Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

TIDAK PANDANG BULU, TIDAK BERDIRI SENDIRI

Edisi 165 April 2008

(( Dengan tidak pandang ‘bulu’nya Kolera itu, kebanyakan penularan Kolera terjadi melalui air minum yang tercemar oleh bakteri dalam cairan hidung, mulut, mata atau kotoran ayam. Pembibit jantan pun dapat menularkan bakteri melalui semen-nya. ))

Meskipun kebanyakan kolera menyerang ayam petelur, peternak ayam potong pun patut was-was. Seorang peternak ayam broiler menjumpai, bila cuaca panas-hujan silih berganti sering muncul penyakit yang menimbulkan diare berwarna hijau. Setelah didiagnosa oleh dokter hewan, memang ayam pedagingnya terserang Kolera.
Menurut seorang peternak yang memelihara ratusan ribu pedaging di Trenggalek Jawa Timur, kolera dapat menyerang ayam pada umur 7-8 hari maupun menjelang panen saat umurnya tiga puluh hari-an.
Jelasnya, kasus kolera sering ditemukan di daerah yang padat populasi ayamnya baik pedaging maupun petelur. Penyakit yang disebut juga avian cholera ini sudah ada sejak dulu dan tercatat sejak tahun 1782. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) kolera termasuk dalam empat penyakit yang paling sering menimbulkan masalah di perunggasan Amerika khususnya kalkun.
Penyakit ini telah menyebar luas ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Semua jenis unggas seperti ayam, itik, burung peliharaan maupun liar dapat terserang penyakit kolera. Hanya saja kejadian pada ayam lebih banyak menimpa ayam petelur yang sudah lewat masa grower.

Tidak Pandang Umur

Menurut pengalaman seorang peternak yang populasi ternak ayamnya cukup besar dari Blitar, Jawa Timur serangan kolera tidak mengenal umur ayam. Pemeliharaan ayam dengan berbagai umur sebaiknya diatur. Kandang starter dan grower tidak berdekatan letaknya dengan ayam lebih tua/dewasa atau yang sudah bertelur. Hewan lain seperti itik, angsa, anjing, kucing, domba maupun ternak lainnya tidak dipelihara dalam lokasi yang sama dengan peternakan ayam.
Hasil pengamatan seorang praktisi selama bertugas di lapangan, kebanyakan kasus kolera ini disebabkan oleh manajemen yang kurang baik. Apabila munculnya di umur muda bisa dipastikan berkaitan dengan pemanasan selama masa brooding yang kurang optimal. "Untuk itu lakukan penyemprotan ayam, kandang dan kotoran dengan desinfektan.”
Seorang peternak yang mengaku telah puluhan tahun bergelut dengan ayam mengatakan, "Pelihara ayam dari starter sampai dengan grower jangan di kandang tanah. Karena alas kandang seperti sekam bila basah atau lembab dapat menjadi media penularan yang baik bagi berbagai macam penyakit.”
Tegasnya, serangan kolera dapat dihindari bila pemeliharaan ayam diatur dengan baik. “Litter harus sering dibolak-balik agar tidak menggumpal," kata seorang peternak menerangkan kiatnya dalam mencegah timbulnya penyakit ini di kandang.
Adapun untuk peternak yang tidak mau repot melakukan pekerjaan membolak-balik sekam pada lantai pertama kandang, ia lebih memilih kandangnya kandang panggung, bahkan ada yang mendirikan kandang di atas kolam. Dalam kandang kolam ini, kotoran ayam pun langsung jatuh jadi santapan ikan yang dipelihara dalam kolam.
Selain itu juga menjaga kebersihan tempat pakan dan minum dengan seri dicuci dan dibilas dengan desinfektan.
Kemudian kalau toh kasus Kolera terjadi juga, “Biasanya pada usia 27-30 hari pada broiler atau lebih dari 30 hari pada ayam jantan," ujar seorang praktisi.

Tidak Berdiri Sendiri

"Sebetulnya penyakit Kolera tidak berdiri sendiri karena adanya kuman semata, tetapi melibatkan faktor yang lain seperti halnya stres, perubahan musim dan adanya pembawa," kata seorang peneliti dari Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Perlu diwaspadai pada musim penghujan seperti itu, penyakit lebih mudah menyerang termasuk kolera. Suhu udara yang cukup dingin menyebabkan daya tahan tubuh dan kondisi ayam tidak stabil. Pergantian suhu yang mendadak dapat menimbulkan stress yang berujung pada gangguan metabolisme tubuh sehingga membuka peluang masuknya agen penyakit, termasuk kolera itu.
Telah kita alami ketika curah hujan tinggi, suhu udara menjadi berubah-ubah dan lembab. Hal ini mempengaruhi kondisi kesehatan ayam. Oleh karena itu para peternak pun selayaknya mewaspadai kondisi ini dan senantiasa berjaga-jaga terhadap keselamatan ayamnya dan kemungkinan ayam terserang penyakit, seperti kolera, kolibasilosis, Gumboro, koksidiosis dan avian influenza.
Beberapa penyakit ini merupakan sebagian dari sekian banyak penyakit yang "mengantri" masuk ke dalam tubuh ayam. Hal ini sangat berati, meski ada yang mengatakan kolera tidak terlalu sering terjadi apabila dibandingkan dengan CRD, CCRD atau colibacillosis.
Seorang peternak yang populasi ternak ayamnya cukup besar dari Blitar, Jawa Timur mengatakan bahwa penyakit kolera ini sering terjadi pada waktu musim hujan. "Celakanya bila munculnya tidak sendirian, tetapi "bareng" dengan koli maupun koriza," papar seorang praktisi. Serangan Kolera pun menjadi kompleks bila disertai infeksi lainnya seperti E coli. Seorang peternak di Sumatera Utara, selain Kolera perlu diwaspadai juga penyakit lain yang muncul berikutnya mengikuti kolera, seperti CRD, colibacillosis dan coccidiosis.

Penularan

Dengan tidak pandang ‘bulu’nya Kolera itu, kebanyakan penularan Kolera terjadi melalui air minum yang tercemar oleh bakteri yang terdapat dalam cairan hidung, mulut, mata atau kotoran ayam penderita. Pada ayam pembibit jantan dapat menularkan bakteri melalui semen yang dihasilkannya.
"Penularan penyakit lebih banyak terjadi melalui lendir atau leleran yang keluar dari hidung sedangkan bakteri yang ada di dalam kotoran justru tidak aktif," ujarnya. Selain melalui lendir, penularan juga terjadi melalui perkawinan induk jantan dan betina. Tetapi penyakit ini hanya ditularkan secara horizontal, dari ayam sakit ke ayam sehat bukan secara vertikal dari induk ke anak
Para akademisi mengatakan bahwa kolera merupakan penyakit lingkungan karena banyak terkait dengan masalah kebersihan lingkungan. Untuk mencegah agar penyakit ini tidak muncul dan menimbulkan gangguan, pembenahan kandang dan lingkungannya harus mendapat perhatian peternak maupun anak kandang. Jika akan membangun kandang baru, jarak antar kandang sebaiknya juga dipertimbangkan un mengurangi penyakit menyebar.
Sirkulasi udara lebih baik dalam mengusir amoniak keluar dari kandang Sanitasi menggunakan desinfektan yang rutin dan terprogram perlu dilakukan, juga menghindarkan ayam dari hewan liar guna mencegah terjadinya penyakit. Jelasnya, untuk mengendalikan kasus ini selain memberikan pengobatan yang sesuai: faktor lain seperti stres dan manajemen juga harus mendapat perhatian. (YR/ berbagai sumber)

BAHAYA LATEN KOLERA DI PETERNAKAN

Edisi 165 April 2008

“Jangan Kambing Hitamkan Peternak”


Kolera unggas (avian cholera, avian pasteurellosis, avian hemorrhagic septicemia) merupakan penyakit sangat menular yang menginfeksi unggas peliharaan dan unggas-unggas liar lainnya. Pada umumnya penyakit ini bersifat septicemic dicirikan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, biasanya berjalan akut, tapi di daerah endemik pada bangsa burung yang kurang peka penyakit ini berjalan kronis.

Demikian disampaikan Drh H Muhammad Firdaus MSi Kasi Kesehatan Hewan dan Kepala Rumah Potong Hewan Dinas Pertanian kota Pekanbaru pada kru Infovet. Dikatakannya bahwa peternak harus waspada terhadap gejala serangan agent kolera, hal ini terkait kerugian yang disebabkan penyakit ini cukup tinggi, seperti penurunan berat badan dan produksi telur.

Kolera unggas disebabkan oleh Pasteurella multocida. Agent ini berbentuk ovoid yang pada ujung-ujungnya mempunyai afinitas lebih baik terhadap zat warna, sehingga dapat dilihat secara mikroskospis terhadap struktur bipolernya.

Bakteri ini berukuran relatif kecil dan bersifat negatif, artinya mempunyai keunikan yang terlihat pasca pengecatan di laboratorium, yakni (1) kurang sensitif terhadap zat warna trifenilmetan, (2) sensitif terhadap streptomycine, (3) sensitif terhadap alkali dan dapat larut dalam 1% KOH, (4) biasanya batang atau rod tidak membentuk spora kecuali Neiseria yang berbentuk kokus, dan (5) tidak tahan asam.

Kejadian kolera di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Sri Poernomo pada tahun 1972. Awalnya kasus ini hanya ditemukan pada ayam petelur dengan tingkat manajemen pemeliharaan yang jelek. Saat ini kasus kolera juga dapat ditemui pada ayam pedaging dan ayam kampong serta beberapa jenis unggas lainnya seperti kalkun, angsa dan bebek. Hanya saja porsentasinya masih kecil bila dibandingkan dengan ayam petelur.

Hal ini dibenarkan Zuhri Muhammad SPt Technical Service PT Medion Cabang Pekanbaru. Menurutnya, kasus kolera unggas jarang dijumpai pada ayam pedaging. Hal ini terkait dengan masa pemeliharaan ayam pedaging yang relatif singkat. Di Riau sendiri, kasus kolera unggas jarang dilaporkan peternak. Hal ini terkait dengan jumlah peternak yang berkiprah pada ayam petelur masih kurang bila dibandingkan dengan jumlah peternak ayam pedaging.

“Dalam beberapa kunjungan saya ke farm, peternak sering mengeluh dengan penampakan pada ayam peliharaannya seperti keluar kotoran dari mata, daerah sekitar balung membengkak, terdapat gangguan pada pernafasan, infeksi lokal pada pial, sendi kaki dan sayap hingga basal otak, saya prediksi ini sebagian gejala akibat paparan agent Pasteurella multocida pada ayam tersebut,” jelas alumni Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sudirman ini.

Pengalaman lapangan tersebut didiskusi Zuhri dengan rekan sejawatnya, para dokter hewan yang tergabung dalam dunia Technical Service. Diagnosa awal laporan peternak tersebut positif kolera unggas (fowl cholera atau avian cholera).

Sementara itu Drh Budi Ketua Asosiasi Peternak Ayam Potong Kota Pekanbaru yang dihubungi secara eksklusif oleh Wartawan Infovet untuk Daerah Riau, mengatakan bahwa kasus kolera unggas memang jarang dijumpai pada ayam pedaging, namun pada ayam petelur kasus ini lebih sering ditemui, hal ini terkait lama usia pemeliharaan ayam dimaksud.

Kemudian Budi menambahkan, apa yang dikeluhkan peternak pada beberapa Technical Service di lapangan perlu dicermati dengan seksama, jalan terbaik adalah diskusikan dan rujuki pada beberapa hasil penelitian terhadap gejala-gejala yang teramati di farm yang dikombinasikan dengan gejala-gejala yang teramati oleh peternak.

Setelah itu, baru disimpulkan kalau temuan kasus tersebut adalah kolera unggas. Ini mungkin lebih baik dan bermakna. Artinya apa, dalam pencegahan dan pengobatan peternak tidak dirugikan. “Bukankah yang diharapkan adalah tepat obat untuk kasus yang tepat”, ungkap dedengkot peternakan ayam broiler ini.

Terkait bahaya laten kolera unggas di lapangan, Dr Drh AETH Wahyuni MSi dosen dan staff Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menurutnya, kolera laten di lapangan sudah menjadi pameo (obrolan warung kopi) bagi pemerhati dunia kesehatan hewan dari dulu sampai sekarang. Yang perlu ditanyakan adalah mengapa kolera unggas masih di kategorikan latent of hazard atau bahaya yang tersembunyi? “Ada apa ini?” tanya Yuni.

Kolera unggas merupakan penyakit bakterial yang sama kedudukannya dengan jenis penyakit bakterial lainnya. Di tingkat peternak, kasus ini jarang terdeteksi dengan baik, karena penampakannya disamarkan dengan fowl typhoid dan ND pada tertikolisnya. Sehingga bisa saja praduga pada kolera unggas atau typhoid unggas.

Lalu satu hal yang amat lumrah dilakukan peternak adalah memberikan preparat obat dalam hal ini antibiotika-kah atau preparat obat lainnya yang tidak tepat sasaran. Hal ini berakibat terjadi akumulasi obat yang berefek pada ketahanan agent terhadap obat tertentu. Sehingga tujuan yang akan dicapai yakni melenyapkan agent penyakit tidak maksimal.

Artinya apa, pada saat agent penyakit menemukan kondisi yang memungkinkannya untuk back of life atau hidup kembali, maka agent akan tumbuh dan kembali survive. “Inilah yang dikatakan bahaya laten atau bahaya yang tidak kelihatan tersebut,” papar Yuni. Lebih lanjut dikatakannya, memang kasus kolera unggas ibarat gunung es yang siap mencair kapan saja, namun perlu juga diketahui bahwa ketelatenan anak kandang dengan system manajemen yang bagus dapat memangkas agent kolera dimaksud.

Hanya saja di beberapa tempat, penerapan sistem manajemen terkait budidaya ayam konsumsi ini masih jauh dari yang diinginkan. Hal ini terlihat dari kondisi kandang yang kurang memadai, drainase dan aerasenya yang kurang, sehingga pada saat peternak lengah, bibit penyakit dengan mudahnya melakukan invasi ke lokasi peternakan.

Nah ini sudah dapat diterka bahwa yang akan dialami peternak jelas kerugian, karena pada umumnya ayam yang terpapar agent penyakit mengalami gejala umum seperti kurang nafsu makan, hal ini berakibat pada memburuknya kondisi tubuh, terjadi penurunan berat badan, dan pada ayam petelur yang terinfeksi kolera berakibat tidak tercapainya produksi telur maksimal.

Lalu apa yang dapat dilakukan peternak? “Terapkan manajemen pemeliharaan yang baik,” tegas Yuni yang pernah berjaya mengelola usaha peternakan ayam pedaging di Bogor Jawa barat.

Terkait manajemen pemeliharaan ayam, Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD Dekan FKH UGM Yogyakarta menyatakan, ada tiga hal yang mendasari keberhasilan dalam memanage usaha peternakan ayam, baik pada broiler maupun pada layer.

Tiga hal tersebut adalah:

(1) ayamnya sendiri sebagai makluk hidup yang bersosialisasi dengan lingkungan tempat hidupnya, seperti kandang dengan lingkungan sekitarnya dan lingkungan di luar kandang untuk ayam yang dipelihara bebas.

(2) lingkungan mikro, yakni lingkungan dimana agent penyebab penyakit berkeliaran saling berebutan menginfeksi ayam. Lingkungan ini disebut sebagai competitor atau penyebab penyakit. Biasanya didominasi mikroorganisme seperti virus, bakteri, mikoplasma, fungi, protozoa, dan parasit.

Di samping itu, mikotoksin, hama (insektisida dan rodensia), serta iklim yang berhubungan dengan temperatur, kelembaban, angin, hujan dan panas juga dikategarikan musuh dalam selimut yang senantiasa siap sedia menginvansi ayam saat peternak lengah.

(3) adalah udara air dan pakan atau UAP yang memegang peran sangat penting dalam pencapaian produksi maksimal. Ketiga hal ini dikorelasikan dengan lingkungan pemeliharaan yang optimal dengan menerapkan biosekuriti menyeluruh di lokasi farm dimaksud.

Usaha ini menurut Charles mudah dilakukan dengan biaya yang tidak terlalu mahal, namun hasilnya cukup berarti bagi peternak.

“Sayangnya peternak kita (red: Indonesia) masih belum seluruhnya mengadosi system ini, sehingga benteng pertahanan ternak terhadap agent penyakit tertentu masih bisa roboh, alhasil kita sering dengar akronim bahaya laten ND, IB, SNOT, Kolera unggas, dan AI virus yang sampai saat ini masih saja menggerogoti ayam milik peternak kita,” papar Ketua Umum PDH Unggas Indonesia ini.

Di lain sisi, peternak merasa risih dengan tudingan bahwa peternak masih minim pengetahuannya terhadap perkembangan dunia kesehatan hewan, padahal pengalaman yang mereka miliki cukup memungkinkan dalam hal mendeteksi kesehatan ayam yang mereka pelihara, sayangnya mereka kurang smart dalam menentukan jenis penyakit yang menyerang ternaknya.

Hal ini dikemukakan Febri peternak broiler yang berdomisili di Kecamatan Kampar Timur Kabupaten Kampar Riau kepada kru Infovet. Menurutnya, peternak sebenarnya bisa membedakan ayam sehat dengan ayam sakit. Hanya saja ragam penyakit itu terlalu banyak, gejala awal sama, sehingga menyulitkan dalam hal penanganannya.

Terkait kasus kolera unggas ini, Febri berharap untuk tidak didramatisir, dengan demikian citra peternak Indonesia akan nampak, dan gairah investor menanamkan modal di dunia ini (red: peternakan) kembali membaik. (Daman Suska).

Dinamika Lapangan: Kasus Fowl Cholera

Edisi 165 April 2008
Oleh: Tony Unandar (SAS Group)

((( Problem Fowl Cholera (FC) atau kholera unggas bagi ayam petelur modern seolah tak lekang oleh perbaikan tehnik perkandangan dan tata laksana pemeliharaan ayam itu sendiri. Ledakan kasus sering kali terjadi di saat-saat puncak produksi telur. Untuk menghindari kebocoran kocek para peternak, maka diagnosa yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan oleh para praktisi lapangan. Skor kebengkakan muka dapat dijadikan suatu patokan untuk mengambil langkah-langkah penanganan kasus Kholera di lapangan. )))

Kholera pada unggas disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida tipe A (PMA). Termasuk kuman Gram negatif yang non-motil dan anaerobik yang fakultatif. Di alam, kuman ini merupakan mikroflora komensal saluran nafas bagian atas (oro-pharyngeal) unggas. Selain itu, kuman PMA dapat juga diisolasi dari rongga mulut rodentia (misalnya tikus) dan kucing atau anjing dari lokasi peternakan unggas yang pernah mengalami ledakan kasus Kholera. Selama ada material organik, kuman PMA dapat bertahan dalam debu kandang atau tanah sampai beberapa bulan.
Ledakan kasus Kholera umumnya diinisiasi oleh adanya faktor-faktor stres seperti densitas ayam yang terlalu tinggi, ventilasi yang buruk, transportasi, vaksinasi, perubahan cuaca yang ekstrim serta produksi telur yang tinggi. Kuman PMA yang tadinya merupakan komponen mikroflora komensal dapat menjadi mikroba yang invasif mana kala kondisi umum tubuh ayam menurun. Segera setelah terjadinya invasi ke dalam jaringan tubuh ayam, maka ayam akan mengalami tahap awal septisemia. Kondisi ini biasanya ditandai dengan beberapa gejala klinis yang sifatnya umum, misalnya:
• Nafsu makan ayam mulai menurun yang ditandai dengan mundurnya waktu habis pakan dan biasanya berlanjut dengan menurunnya jumlah pakan yang dikonsumsi.
• Ayam tampak lesu dan mengantuk. Kondisi ini sangat jelas jika diamati pada saat pemberian pakan di pagi hari. Pada tahap ini sering kali sudah tampak kebengkakan muka yang sangat ringan (skor +1) seperti yang terlihat pada Gambar 2 terlampir. Kebengkakan muka yang ringan terjadi pada area sinus infraorbitalis (sinus dibawah kelopak mata), pial serta area mandibula secara umum.
• Demam yang ditandai dengan kloaka yang kering dan suhu tubuh yang meningkat 2-3 oC dibanding dalam keadaan normal.
• Saat kontrol malam hari, suara pernafasan ayam akan terdengar ngorok yang ringan dengan titik getaran lendir pada saluran pernafasan bagian atas.

Pada fase infeksi dini seperti ini. program pemberian preparat antibiotika betalaktam seperti amoksisilin trihidrat atau preparat kuinolon seperti enrofloksasin atau siprofloksasin dapat mencegah kerugian yang lebih besar. Pada saat yang sama, untuk mencegah penularan lebih lanjut, sangat dianjurkan pemberian preparat antiseptika seperti kelompok yodium dalam air minum.
Selanjutnya, pada infeksi oleh kuman PMA, kualitas kebengkakan muka akan semakin jelas seiring dengan perjalanan penyakit yang semakin parah. Jika skor kebengkakan muka sudah mencapai +2 ke atas, maka gangguan produksi telur sudah tampak terganggu secara signifikan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas telur yang dihasilkan. Warna kerabang telur akan sangat bervariasi, pucat dan diikuti dengan kualitas kerabang yang buruk.
Selanjutnya, jika skor kebengkakan muka sudah mencapai +3 ke atas, maka kematian ayam akan tampak meningkat, terutama kematian di saat-saat suhu lingkungan yang ekstrim, yaitu di sore hari atau di waktu subuh. Ayam yang mati umumnya menunjukkan gejala jengger dan pial yang agak biru dengan kebengkakan pada muka, adanya hati yang rapuh dengan nekrosa yang tersebar pada beberapa bagian jaringan hati serta kadang kala ditemukan adanya yolk peritonitis.
Penggunaan preparat antibiotika pada infeksi Kholera dengan kebengkakan muka skor+3 ke atas umumnya akan memberikan respon yang lebih lama. Demikian juga kembalinya produksi telur ke kondisi normal pada infeksi dengan skor +3 ke atas akan sangat variatif, tergantung pada kondisi umum ayam saat awal infeksi terjadi, kompleksitas dan tingkat keparahan kasus.
Kebengkakan muka, demam yang tinggi dan dilatasi kapiler darah pada hampir semua organ tubuh sebenarnya terkait dengan adanya endotoksin yang dihasilkan oleh kuman PMA. Kadang kala ditemukan perdarahan pada beberapa organ tubuh seperti pada hati, limpa, ovarium dan atau lemak jantung di daerah koroner yang disebabkan oleh pecahnya kapiler darah akibat aktifitas endotoksin. Jika fase ini sudah terjadi, ayam umumnya sudah berada dalam kondisi yang berbahaya, artinya baik kematian ayam ataupun gangguan produksi telur akan tampak secara signifikan sekali.
Pengalaman lapang menunjukkan, bahwa penggunaan vaksin inaktif Fowl Cholera dengan dua kali pemberian, yaitu pada umur 9 atau 10 minggu dan diulangi lagi pada umur 15 atau 16 minggu, tampaknya hanya mengurangi derajat keparahan kasus, tidak bisa mengeliminir terjadinya kasus pada masa produksi.
Langkah-langkah perbaikan kondisi lingkungan dan tata laksana pemeliharaan tampaknya dapat mengurangi insiden terjadinya ledakan kasus FC secara bertahap dalam suatu flok ayam. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
• Kurangi debu kandang di sekitar ayam dengan memberikan lapisan semen pada gang atau jalan di antara deretan batterei dan atau kandang. Debu kandang dapat juga dikurangi dengan memperbaiki sirkulasi udara dalam kandang. Dengan melakukan uji eksposur dari udara kandang ayam petelur yang sedang produksi ditemukan cukup tinggi konsentrasi kuman PMA per-gram debu kandang.
• Secara teratur lakukan kontrol yang ketat dan terprogram terhadap insekta dan atau rodensia. Pengalaman lapang menunjukkan kedua vektor mekanis ini dapat menjadi sumber kontaminan kuman PMA yang sangat potensial dari satu periode ayam ke periode ayam berikutnya.
• Berikan preparat antiseptika dalam air minum ayam paling sedikit 3 kali seminggu, terutama jika tempat minum berupa paralon yang panjang.
• Lakukan sanitasi udara dalam kandang paling sedikit satu kali sehari dengan menggunakan desinfektan yang boleh kena ayam.
• Segera angkat ayam yang mati dari dalam kandang/batterei lalu dibakar. Disamping lender dari rongga mulut atau hidung, ayam yang mati mengandung konsentrasi kuman PMA yang sangat tinggi.
• Minimkan faktor stres yang dapat menurunkan kondisi tubuh ayam, misalnya kurangi program vaksinasi selama masa produksi telur, atur pertambahan bobot badan ayam yang disesuaikan dengan laju produksi telur, serta perhatikan “daily nutrient intake” secara seksama, tidak cukup “daily feed intake”.
• Bila perlu, cermati titik-titik kritis pada ayam dimana insiden FC sering terjadi. Dalam kondisi tertentu dalam diberikan preparat antibiotika dalam pakan selama 7 hari dalam fase-fase kritis tersebut.



Keterangan Gambar

Skor 1
Nafsu makan turun, demam, gangguan pernapasan, produksi masih normal.

Skor 2
Terjadi oedema/kebengkakan muka yang ringan terjadi pada area sinus infraorbitalis (sinus dibawah kotak mata), pial serta area mandibula secara umum.
Nafsu makan drop dan gangguan pernapasan mulai terlihat, ayam mulai ngantuk, mulai ada gangguan produksi telur dan berak hijau.

Skor 3
Nafsu makan sangat turun signifikan, produksi telur turun baik dari segi jumlah maupun kualitas. Kerabang berwarna pucat dan agak tipis.

Skor 4
Demam hebat, mulai ada kematian ditandai dengan ujung rongga hidung yang membiru akibat pneumonia hebat disertai lendir kental di rongga mulut. Kematian paling tinggi terjadi saat suhu ekstrim seperti di sore hari atau siang hari

Skor 5
Kebengkakan muka hebat, demam yang tinggi dan dilatasi kapiler darah pada hampir semua organ tubuh. Kadang disertai perdarahan pada beberapa organ tubuh seperti pada hati, limpa, ovarium dan atau lemak jantung di daerah koroner. Banyak terjadi kematian ayam.

KOLERA DIKENALI DARI GEJALANYA

Edisi 165 April 2008

(( Dengan demikian kita tidak akan bingung lagi bila mendapati pada ayam terdapat sumbatan lendir di saluran pernafasan, lendir menggantung seperti tali, pial bengkak, keunguan, kotoran encer berwarna hijau, perdarahan pada jantung, hati pucat dan berbintik kuning keabuan. ))

Seorang praktisi peternakan menceritakan pengalamannya terkait dengan serangan kolera di wilayah kerjanya, "Untuk mendiagnos penyakit kolera ini dibutuhkan kejelian tersendiri karena tanda-tandanya sering kali nampak seperti penyakit lain misalnya ND, CRD atau Fowl thypoid.”
Memang, beberapa penyakit lain dapat dikelirukan dengan penyakit kolera ini yaitu ND, fowl thypoid dan colibacillosis. Diagnosa Kolera biasanya dilakukan berdasarkan gejala klinis dengan adanya kematian yang mendadak dan pemeriksaan bedah bangkai dengan mengamati perubahan yang terjadi pada organ-organ tubuh.
Masa inkubasi penyakit Kolera sendiri berlangsung selama 3-9 hari. Seorang praktisi yang banyak mengamati kasus kolera pada ayam petelur di Blitar ini mengatakan, "Serangan kolera terjadi pada umur lebih dari 4 bulan. Kadang-kadang ayam mati tanpa gejala klinis yang jelas, biasanya pada malam hari."
Menurut referensi ilmiah, kejadian penyakit dapat dibedakan menjadi 3 bentuk.

Perakut

Pada bentuk perakut kasus Kolera, biasanya terjadi kematian mendadak tanpa didahului oleh gejala klinik. Pada bedah bangkai, kejadian perakut dijumpai berbagai bentuk perdarahan pada jantung, hati, paru-paru, jaringan lemak, rongga perut dan emmbrana mukosa saluran pencernaan termasuk usus, proventrikulus dan lambung/ampela.

Akut

Pada kejadian yang bersifat akut gejala klinik dapat diamati beberapa jam sebelum ayam mati. Ayam tampak lesu, mengantuk, bulu berdiri, demam, nafsu makan dan minum menurun. Tampak adanya cairan agak kental keluar dari mulut dan menggantung seperti seutas tali.
Diare yang terjadi pada awalnya encer, berwarna kekuningan dan berangsur menjadi kehijauan bercampur lendir dan berbau busuk. Adanya lendir dalam saluran pernafasan bagian atas mengakibatkan suara ngorok basah. Jengger dan pial membengkak berwarna ungu kebiruan (cyanosis).
Pada kejadian Kolera yang bersifat akut, cairan pada selaput pembungkus jantung dan ascites dapat ditemui. Hati bengkak dan pucat.
Pada sejumlah kasus yang disebabkan P multocida yang ganas dijumpai hati dengan jalur berwarna kuning pucat disertai bintik perdarahan dan bintik kelabu-kekuningan.
Dijumpai juga folikel telur yang sudah dewasa yang membubur dan memenuhi rongga perut. Pada folikel telur yang masih muda kadang-kadang berwarna merah akibat perdarahan.
Ayam yang mampu bertahan hidup menjadi kurus dan mengalami dehidrasi. Angka kematian sangat bervariasi, mencapai lebih dari 20%. Di samping timbulnya kematian, juga terjadi penurunan produksi telur.

Kronis

Penyakit dalam bentuk kronis ditemukan jika ayam dapat bertahan selama fase akut atau terinfeksi oleh bakteri dengan keganasan rendah. Perubahan yang terjadi pada organ tubuh tergantung proses penyakit yang timbul dan kerapkali merupakan peralihan bentuk akut dan kronis.
Gejala yang tampak pada periode kronis umumnya berkaitan dengan infeksi lokal seperti pembengkakan (abses) pada salah satu ataupun kedua pial, persendian kaki, persendian sayap ataupun telapak kaki.
Gangguan persendian kaki menyebabkan ayam sulit bergerak atau lumpuh. Kadang-kadang terlihat adanya cairan dari konjungtiva dan tortikolis. Ayam yang terserang kolera bentuk kronis dapat mengalami kematian, menjadi carrier atau sebaliknya menjadi sembuh.
Dengan demikian kita tidak akan bingung lagi bila mendapati pada ayam terdapat sumbatan lendir di saluran pernafasan, lendir menggantung seperti tali, pial bengkak, keunguan, kotoran encer berwarna hijau, perdarahan pada jantung, hati pucat, berbintik kuning keabuan.
Itulah beberapa tanda yang dapat mengarah pada diagnosa penyakit Kolera pada ayam. (YR/ berbagai sumber)

MEMBUNUH BAKTERI KOLERA

Edisi 165 April 2008

(( Untuk mengatasi datangnya penyakit yang mungkin beruntun, antibiotik yang digunakan dipilih yang efektif kerjanya. Para ahli kesehatan hewan menyatakan, penyakit kolera ini dapat diobati dengan menggunakan antibiotik khusus yang bekerja secara sistemik terhadap bakteri Gram-negatif. ))

Sesungguhnya penyakit bakterial seperti kolera menimbulkan kerugian yang cukup banyak. Selain kematian, penurunan produksi pada ayam yang telah bertelur dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu.
"Kematian yang ditimbulkan memang tidak banyak. Akan tetapi kerugian yang diakibatkan kolera ini cukup signifikan. Bila menyerang ayam yang sedang dalam masa bertelur, penurunan produksi telur yang terjadi cukup lumayan selama beberapa waktu lamanya," jelas seorang praktisi.
Bila kasus sudah telanjur terjadi, “Jangan lupa musnahkan ayam yang mati dan karantina ayam yang sakit serta berikan pengobatan," ujar seorang peternak.
Bakteri penyebab kolera ini ‘senang’ bersembunyi di tempat-tempat yang tak terjangkau, misalnya di limphoglandula perifer di daerah leher. Oleh karena itu kolera sering muncul karena tidak runtasnya pemberantasan pada ayam petelur dewasa dimana kasus ini lebih banyak menyerang.
Penyakit kolera pada unggas ini disebabkan oleh bakteri kelompok Gram-negatif yang berkapsul, Pasteurella multocida. Oleh karenanya penyakit ini disebut juga sebagai pasteurellosis. Pasteurella multocida penyebab penyakit kolera mempunyai 5 serotipe yaitu A, B, D, E dan F. "Sedangkan yang menimbulkan gangguan pada ayam biasanya serotipe A, B dan D," kata seorang akademisi dari sebuah fakultas kedokteran hewan sebuah perguruan tinggi ternama.
Tingkat keganasan bakteri ini berbeda-beda dan ditentukan oleh kapsul yang membungkus bakteri. Bila kapsul tersebut rusak tingkat keganasan bakteri akan berkurang bahkan tidak berbahaya lagi. Meskipun bakteri tahan hidup selama beberapa bulan dalam litter atau bahan yang mudah membusuk, tetapi mudah terbunuh oleh sinar matahari, pengeringan, pemanasan ataupun dengan berbagai desinfektan.
Untuk mengatasi datangnya penyakit yang mungkin saja beruntun seperti ini, antibiotik yang digunakan dipilih yang efektif kerjanya. Para ahli kesehatan hewan menyatakan karena disebabkan oleh bakteri, penyakit kolera ini dapat diobati dengan menggunakan antibiotik khusus yang bekerja secara sistemik terhadap bakteri Gram-negatif.
Namun, anjur para ahli, sebaiknya pemakaian antibiotik ini juga digilir agar tidak menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotik tertentu, karena sensitivitas kuman dapat terjadi.
Beberapa pakar menyarankan pemakaian antibiotik khususnya golongan penisilin seperti amoxycillin maupun sulfa untuk mengatasi serangan kolera pada ayam, maupun septicaemia atau menyebarnya bakteri ke seluruh tubuh.
Preparat seperti flumequin dan quinolon dapat dipakai untuk mengobati penyakit kolera pada unggas. Jaringan yang mengalami kerusakan akibat adanya peradangan perlu direhabilitasi dengan memberikan terapi supportif (multivitamin) dan memberikan pakan yang berkualitas dengan kandungan nutrien yang cukup.
Pengobatan yang dilakukan dengan memberikan antibiotika memberikan hasil yang berbeda-beda. Hal ini bisa terjadi karena P multocida mempunyai banyak serotipe yang mungkin mempunyai respon yang berbeda-beda pula terhadap antimikroba.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang terbaik tentunya dilakukan uji sensitivitas. (YR/ berbagai sumber)

LARA PETERNAK KARENA KHOLERA

Edisi 165 April 2008

Di kalangan peternak kholera ayam lebih sering disebut ”berak hijau”. Nama itu berkaitan dengan feses atau kotoran yang dikeluarkan yang sakit berwarna hijau. Namun bagi sebagian peternak yang sudah sering berinteraksi dengan kalangan akademisi, dimana sering mengikuti aneka seminar, lebih sering menyebutnya sebagai kholera. Atau setidaknya kholera ayam.

Berikut ini rangkuman pendapat dari praktisi peternak dan petugas kesehatan lapangan:

”Kholera...? Waah penyakit itu banyak membuat duka lara para pengelola farm dan peternak,” ujar Drh Jon Sumar Temse ketika diminta pendapatnya tentang penyakit itu. Sebab penyakit itu, menurut Jon tidak saja sangat merugikan oleh karena banyaknya ayam yang mati, mesti perjalanan waktu akan jumlah ayam yang mati tidak secepat seperti penyakit ND atau Gumboro. Namun justru lebih banyak menyita pikiran dan tenaga untuk mengatasinya.

Drh Jon Sumar Temse, adalah seorang petugas kesehatan lapangan dari PT Tekad Mandiri Citra di Yogyakarta. Ia mengungkapkan pengalamannya yang sebelumnya pernah selama 2 tahun bergulat langsung dalam pemeliharaan ayam potong. Menurut Jon sebenarnya dalam menghadapi penyakit itu kalau sudah tahu justru sangat simple.

Memang penyakit itu, jika kurang tepat penangannya akan membuat kita terkuras tenaga, pikiran dan juga dana. Sebab begitu ada ayam yang terkena, seolah seperti deret ukur ayam-ayam yang lain cepat tertular. Jika lambat bertindak, maka sudah pasti akan diikuti dengan deretan kematian ayam. Maka ketepatan diagnosa menjadi salah satu hal penting untuk bisa cepat bertindak.

Menurut penuturannya, kasus penyakit itu sebenarnya sangat mudah untuk dikendalikan dan bahkan dienyahkan. Atas dasar pengalamannya secara langsung mengelola ayam potong dengan populasi 40 000 ekor di sebuah Kota di Kalimantan, kasus itu sangat mudah ditekan bahkan diminimalkan.

Kunci pertama dan utama dari segala jenis penyakit bakterial adalah pengelolaan kandang dan lingkungan yang bersih. Pada umumnya, lanjut Jon Sumar para pengelola dan peternak kurang begitu intensif pada aspek itu secara total. Jikalau ada, umumnya hanya parsial, atau tidak menyeluruh.

Banyak yang lebih mengutamakan kebersihan kandang, akan tetapi mengabaikan lingkungan. ”Saya hampir bisa memastikan lebih dari 50% para peternak dan pengelola farm, sangat kurang memperhatikan hal itu secara penuh dan total. Pada umumnya mereka memang sangat perhatian pada kebersihan akan tetapi lebih mengutamakan kandangnya. Sedangkan kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar kandang diabaikan,” ujarnya tegas dengan logat Jawa Timur yang sangat medok.

Padahal, lanjutnya, ”Secara umum penyakit dengan penyebab apapun, hal itu mutlak penting untuk diperhatikan. Dan secara khusus pada penyakit bakterial, menurut pengalaman saya, aspek kebersihan adalah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itu mutlak sebagai sebuah persyaratan untuk mendapatkan hasil yang optimal.”

Awalnya ketika Jon Sumar diberi beban tugas untuk mengelola ayam potong dengan populasi sebanyak itu sendirian, maka hal yang pertama kali dilakukan adalah menggencarkan kegiatan membersihkan kandang, karena secara kasat mata ia melihat kondisi kandang yang sangat jauh dari bersih. Ia sangat yakin hal itu dan menjadi penyebab utama bahwa farm ini kurang mampu memberikan hasil yang optimal.

Seperti umumnya, aspek fundamental itu memang tidak mudah dan membutuhkan waktu, dana dan tenaga yang ekstra. Akhirnya memang membuahkan hasil yang menggembirakan karena ketika panen, ada perbaikan performans yang sangat signifikan di banding pada periode sebelum dikelola oleh Jon.

Dari hasil itu, Jon Sumar semakin kuat dan yakin bahwa langkah yang ia tempuh itu adalah benar. Keyakinan dan kebenaran atas langkahnya itu semakin diperkuat oleh pendapat pakar yang ia baca di Infovet.

Namun pada periode berikutnya, ternyata hasil itu kembali mengalami penurunan. Dugaan penurunan itu oleh karena adanya serangan kolibasiolis dan ND ringan. Meski muncul dugaan itu, namun ia tetap gelisah dan bersemangat untuk mencari penyebabnya dan juga solusi atas terjadinya penurunan hasil itu. Selain itu Jon, bahkan mulai goyah dengan pendapatnya sendiri.

”Ketika terjadi penurunan hasil panen, meski kebersihan kandang tetap ia utamakan, saya sempat berpikir ulang dan goyah dengan pendapat saya semula. Memang penurunan itu oleh karena diduga adanya sergapan penyakit lain. Namun saya yakin kholera bukanlah menjadi penyebab kali ini,” papar Jon Sumar.

Meski demikian, lanjutnya, ”Dalam kegelisahan saya itu, akhirnya saya tetap yakin dan teguh dengan pendirian saya bahwa kebersihan adalah syarat mutlak. Sampai akhirnya, saya melihat lebih luas lagi, bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Ternyata dugaan saya mengarah ke lingkungan sekitar kandang yang harus mendapatkan perhatian juga.”

Langkah itu segera dilakukan yaitu dengan membersihkan lingkungan kandang. Semua pekerja kandang dicurahkan tenaganya untuk membuat lingkungan yang bersih, semak-semak ilalang dipangkas serta yang terpenting adalah Jon membuat lobang khusus sampah yang relatif dalam dan tertutup.

Menurut penuturan Jon, langkah itu memang tidak mudah dan pada awalnya akan banyak menghabiskan waktu, tenaga dan dana. Namun ternyata berbuah juga langkah itu. Panen pada periode berikut sedikit mengalami kenaikan hasil yang lumayan. Dan pada periode berikutnya meningkat lagi, bahkan sergapan dan gangguan penyakit lain relatif semakin jarang.

Menceritakan mengapa ia membuat lobang galian sampah yang dalam dan tertutup, bahwa itu sangat penting untuk melokasir bangkai yang dibakar, aneka sampah lain dari aktifitas kandang dan manusianya. Selain itu kotoran di bawah kandang panggung jika 2 hari sekali dibersihkan akan terasa sekali suasana lingkungan kandang dan sekitarnya yang segar dan nyaman. Kondisi ini, jika manusia bisa merasakan nyaman maka sudah pasti, ayam yang dipelihara juga akan merasakan hal yang sama.

”Tumpukan kotoran ayam di bawah kandang sangat tinggi sekali kandungan amoniaknya, dan menurut saya kholera juga muncul oleh karena kandang amoniak yang tinggi. Penyakit lain pun akan cepat menyerang jika situasi ligkungan yang kurang kondusif,” ujarnya.

Ketika ditanyakan, apakah benar pada ayam yang muda jauh lebih tahan terhadap penyakit ini, dibandingkan ayam yang lebih tua. Jon menggelengkan kepala, sambil berkata kalau itu jujur ia mengakui benar-benar tidak tahu.

Akan tetapi menurut pengalamannya, barangkali ketika masih muda sudah terlalu banyak penyakit yang siap menerkam, maka tentu saja penyakit viral akan jauh lebih terlihat gejala klinisnya dibanding penyakit bakterial, seperti kholera. Sedangkan kholera bisa saja muncul ketika ayam masih muda, akan tetapi oleh karena penyakit kholera berjalan relatif lamban, maka ayam mungkin lebih dahulu mati sebelum muncul gejala klinis kholera.

Drh Fauzi Ahmad, seorang praktisi peternakan di Solo mengungkapkan pendapatnya bahwa Kholera sebenarnya termasuk salah satu penyakit yang sangat penting pada usaha peternakan ayam. Menurutnya penyakit yang bersifat infeksius, alias mudah menular itu juga sulit dikendalikan. Bukan saja hanya karena aspek kebersihan yang kurang. Akan tetapi lebih cenderung adanya banyak burung-burung liar yang menjadi pembawa penyakit dan sering berada disekitar kandang, sehingga itu akan terus menjadi sumber penular paling potensial.

Menurut pengalamannya selama ini pada ayam petelur akan cepat menyebabkan anjlognya produksi telur dan relatif lama untuk memulihkannya atau proses recoverynya. Biasanya pada ayam, saat awal terjadi infeksi, belum terlihat gejala klinis yang menciri. Hanya umumnya seperti penyakit lainnya yaitu nafsu makan melorot turun, bahkan terkadang sama sekali tidak mau makan. Nafsu minum memang masih ada akan tetapi juga mengalami penurunan.

Pada musim peralihan, dari musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya angka kejadiannya akan meningkat. Akan tetapi umumnya kasus penyakit itu banyak dialami para peternak dan juga diakui oleh para peternak sendiri oleh karena kualitas ransum yang jelek. Baik itu pakan dari pabrikan ataupun bahan pakan lain yang digunakan untuk pencampuran.

Pada musim penghujan meski dari pakan yang berasal dari pabrik pakan berkualitas baik, akan tetapi dalam perjalanan pengangkutan dan penyimpanan, maka potensi untuk munculnya penyakit itu sangat besar. Juga harus mendapatkan perhatian jika melakukan pencampuran sendiri dengan bahan-bahan pakan seperti jagung, katul hendaknya bahan-bahan itu harus yang bebas dari jamur dan kontaminan lainya.

”Pengalaman saya memang paling sering kholera itu muncul ketika musim peralihan. Akan tetapi pada saat musim hujan prevalensi penyakit ini juga sangat tinggi. Oleh karena itu memang sebaiknya pengawasan penyimpanan pakan di gudang harus sangat diperhatikan,” ujarnya Selain itu ketika musim hujan, umumnya tumpukan kotoran semakin meninggi dan kandungan amoniak melonjak, maka hal itu semakin mendukung munculnya penyakit itu.

Jumlah ayam yang sakit dalam suatu populasi,menurut Fauzi memang tergolong banyak, juga ayam yang mati. Namun sebenarnya jumlah ayam yang mati dapat ditekan apabila upaya terapi segera dilakukan. Keterlambatan penanganan, umumnya karena akibat keterlambatan diagnosa. Oleh karena itu, memang dibutuhkan tenaga lapangan yang handal untuk meneguhkan sebuah diagnosa. Sehingga kerugian karena kematian dapat diitekan.

Sampai sekarang upaya pencegahan memang harus menciptakan situasi kandang yang nyaman bagi ayam. Sebab kondisi seperti itu akan menekan munculnya penyakit itu dan penyakit lainnya. Benar adanya pendapat Jon Sumar, bahwa kebersihan itu penting, akan tetapi jika tidak diikuti dengan kualitas pakan yang baik, tetap saja akan muncul penyakit itu.

Menurut sepengetahuan Fauzi, tidak seperti pada penyakit coryza yang sudah tersedia bacterin alias vaksin bakteri, pada kholera sampai saat ini belum tersedia vaksinnya. Mungkin hal itu, lanjut Fauzi bakteri Pasteurella sp itu amat banyak strain atau serotype. (iyo)

TANGANI KOLERA BERSAMA PRAKTISI BOGOR

Edisi 165 April 2008
(( Jelasnya, profesionalime penanganan Kolera di peternakan, mutlak dibutuhkan. ))

Karena kondisi harga pakan meningkat, sementara DOC sulit, maka berakibat pemasaran obat pun turun. Mulai Januari 2008 itulah terjadi penurunan pemasukan DOC pun turun, populasi ayam turun, pengambilan antibiotik dan vitamin turun. Pengaruh penyakit biasanya ada beberapa penyakit. Yang sering terjadi adalah penyakit Gumboro, CRD dan Kolibasilosis. Adapun kolera terjadi beberapa kasus pada ayam layer. Demikian banyak diungkap oleh petugas teknis kesehatan hewan di lapangan.

Maka Infovet pun mengkonfirmasikannya pada narasumber di lapangan. Kali ini kita berjumpa dengan Drh Yuli Hernanto salah satu area supervisor PT Sanbe Farma Divisi Veteriner & Akuakultur di Bogor. Menurut Hernanto, penyakit Kolera banyak terjadi pada puncak produksi, karena pada saat ini kejadian stres paling tinggi. "Serangan kolera pada ayam petelur lebih banyak dijumpai pada waktu tingkat stress-nya tinggi. Biasanya pada saat awal dan puncak produksi waktu ayam berumur 25 sampai dengan 30 minggu,” katanya.

Menurut Drh Yuli Hernanto, untuk mengetahui ayam terserang kolera, tanda-tandanya adalah ayam berak hijau yang tampak pada warna kotorannya yang mengotori air, pakan dan lain-lain, keluar cairan dari mulut dan tubuh ayam, nafsu makan ayam turun yang dapat dilihat juga, pial bengkak berwarna biru. Pada saat bangkai ayam dibedah, tampak hatinya membesar, perdarahan pada hati, lambung (proventrikulus).

”Diagnosa banding kolera ini adalah tetelo alias New Castle Disease,” tambah Drh Yuli Hernanto Dengan memperhatikan tanda-tanda penyakit seperti kotoran yang berwarna hijau dan pial yang berwarna kebiruan, disertai dengan penurunan produksi, adanya telur yang pecah di dalam perut ayam serta hati yang terlihat seperti belang-belang, dokter hewan ini menaruh kecurigaan pada kolera

Menurutnya, kasus Kolera ini biasanya ditangani dengan Amoksilin dan Cilistin. Sedangkan selain obat-obatan, maka sanitasi lingkungan dijaga ketat dengan desinfeksi dan penyemprotan rutin setiap bulan.

Adapun praktisi kesehatan hewan di lapangan yang lain yang dijumpai Infovet di Bogor adalah Puji Hartono SPt, juga salah satu area supervisor PT Sanbe Farma Divisi Veteriner & Akuakultur di Bogor. Sudah tentu untuk mengetahui adanya kejadian kolera pada ayam di peternakan itu bukan sekedar cerita atau baca buku, namun seperti petugas lapangan yang ini, ia berkunjung di peternakan-peternakan pelanggan perusahaannya.

Puji Hartono SPt mengatakan setiap minggu ia menjadual kunjungan ke peternakan dan berhubungan dengan petugas kesehatan hewan di peternakan yang dikunjungi. Di situlah ia melakukan kontrol peternakan, dan ada kalanya menjumpai kasus penyakit. Ia pun menganalisa kasus, untuk kemudian setelah dianalisa ia memberi advis dan treatment serta perbaikan-perbaikan.

Untuk akhirnya bila ia menganjurkan harus adanya pemberian obat, ia mengatakan itu pn harus memperhatikan banyak faktor, misalnya kandang dan suhu. Untuk aplikasi pemberian obat pun juga perlu diskusi dengan petugas kesehatan hewan peternakan pada setiap kunjungan. Jelasnya hal ini, kata Puji Hartono. ”Untuk mencari solusi yang terbaik bagi kandang yang dikunjungi. Tidak boleh sepihak.”

Hal itu pulalah yang dilakukannya bila menghadapi kasus Kolera ayam di lapangan. Menurutnya, kasus kolera dan kolibasilosis lebih sering muncul karena permasalahan air, di mana pada musim penghujan, sekam kandang acapkali basah. Padahal, ayam juga suka ke lokasi yang basah. ”Untuk itu treatment sekam harus diperhatikan,” katanya. Bila ayam sudah mengalami kembung, Puji Hartono mengatakan, bahwa hal ini sudah banyak bakteri yang berkembang di dalam tubuh ayam. Ia pun menganjurkan peternak memberikan antibiotik pada ayam, pada kasus pencernaan ayam yang jelek ini.

Jelasnya, profesionalime penanganan Kolera di peternakan, mutlak dibutuhkan. (YR)

Mengulik Tehnik Beternak Layer Modern

Fokus Infovet Mei 2008

Siapa orang Indonesia yang tak pernah makan telur ayam ras, pastinya hampir semua orang pernah makan telur. Namun tak semua orang tahu darimana asalnya telur yang setiap hari dikonsumsi ini. Telur-telur ini berasal dari “mesin-mesin pencetak telur” hidup yang disebut ayam layer.
Ayam layer mulai masuk ke Indonesia pada periode tahun 1960-an dengan produksi paling banter 200 butir telur setahun. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan maka kualitas genetik ayam layer juga semakin diperbaiki. Demikian pula dengan cara pemeliharaannya. Saat ini saja rata-rata layer modern mampu menghasilkan telur diatas 320 butir/ekor sampai pemeliharaan 72 minggu.
Cara pemeliharaan ayam petelur modern kini sudah tak bisa lagi disamakan dengan cara pemeliharaan berpuluh tahun silam yang lazim dilakukan peternak layer. Hal ini disebabkan karena perubahan sifat genetik dari ayam tersebut yang sangat drastis dan dalam pemeliharaannya membutuhkan perhatian ekstra agar produktivitasnya optimal.
Produksi yang optimal dapat dilihat dari jumlah, berat, ukuran, bentuk.dan keseragaman telur yang dihasilkan. Belum lagi bicara tentang nutrisi pakan ayam layer modern yang cenderung rewel kala terjadi perubahan kualitas pakan.
Oleh karenanya, peternak harus sadar betul hal apa saja yang menjadi syarat keberhasilan pemeliharaan ayam petelur. Produksi telur yang optimal dapat diartikan ayam mampu menghasilkan telur dalam jumlah maksimal dalam waktu lama atau secara bahasa praktisnya adalah ayam bisa mencapai puncak produksi dan hen day (HD) berada diatas 90% dalam waktu lama.

Baru Muncul di Era Tahun 2000-an
Sebelum lebih jauh membahas tentang manajemen layer modern, kita harus tahu dulu apa itu layer modern. Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita yang memiliki pengalaman puluhan tahun di pemeliharaan ayam layer angkat bicara menjelaskan latarbelakang munculnya layer modern.
Menurutnya, layer modern mulai muncul sejak tahun 2000 yang merupakan hasil rekayasa genetik dari proses seleksi yang panjang. Seleksi itu ditujukan untuk mendapatkan potensi genetik yang diinginkan berupa produktivitas maksimal dan efisiensi yang tinggi.
Lebih lanjut, kata Hadi, kelebihan layer modern ini diantaranya memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dengan kematangan seksual lebih awal 2 minggu. Selain itu bentuk badan yang lebih kecil menyebabkan layer modern lebih efisien dalam kebutuhan ransum.
Ia juga menambahkan bahwa layer modern saat ini memiliki puncak produksi 2-3% lebih tinggi, dengan hen day 90%, 8 minggu lebih lama serta feed convertion ratio (FCR) yang lebih rendah.

Berikut adalah perbandingan performa salah satu strain ayam layer di bawah:
Perbandingan Performan
Peforman Isa Brown (1984) Isa Brown (2004)
Berat badan umur 17 minggu 1500 gram 1400 gram
HD 50% 22 minggu 20 minggu
Puncak produksi 91-92% 95%
Berat telur 63 gram 62,6 gram
HH egg production 310 350
HH mass production 19,5 kg 21,9 kg
FCR total 2,35 2,14
Daya hidup 93-94% 97%

Sangat Rentan di Awal Pemeliharaan
Di tempat dan waktu berbeda Drh Brigita, technical services PT Medion Farma Jaya pernah menjelaskan tentang strategi sukses beternak layer modern pada acara Diklat Medion belum lama ini yang secara khusus diikuti Infovet. Gita, begitu ia biasa disapa, menjelaskan bahwa kelemahan layer modern diantaranya adalah bila terjadi gangguan pertumbuhan akan sulit dikompensasi pada masa pertumbuhan berikutnya.
Selain itu layer modern yang dikembangkan dengan teknologi tinggi ini juga lebih mudah stres karena perubahan keadaan lingkungan. Ditambah nafsu makan yang lebih rendah terutama di umur 4 minggu pertama dan saat mendekati masa produksi.
Hal ini dibenarkan oleh Drh Hadi Wibowo, katanya, Layer modern mudah sekali stres, sering terjadi pada saat awal pemeliharaan. Terutama saat DOC baru datang rentan terhadap cekaman temperatur. Saraf sensoris diujung-ujung kaki dan paruhnya sangat peka terhadap perubahan suhu kamar. Untuk itu suhu kamar harus optimal sehingga 1-2 jam sebelum DOC datang pemanas harus sudah dinyalakan. Bila suhu sekam dingin cenderung membuat anak ayam diam dan pasif bergerak. Sehingga menyebabkan anak ayam terlambat untuk mulai makan dan minum yang juga berbuntut tidak tersedianya energi, vitamin, dan antibiotik yang dibutuhkan ayam di fase awal pertumbuhannnya.
Lebih jauh, Hadi menjelaskan, semakin cepat ayam makan dan minum maka semakin cepat rangsangan terhadap sel epitel usus untuk berkembang. Oleh karenanya Hadi menyarankan ke peternak dan anak kandang dilapangan untuk memperhatikan tembolok ayam saat 8 jam pertama harus terisi sekitar 80%. Dan saat 12 jam pertama tembolok harus sudah terisi 100%.
Betapa pentingnya kualitas dan kuantitas pakan diperiode awal pemeliharaan. Karena gangguan sekecil apapun akan mempengaruhi performa pertumbuhan di fase berikutnya. Hadi menambahkan, gangguan pada hari pertama akan menyebabkan pertumbuhan bursa fabricius di hari ke-4 akan terhambat. Padahal organ ini berfungsi sangat vital guna menghasilkan zat kebal tubuh dari serangan kuman patogen dari lingkungan. Pada saat minggu ketiga sel timus mulai berkembang yang juga menghasilkan sel yang bertanggung untuk kekebalan tubuh.
Hadi sangat menyayangkan pola pikir peternak yang kolot atau dalam bahasa Jawa ‘ndableg’ atau susah mengikuti perubahan untuk memperbaiki manajemen pemeliharaan ayam petelurnya. Karena menurut mereka dengan pengalaman beternak lebih dari 20 tahun sudah cukup dengan manajemen seadanya seperti waktu mereka mulai beternak. Tapi mereka lupa bahwa sifat genetik ayam telah jauh berubah dan membutuhkan perhatian lebih intensif agar dapat berproduksi optimal.
Pada kesempatan berbeda Drh Sugeng Pujiono Marketing Manager PT Sanber Farma Divisi veteriner dan Akuakultur menyampaikan bahwa perubahan kualitas genetik yang begitu pesat menuntut perbaikan manajemen yang optimal.
Sugeng mencontohkan pada fase brooding di 2 minggu pertama peternak harus ekstra hati-hati, sebab bila terjadi gangguan akan menyebabkan terlambatnya penyerapan kuning telur yang berujung pada terlambatnya pembentukan kekebalan tubuh.
Selain itu, pria kelahiran Gresik, 20 November 1963 ini menekankan bahwa keseragaman berat badan harus sudah dicapai sebelum usia 6 minggu disesuaikan dengan standar yang ditentukan pembibit, sebab bila tidak akan memunculkan beragam problem dalam pemeliharaan, seperti masalah penyakit, mundurnya awal produksi, tidak tercapainya puncak produksi dan tidak bertahan lama, sehingga terjadi inefisiensi.
”Pastikan juga sebelum pullet naik ke kandang baterei telah terbebas dari infeksi cacing. Maka berikan obat cacing setidaknya 2 bulan sekali,” ujar alumni FKH Unair tahun 1981 ini.
Vaksinasi sebagai tindakan pencegahan penyakit penting dilakukan, karena berbagai penyakit yang menimpa diumur muda akan tetap berdampak permanen hingga masa produksi contohnya IB, ND, dll.
”Sebenarnya peternak sekarang ini lebih mengaharapkan ayam petelur yang puncak produksinya tidak terlalu tinggi misalnya 80-85% yang penting peak produksi tersebut bisa bertahan lama. Dibanding layer modern saat ini yang puncak produksinya tinggi 90-92% tapi kalau sudah turun, turunnya bisa anjlok sekali,” terang Sugeng.
Namun ketiga narasumber Infovet tersebut sepakat bahwa keberhasilan mencapai puncak produksi dan persistensi hen day (HD) diatas 90% dalam waktu lama tak bisa didapatkan secara instan dan singkat. Tapi peternak sebelumnya harus memperhatikan kondisi ayamnya secara sungguh-sungguh mulai sejak ayam datang di kandang (chick in) sampai ayam bertelur.
Bukan suatu hal yang mudah tentunya. Namun, juga bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Penerapan sistem pemeliharaan yang baik dengan didukung dengan manajemen kesehatan yang baik tentu akan dapat mewujudkan hasil yang optimal tersebut.

Kenali Fase Kritis Pemeliharaan Ayam Layer

Fokus Infovet Mei 2008

Fase kritis pemeliharaan ayam layer adalah saat di awal pemeliharaan. Keberhasilan menciptakan kondisi yang optimal bagi tumbuh kembang anak ayam hingga pullet menjadi modal dasar suksesnya peternakan ayam petelur. Demikian diungkapkan Tim Teknis Medion yang diwakili Drh Brigita saat ditemui Infovet di Bandung belum lama ini. Infovet secara khusus hadir mengikuti Diklat yang saat itu membahas tentang manajemen layer modern. Diklat Medion ini rutin digelar oleh PT Medion untuk meningkatkan wawasan peternak binaannya.
Lebih lanjut menurut Gita, demikian ia akrab disapa, untuk mencapai hal tersebut diperlukan usaha yang ulet dan teliti. Faktor-faktor penentu keberhasilan produktivitas pun perlu kita ketahui dan pahami bersama. Faktor kritis tersebut antara lain pencapaian berat badan sesuai standar dan uniformity (keseragaman), frame size (ukuran kerangka) yang optimal, nutrisi yang benar, vaksinasi dan pengobatan yang tepat serta stimulasi cahaya dalam peningkatan produktivitas ayam.
Gita menambahkan, ayam layer modern selain memiliki kelemahan mudah stres, juga lebih peka terhadap kualitas dan kuantitas ransum. Layer modern juga lebih mudah terinfeksi bibit penyakit, karena berat relatif organ lymfoid (red. perbandingan berat organ lymfoid dengan berat badan) lebih kecil.
Oleh karenanya faktor kritis yang telah disebutkan diatas patut menjadi perhatian peternak. Tiga parameter yang lazim dijadikan tolok ukur performan ayam petelur adalah data hen day (HD), feed conversion ratio (FCR) dan tingkat kematian. Dari ketiga parameter tersebutlah bisa diketahui apakah hasilnya sesuai atau bahkan melebihi standar (target performan) dari perusahaan pembibit. Syukur kalau memenuhi standar atau bahkan melampaui target dengan bayang-bayang keuntungan yang menggiurkan. Tapi kalau ternyata hasilnya jauh dibawah standar tentu inefisiensi biaya produksi dan kerugian telah menanti.
“Sebelum memulai produksi kita harus menentukan target produktivitas ayam petelur yang kita pelihara. Tentu saja target tersebut bersumber dari manual guide atau manual management yang dikeluarkan oleh perusahaan pembibitan. Data produktivitas ayam petelur rekanan kita yang telah melebihi standar juga bisa menjadi acuan kita dalam menentukan target ini,” jelas Gita.
Perlu menjadi perhatian kita bersama, saat kita telah menentukan sebuah target produktivitas maka dapat diartikan kita telah mempunyai sebuah tujuan yang jelas. Setelah itu, kita akan selalu berusaha untuk mencapai tujuan itu dengan baik. Jika kita belum memiliki tujuan tentu saja arah kita dalam pemeliharaan ayam petelur pun tidak menentu. Contoh target performan (produktivitas) ayam petelur coklat (layer brown) dari berbagai strain yang ada di Indonesia bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Target Performan (Produktivitas) Ayam Petelur
Parameter Satuan Strain Ayam Petelur
Hisex Hy Line ISA Brown Lohmann
Dayahidup % 94,5 96-98 93,2 93-96
Umur saat HD 50% Hari 142 145 143 150
HD puncak produksi % 96 94-96 95 94,5
Rata-rata berat telur g 62,5 62,7-66,9 63,1 63,3
Jumlah telur per hen house butir 352 ND 351 310,4
Berat telur per hen house kg 22 23,2 22,1 19,65
Konsumsi ransum rata-rata g 112 109 111 112,8-113,6
FCR 2,17 1,96 2,14 2,1
Sumber: Manual Guide atau Manual Management Breeder, 2006-2007
Untuk strain Hisex, Hy Line dan Isa Brown merupakan target performan umur 18-80 minggu sedangkan Lohmann merupakan target performan umur 18-72 minggu.

Mengejar Pertumbuhan yang Optimal
Ayam petelur modern saat ini merupakan ayam hasil rekayasa genetik dengan potensi mampu menghasilkan telur dengan jumlah yang banyak (red. Hen Day tinggi) dan bertahan lama persistensi produksi telur baik) dengan tingkat efisiensi yang semakin baik. Meskipun produktivitas telurnya dibuat setinggi mungkin, namun berat badannya didesain dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan generasi sebelumnya. Desain berat badan ayam petelur ini bertujuan menekan kebutuhan nutrisi yang dipakai dalam proses maintenance (perawatan) tubuh sehingga asupan nutrisi bisa lebih banyak diposisikan untuk pembentukan telur.
Namun, desain terbaru ayam petelur ini membawa konsekuensi tersendiri dan yang paling mencolok adalah pencapaian berat badan yang relatif sulit. Kasus ini terutama terjadi saat masa starter (umur 1 bulan pertama) maupun saat mendekati masa produksi telur. Dan yang lebih parah lagi, ketertinggalan berat badan ini relatif sulit dikompensasi di masa pemeliharaan berikutnya. Dan efeknya pun akan selalu terbawa saat ayam masuk pada masa produksi telur. Ayam yang mengalami masalah pencapaian berat badan di umur 4-5 minggu juga akan mengalami hal yang sama pada umur 16 minggu yang berefek pada kemunduran umur awal produksi.
Pencapaian berat badan sesuai standar menjadi salah satu parameter utama yang menentukan baik tidaknya produktivitas ayam. Berat badan ayam melebihi standar, bukan suatu hal yang baik. Kita tahu, kelebihan berat badan (ada yang berpendapat >10%) mengakibatkan saluran pencernaan dan saluran reproduksi banyak terdapat lemak sehingga perkembangan saluran reproduksi terhambat dan parahnya saat memasuki masa produksi, biasanya akan banyak ditemukan kasus prolapse (keluarnya sebagian saluran reproduksi) yang diakhiri dengan kematian ayam.
Timbunan lemak itu dapat menurunkan elastisitas saluran reproduksi sehingga saat pelepasan telur (terjadi kontraksi saluran reproduksi) posisi saluran reproduksi tidak bisa kembali seperti semula atau tidak bisa masuk kembali. Keadaan ini memicu ayam lainnya mematuknya sehingga akhirnya ayam tersebut mati.
Berat badan ayam yang terlalu kecil (di bawah standar) juga akan membawa konsekuensi tersendiri, yaitu telur yang dihasilkan mempunyai ukuran yang lebih kecil dari standar dan masa rentang bertelurnya menjadi lebih pendek. Kondisi inipun sangat sulit untuk dipulihkan. Penyebabnya ialah pada masa-masa awal bertelur, selain dituntut untuk menghasilkan telur ayam juga harus menambah berat badannya, sekitar 300 gram sampai puncak produksi. Hal ini semakin diperparah dengan tingkat konsumsi ransum yang lebih sedikit.

Ketertinggalan Bisa Dikejar
Memahami 2 alinea sebelumnya, semakin memantapkan kita bahwa pencapaian berat badan ayam mulai dari umur 1 hari sampai memasuki masa produksi menjadi hal yang sangat essensial. Bagaimana halnya dengan ayam yang “sempat” tertinggal berat badannya namun akhirnya dapat mencapai berat standar? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengetahui fase perkembangan dari organ-organ tubuh ayam.
Pertumbuhan daging dapat terjadi setiap saat sampai ayam mati dan sama halnya juga dengan pertumbuhan bulu. Berbeda halnya dengan pertumbuhan tulang atau kerangka yang mempunyai batas akhir dimana pada saat tertentu tulang hanya mengalami pertumbuhan yang sedikit atau boleh dikatakan tidak terjadi pertumbuhan lagi.
Saat ayam berumur 12 minggu, frame (kerangka) ayam telah terbentuk secara sempurna sedangkan sebelumnya (umur 6-7 minggu) 80% kerangka tubuh ayam telah mencapai dimensi akhir. Hal ini dapat diartikan bahwa ketertinggalan pertumbuhan tulang sebelum umur 12 minggu masih relatif bisa dikejar meskipun dengan biaya yang relatif besar. Perkembangan kerangka yang optimal dapat kita lihat dari panjang kaki (tulang shank) maupun lebar tulang selangka (os pubis). Pengaruh panjang kaki terhadap produksi telur tercantum pada Tabel 2.
Keberadaan tulang atau kerangka yang optimal akan sangat mendukung dihasilkannya telur yang berkualitas. Hal ini disebabkan komponen penyusun kerabang telur, yaitu kalsium (Ca) salah satu sumbernya adalah dari tulang kerangka ayam. Jika pertumbuhan tulang tidak optimal, selain menyebabkan kerabang telur menjadi tipis dapat juga mengakibatkan terjadinya kasus lumpuh layu (cage layer fatique). Pada kasus ini, suplementasi kalsium penting dilakukan.

Tabel 2. Pengaruh Panjang Kaki terhadap Produksi Telur
Berat Badan (gram) Panjang kaki (mm) Puncak Produksi (%)
1.339 99 84
1.285 98 86
1.298 103 87
Sumber: Miller, 1992

Keseragaman Harus Diatas 80%
Selain pencapaian berat badan sesuai standar kita juga harus memperhatikan uniformity (keseragaman) dalam populasi ayam yang kita pelihara. Keseragaman minimal yang harus tercapai ialah 80%. Jika keseragaman turun, bisa dipastikan puncak produksi akan sulit tercapai.
Langkah pencapaian berat badan dan keseragaman yang baik harus dilakukan sejak awal DOC masuk dalam kandang (chick in). Kontrol berat badan ayam harus dilakukan dengan teknik dan waktu yang tepat. Kontrol berat badan ayam yang dipelihara di kandang postal dan baterai berbeda. Jika ayam dipelihara di dalam kandang postal maka pengambilan sampel ayamnya dilakukan dengan memakai sekat berbentuk segi empat yang dilengkapi dengan jaring. Sekat ini diletakkan pada salah satu sisi kandang, misalnya di bagian tengah kandang. Setiap ayam yang terdapat dalam sekat tersebut ditimbang satu per satu. Jumlah sampel yang bisa mewakili teknik ini minimal 100 ekor. Jika 1 floks terdiri dari beberapa kandang maka pengambilan sampel dilakukan di setiap kandang dengan jumlah sampel 50 ekor. Hasil tersebut kemudian di buat rata-rata. Jika ayam dipelihara pada kandang baterai, pengambilan sampelnya diwakili oleh 5 atau 6 bagian kandang (cage) yang dipilih secara acak. Seluruh ayam yang berada pada cage tersebut ditimbang satu per satu.

Salah satu program kontrol berat badan adalah:
 Umur 0 dan 4 minggu, penimbangan berat badan dilakukan pada seluruh ayam karena keseragaman sangat sulit tercapai pada periode ini
 Umur 4-26 minggu, kontrol berat badan individual dilakukan tiap minggu
 Umur26-35 minggu penimbangan dilakukan setiap 2 minggu
 Umur >35 minggu sampai panen, penimbangan dilakukan 1 bulan sekali

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat penimbangan berat badan adalah :
 Jumlah ayam yang ditimbang 5-10% dari total populasi. Usahakan ayam yang ditimbang selalu sama setiap penimbangan.
 Penimbangan ayam harus dilakukan satu persatu jangan dilakukan secara kelompok misalnya sekali timbang ada 5 ekor ayam.
 Alat timbang yang digunakan harus selalu sama
 Skala ketelitian alat timbang tidak boleh Iebihdari 20g
 Waktu pelaksanaan penimbangan harus selalu sama, misalnya akhir minggu

Jika keseragaman berat badan tidak sesuai standar segera lakukan evaluasi pada beberapa hal berikut:
 Jumlah dan distribusi tempat ransum dan tempat minum
 Kepadatan ayam di dalam kandang
 Kualitas dan kuantitas ransum
 Kualitas potong paruh
 Adanya serangan penyakit
 Terjadinya stres pada ayam, baik karena lingkungan kandang yang kurang nyaman maupun perlakuan yang kurang sesuai

Nutrisi Harus Cukup, Lighting Juga Penting

Fokus Infovet Mei 2008

Asupan nutrisi yang cukup dan berkualitas menjadi syarat mutlak untuk tercapainya produksi telur yang optimal. Sumber utamanya dari ransum yang kita berikan. Selain itu, penambahan feed supplement juga dapat melengkapi kandungan nutrisi mikro, seperti vitamin, mineral maupun asam amino.

Dengan semakin berkembangnya genetik ayam, kebutuhan nutrisinya pun menjadi semakin kompleks. Ayam petelur sekarang akan langsung memberikan respon jika kualitas ransum kurang sesuai. Kasus ini pernah terjadi pada awal tahun 2007 saat suplai jagung berkurang, banyak peternak yang kebingungan karena ayamnya tidak mau bertelur. Kasus feed intake yang kurang juga sering ditemui.
Berbicara tentang ransum ayam petelur, ada 2 hal perlu diperhatikan yaitu kualitas ransum (red. kelengkapan dan keseimbangan nutrisi dalam ransum) dan feed intake. Nutrien yang diperlukan ayam petelur antara lain energi metabolisme, protein, asam amino terutama lisin dan metionin, minyak, asam lemak (asam linoleat) maupun mineral kalsium dan fosfor. Nutrien itu akan dimanfaatkan untuk beberapa proses, diantaranya mempertahankan (maintenance) tubuh, pertumbuhan bulu, pertumbuhan berat badan maupun produksi telur. Jenis maupun besarnya kebutuhan nutrisi sangat tergantung dari fase produksinya. Contoh kebutuhan nutrisi ayam petelur tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Kebutuhan Ayam Petelur Berdasarkan Tingkat Produksi
Zat Nutrisi Kebutuhan Nutrisi (g/ek/hr)
>57,5 55,5-57,5 <55,5
Berat Telur (g/ek/hr)
Protein kasar 19,60 18,40 17,80
Metionin 0,44 0,38 0,36
Lisin 0,87 0,83 0,78
Triptofan 0,21 0,20 0,19
Treonin 0,64 0,58 0,55
Kalsium 4,10 4,30 4,40
Fosfor tersedia 0,42 0,38 0,33
Sodium 0,17 0,17 0,17
Klorin 0,17 0,17 0,17
Asam linoleat 2,00 1,60 1,20
Sumber: Pedoman Pemeliharaan Layer MB 402, 2006

Kualitas ransum yang baik akan mendorong tercapainya feed intake. Meskipun demikian bukan suatu keniscayaan jika feed intake tetap tidak sesuai. Jika hal ini terjadi kita harus jeli untuk melakukan evaluasi pada tata laksana pemberian ransum. Apakah frekuensi pemberian ransum telah kita atur sedemikian rupa sehingga palatabilitas dan nafsu makan ayam tetap baik? Bagaimana dengan kondisi suhu dalam kandang kita, panas atau dingin? Berkurangnya nafsu makan juga menjadi salah satu indikasi awal serangan penyakit.
Kasus rendahnya feed intake sering kali kita temukan pada umur awal (1-4 minggu) dan saat mendekati masa produksi telur. Sedangkan kita tahu bahwa di kedua waktu ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap produksi telur. Masa awal menjadi pondasi bagi pertumbuhan seluruh organ vital dalam tubuh ayam. Jika terhambat maka akan sudah barang tentu pertumbuhan pada umur berikutnya akan terhambat. Mendekati masa produksi, di dalam tubuh ternak terjadi perubahan hormonal dimana mulai mempersiapkan untuk menghasilkan telur. Selain itu, ayam ini juga harus mengalami perlakuan paksa, seperti potong paruh ulang, pindah kandang dan pemberian vaksin inaktif. Oleh karenanya saat mendekati masa produksi ini sangat diharapkan ayam memiliki berat badan di atas standar (<10%) sehingga saat mengalami beberapa kondisi yang tidak nyaman dan terjadi penurunan berat badan, saat berproduksi telur berat badannya tetap baik.
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga kualitas ransum tetap baik dan asupan nutrisi terpenuhi:
 Lakukan pengujian kualitas ransum secara rutin. Cek kondisi fisik ransum saat penerimaan dan lakukan uji laboratorium setiap 6 bulan sekali atau saat pergantian suplier ransum
 Terapkan manajemen first in first out (FIFO) atau ransum yang datang lebih dulu diberikan lebih awal
 Perhatikan manajemen penyimpanan ransum yang baik, seperti adanya balok alas ransum, suhu dan kelembaban gudang ransum
 Berikan ransum secara periodik, saat masa awal pemberian ransum dilakukan setiap 2-3 jam sekali sedangkan setelah dewasa ransum dapat diberikan 2-3 kali sehari.
 Langkah untuk meningkatkan nafsu makan antara lain melakukan pemba-likan ransum atau melakukan pengo-songan tempat ransum terutama pada siang hari
 Pembalikan ransum menjadi salah satu cara meningkatkan nafsu makan
 Jika dalam 1 hari terjadi penurunan feed intake maka kita harus secepat-nya tanggap dan berusaha mengejar kekurangan itu secepatnya

Pencahayaan Perlu Perhatian Lebih
Manajemen yang satu ini, sering kali kurang diperhatikan oleh peternak. Meskipun kita tahu, pencahayaan yang kita berikan pada ayam petelur berpengaruh pada proses kematangan organ reproduksi dan pertumbuhan. Adanya pencahayaan, baik pencahayaan alami (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu) akan menstimulasi hipotalamus di otak. Selanjutnya, “sinyal” cahaya akan diteruskan ke kelenjar-kelenjar tubuh, seperti hipofisa, tiroid dan paratiroid untuk menstimulasi disekresikannya hormon.
Kelenjar hipofisa akan mensekresikan “folicle stimulating hormone (FSH)” atau hormon perangsang perkembangan sel ovum pada indung telur (ovarium). Hormon inilah yang sangat berperan penting untuk pembentukan sebutir telur. Adanya sinyal cahaya juga menstimulasi kelenjar tiroid mensekresikan hormon tiroksin yang berfungsi mengatur kecepatan metabolisme tubuh sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Kelenjar paratiroid juga terstimulasi oleh adanya cahaya untuk mensekresikan hormon paratiroksin yang berperan dalam pengaturan metabolisme kalsium (Ca) dan fosfor (P). Setelah melihat fungsi dari adanya pencahayaan tersebut maka sudah selayaknya kita memberikan perhatian yang lebih pada program pencahayaan.
Beberapa hal yang selayaknya kita ketahui tentang program pencahayaan antara lain lama waktu pencahayaan, besarnya intensitas cahaya dan kapan pencahayaan tersebut dilakukan. Pada ayam petelur, lama waktu dan intensitas pencahayaan sangat dipengaruhi oleh fase atau umur produksi.
Pada masa starter diberikan pencahayaan dengan intensitas paling tinggi (20-40 lux) dan waktu paling lama (24 jam pada 1 minggu pertama). Tujuannya ialah mempermudah ayam mengenali tempat ransum dan air minum maupun untuk memacu pertumbuhan. Saat fase grower, program pencahayaan diberikan cahaya dalam waktu paling singkat (12 jam atau hanya dari cahaya matahari) dengan intensitas terendah (5-10 lux). Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol perkembangan saluran reproduksi dan pencapaian berat badan yang optimal saat mulai berproduksi.
Lain halnya saat fase layer, lama (16 jam) dan intensitas pencahayaan (10-20 lux) berada diantara fase starter dan grower. Pada fase layer ini, adanya pencahayaan akan membantu proses pembentukan telur, pertumbuhan berat badan dan membantu metabolisme Ca dan P yang sangat diperlukan untuk pembentukan kerabang telur dan tulang. Jumlah lampu yang diperlukan untuk memperoleh intensitas yang dikehendaki dapat diketahui dengan rumus:

Berikut adalah perhitungan jumlah lampu yang dibutuhkan untuk luasan kandang dan jenis lampu tertentu.

∑ lampu = Luas kandang x Intensitas cahaya
Watt lampu x K faktor

K faktor merupakan konstanta yang nilainya tergantung daya lampu, yaitu :
Watt Lampu
15 25 40 60 100
K Faktor 3,8 4,2 4,2 5,0 6,0

Selain lama waktu dan intensitas pencahayaan, penentuan waktu untuk menambah atau mengurangi pencahayaan juga wajib diperhatikan oleh peternak. Dua hal penting tentang pencahayaan adalah jangan menambah jam terang selama masa pertumbuhan (fase grower) dan sebaliknya jangan mengurangi jam terang selama masa produksi. Jarak dan distribusi lampu juga harus diperhatikan. Jangan sampai jarak maupun intensitas lampu yang digunakan tidak sama. Jarak pemasangan lampu yang kurang baik, yaitu jarak antar satu lampu dengan lainnya tidak sama dapat mengakibatkan perbedaan intensitas cahaya.
Data penelitian menunjukkan adanya pengaruh pencahayaan terhadap performan produksi telur. Ibnu Katsir Amrullah (2003) menjelaskan bahwa ayam yang diberi pencahayaan selama 8 jam pada masa grower dan 14 jam pada masa layer mampu menghasilkan telur dalam jumlah lebih banyak (berbeda signifikan) meskipun berat telurnya sedikit lebih ringan.
Pemberian cahaya yang sama antara masa grower dan layer terbukti mempunyai produksi telur lebih rendah meskipun berat telurnya lebih besar. Namun pemberian cahaya secara terus-menerus (tanpa pengaturan) akan mengakibatkan ayam kurang peka rangsangan cahaya saat memasuki masa layer (produksi telur). Selain itu, pemberian cahaya yang kurang sesuai (terlalu lama) akan menyebabkan berat badan ayam lebih besar.
Dari penelitian Ibnu Katsir Amrullah (2003) juga diketahui bahwa ayam grower yang dipelihara dengan lama pencahayaan 14 jam terus-menerus mempunyai berat badan 60 gram lebih berat pada umur 19 minggu.
Penambahan cahaya juga dapat mempercepat dewasa kelamin (umur bertelur). Ibnu Katsir (2003) menyatakan jika penambahan cahaya dilakukan dua hari lebih awal maka ayam akan bertelur lebih cepat 1 hari. Namun perlu diingat, ayam yang terlalu cepat bertelur namun berat tubuhnya belum optimal akan menghasilkan telur dengan ukuran yang lebih kecil. Dan hal ini akan relatif sulit untuk diperbaiki karena saat mulai bertelur sampai puncak produksi (masa kritis), ayam harus mengalokasi ransum yang dikonsumsi untuk 2 proses penting, yaitu produksi telur (mencapai puncak) dan pertumbuhan (± 300 gram). Sama halnya jika terlalu gemuk, penambahan cahaya akan memicu terjadinya prolapse.
Melakukan kontrol berat badan secara ketat, program vaksinasi yang sesuai, pemberian ransum sesuai kebutuhan dan memberikan stimulasi cahaya menjadi langkah penting untuk tercapainya produksi yang optimal. Produksi telur tercapai, keuntungan pun tinggi. (Infovet)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer