. Keseragaman ayam ini diharapkan terus meningkat dan pada saat menjelang produksi telur, keseragaman diharapkan tidak kurang dari 90%.
 Petakan dan bandingkan bobot badan serta keseragaman aktual ayam dengan kurva standar yang sesuai dengan standar strain.
 Penambahan pakan untuk ayam yang berumur 8-12 minggu harus dengan kehati-hatian yang tinggi. Yang jelas, efek penambahan pakan akan mengakibatkan penambahan bobot badan dalam tempo 7-14 hari. Oleh sebab itu, penambahan pakan yang terlalu agresif tentu saja akan mempermudah terjadinya obesitas.∆

PETELUR MODERN HEBAT, PETERNAK TIDAK SIAP

Fokus Infovet Mei 2008

(( Sampai saat ini masih terlalu banyak para peternak skala rakyat tidak siap. Mereka umumnya masih mempunyai anggapan bahwa ayam yang dikelolanya saat ini masih seperti ayam petelur masa lalu. Akibatnya bukan hanya aspek produktivitasnya. ))

Benar juga kalimat diatas diucapkan oleh Drh Hari Soember dan Drh MT Jatmiko kepada Infovet, secara terpisah. Sebab menurut Hari Soember, masalah edukasi dan pendampingan kepada para peternak skala rakyat masih kurang memadai. Sedangkan menurut Toto, panggilan akrab Jatmiko, bahwa kasus ini mirip sekali dengan kasus saat introduksi ayam potong pertama kali di Indonesia.
Toto menceritakan, saat itu ketika pertama kali ayam potong diperkenalkan kepada masyarakat, pola pemeliharaan dan pengelolaan nyaris sama persis dengan menghadapi ayam kampung. Memang untuk merubah sebuah kebiasaan lama adalah tidak mudah dan juga butuh waktu yang tidak singkat. Padahal ayam potong itu adalah jenis ayam yang merupakan produk bioteknologi modern. Sehingga butuh perlakuan dan perhatian khusus, agar optimalisasi produksi bisa tercapai.
Tidak heran, lanjut Totok jika pada awal pemeliharaan ayam potong di Indonesia sangat banyak ditemui hasil budidaya para peternak dengan tingkat konversi pakan yang sangat tinggi sekali. Memang tidak cukup waktu 5 tahun, untuk bisa menyadarkan hal itu, terutama para peternak skala rakyat, bahwa ayam potong ini sangat berbeda dengan ayam kampung. Sedikit demi sedikit akhirnya dapat tercipta seperti kondisi pemeliharaan ayam potong saat ini.
Begitu juga, lanjut Totok dalam menghadapi dan mengelola ayam petelur modern saat ini, di mana para peternak skala rakyat, -khususnya, masih banyak mereka yang berorientasi dan berperilaku seperti memelihara ayam petelur konvensional.
Akibatnya produktivitasnya tidak seperti yang diharapkan, dan bahkan justru masalah di lapangan semakin banyak menerpa, terutama sergapan penyakit yang seolah silih berganti. Hal ini oleh karena, ada sisi lain dari ayam petelur modern yang menurut bahasa Infovet pada beberapa edisi yang lalu disebut ayamya yang semakin “rewel”.
“Saya sangat setuju dengan istilah Infovet bahwa ayam negeri saat ini semakin rewel. Rewelnya itu oleh karena tuntutan intensitas perhatian dalam pengelolaan dimana terkait dengan sifat dan potensi keproduktifannya. Maka jika para peternak masih menerapkan pola pemeliharaan yang lama, tentu saja akan bersifat kontra produktif alias gampang terganggu kesehatannya dan juga akhirnya produktivitasnya rendah,” ujar Totok, seorang peternak di Yogyakarta yang pernah menjadi Technical Service di beberapa perusahaan obat hewan.
Lain lagi penjelasan Hari Soember, bahwa ayam petelur modern sebagai produk kemajuan teknologi modern dalam bidang peternakan adalah lanjutan dari temuan para ahli rekayasa genetik pada masa lalu. Pada saat ini, para pakar terus gelisah mencari upaya menghasilkan suatu jenis ayam yang mampu mencapai hasil tertinggi produktivitasnya dengan input seminimal mungkin. Menurut ayah 2 anak yang asli Semarang Jawa Tengah ini, ayam petelur modern mempunyai potensi genetik tinggi dan sangat jauh dari ayam petelur konvensional selama ini.
Hari mencontohkan, ayam petelur modern, dalam satu siklus masa produksinya yaitu berkisar 60 minggu akan mampu menghasilkan total telur seberat 21 kg. Sedangkan volume pakan yang dihabiskan hanya berkisar 46 kg atau equivalen dengan konversi pakan sebesar 2.1. Tentunya itu adalah suatu angka-angka yang sangat jauh meninggalkan potensi produksi dari ayam petelur konvensional.
Namun demikian lanjut Hari, ada banyak hal yang patut mendapatkan perhatian lebih dari para pengelolanya. Oleh karena itu, jika selama ini para peternak memelihara ayam itu yang sudah termasuk generasi ayam petelur modern, namun aspek kesiapan pengelolaan sangatlah jauh dari memadai, akan muncul masalah baru di lapangan. Atau dengan lain kata tidak sesuai harapan.
“Sampai saat ini masih terlalu banyak para peternak skala rakyat tidak siap. Mereka umumnya masih mempunyai anggapan bahwa ayam yang dikelolanya saat ini masih seperti ayam petelur masa lalu. Akibatnya bukan hanya aspek produktivitasnya yang justru melorot, akan tetapi juga realitas lapangan berupa munculnya penyakit dan gangguan kesehatan lainnya yang terus menggerogoti keuntungan,” ujar Hari Soember, seorang Tenaga Lapangan PT Sumber Multivita di Yogyakarta.
Memang hal itu, lanjut Hari akibat dari pola pikir lama sang peternak maupun para pengelola. Selain itu juga oleh karena minimnya pendampingan dari pihak-pihak yang kompeten.
Baik Hari maupun Totok ketika ditanyakan bagaimana realitas lapangan pada saat ini terkait dengan harga jual telur selama 2 bulan ini di tahun 2008 yang sangat bagus, mereka justru prihatin.
Keprihatinan mereka timbul oleh karena justru harga telur yang masih sangat baik itu bukan oleh karena aspek produktiftas ayam petelur dan kemampuan daya beli masyarakat yang tinggi. Namun oleh karena diperkirakan populasi ayam petelur yang berkurang sangat signifikan. Bahkan sangat mungkin juga kemampuan produksinya.
Kondisi seperti ini sesuai hukum ekonomi, dimana akibat pasokan telur yang berkurang. Jika saja daya beli masyarakat meningkat, maka bukan tidak mungkin telur pada bulan-bulan ini akan semakin terdongkrak naik sangat tinggi. Namun toh kenyataannya, menurut kedua narasumber itu harga telur saat ini belum menggambarkan realitas performans ayam petelur modern. Jika saja potensi yang ada dalam ayam petelur yang dikelola para peternak itu seperti seharusnya, maka mungkin justru harga telur akan anjlog.
Keprihatinan itu menurut Hari di satu sisi memang membawa berkah bagi mereka yang masih mempunyai populasi cukup lumayan. Namun lebih banyak, mereka para peternak sudah terpangkas populasinya akibat sergapan aneka penyakit dan kurang optimalnya produktivitas.
Meski demikian, menurut Totok, kondisi saat ini dalam jangka panjang tidak mempunyai kontribusi apapun terhadap perubahan perilaku para peternak dalam mengelola ayam-ayamnya. Bahkan menurutnya, akan menjadi boomerang bagi para peternak, karena rnasih mempunyai asumsi ayam petelurnya adalah masih sama dengan jenis ayam petelur masa lalu.
Oleh karena itu, mutlak dan mendesak adanya pembinaan kepada para peternak, agar mereka mengubah pola pikir dan cara pemeliharaan. Sebab jika tidak berubah, sudah pasti di masa mendatang ketika populasi menjadi bertambah dan daya serap telur di masyarakat semakin jauh menurun, maka akan muncul petaka dahsyat.(iyo)

”SERGAPAN KEPALA BENGKAK”

Edisi 163 Februari

BANYAK peternak menamai penyakit yang satu ini dengan ”kepala bengkak”. Oleh karena memang manifestasi yang paling spesifik adalah bagian depan kepala ayam yang membengkak.
Bengkaknya kepala bagian depan terutama di atas moncong dan sekitar mata oleh karena penimbunan cairan encer sampai kental di bagian dalam sinus.
Namun demikian tidak sedikit pula para peternak dan petugas kesehatan lapangan menyebut sebagai Penyakit Pilek Menular (PPM). Disebut demikian oleh karena sifat menularnya penyakit itu ke sesama ayam demikian cepat dan sangat sulit terkontrol.
Informasi dari para petugas kesehatan lapangan yang disampaikan kepada Infovet Jawa Tengah–Yogyakarta bahwa prevalensi penyakit ini memang termasuk tinggi. Hampir tidak ada farm komersial yang bisa menghindar sergapan penyakit ini.
Keluhan dari peternak dan manajer pengelola kandang seolah menjadi indikasi kuat mewabahnya penyakit ini, teruatama ketika musim hujan yang demikian tinggi intensitasnya dan kontrol kesehatan yang melemah. Seperangkat benteng yang berupa vaksinasi belum mampu sepenuhnya memprotek atau melindungi ayam terhadap serangan penyakit yan dikenal sebagai Infectious Coryza itu.
Berikut ini rangkuman pendapat dari peternak, manager farm dan para petugas kesehatan lapangan.

Sobirin
Sobirin, peternak kemitraan yang telah lama menggeluti dunia ayam potong merasa bahwa bila ayam telah terserang penyakit bengkak kepala maka tiada berarti lagi pertolongan obat apapun.
Pensiunan pegawai Dinas Pertanian Magelang yang kini menekuni budidaya ayam potong di Bantul Yogyakarta ini, merasa heran kenapa para pakar tidak bisa dengan segera menemukan obat ampuh penyakit itu.
”Sudah hampir 25 tahun ini,saya merasa seolah tidak ada kemajuan yang berarti dalam penanganan penyakit itu di Indonesia. Terus para pakar yang digaji besar oleh pemerintah itu kerjaannya apa saja,” ujar Sobirin seolah menggugat.
Namun demikian Sobirin mempunyai kiat sendiri dalam menghadapi penyakit itu. Adapun yang ditempuh adalah dengan intensitas semprot kandang dan kebersihan kandang. Menurutnya tidak hanya khusus menghadang penyakit itu, bahwa apa yang selama ini dilakukan adalah juga efektif menangkal penyakit lainnya.
Terbukti ia adalah salah satu peternak yang tetap mampu bertahan sampai 25 tahun, meski dahulu menjadi peternak mandiri dan kini hanya menjadi plasma. Bergesernya Sobirin dari peternak mandiri ke plasma oleh karena beban berat yang harus dipikul jika menjadi peternak mandiri.
Terlebih saat ini, di mana harga sapronak yang melangit sedang harga jual ayam besar yang tidak signifikan dengan beaya produksi.
Kiatnya bertahan menurutnya adalah dengan mengutamakan kebersihan kandang makro dan mikro sebelum, selama dan sesudah pemeliharaan. Hal ini sangat penting mengingat penyakit kepala bengkak itu muncul kapan saja dan sangat merugikan.
Kerugian itu menurutnya bukan oleh karena kematian, akan tetapi oleh karena banyaknya ayam yang sakit dan pertumbuhannya sangat terhambat.
Ketika ditanyakan bagaimana upayanya jika penyakit itu telah merangsek masuk ke kandangnya, ia menuturkan ada beberapa langkah. Langkah yang paling penting adalah tetap melakukan semprot kandang dan jua ayamnya dengan desinfektans.
Selain itu mutlak perlu diberikan multivitamin dalam air minum. Dan secara simultan juga mutlak pemberian antibiotika agar proses penyebaran ataupun penularan penyakit tidak semakin meluas.

Koesnadi
Koesnadi, pekerja kandang ayam potong dari Kulon Progo Yogyakarta, menuturkan bahwa salah satu penyakit yang termasuk merepotkan adalah Snot atau penyakit pilek menular. Bukan saja ia harus bekerja ekstra keras jika penyakit itu muncul oleh karena harus melakukan pemberian vitamin dan obat secara bergantian, namun juga tambahan pekerjaan melakukan penyemprotan 2-3 kali sehari.
Belum lagi, jika harus memungut bangkai ayam yang menemui ajal. Ketika ditanyakan apakah termasuk banyak jumlah ayam yang mati jika terserang penyakit itu, Kang Koes mengiyakan. Tetapi ketika ditanyakan lebih banyak mana jika ayam yang terserang penyakit tetelo atau gumboro, ia menjawab memang masih jauh sedikit.
”Pokoknya masih mending kena ND atau Gumboro, jika dibanding Snot terutama dalam kaitannya volume pekerjaan. Namun juragan akan lebih rewel, dan banyak perintah jika ayam terkena Snot,” ujarnya polos.
Upaya yang dilakukan Kang Koes sesuai dengan instruksi juragan dan para TS adalah dengan memberikan obat dan vitamin. Selain itu secara rutin selama hampir 10 hari jika ayam masih muda penyemprotan dilakukan minimal 2 kali sehari.

Sutri Sino
Sutri Sino, pedagang ayam potong dari Sleman Yogyakarta, memberi komentar pada penyakit itu merugikan kedua belah pihak. Baik pedagang maupun peternak. Bentuk kerugian itu menurut penuturan Sutri adalah bobot yang biasanya cepat menyusut jika menyerang ayam mendekati panen.
Meski angka kematiannya tidak sebanyak ayam yang terkena ND namun dari hal bobot menjadi masalah serius. Belum lagi jika di pangkalan ada ayam yang sehat, maka dengan cepat akan tertulari, sehingga jelas membuatnya merugi.
Sedangkan kerugian di pihak peternak, sudah jelas yaitu ongkos produksi di atas hasil penjualan produksi. Belum lagi para pedagang yang tidak sedikit menolak untuk membeli ayam saat panen terserang Snot itu.

Drh Sulaeman P Rejo
Drh Sulaeman P Rejo, petugas kesehatan lapangan PT Mitravet Yogyakarta, memandang penyakit Infectious Coryza atau Snot memang menjadi salah satu problema besar di peternakan ayam potong dan petelur.
Pada ayam petelur meski sudah dilakukan vansinasi namun hasil akhir tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan. Bahkan lebih cenderung sangat merugikan, terutama ketika sedang dalam masa produksi. Produksi telur bisa melorot sampai 30%.
Sedangkan pada ayam potong, menurut pengalamannya tidak berbeda jauh dengan petelur dalam hal merepotkan dan kerugian yang ditimbulkan. Jika masih dalam usia muda, umumnya pertumbuhan menjadi sangat terhambat sekali, sehingga terkadang menjadikan prasangka munculnya ayam kerdil.
Namun demikian menurut lajang asli Purworejo ini ada kiat bagi peternak yang cermat dan teliti untuk menekan angka kerugian yang ditimbulkannya. Seperti juga yang diungkapkan oleh Sobirin, pemberian aneka vitamin dibarengi dengan pemberian antibiotika dapat menekan jumlah ayam yang sakit.
Selain itu memang langkah biosecurity tidak bisa ditawar lagi. Rekomendasi Sulaeman adalah meningkatkan desinfeksi kandang dan lingkungan dengan preparat yang tepat yaitu golongan Benzalkonium Khloride.
Langkah-langkah itu menurut pengalamannya di beberapa kandang terbukti sangat signifikan hasilnya. Bahkan menurutnya jika pada awal pemeliharan langkah itu secara disiplin dilakukan dapat menangkal terserangnya farm dari penyakit yang merugikan itu.
”Atas dasar pengalaman lapangan saya selama ini di berbagai kandang, jika para peternak dan pengelola kandang disiplin dan cermat memberikan resep saya itu, terbukti mampu menghindar atau setidaknya jika terserang tidak bersifat parah dan kerugian dapat ditekan,” ujar Sulaeman P Rejo

Ir Agus Sari PS
Ir Agus Sari PS, menuturkan bahwa selama ini jika para peternak binaannya mengalami masalah dengan penyakit Snot, maka memang seolah kerugian besar di depan mata.
Sebagai pembina peternak mandiri dalam skala kecil di daerah Gunung Kidul Yogyakarta merasa sudah berusaha semaksimal mungkin memberi pengertian dan pengetahuan tentang beternak ayam potong yang baik.
Namun demikian, jika kemudian muncul serangan penyakit kepala bengkak, ia secara terus terang mengakui kebingungan juga untuk memberi saran yang paling baik. Selama ini sarannya memang sangat normatif sebagaimana para petugas kesehatan lapangan yang memasok obat kepadanya.
Meski begitu, menurut Agus saran yang selama ini diberikan dan diikuti para peternak binaannya memang sedikit membuahkan hasil. Adapun sarannya selama ini adalah menekankan pada aspek kebersihan kandang dan lingkungan.
Selain itu, memilih kualitas pakan yang baik. Prinsipnya selama asupan nilai gizi ke dalam tubuh ayam baik dan tercukupi, maka meski ada serangan penyakit setidaknya akan menekan jumlah ayam yang terkena.
Atau jika terkena, maka akan lebih mudah pulih sembuh. Untuk meningkatkan aspek kebersihan, maka Agus tidak segan-segan mengingatkan peternak binaannya agar rajin menyemprot kandang dan lingkungan.

Prof Drh HR Wasito MSc PhD
Prof Drh HR Wasito MSc PhD, mantan Dirjen Produksi Peternakan Departemen Pertanian yang dihubungi secara khusus Infovet menuturkan bahwa penyakit itu adalah jenis penyakit konvensional.
Jika dalam farm komersial di suatu negara masih sering muncul penyakit itu, maka hal itu merupakan representasi belum majunya budidaya ayam di kawasan atau negara itu.
Seharusnya untuk jenis penyakit itu sudah bisa ditekan menjadi paling minimal, jika memang tidak bisa sama sekali dibebaskan. Lebih lanjut Wasito yang sekarang masih giat meneliti korelasi serangga lalat dengan penularan Avian Influenza pada unggas menjelaskan bahwa memang tingkat kematian tidak sebanyak ND atau Gumboro. Namun justru, dengan cepatnya penyakit itu menjalar ke flok yang lain dan juga kemerosotan produksi secara pelahan, maka secara ekonomi jauh lebih merugikan.
Proses recovery atau pemulihan pada ayam petelur yang sedang berproduksi menjadi lebih lama dibanding jangka waktu sakitnya sang ayam. Oleh karena itu, memang salah satu yang terpenting untuk mempercepat pemulihan dengan pemberian nutrisi yang sempurna dan mudah dicerna oleh ayam.
Sedangkan pengobatan memang tidak akan pernah mencapai hasil efektif, namun tidak boleh dan bisa ditinggalkan begitu saja. Sebab biasanya ada infeksi sekunder yang akan semakin memperburuk status dan kondisi kesehatan ayam.
Memang benar rekomendasi kebersihan dan biosecurity. ”Hal itu mutlak dan tidak bisa ditawar jika memang ingin disebut dan sejajar sebagai peternakan unggas yang maju,” ujarnya.
Mengomentari masih minimnya hasil penelitian modern dalam menangani kasus penyak itu, Guru Besar yang sibuk dengan penelitian dan presentasi di luar negeri itu, tidak benar.
Sebab justru, rekomendasi dan saran yang ada selama ini adalah manifestasi dan wujud dari hasil yang dilakukan oleh para ahli di bidang penyakit unggas.(iyo)

INFECTIOUS CORYZA (SNOT)

Edisi 163 Februari

Drh Prabadasanta Hudyana

Penyakit ini sering timbul terutama pada saat hujan kelembaban tinggi, kadar amoniak kandang tinggi, serta sanitasi kandang yang jelek. Berat ringannya sangat tergantung pada kondisi kandang, ventilasi kandang, cara penanganannya. Penyakit ini sudah tersebar di seluruh dunia dan dapat terjadi pada ayam petelur dan ayam pedaging.
Dampak yang ditimbulkan terutama :
 Peningkatan jumlah ayam afkir
 Penurunan berat badan
 Penurunan produksi telur ( 10-40% )
 Biaya pengobatan dan sanitasi yang tinggi.
Peyakit ini bila treatment kurang baik akan timbul dan hilang secara bergantian dalam 1 lokasi kandang, hal ini karena faktor-faktor ventilasi, jumlah usia ayam pada 1 lokasi, manajemen pemeliharaan yang jelek.

Penyebabnya
Haemophylus Paragallinarum adalah biang penyakit ini yang bersifat gram negatif, bentuk batang/cocco, anaerob.
Di luar tubuh hewan mudah mati, exudat yang tercampur air minum, bakteri tahan ± 4 jam.
Ada tiga strain yaitu A,B, dan C, type A dan C paling virulent, meskipun type B juga punya peranan yang relatif besar.

Cara Penularan
Penularan dapat terjadi secara horizontal, dapat lewat ayam carrier juga lewat udara, kasus ini muncul pada saat kelembaban udara tinggi dan stres pada ayam. Penularan antar ayam dapat terjadi secara cepat dan penularan lewat burung-burung liar juga dimungkinkan.

Gejala-gejala Klinis
Inkubasi penyakit ini 24 – 72 jam, dan terutama sering timbul pada usia mulai 3 minggu ke atas, ayam dewasa cenderung lebih parah daripada ayam muda dan prosesnya biasanya berlangsung lama.
Sering diikuti dengan kasus lain seperti CRD, SHS, IB, dan ILT. Bila ada infeksi sekunder ini maka kasus kematian akan semakin tinggi. Gejala yang paling awal adalah bersin-bersin yang diikuti exudat mucoid di rongga hidung, mata.
Beda dengan SHS pada snot exudat sangat berbau busuk, dengan kebengkakan SHS di belakang bola mata sedang snot di atas/ di bawah rongga mata. Seringkali kelopak mata merah dan mata menjadi menutup.
Produksi telur akan turun cukup signifikan tetapi anehnya penyakit dengan di beri obat antibiotika yang sembuh tetapi bila tidak serentak/masih ada sisa yang belum sembuh, maka penyakit ini akan mudah kambuh dengan cepat.
Jadi sifat penyakit ini morbiditas tinggi tapi mortalitas rendah dan efek yang muncul produksi telur turun cukup lama.
Bila ventilasi dan manajemen kandang kurang baik maka akan memperparah serangan ini.
Perubahan patologis yang nampak pada saluran nafas atas, ada radang cattaralis pada mukosa/cavum nasi dan sinus, keradangan paru dan kantung udara.


Diagnosa
Dapat dilakukan berdasar gejala-gejala klinis yang nampak, perubahan patologis dan dapat dilakukan dengan uji laboratorium seperti HI test dan harus dibedakan dengan SHS, CRD, IB dan ILT.
Pengobatan
Pemakaian golongan antibiotika telah dipakai dapat mengurangi/mengobati snot dengan mengurangi keparahan saja, tanpa mengatasi secara tuntas. Dan penyakit cenderung kambuh terutama bila pengobatan kurang sesuai dosisnya, Antibiotika yang dipakai tidak sesuai.
Perlu juga diberi vitamin untuk memperbaiki, pada kondisi di lapangan dapat dilakukan revaksinasi yang disusul dengan pemberian antibiotika yang sesuai.
Tetapi faktor pendukung seperti ventilasi dan manajemen pemeliharaan perlu diperbaiki agar proses penyembuhannya akan lebih baik.


Penulis adalah Ahli Kesehatan Unggas
PT Multibreeder Adirama Indonesia

Korisa dalam Pandangan Peternak Bekasi

Edisi 163 Februari

Burangkeng Farm adalah sebuah peternakan milik Drh Djodi Hario Seno di Bekasi Jawa Barat, demikian juga Rokim Farm, yang terletak di Cimuning, Bekasi, yang berpopulasi 40.000 ekor ayam pedaging. Sedangkan di rumah potong ayamnya di Tamansari, Setu Bekasi, Drh Djodi Hario Seno juga mempunyai satu kandang besar ayam-ayam yang hendak dipotong.
Dua ciri menyolok dari kandang-kandang peternakan milik Drh Djodi Hario Seno yang total berpopulasi 100.000 ekor ayam pedaging adalah: semua kontruksi kandangnya adalah kandang panggung, dan peternakannya sangat bersih juga pada kantor dan perumahan di lingkungan peternakannya!
Selaku narasumber ditanya langsung oleh Infovet di Ruko (Rumah Toko) miliknya tempat penjualan ayam daging segar di Bekasi Jawa Barat, Ketua Perhimpunan Peternak Unggas Bersatu (PPUB) Bekasi itu menjelaskan bahwa kontruksi kandang panggung bagi ayam-ayam adalah: Sirkulasi udara kandang panggung jauh lebih baik dari pada kandang liter.
Adapun, sirkulasi udara yang bagus syarat mutlak untuk kesehatan ternak yang baik. Menurutnya, kebersihan kandang dan lingkungannya dengan sirkulasi udara merupakan perpaduan yang mutlak dibutuhkan. Layar tirai kandang harus di buka secara teratur. Kejorokan dan akumulasi amoniak karena kandang tidak pernah dibuka (selalu tertutup) merupakan pemicu munculnya berbagai penyakit termasuk penyakit pernafasan Korisa.
Sementara itu, musim pancaroba di mana terjadi peralihan perpindahan musim di mana suhu secara ekstrim berubah menurut Dodi Kuncoro Gana SPt, putra dari Ketua PPUB itu, merupakan faktor penting yang dapat memunculkan penyakit pernafasan korisa ini.
Menurut Drh Djodi Hario Seno, terjadinya Korisa adalah karena kandang yang jorok, tempat air minum tumpah, tumbuh jamur. Bila jamur masuk paru-paru bisa menyebabkan paru-paru bengkak, apalagi bila dimana ada infeksi kuman bakteri penyebab Korisa.
Bagaimana diagnosa penyakitnya? Menurut peternak di Bekasi itu, beberapa karyawan di peternakannya, rata-rata sudah bisa melakukan diagnosa, sudah tentu di bawah pengawasannya selaku dokter hewan. Untuk melakukan diagnosa itu kalau perlu dilakukan pula bedah bangkai. Baru kalau penyakit tidak bisa di tangani sendiri peternak akan memanggil petugas teknis kesehatan hewan dari pabrik obat hewan, agar mereka membantu.
Menurut Dodi Kuncoro Gana SPt yang pernah bekerja di PT Mensana Aneka Satwa, Korisa memang banyak ditemukan pada peternakan ayam petelur namun sedikit dijumpai pada ayam pedaging. Gejala Korisa menurutnya adalah ada lendir pada hidung yang menyebabkan tersumbatnya hidung sehingga pasokan unggas berkurang.
Anjuran Dodi Kuncoro Gana, untuk mengatasi Korisa, lihatlah penyebabnya apakah kandang kotor, lalu lingkungannya, suhu, cuaca dan iklim. Apakah struktur kandang, ventilasi, manajemen petugas kandang dilakukan dengan baik.
Hal ini penting diperhatikan karena akibat Korisa terjadi penurunan produksi telur, penurunan berat badab pada ayam pedaging, penurunan stamina daya tahan, penurunan antibodi, dan penurunan produktivitas pada ayam pullet.
Pencegahan Korisa dengan menggunakan vaksin Korisa biasa diberikan pada ayam petelur namun tidak pada ayam pedaging. Bila kasus korisa sudah terjadi pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotika. “Hampir semua penyakit diberlakukan demikian,” kata Drh Djodi Hario Seno.
Adapun penanganannya pun sesuai dengan manifestasi penyakit yang terjadi. (YR)

Korisa, Stres dan Cara Penularan

Edisi 163 Februari


Memasuki bulan kedua di tahun 2008 ini, hampir seluruh kota dan kabupaten di Riau diguyur hujan, termasuk Kota Pekanbaru Ibu Kota Provinsi Riau dengan curah hujan tertinggi terjadi pada akhir bulan Januari, dan sampai saat ini suasana langit di Bumi Bertuah ini masih mendung.
Menghadapi fenomena alam seperti ini, Hanggono SPt Technical Service PT Medion Wilayah Palembang menyampaikan pesan moralnya via mobile phonenya bahwa peternak diminta waspada dan hati-hati, terutama dengan Korisa yang selalu saja berulah saat musim tak bersahabat seperti saat ini.
Mengapa harus Korisa? “Korisa itu kan penyakit bakterial, biasanya penyakit ini timbul pada saat perubahan musim namun Korisa dapat mewabah bila disertai faktor-faktor stres,” jelas TS senior PT Medion ini.
Senada dengan TS senior PT Medion ini, drh Zalfidal TS PT Romindo Primavetcom cabang Pekanbaru Riau menyatakan bahwa Korisa adalah penyakit rutin ayam komersial yang sering berjangkit saat pergantian musim dari panas ke hujan.
Sedikit berkisah, Zalfidal yang juga Ketua Asosiasi Obat Hewan Cabang Riau ini, menyatakan 10 tahun yang lalu Korisa dipastikan berjangkit pada medio Agustus sampai September. Namun seiring perubahan musim, kejadian Korisa pun tidak lagi dijumpai pada Agustus dan September tapi bergeser ke bulan Januari sampai Maret, tergantung pada lama musim hujan.
“Namun peternak tidak perlu kuatir, bukankah saat ini sudah tersedia berbagai produk vaksin Korisa dari beberapa perusahaan obat hewan Indonesia, mereka (red; peternak) tinggal kontak TS, TS datang ke farm, vaksin, klop deh,” jelas Zalfidal yang baru-baru ini didaulat sebagai pembawa materi seminar pada Sosialisasi Karantina Hewan Bandara Suska II Pekanbaru Riau pada tanggal 23 Januari 2008 ini.

Korisa di Peternakan
Arti penting Korisa di usaha peternakan cukup menimbulkan dampak kerugian bagi peternak. Betapa tidak, pada kondisi tertentu penyakit dengan sifat sporadik ini bila mewabah dapat menimbulkan kematian 30% sampai dengan 80%. Di samping itu, ayam yang sudah sembuh dari serangan penyakit akan menjadi kebal untuk serotipe yang sama.
Dari dunia kedokteran hewan, dikatakan Korisa merupakan model penyakit yang unik. Hal ini diungkapkan drh H Muhammad Firdaus MSi bahwa terdapat tiga serotipe penyebab Korisa yakni Haemophilus Gallinarum. Ketiga serotipe tersebut memiliki antigen bersama, oleh karena itu uji aglutinasi dengan antigen yang dibuat dari salah satu serotipe dapat dipakai sebagai cara diagnosa.
Lalu spesies apa saja yang rentan pada kuman ini? Menurut alumni pasca sarjana Universitas Riau ini, terutama ayam adalah satu-satunya hewan yang rentan terhadap Korisa, biasanya ayam dengan umur 14 minggu ke atas lebih rentan daripada ayam muda, namun Firdaus menghimbau peternak untuk meningkatkan kewaspadaannya saat ayam memasuki umur 18-23 minggu.

Stres
Kondisi stres juga perlu diminimalisir, hal ini mengingat pada kejadian penyakit yang dipicu oleh faktor stres itu sendiri. “Ternak stres biasanya kurang nafsu makan, feses encer dan sering minum. Pada kondisi tertentu, faktor stres akan memperburuk keadaan apalagi stres tersebut datangnya berbarengan dengan musim hujan seperti saat ini,” jelas Firdaus.
Stres secara nyata merupakan faktor yang mempercepat penyebaran penyakit pada ayam yang dipelihara peternak. Beberapa organisme penyebab penyakit seperti virus dan bakteri sangat potensial berkembang pada ayam dalam kondisi stres.
Mereka (red; virus dan bakteri) akan menyerang jaringan tubuh ayam yang memiliki resistensi yang rendah terhadap berbagai faktor stres baik itu internal maupun faktor eksternal, sehingga dapat merangsang respon fisiologis dalam tubuh ayam untuk mengembalikan keseimbangan dalam tubuhnya seperti sediakala.
Kondisi ini dapat berlangsung secara cepat atau dalam waktu yang panjang, hal ini tergantung pada suplai energi yang cukup. Sedang untuk mengembalikan ke kondisi normal membutuhkan energi yang tidak sedikit dengan harapan agar ayam tetap dapat survival.
Stres pada ayam dapat diidentifikasi melalui beberapa parameter seperti pertumbuhan, konversi pakan dan produksi telur pada layer. Sementara itu, akademisi dari Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau Ir Hj Elfawati MSi menambahkan bahwa faktor stres pada ayam maupun spesies lainnya dapat dipicu oleh:
(1) perpindahan atau transfer dari hatchery ke farm, dari farm ke tempat prosesing dan pada broiler transfer biasanya terjadi dari kandang brooder ke kandang finisher, sedangkan pada layer perpindahan juga terjadi dari kandang starter ke kandang grower dan dari kandang grower ke kandang layer. Merujuk pada dampak negatif yang ditimbulkan oleh faktor stres ini, maka peternak diharapkan menciptakan kondisi senyaman mungkin saat kegiatan transfer tersebut dilakukan,
(2) pakan dan air, hubungannya adalah total konsumsi pakan yang kurang pada saat suhu rendah dan atau total konsumsi air yang kurang pada suhu tinggi, untuk itu peternak dihimbau agar memperhatikan ketersediaan pakan dan air minum pada tempat-tempat pakan dan minum yang disediakan,
(3) post vaksinasi, pada beberapa program vaksinasi seperti fowl fox, ND, IB, ILT dan jenis penyakit lainnya dapat menyebabkan reaksi vaksin yang negatif yang terjadi 2-10 hari post vaksinasi,
(4) kepanasan atau kedinginan,
(5) pergantian pakan secara mendadak,
(6) pakan dengan kualitas rendah,
(7) cuaca terutama pada perbedaan temperature yang ekstrim antara siang dan malam,
(8) beberapa parasit baik itu parasit internal maupun eksternal berpengaruh terhadap status kesehatan ayam,
(9) potong paruh, dan
(10) gangguan fisik seperti anak kandang yang selalu bergantian, suara yang keras dan aktifitas anak kandang yang dapat mengganggu ayam terutama yang bersifat sporadis dan mendadak.
“Sumber-sumber stres tersebut perlu diwaspadai peternak, karena secara signifikan dapat menjadi pemicu terjadinya beragam penyakit pada ayam yang dipelihara. Namun di lapangan ada tersedia banyak multivitamin yang dapat digunakan peternak untuk menangkal munculnya stres pada ayam dimaksud,” ungkap alumni pasca sarjana IPB ini.

Cara Menular
Lalu bagaimana cara penularan Korisa di lapangan? Kembali Firdaus menegaskan bahwa penularan Korisa terjadi melalui kontak baik langsung maupun tidak. Di dalam suatu kelompok, penularan Korisa terjadi melalui kontak langsung dari satu penderita ke penderita yang lain.
Di samping itu makanan dan minuman tercemar juga berpotensi menularkan penyakit pada ayam-ayam sehat dalam kelompok tersebut. Pada usaha peternakan yang masih menggunakan tanah sebagai lantai kandang perlu juga mewaspadai debu yang bisa bertebaran di dalam lingkungan kandang.
Dalam beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa debu juga dapat membantu menularkan kuman HG dari satu flok ayam ke flok ayam lainnya. Bahkan diinformasikan juga bahwa jangkauan penularan kuman HG dengan debu ini bisa meluas bila dibantu angin dalam penyebarannya.
Sementara itu untuk penularan secara tidak langsung biasanya cenderung melalui anak kandang yang bekerja pada dua flok ayam yang berbeda, kondisi ini secara tidak langsung dapat menularkan kuman HG itu sendiri pada ayam-ayam dari flok-flok yang belum terjangkit.
Peternak juga perlu tahu bahwa ayam yang sudah sembuh dari Korisa merupakan carrier atau pembawa penyakit dan sering berfungsi sebagai sumber penyakit selanjutnya. (Daman Suska)

Merdeka Vs Lupa

Ruang Redaksi Infovet Agustus 2008

Rapid Test dalam pengujian kasus Avian Influenza menyeret pejabat-pejabat utama yang bertanggungjawab dalam penyediaannya masuk tahanan untuk diproses selanjutnya sehingga hukum di negeri ini benar-benar ditegakkan. Pada saat hampir bersamaan, dieksekusi mati-lah Sumiarsih dan Sugeng tervonis pidana mati kasus pembunuhan keluarga Purwanto pada 20 tahun lalu.

Ada hukum sebab-akibat berlaku dalam kasus-kasus hukum di neeri ini. Terbongkarnya kasus Rapid Test AI juga karena ada sebab, ada yang melaporkan. Banyak masyarakat peternakan yang gagal menggunakan Rapid Test itu karena memang tidak bisa digunakan disinyalir tidaklah menyebabkan mereka lapor ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun, ada pihak yang kalah tender curang itu yang melaporkan. Sementara 20 tahun lalu korban-korban pembunuhan oleh Sumiarsih dan Sugeng diwakili oleh keluaranya yang melaporkan pada polisi.

Disinyalir pula, banyak korban kasus-kasus peternakan tidaklah melaporkan apa yang dialaminya sehingga beberapa pejabat yang diduga juga melakukan 'kejahatan' lolos dari gelang besi kepolisian. Korban-korban peternakan? Apa saja? Anda boleh menghitung dan menilai-nilai dalam setiap transaksi bisnis peternakan dan transaksi pelayanan yang seharusnya diberikan oleh petugas pemerintah, apakah Anda termasuk bagian dari korban itu?

Mungkin Anda adalah korban pemalsuan obat hewan yang dijual kepada Anda oleh oknum perusahjaan obat hewan. Mungkin Anda korban penjualan dagin ayam berformalin. Mungkin Anda korban transaksi anak ayam umur sehari yang tidak sesuai standar. Atau sebaliknya, mungkin Anda malah pelaku dari beberapa kecurangan, baik disengaja maupun tidak.

Ada yang melaporkan atau tidak, hati nurani kita tentu sudah berbicara kepada diri kita bila menghadapi masalah seperti itu, dan kita tahu sebab-akibatnya. Mungkin secara formal di masyarakat kita tidak menjadi terhukum karena semua harus melalui prosedur hukum, tapi kalau hal itu secara moral salah maka moral kita sendirilah yang berbicara dan menegur.

Masuk wilayah hukum, kalaupun ada korban, ada pelaku dan ada pelapor, kenyataannya juga tidak sehitam putih logika sebab-akibat di atas kertas. Masih ada nilai politik yang bermain sehingga kita menjumpai banyak kasus pelanggaran hukum namun pemerintah masih ambigu menindak semua itu. Ambillah contoh soal korban tragedi kemanusiaan 1965 yang tidak pernah mendapatkan pengadilan hukum yang sah namun mengalami ganjaran penderitaan tanpa ada tindakan pemerintah yang tegas mengklarifikasi kasus ini.

Di bidang peternakan dan kesehatan hewan mungkin juga kita menjumpai kasus-kasus bernuansa politis yang menyebabkan penindasan-penindasan pada pihak tertentu. Sebagai insan yang paham dan meyakini bahwa segala bentuk penindasan di atas muka bumi ini tidak dibenarkan dan patut diberantas, tibalah saatnya bagi kita untuk mengambil peran-peran pembela kebenaran. Dalam bisnis obat hewan ilegal, sudah sepatutnya kita mengambil posisi pemberantas dengan segala bentuk peran. Sementara di sisi bisnis obat hewan secara global di lapangan, kita pun mesti mentaati rambu-rambu hukum tanpa mencoba bermain belakang. Demikian juga pada semua bidang peternakan dan kesehatan hewan, di semua posisi masing-masing, tanpa mencampur adukkan antara permainan bisnis, politik dan hukum.

Bukankah kita inin saat penyelenggaraan pameran peternakan yang besar-besaran kita pun ingin terbebas dari beban-beban kejahatan atau kesalahan-kesalahan yang mengarah kepada kejahatan. Bukankah saat dengan bangga kita menerima gelar kehormatan dan bergengsi karena jasa-jasa atau prestasi-prestasi kita, kita pun ingin denan lapang menerima anugerah itu tanpa rasa bersalah.

Katanlah sebagai ilustrasi, bukankah keberhasilan kita dalam meningkatankan produksi telur, daging, dan susu untuk perusahaan kita, kita pun ingin bersama-sama dengan masyarakat mitra ataupun konsumen untuk maju bersama-sama. Bukan kita kaya raya dengan prestasi dan hasil bisnis kita sementara pihak-pihak lain tidak pernah merasakan konsep 'win-win solution' terejawantahkan dalam kerja-kerja kita.

Kadang-kadang, kita pun lupa bahwa pada HUT Kemerdekaan RI yang ke 63 ini bisa jadi kita adalah korban-korban dari sistem penindasan yang sudah mengepung di kehidupan kita. Untuk melawan lupa ini rasanya kita patut untuk terus selalu kita ingatkan, agar kita dengan tepat dan sigap yakin sesadar-sadarnya bahwa kita bukanlah pihak tertindas apalagi pihak penindas. Jangan lupa. Ayo! Merdeka!! (Yonathan Rahardjo)

MUNCULNYA JAMUR MASA PEMANASAN GLOBAL

Fokus Infovet Edisi 164 Maret 2008

(( Fenomena pergantian panas ke hujan dalam waktu yang begitu singkat perlu dicermati. Pada musim hujan disinyalir kelembaban udara di luar maupun di dalam lingkungan kandang cukup tinggi, sehingga dikuatirkan terjadinya pertumbuhan jamur terutama pada pakan yang disimpan pada tempat-tempat yang lembab. ))

Dari kejauhan terlihat sepasang muda mudi berhenti di bawah pokok pohon yang berdaun lebat. Keringat membasahi sekujur tubuh mereka, dan ini dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan. “Cuaca hari ini cukup panas,” kata si pemuda sambil melap keringat yang hampir masuk ke dalam matanya.
Tidak berapa lama, awan hitam disertai angin kencang bertiup, meliukkan dahan-dahan pepohonan dan menerbangkan daun-daun pohon yang menguning. “Hujan,” kata gadis manis yang berdiri disampingnya. Sepenggal cerita ini memberikan gambaran pada kita, betapa cepatnya perubahan cuaca yang terjadi di bumi saat ini.
Menurut Gatut Susanta dan Hari Sutjahjo dalam bukunya Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global, bahwa cuaca merupakan rata-rata kondisi atmosfer disuatu tempat tertentu dengan waktu yang relative singkat. Kondisi seperti ini dicermati oleh para ahli sebagai hal yang luar biasa, kemungkinan ada hubungannya dengan pemanasan global.
Global warming atau pemanasan global merupakan salah satu isu yang sangat penting di seluruh dunia saat ini, selain terorisme. Para kepala negara di seluruh dunia selalu menyempatkan diri membahas isu ini pada momen-momen pertemuan tingkat regional maupun internasional.
Begitu pentingnya isu ini, baru-baru ini panitia pemberi Nobel, The Norwegian Nobel Committee menganugerahkan Nobel Perdamaian kepada mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Albert Arnold (Al) Gore Jr, dan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atas usahanya untuk membangun dan menyebarkan pengetahuan tentang global warming pada masyarakat dunia.
Global warming merupakan istilah yang menunjukkan peningkatan suhu rata-rata udara permukaan bumi dan lautan pada dekade terakhir dan peningkatan suhu ini masih akan terus berlangsung. Suhu udara rata-rata permukaan bumi meningkat 0.74° ± 0.18° C dalam 100 tahun terakhir. Sedangkan IPCC memprediksi bahwa suhu global cenderung meningkat sebesar 1.1° sampai 6.4° C antara tahun 1990 dan 2100.
Peningkatan suhu bumi sebenarnya dapat terjadi secara alami, namun penyebab utama global warming ini adalah tingginya level greenhouse gasesI (LGG), terutama CO2 dan metan di atmosfer akibat aktivitas manusia, seperti tingginya laju pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan fungsi lahan terutama deforestasi.
“Fenomena pergantian panas ke hujan dalam waktu yang begitu singkat perlu dicermati,” jelas drh Iwan Sahrial MSi pada Kru Infovet di Gedung Pasca Sarjana Sain Veteriner Universitas Gadja Mada Yogyakarta. Menurutnya musim hujan merupakan petaka bagi peternak karena pada musim ini disinyalir kelembaban udara di luar maupun di dalam lingkungan kandang cukup tinggi, sehingga dikuatirkan terjadinya pertumbuhan jamur terutama pada pakan yang disimpan pada tempat-tempat yang lembab.
“Dalam jumlah sedikit, kehadiran jamur sukar dideteksi oleh peternak, namun pada populasi yang cukup banyak, jamur bisa membahayakan baik bagi ternaknya maupun bagi konsumen produk asal ternak tersebut,” jelas kandidat Doktor Sain Veteriner UGM Yogyakarta ini.
Sementara itu pada kondisi cuaca yang tidak menentu, di mana hujan turun secara tiba-tiba dengan kedatangan panas yang juga secara tiba-tiba, menyebabkan kondisi lingkungan kandang lembab, terutama pada tempat-tempat dengan penumpukan barang-barang bekas di sekitar lingkungan kandang. Salah satu yang perlu diawasi peternak terkait hal ini adalah tempat penyimpanan pakan.
Hal ini disampaikan drh Ade Rukmantara Technical Service produk obat hewan yang berkantor di PT Primatama Karya Persada Pekanbaru Riau. Menurutnya tempat pakan dengan tingkat kelembaban yang tinggi merupakan awal petaka munculnya serangan jamur pada unggas.
Mengapa demikian? Dikatakan Ade, kebiasaan jamur adalah hidup pada tempat-tempat yang lembab dengan sedikit atau tanpa adanya sinar matahari, kemudian jamur mengkontaminasi bahan pakan atau pakan yang sudah jadi. Peternak yang kurang mengerti dengan kondisi ini akan memberikan pakan yang sudah terkontaminasi jamur pada ayam sehat.
Kemudian, pada kondisi di mana jamur bisa hidup aman dalam tubuh ternak dan memenangkan pertarungannya melawan antibody dalam tubuh ternak, maka jamur dengan leluasa menyerang organ-organ vital ternak, serangan ini berakhir dengan kematian.
Untuk itu, peternak harus tregginas dalam menyikapi perubahan cuaca, dimana pada saat musim hujan gudang tempat penyimpanan pakan perlu diawasi kemungkinan adanya atap bocor atau tempias yang berpotensi menimbulkan kelembaban pada bahan baku pakan atau pakan jadi. Demikian Drh Ade Rukmantara alumni FKH UGM.
Senada dengan Ade, Hanggono SPt Technical Service PT Medion wilayah Palembang juga memberikan rambu-rambu yang harus diterapkan peternak terutama untuk pemeliharaan ayam di akhir musim kemarau dan diawal musim hujan.
“Biasanya saya selalu menekankan pada peternak agar melakukan pengecekkan pada atap kandang, saluran air disekitar lingkungan kandang, selokan-selokan air yang potensial bagi bibit penyakit untuk tumbuh dan berkembang biak dan yang terpenting adalah menerapkan manajemen pada semua lini yang ada,” ujarnya. (Daman Suska)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer