Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Masalah Itu Muncul dari Pembibit

Fokus Majalah Infovet Edisi 162 Januari 2008

Umumnya kekerdilan baru diketahui peternak setelah memasuki usia panen sekitar umur 28 hari. Di usia itu biasanya ayam kerdil tak mencapai bobot 1 kg dimana teman seangkatannya berbobot 1,2-1,4 kg.

Kekerdilan yang semacam ini bukan terjadi karena masalah pakan tetapi lebih disebabkan oleh infeksi virus MAS (malabsorption syndrome). MAS menyebabkan tidak optimalnya pencernaan dan penyerapan sari makanan yang berbuntut pada kekerdilan.

Selain kasus kekerdilan ada juga kasus keterlambatan tumbuh yang bisa disebabkan oleh kualitas pakan yang jelek dan atau buruknya manajemen pemeliharaan di fase awal pemeliharaan. Contohnya pemberian pemanas yang kurang tepat, stres dan kepadatan yang berlebihan.

Selain itu kerdil juga bisa disebabkan oleh kualitas genetik dari bibit ayam yang memang membawa sifat kerdil. Karena menurut Hadi kekerdilan akan selalu ada setidaknya 20% dalam setiap flok, namun persentase tersebut bisa bervariasi tergantung kualitas ayam bibit. Ayam seperti ini biasanya menunjukkan pertumbuhan normal dengan berat badan yang tidak standar.

Hadi selalu mengkaitkan antara kekerdilan dengan keterlambatan tumbuh karena kedua kasus ini hampir selalu ditemukan bersamaan menjelang akhir masa pemeliharaan. Kendati menurut Hadi kasus kerdil bisa disebabkan karena kesalahan di manajemen, pakan dan bibit. Ia juga menjelaskan bahwa infeksi penyakit yang menekan kekebalan (imunosupresan) juga umumnya dapat menyebabkan ayam lambat tumbuh. Penyakit itu diantaranya adalah Koksidiosis, Avian Influenza, Necrotic Enteritis, Marek, Coryza, dll.
Hadi juga menuturkan bahwa sewaktu dirinya masih mengelola farm setidaknya dari populasi 10.000 ekor ditemui kasus kekerdilan sebesar 2-10%. Dari perhitungannya bila setiap boks ayam jumlahnya 102 ekor, maka kerugian akibat kekerdilan yang dirasakan peternak mencapai 8% dari jumlah populasi yang dipeliharanya. Menurut Hadi sebaiknya kasus kekerdilan bisa ditekan minimal hingga 1-2% saja dari total populasi.

Kasus kekerdilan ini, lanjut Hadi, disebabkan oleh kualitas bibit yang tidak standar. Ia mengkaitkan kejadian ini dengan naik turunnya harga bibit DOC. Bila harga sedang jelek misalnya harga DOC broiler atau layer Rp 500 maka kasus kekerdilan dipeternak akan menurun. Sementara bila harga sedang baik yaitu untuk DOC broiler berkisar antara Rp 3500-Rp 4000 dan harga DOC layer Rp 4.000 sampai Rp 6.000 seperti baru-baru ini terjadi maka bisa dipastikan kualitas bibit DOC akan menurun yang disertai dengan meningkatnya kasus kekerdilan.

“Hal ini tak lain dari ulah pembibit yang sengaja melepas DOC diluar standar memanfaatkan sedang bagusnya harga DOC di pasaran. Jadi ada tekanan kepentingan bisnis disini,” ujar Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita.

Hal inilah yang disebut Hadi sebagai penyebab kekerdilan non genetis. Sehingga bisa disimpulkan kasus kekerdilan semacam ini tak akan mengenal musim atau waktu. Karena bisa terjadi di awal, tengah atau akhir tahun.

Namun fenomena ini berusaha dibantah oleh Drs Tony Unandar (konsultan perunggasan swasta) belum lama ini di Bogor. Menurut Tony, tak ada usaha pembibitan yang menggiring pelanggannya yang nota bene adalah peternak kejurang kerugian. Karena bila peternaknya rugi tentu pembibit juga akan rugi.

Hadi menimpali, memang secara teoritis begitu yang berlaku, namun bila kita melihat kenyataan di lapangan tak bisa dipungkiri peran bibit pasti ada walaupun sekecil mungkin terhadap maraknya kasus kekerdilan. Entah itu karena penyakit bawaan dari induk yang terinfeksi reovirus, manajemen pengiriman yang menyebabkan ayam stres dan dehidrasi, atau karena manajemen di fase awal yang kurang tepat diterapkan peternak.

Hadi tetap menekankan bahwa faktor harga DOC sangat berpengaruh terhadap kualitas DOC yang dijual. Dimana apabila harga sedang bagus maka biasanya banyak anak ayam yang akan mengalami kekerdilan. Hal itu berdasarkan pengamatan pengalamannya selama lebih dari 25 tahun berkecimpung di perunggasan.

Perlu Perlakuan Khusus

Ia menyarankan untuk meminimalisasi dampak buruk dari ayam yang berpotensi kerdil, ada baiknya di awal DOC baru datang dilakukan seleksi berdasarkan berat badan. Nah, DOC bermasalah inilah yang disisihkan untuk diberikan perlakuan khusus. Kalau diculling tentu akan mubazir karena harga DOC yang sedang mahal. Karena kalau tidak tentu akan memperparah keburukan kerdil yang disebabkan ia kalah bersaing dalam mendapatkan makan dan minum. Itu dilakukan supaya nanti saat dipanen perbedaan capaian berat badan tidak terlampau mencolok.

Hadi kembali menegaskan keterkaitan harga DOC dengan kualitas, bila harga sedang bagus biasanya 10 sampai 20 persennya bermasalah. Masalah itu bisa berupa membawa sifat kerdil secara genetis, bobot badan tidak standar/DOC kapas, terinfeksi pullorum, dehidrasi dan setengah mati akibat tergencet atau lainnya.

Perlakuan khusus untuk DOC bermasalah ini dengan memberikan perlakuan manajemen yang optimum. Seperti pemberian pemanas yang sesuai dan merata, kualitas dan kuantitas pakan pre-starter yang superior mempunyai nutrisi dan digestibility tinggi.

Tambahkan pula ATP dan Zinc dalam minumnya untuk meningkatkan nafsu makannya.
“Niscaya dengan perlakuan seperti ini tingkat keseragaman berat badan saat panen akan terbantu lebih seragam,” ujar Hadi. (wan)

Masalah Klasik yang Tetap Mengusik

Fokus Edisi 182 Januari 2008

Ditengah jaman yang serba sulit ditengah berbagai tekanan naiknya harga pokok produksi seperti pakan, minyak tanah, bensin, gas, listrik, dll. Belum lagi menghadapi kondisi cuaca yang mulai susah ditebak akibat pemanasan global. Kadang panas kadang juga hujan mendadak yang menyebabkan ayam harus kerja keras untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan seperti ini.

Masalah klasik yang mulai muncul di era tahun 1990-an kekerdilan masih tetap saja menghantui peternak. Kasus ini sudah bertahun-tahun menjadi santapan akrab peternak, yang muncul kala bibit-bibit ayam tiba dan dikembangkan ternyata tak jua tumbuh normal.

Namun peternak hanya bisa meradang lalu hilang. Perdamaian dengan pembibit selalu ada jalan keluarnya, tanpa peduli siapa yang kalah dan siapa yang menang. Karena di sini bukan soal kalah menang, tapi soal keberlanjutan usaha keduanya.

Pemerintah sebagai wasit masih saja diharap turun sebagai dewa penyelamat, meski pada kenyataannya soal perunggasan peternak sudah terlalu lama ‘cuci tangan’ dalam arti lebih melepaskan penyelesaiannya pada kalangan swasta yang dianggap telah eksis bahkan tinggal landas, dibanding pengawasan dan pembinaan pada ternak besar sapi, kambing, domba.

Kekerdilan atau lambat tumbuh dan keseragaman kurang baik yang dirasakan peternak belakangan ini, selain penyebab utamanya karena masih lemahnya praktek manajemen di tingkat peternak komersial (terutama manajemen masa brooding), dan kebanyakan terjadi pada peternak skala kecil, juga karena kualitas DOC yang sejak awal diterima sudah cukup bermasalah (omphalitis dan infeksi yolk sac).

Selain faktor bibit kecurigaan pun ditujukan pada kualitas pakan yang diberikan, dimana daya cernanya menurun dibanding biasanya yang menyebabkan anak ayam tidak mendapat nutrisi yang semestinya.

Drh Edi Purwoko Country Manager CEVA Animal Health kepada Infovet beberapa waktu silam pernah menjelaskan bahwa kekerdilan adalah gejala terhenti atau terhambatnya pertumbuhan. Kekerdilan itu sendiri merupakan multi-factorial syndrome. Penyebab terjadinya kekerdilan bisa dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu.

Kekerdilan Akibat Penyakit atau Agen Infeksius

Banyak agen penyakit baik viral, bakterial maupun protozoa yang secara mandiri maupun bersama-sama menyebabkan kekerdilan maupun ketidakseragaman pertumbuhan broiler/pullet.

Multi age broiler farm dengan waktu istirahat yang pendek merupakan faktor yang ikut menyebabkan terjadinya kekerdilan. Apabila kekerdilan disebabkan oleh agen penyakit atau hal yang ada hubungannya dengan penyakit, maka salah satu ciri utamanya sindrom kekerdilan akan berulang dari periode ke periode.

Beberapa penyebab diantaranya adalah Gumboro subklinis. Gumboro membuka pintu bagi masuknya mikroorganisme lain ke dalam tubuh ayam. Selain itu, Banyak laporan yang menyatakan, Reovirus sering diisolasi dari ayam-ayam yang menderita kekerdilan.

“Tetapi harus hati-hati untuk menunjuk virus ini sebagai penyebabnya, karena reovirus bersifat ‘obiquitous’ atau ada dimana-mana, terkadang ada banyak di flok broiler tanpa menyebabkan suatu problem,” ujar Edi.

Penyakit Marek atau Chicken anemia dan Koksidiosis yang menyebabkan imunosupresi membuat agen penyakit yang biasanya tidak menyebabkan sakit dapat membuat efek buruk pada ayam, seperti gejala kerdil.

Untuk mengatasinya, Edi mengajurkan pembibit untuk mereview ulang program vaksinasi pada broiler breeder untuk mendapatkan anak ayam yang mempunyai maternal antibodi yang tinggi dan seragam terhadap Gumboro dan Reovirus. Sampling darah secara rutin pada DOC broiler sangat dianjurkan untuk kesuksesan vaksinasi terhadap gumboro.
Pemberian koksidiostat pada pakan sangat dianjurkan, dan koksidiostat sebaiknya diganti secara reguler untuk menghindari resistensi pada tingkat komersial. Serta pembersihan dan desinfeksi kandang yang baik, dilanjutkan dengan istirahat kandang yang cukup akan membantu memperbaiki performans ayam pada periode selanjutnya.

Dari pantauan kasus ini pun bisa mencapai 20% dari seluruh populasi. Itu merupakan jumlah yang cukup banyak. Umumnya ayam-ayam yang lambat tumbuh sangat rentan terhadap serangan penyakit infeksius. Ini dikarenakan lambatnya pula pertumbuhan organ pertahanan tubuhnya seperti bursa, limpa, thymus dan kelenjar pertahanan tubuh lainnya.

Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan tubuh ayam itu sendiri dalam menghasilkan zat kebal tubuh, guna menangkal atau melawan agen infeksi yang masuk dan menyerang tubuh ayam itu sendiri.

Dengan tidak sempurnanya perkembangan organ dan kelenjar pertahanan yang dimiliki oleh ayam yang mengalami lambat tumbuh tersebut, akan menyebabkan respon immune terhadap semua perlakuan vaksinasi yang diberikan pada ayam, tidak dapat menghasilkan kekebalan yang optimal.

Sehingga titer antibodi dari hasil vaksinasi yang ada dalam plasma darahnya akan sangat rendah, dan ini tentu sangat berpengaruh pada tingkat proteksi terhadap serangan agen penyakit yang menjadikan ayam rentan terhadap serangan agen penyakit infeksius.

Kekerdilan Akibat Kesalahan Manajemen dan Kualitas DOC

Problem umum di hatchery terutama kelembaban, temperatur, dan pulling time dari hatcher terkadang menjadi penyebab turunnya kualitas DOC. DOC yang baik tidak boleh terdehidrasi.

Penularan penyakit secara vertikal, terutama dari kerabang telur (external egg contamination) harus dijaga. Di hatchery sangat penting untuk men-set hanya telur yang bersih dan melakukan prosedur desinfeksi telur yang efektif.

Di tingkat budidaya, peternak sebaiknya menghindari mencampur anak ayam dari breeder yang berbeda baik umur, asal, maupun berat badannya. Hal ini dilakukan untuk tetap mempertahankan keseragaman. Karena keseragaman yang lebih baik selalu menghasilkan performa yang lebih baik. Sebaiknya dihindarkan memelihara bibit muda.

Masa brooding adalah masa yang kritis untuk pertumbuhan selanjutnya. Kedinginan dimasa brooding harus dihindarkan. Early acces dan easy acces terhadap air dan pakan juga diharuskan. Oleh karenanya penempatan tempat pakan dan tempat minum harus disesuaikan dengan jumlah populasi agar anak dipastikan semua anak ayam mempunyai akses yang sama terhadap pakan dan minum. Hindari pula perlakuan yang terlalu tumpang tindih seperti vaksinasi macam-macam penyakit untuk mengurangi stres di masa awal pemeliharaan.

Kekerdilan Akibat Nutrisi dan pakan

Penyebab kekerdilan yang dipengaruhi faktor kualitas pakan adalah keberadaan jamur penyebab mikotoksin. Mycotoxin di pakan, selalu menjadi faktor utama penyebab kekerdilan pada broiler. Terlebih lagi tidak banyak yang bisa dilakukan terhadap racun asal jamur pada pakan ini, kecuali penyeleksian bahan baku untuk menjamin kecukupan nutrisi dan ketiadaan toksin pada pakan.

Defisiensi nutrisi dan vitamin dari pakan yang jelek juga sering memicu kekerdilan. Sering terjadi pada saat bahan baku pakan sulit didapat dan harganya mahal.
“Defisiensi dapat juga terjadi karena problem mixing atau pencampuran pada feedmill. Pemberian tambahan vitamin lewat air minum, utamanya vitamin yang larut dalam lemak dianjurkan pada minggu pertama dan kedua,” ujar Drh Edi Purwoko menandaskan. (wan)

Fokus 2008

[Edisi 162 Januari]
Musim Penghujan, Pakan dan Ayam Kerdil
Awal yang Baik, Gangguan Stres dan Penampilan Akhir Ayam
Kegerahan Picu Kekerdilan dan Penurunan Produksi Telur
Kekerdilan Akibat Stres Diawal Pemeliharaan
Masalah Itu Muncul dari Pembibit
Masalah Klasik yang Tetap Mengusik

[Edisi 163 Pebruari]
”SERGAPAN KEPALA BENGKAK”
INFECTIOUS CORYZA (SNOT)
Korisa dalam Pandangan Peternak Bekasi
Korisa, Stres dan Cara Penularan

[Edisi 164 Maret]
MUNCULNYA JAMUR MASA PEMANASAN GLOBAL
PAKAN MAHAL JANGAN SAMPAI GAGAL
Persoalan Jamur Pada Musim Hujan
Problem Imunosupresi Melawan Mikotoksin
RACUN JAMUR DAN UJI MUTU PRODUK TERNAK

[Edisi 165 April]
TIDAK PANDANG BULU, TIDAK BERDIRI SENDIRI
BAHAYA LATEN KOLERA DI PETERNAKAN
Dinamika Lapangan: Kasus Fowl Cholera
KOLERA DIKENALI DARI GEJALANYA
MEMBUNUH BAKTERI KOLERA
LARA PETERNAK KARENA KHOLERA
TANGANI KOLERA BERSAMA PRAKTISI BOGOR

[Edisi 166 Mei]
MEMPERSIAPKAN PULLET UNTUK PRODUKSI TELUR YANG EFISIEN
PAKAN DAN MANAJEMEN PERSONAL
Manajemen Layer Modern
Mengulik Tehnik Beternak Layer Modern
Kenali Fase Kritis Pemeliharaan Ayam Layer
Nutrisi Harus Cukup, Lighting Juga Penting
Ketika Ayam Petelur Kegemukan
PETELUR MODERN HEBAT, PETERNAK TIDAK SIAP

[Edisi 167 Juni]
CACINGAN
Cacingan Si Pencuri Nutrisi Ternak
Cacingan dan Pengobatannya
MENGAPA MEREKA MEMILIH BOLUS ???
BLOKIR URAT SYARAF CACING DENGAN NIKOTIN

[Edisi 168 Juli]
38 Lokasi Pabrik Mini Pakan Ternak Dikembangkan Deptan
ANTIBIOTIK DALAM PAKAN TERNAK
Kehidupan Tanpa Oksigen
PRO/PREBIOTIK, ASAM ORGANIK DAN ENZIM
PROBIOTIK DALAM PAKAN RANGSANG KEKEBALAN AYAM?
MUSIM PERALIHAN, ANGIN KENCANG dan VITAMIN
BUKAN SEKEDAR MENGENANG SILASE KOMPLIT
PAKAN LAGI, JAGUNG LAGI
Ketika Pabrik Pakan Ternak Pontianak "Berburu" Jagung

[Edisi 169 Agustus]
SOLUSI PENGENDALIAN AI PADA BROILER
PROYEK MONITOR AI UNTUK KEBIJAKAN TEPAT
Praktisi Perunggasan dan AI di Indonesia
Peran Sentral Pasar Unggas dalam Penyebaran AI
5 TAHUN AI DI INDONESIA OPTIMISME PERUNGGASAN HARU...
MONITORING VARIAN VIRUS HPAI KITA
MENGUAK TABIR AVIAN INFLUENZA
EFEKTIFKAN BIAYA VAKSINASI
AI dan Dunia Peternakan di Mata Mahasiswa Peternak...
SULITNYA BETERNAK SAAT INI, APA SOLUSINYA?
STRAIN VAKSIN GENETIK REVERSE UNTUK MASA DEPAN

[Edisi 170 September]
SAATNYA REKONSTRUKSI KANDANG :OPEN ATAU CLOSE HOUS...
PERBAIKAN TATA LAKSANAMencegah Kerugian di Farm da...
MUNGKINKAH TERNAK GIZI BURUK?
KIAT PETERNAK MENGAIS UNTUNG DI KANDANG
PADA BROILER MODERN “FUNGSI PEMANAS = PRODUKTIVITA...
DEFISIENSI VITAMIN A DAN E
STRES PANAS JUGA TURUNKAN IMUNITAS
SOLUSI PENGENDALIAN AI PADA BROILER
PROYEK MONITOR AI UNTUK KEBIJAKAN TEPAT
KABAR TERBARU :ASCITES (PULMONARY HIPERTENSION SYN...

[Edisi 171 Oktober]
21 HARI AYAM BERTELUR
Waspada 3 Penyakit Utama Penyebab Turunnya Produks...
SEJARAH SI GALLUS AYAM PETELUR
Produksi Telur Turun, Perhatikan Kualitas Pakan da...
Sumber Multivita Gandeng FKH IPB Update Info AI Te...
ND, EDS, IB, Pakan, Kandang dan Penurunan Produksi...
Produksi Telur Ayam Kampung di Sisi Ayam Ras
Mempertimbangkan Vaksinasi Yang Banyak Sekali
Ketika Virus ND dan EDS Diteliti Untuk Cari Virus ...
Kenali Penyebab Turunnya Produksi Telur
Jangan Lupakan Tubuh Ayam
EDS dan Vaksin Lokal
Diagnosalah Penurunan Produksi Telur

[Edisi 172 Nopember]
Penelitian Kemitraan Broiler
Leucocytozoonosis, dari Gejalanya sampai Penangana...
KETIKA 500 PETERNAK PRIANGAN TIMUR MEMETAKAN DIRI
AYAM BANGKAI KAPAN BERAKHIR ?
3 TAHAP PRODUKSI DAGING EFISIEN
TIDAK ADA CERITANYA PETERNAK BROILER RUGI?
CAMAR DI PETERNAKAN BROILER

[Edisi 173 Desember]
LALAT VEKTOR AI SEBUAH TELAAH UP DATE
HARAPAN TERBENTANG PERUNGGASAN 2009
DI MASA KRISIS:BERUNTUNGLAH PETERNAK!
YANG HARUS DIKERJAKAN PETERNAK 2009
Pemanasan Global dan Penyakit 2009

PROFESIONAL DAN MORAL PETERNAKAN/KESWAN

Ruang Redaksi Majalah Infovet Edisi 162 Januari 2008
Akhir tahun 2007, Tim Infovet bersama Peternak Ricky Bangsaratoe SH berkeliling area peternakan peternak maju di wilayah Ciputat Tangerang Jawa Barat ini. Bermula dari dialog di kantornya yang juga berlokasi di area peternakan, berlanjut dialog sambil mengamati ayam petelur di kandang yang begitu luas. Infovet mendapati begitu banyak pengalaman peternak ini yang memulai kerja bidang di luar bidang peternakan (mobil, properti), begitu terjun di bidang peternakan dengan begitu teguh memegang dua hal penting terkait tanggung jawab di bidang peternakan/kesehatan hewan.

Tanggungjawab sendiri mempunyai dua arah, yaitu: tanggungjawab secara profesional dan tanggungjawab moral.

Tanggungjawab profesional terkait penentuan standar kompetensi sebagai pelaku bidang peternakan dan kesehatan hewan, berfungsi sebagai mekanisme pengendalian mutu layanan profesional kepada masyarakat dan akan menentukan kepercayaan publik terhadap profesi bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Tanggungjawab moral terkait dengan standar legal dalam berkarya bidang peternakan dan kesehatan hewan, berperan sebagai pemandu perilaku profesional dan pengendali integritas pribadi pelaku sekaligus karyanya jangan sampai melanggar hukum dan standar moral yang secara umum berlaku dalam masyarakat, dalam lingkup lokal maupun global, sekaligus pemandu ketika terjadi konflik antarstandar moral, atau konflik antara standar moral dengan standar legal.

Mengapa kalangan peternakan dan kesehatan hewan perlu bertanggungjawab dalam kegiatannya, alasannya adalah: bagaimanapun, kegiatan dunia peternakan dan kesehatan hewan merupakan bagian integral kegiatan manusia yang wajib dipertanggungjawabkan, lalu semakin besarnya dampak pengaruh bisnis, ilmu dan segala terkait bidang ini bagi kehidupan manusia, serta kenyataan semakin pendeknya jarak waktu antara penemuan ilmiah, pemasaran hasil-hasil kerja bidang peternakan dan kesehatan hewan dalam industri binis dan kehidupan masyarakat.

Tanggungjawab kalangan peternakan dan kesehatan hewan secara internal berdasar standar perilaku profesional di mana profesi ini dapat berperan menjaga dan meningkatkan kompetensi profesional di bidangnya. Dengan cara-cara teruji, kalangan peternakan dan kesehatan hewan perlu mendorong para pelaku-nya untuk mematuhi standar metodologi bidang peternakan dan kesehatan hewan, menjaga dan setia berpegang pada hati nurani profesional bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Adapun tanggungjawab secara eksternal berdasarkan standar moral sebagai pelaku bidang peternakan dan kesehatan ehwan perlu bersikap dan bertindak jujur, bersikap terbuka atas segala masukan dan informasi yang berkembang. Namun, tetap menjaga otonomi dan integritas diri sebagai profesional bidang peternakan dan kesehatan hewan sekaligus mematuhi hukum yang berlaku.

Upaya peningkatan tanggungjawab bidang peternakan dan kesehatan hewan sendiri membutuhkan pendidikan (dalam arti luas) yang menjamin integritas profesional dan moral, juga membutuhkan kontrol publik terhadap kinerja para pelaku bidang peternakan dan kesehatan hewan, dan perlunya komite etik untuk penelitian dan pengembangan bidang peternakan dan kesehatan hewan baik pada lingkup lokal maupun global.

Tampak dalam pengamatan Tim Infovet, tanggungjawab profesional dan moral itu coba dijalankan secara terbaik oleh peternak yang kemudian menjadi pembicara dalam Training Marketing Nasional untuk Industri dan Kesehatan Hewan oleh Infovet Group, tepatnya GITA Organizer, dalam satu naungan PT Gallus Indonesia Utama bersama Infovet, akhir 2007.

Bukankah hal ini menjadi bekal yang bagus bagi kita kalangan peternakan dan kesehatan hewan untuk melangkah lebih gagah di tahun 2008, apapun yang merintang dan menghadang di depan sekaligus apapun yang telah terjadi di tahun 2007? Selamat Tahun Baru 2008. (Yonathan Rahardjo)

Perunggasan Belum Memikat di Pasar Modal?


Pengamat pasar modal Haryajid Ramelan masih dalam rangkaian seminar Perunggasan ke-3 yang bertema “Akankah Bisnis Perunggasan Tahun 2008 Lebih Menarik?” di Jakarta, 7 November 2007 mengungkapkan, sektor perunggasan belum memberikan daya pikat yang kuat bagi pasar modal, fluktuasi kenaikkan saat ini lebih banyak disebabkan oleh rumors atau corporate action. Selain itu kenaikkan BBM dan bahan baku akan mempengaruhi produktivitas dan kinerja emiten.
Oleh karenanya investor masih memandang bahwa bisnis disektor ini merupakan bisnis full risk. Free float terhadap saham mereka yang masih sangat kecil dipasar menjadikan saham sektor ini kurang likuid.
“Perlu pembenahan secara internal seperti efisiensi dll, agar ada perbaikkan kinerja keuangan emiten sehingga dapat mempengaruhi kinerja saham,” kata Haryajid menyarankan.
Lebih lanjut, menurut Haryajid, jika bisnis ini dianggap full risk dan belum memikat pasar modal, maka untuk tetap eksis tak ada salahnya untuk merubah core bisnis sesuai keinginan dari pelaku atau bahkan melakukan sharing dengan masyarakat dengan melakukan IPO.
Dari pengamatan Haryajid diperkirakan stabilitas ekonomi makro tahun 2008 masih cukup baik. Namun tetap sektor riil belum seluruhnya berjalan. Diperkirakan bisa berkisar 5,5% - 6%.
Meskipun dibayang-bayangi kemungkinan terjadinya perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh peningkatan harga minyak yang mendekati USD 100 per barel. Namun prospek ekonomi 2008 masih cerah menyusul permintaan dari pasar non tradisional di luar Amerika Serikat, Jepang dan Eropa yang diperkirakan relatif tidak terpengaruh oleh risiko pelemahan perekonomian global.
Kebijakan Bank Sentral Amerika yang diperkirakan masih akan kembali menurunkan suku bunganya hingga akhir tahun ini akan memicu BI rate untuk kembali turun.
Inflasi akhir tahun 2007 diperkirakan 6,5%. BI rate akhir tahun diperkirakan sebesar 8.00% (posisi per Oktober 2007 BI rate 8.25%) dengan nilai tukar Rupiah di kisaran Rp. 9.100,- per USD. (wan)

Deptan: Prospek dan Arah Pengembangan Perunggasan

Diambil dari kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dulu sempat diresmikan Presiden SBY di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat 11 Juni 2005. RPPK merupakan salah satu dari “Triple Track Strategy” Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Infovet menyoroti kebijakan ini dari sudut prospek dan arah pengembangan agribisnis unggas.
Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim, harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik.
Komoditas ini merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional, sehingga prospek yang sudah bagus ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di perdesaan melalui pemanfaatan sumberdaya secara lebih optimal.
Industri perunggasan di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk-produk unggas dari luar negeri.
Pembangunan industri perunggasan menghadapi tantangan global yang mencakup kesiapan dayasaing produk perunggasan, utamanya bila dikaitkan dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan, yang merupakan 60-70 persen dari biaya produksi karena sebagian besar masih sangat tergantung dari impor.
Upaya meningkatkan dayasaing produk perunggasan harus dilakukan secara simultan dengan mewujudkan harmonisasi kebijakan yang bersifat lintas departemen. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan faktor internal seperti menerapkan efisiensi usaha, meningkatkan kualitas produk, menjamin kontinuitas suplai dan sesuai dengan permintaan pasar.
Budidaya Unggas Masih Menjanjikan
Ternak ayam lokal dan itik dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan dengan pangsa pasar tertentu, dimana hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa usaha peternakan ayam lokal dan itik cukup menguntungkan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga.
Profil usaha di sektor primer menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam ras pedaging cukup memberikan peluang usaha yang baik, sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku.
Dari penelitian Departemen Pertanian menunjukkan dengan nilai B/C yang diperoleh secara berturut-turut sebesar 1,16; 1,28 dan 1,25 pada usaha mandiri, pola kemitraan inti-plasma dan pola kemitraan poultry shop dengan skala usaha 15 ribu ekor.
Indikasi yang hampir sama juga terjadi pada ayam ras petelur pada skala usaha 10 ribu ekor, dengan nilai B/C adalah 1,29 dan 1,13 masing-masing untuk usaha mandiri dan pola kemitraan dengan poultry shop. Hal ini memberikan indikasi bahwa usaha peternakan ayam ras petelur mempunyai keuntungan yang relatif baik bagi para peternak. Sedangkan hal tersebut untuk usaha ayam lokal dan ternak itik masing-masing nilai B/C adalah 1,04 dan 1,2.

Jagung dan Desentralisasi Perunggasan
Salah satu prospek pasar yang menarik dan perlu dikembangkan adalah industri pakan unggas, dimana biaya pakan ini merupakan komponen tertinggi dalam komposisi biaya produksi industri perunggasan, berkisar antara 60-70 persen.
Diproyeksikan masing-masing pada tahun 2010 dan tahun 2020, impor jagung dapat mencapai 4 juta ton dan 8 juta ton jika produksi jagung nasional tidak tumbuh. Jagung untuk pakan unggas memiliki prospek pasar yang sangat baik, dimana dinyatakan bahwa jika industri unggas tumbuh dengan baik, maka kebutuhan akan jagung juga terus meningkat. Pengembangan komoditas jagung perlu mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat petani.
Pengembangan unggas ke depan harus mulai dipikirkan di luar Jawa, dimana ketersediaan pasokan bahan pakan masih memungkinkan, serta prospek pemasaran yang baik. Pengalaman wabah Avian Influenza (AI) beberapa waktu yang lalu memberi pelajaran bahwa sudah saatnya dilakukan desentralisasi industri perunggasan nasional. Upaya ini akan sangat baik ditinjau dari berbagai aspek, baik teknis, ekonomis maupun sosial, dan dalam hal ini memerlukan dukungan kebijakan termasuk ketersediaan inovasi teknologi yang sesuai dengan perkembangan usaha.
Peranan pemerintah juga harus memperhatikan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk: (a) melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, (b) mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam negeri, (c) pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, serta (d) dukungan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya. Untuk memberi kepastian berusaha pada peternakan mandiri perlu dibuat mekanisme yang menjamin transparansi dalam hal informasi produksi DOC, biaya bahan-bahan input, serta kondisi pasar (permintaan, produksi, dan harga).

Lestarikan Plasma Nutfah
Potensi dan arah pengembangan ayam lokal lebih difokuskan terhadap kerentanan potensi genetik terhadap penyakit unggas, sehingga konservasi terhadap plasma nutfah ayam lokal menjadi sangat penting.
Potensi dan arah pengembangan itik dititikberatkan pada perbaikan bibit, sehingga terjadi perbedaan antara itik untuk bibit dan itik untuk produksi. Program intensifikasi itik, dengan merubah pola pemeliharaan tradisional menjadi pemeliharaan terkurung atau intensif perlu dipertimbangkan dalam arah pengembangan peternakan unggas ke depan.
Keadaan sawah yang semakin intensif menyebabkan jarak antara panen dan tanam menjadi semakin sempit yang menyebabkan semakin terdesaknya itik gembala. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan kematian itik secara langsung dan menurunnya ketersediaan pakan itik di sawah berupa ikan kecil, cacing, katak dll. secara tidak langsung.
Pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas diarahkan untuk: (a) menghasilkan pangan protein hewani sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional, (b) meningkatkan kemandirian usaha, (c) melestarikan dan memanfaatkan secara sinergis keanekaragaman sumberdaya lokal untuk menjamin usaha peternakan yang berkelanjutan, dan (d) mendorong serta menciptakan produk yang berdayasaing dalam upaya meraih peluang ekspor.
Tujuan pengembangan agribisnis komoditas unggas adalah (a) membangun kecerdasan dan menciptakan kesehatan masyarakat seiring dengan bergesernya permintaan terhadap produk yang aman dan berkualitas, (b) meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan skala usaha yang optimal berdasarkan sumberdaya yang ada, (c) menciptakan lapangan kerja yang potensial dan tersebar hampir di seluruh wilayah, dan (d) meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan devisa negara.

Kebijakan Perunggasan yang Kondusif
Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, kebijakan peternakan unggas diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis peternakan, peningkatan nilai tambah dan dayasaing dengan misi mendorong pembangunan peternakan unggas yang tangguh dan berkelanjutan.
Salah satu kebijakan yang diperlukan dan berpengaruh efektif mencapai visi tersebut adalah kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi melalui peningkatan investasi swasta, pemerintah dan masyarakat; serta kebijakan pewilayahan komoditas dan peningkatkan penelitian, penyuluhan dan pendidikan bagi peternak disertai pengembangan kelembagaan.
Apabila sasaran pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan protein hewani pada 10 tahun mendatang, maka setara dengan 1.250 milyar ekor dengan nilai mencapai Rp. 24,5 trilyun.
Pelaku investasi pengembangan agribisnis komoditas unggas dibedakan dalam tiga kelompok, yakni investasi yang dilakukan oleh rumah tangga peternak (masyarakat), swasta dan pemerintah.
Kebutuhan investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis ayam ras pedaging dan petelur berkisar antara 10-20 persen, masing-masing sebesar Rp.1 trilyun untuk memenuhi kebutuhan daging dan telur. Estimasi kebutuhan investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 60 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 4,5 trilyun dan Rp. 1,5 trilyun.
Investasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa investasi sumberdaya dan produksi yang meliputi aset tetap seperti lahan, kandang dan tenaga kerja. Sumber pembiayaan dapat berupa kredit dari perbankan maupun lembaga keuangan formal lainnya, serta tidak menutup kemungkinan lembaga keuangan non-formal seperti pinjaman kelompok maupun koperasi bersama.
Pangsa kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam pedaging dan petelur rata-rata berkisar antara 80 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 9,5 trilyun dan Rp. 3,8 trilyun. Estimasi kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 10 persen, dengan nilai Rp. 0,5 trilyun untuk ayam lokal dan Rp. 250 milyar untuk ternak itik.
Bentuk investasi swasta dapat berupa peningkatan penyediaan sarana input seperti peningkatan pasokan bibit, pabrik pakan, peralatan serta obat dan vaksin. Investasi di sektor hilir seperti pabrik pengolahan dan prosesing produk unggas seperti penyediaan sarana cold storage dan pembangunan pabrik tepung telur perlu mendapat perhatian yang serius.
Investasi produksi yang berupa infrastruktur oleh pemerintah sangat diperlukan seperti penyediaan benih jagung unggul, penanganan pascapanen berupa pembuatan silo dan sarana transportasi. Estimasi kebutuhan investasi pemerintah untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam ras pedaging dan petelur masing-masing adalah sebesar 5 persen, yakni Rp. 500 milyar untuk ayam ras pedaging dan Rp. 200 milyar untuk ayam ras petelur. Pada pengembangan komoditas ayam lokal dan itik, hal tersebut rata-rata berkisar antara 30 persen, dengan nilai berturut-turut Rp. 1 trilyun dan Rp. 750 milyar.
Investasi pemerintah utamanya terfokus pada kegiatan promosi dalam upaya meningkatkan konsumsi daging dan telur yang aman, sehat, utuh dan halal. Pelayanan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat sejak usia dini tentang manfaat mengkonsumsi daging dan telur perlu dilakukan secara konsisten.
Peran pemerintah juga diharapkan dalam aspek penelitian dan pengembangan, utamanya dalam hal menyediakan alternatif bahan baku pakan berdasarkan sumberdaya lokal. Demikian pula halnya dengan identifikasi dan evaluasi untuk pengembangan ayam lokal yang resisten terhadap penyakit, serta peningkatan mutu genetik itik.
Untuk mencapai visi, misi dan tujuan program pembangunan pertanian diperlukan kebijakan pendukung. Beberapa kebijakan pendukung seperti membentuk lingkungan investasi yang kondusif, utamanya dalam hal pelayanan investasi khususnya investasi di luar sektor pertanian.
Selain itu, kebijakan lain adalah secara kontinyu mempromosikan produk unggas, inovasi dalam hal tata-ruang, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta penegakan aturan yang terkait dengan lalulintas ternak dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah dan perdagangan global.
Sementara dalam dalam rangka pencegahan penyakit, pemerintah perlu memperkuat pelayanan laboratorium dan pos-pos kesehatan hewan, serta melakukan penyuluhan tentang bahaya dan pencegahan penularan penyakit unggas. Tak lupa pula perlu membuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis perunggasan yang adil baik bagi mitra maupun bagi inti melalui pembagian resiko dan keuntungan yang adil. (Infovet)


Avian Influenza dan Naiknya Harga Pakan Warnai Perunggasan 2008

Masalah yang tak henti-hentinya menghimpit sektor peternakan unggas adalah masih seringnya terjadi wabah Avian Influenza (AI) dan naiknya harga jagung yang berimbas pada terus naiknya harga pakan unggas. Kedua hal inilah yang diramalkan Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita masih akan terus mewarnai hari-hari di sektor perunggasan tahun 2008.
Hingga berita ini diturunkan, harga pakan broiler sekitar Rp 3.400 sementara pakan layer sudah mencapai 2.800 dan diramalkan akan terus naik. Kondisi ini semakin memberatkan peternak broiler maupun layer, karena naiknya ongkos produksi tidak diikuti dengan naiknya harga jual produk. Bila harga jual produk dinaikkan maka akan terbentur dengan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia yang relatif masih lemah.
Dampak yang paling cepat tentu akan dirasakan oleh peternak yang biasa menggunakan pakan jadi. Namun untuk peternak self mixing pun juga harus ekstra kerja keras untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas dengan harga yang murah. Dan itu pun tidak mudah. “Maka perlu dicarikan solusinya untuk peternak,” ujar Hadi Wibowo praktisi perunggasan yang menjadi narasumber tetap Infovet.
Menurut Hadi, “Biar bagaimanapun formulasi pakan itu dibuat, bila harga bahan bakunya dari sananya sudah naik pasti ongkos pakannya juga akan tetap naik.”
Sebagai contoh sumber protein biasanya pakan unggas mengandalkan tepung ikan dan tepung daging yang kaya akan asam amino Methionine dan Tryptophan. Asam amino ini dibutuhkan untuk pertumbuhan bulu dan produktivitas baik daging atau telur.
Namun karena kedua bahan baku ini tengah langka dan harganya naik perlu dicari bahan alternatif penggantinya atau setidaknya pelengkapnya. Untuk itu Hadi menyarankan peternak untuk menambahkan asam amino konsentrat dalam ransum unggasnya.
“Asam amino konsentrat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas. Dengan feed additive ini produksi telur yang optimal bisa dicapai sekaligus mempertahankan produksi puncak lebih lama.,” ujar Hadi.
Lebih lanjut, kata Hadi, asam amino konsentrat umumnya digunakan untuk mengatasi defisiensi asam amino yang disebabkan oleh kualitas ransum atau bahan baku yang rendah. Asam amino konsentrat juga bisa mengurangi stress dan meningkatkan stamina unggas serta mempercepat proses penyembuhan penyakit.
Broiler hingga panen dengan berat badan 1,7 kg – 2 kg biasanya menghabiskan pakan 3 kg dengan FCR 1,7-1,5. Dengan FCR yang bagus seperti ini akan didapat IP yang bagus pula, dengan IP yang bagus (±300) maka insentif bonus untuk anak kandang juga semakin besar.
Maka melihat kondisi saat ini dimana biaya produksi untuk pakan sudah naik luar biasa ada baiknya peternak lebih memilih optimalisasi. Artinya tidak perlu IP terlalu bagus namun cukup dengan IP 275 dengan FCR 1,6-1,7 untuk broiler. Dengan begitu ada biaya yang bisa dihemat.
Dengan asam amino esensial konsentrat yang memiliki setidaknya 20 asam amino esensial ini peternak dapat menghemat 5 gr/ekor/hari dari bahan baku pakan sumber protein. Bayangkan berapa nilai rupiah yang bisa dihemat dengan inovasi ini.
Hadi menjelaskan, kandungan asam amino dalam ransum berpengaruh langsung dengan sistem kekebalan, karena zat pembentuk antibodi tersusun dari asam amino. Bila asam amino rendah maka dipastikan respon antibodi ayam juga akan lemah.
Lebih jauh, kata Hadi, masalah lain yang juga terus menjadi ancaman adalah infeksi AI. Untuk itu ia menekankan guna menunjang sistem kekebalan ayam ditengah fluktuasi kualitas pakan ayam diperlukan suatu zat yang mampu merangsang pertumbuhan sel-sel yang berfungsi dalam sistem kekebalan. Zat itu tiada lain adalah imunomodulator.
Seperti pernah diulas Infovet Oktober 2007 lalu, bahwa vaksin yang beredar saat yang menggunakan seed virus 2003 disinyalir sudah tidak cocok lagi dengan virus lapang yang beredar saat ini. Sehingga upaya vaksinasi saat ini sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai satu-satunya penghambat masuknya virus AI ke lingkungan farm.
Untuk itu Hadi kembali menyarankan peran penting imunomodulator yang berfungsi memperbanyak, mematangkan dan mengaktifkan sel-sel yang berperan dalam respon immun. (wan)

5 GENOTIPE FLU BURUNG DAN EKOSISTEM KESEHATAN

(( Konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan. ))


9 November 2007, Indonesia Mencatat Kasus Flu Burung Ke-113. Hasil test Laboratorium Badan Litbangkes tanggal ini dan hasil test Lembaga Eijkman Jakarta menyatakan bahwa MN, (P, 31 tahun) dari Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau positif terinfeksi virus H5N1. Demikian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI).
Menurut sumber Komnas FBPI, MN mulai sakit pada tanggal 31 Oktober 2007. Pada 3 Nobvember 2007, MN dirawat di RS Permata Hati di Kecamatan Duri dan kemudian dirujuk ke RS Arifin Achmad di Pekanbaru pada tanggal 6 November 2007 dimana saat tiba di rumah sakit pada pukul 13.00 korban telah meninggal dunia.
MN menunjukkan gejala panas, sesak nafas, leukopeni (penurunan jumlah sel darah putih), thrombositopeni (penurunan jumlah sel darah dalam darah) dan pneumonia (infeksi paru-paru yang menimbulkan masalah respirasi).
“Dengan demikian kasus Avian Influenza positif di Indonesia berjumlah 113 kasus, di mana 91 kasus diantaranya meninggal,” kata sumber di Komnas FBPI.
Bagaimana wajah Flu Burung pada tahun 2008?

Lima Genotipe

Perkembangan terakhir, terungkap, virus H5N1 penyebab flu burung telah berkembang menjadi lima genotipe di Indonesia, sedangkan di negara-negara lain hanya dikenal tiga genotipe. Dengan demikian, penanganan klinis flu burung di Indonesia harus lebih hati-hati ketimbang negara lain.
Peneliti flu burung dari Universitas Airlangga Surabaya, Dr drh CA Nidom, mengemukakan, virus flu burung yang dikenal di negara lain hanya varian A, B, dan C. Di Indonesia telah muncul varian C* dan D. "Kedua varian itu hasil mutasi dari varian A," ujar Nidom di sela peresmian laboratorium Keamanan Biologi Level 3 (Biosafety Level 3/BSL 3) di Gedung Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga, Senin (26/11).
Varian A dikenal sebagai varian virus yang pertama kali diketahui menyebar di Pulau Jawa. Di Sumatera bagian utara, varian itu bermutasi menjadi varian B. "Varian ini antara lain diketahui menginfeksi orang-orang di daerah Karo, Sumatera Utara," ujar penanggung jawab penelitian flu burung di Universitas Airlangga ini.
Varian C dihasilkan dari mutasi varian A di Kalimantan. Proses mutasi itu juga menghasilkan varian C*, yang daerah penyebarannya belum teridentifikasi secara jelas. Adapun varian D ditemukan di Papua dan Sumatera bagian selatan.
Varian beragam itu membuat antivirus dari luar negeri belum tentu cocok untuk Indonesia. Karena itu, Indonesia perlu mengusahakan penangkal sendiri. Pengupayaan itu antara lain harus dimulai dengan pengenalan virus secara klinis.
Sayangnya, tidak ada data klinis varian-varian itu. Sebab, selama ini seluruh penelitian tentang flu burung menggunakan virus mati. "Seharusnya menggunakan virus hidup agar benar-benar diketahui identitas dan perilaku virus," ujarnya.

BSL 3

Fasilitas BSL 3 itu memungkinkan Indonesia meneliti dan menganalisis sampel virus flu burung yang masih hidup. "Dengan adanya fasilitas laboratorium BSL 3 itu, virus yang diambil dari sampel lendir manusia atau unggas bisa dianalisis," kata Nidom.
Direktur TDC Universitas Airlangga yang membawahi laboratorium itu, Prof Dr Yoes Prijatna Dachlan, menuturkan, fasilitas tersebut memungkinkan Indonesia meneliti sendiri virus flu burung. Selama ini Indonesia harus mengirim contoh virus untuk diteliti di negara lain.
Hal itu, menurut Yoes, bisa merugikan Indonesia. Kerugian itu antara lain berupa tawaran antivirus berharga mahal dari perusahaan farmasi asing. Padahal, antivirus itu dibuat berdasarkan contoh virus dari Indonesia.
Di Indonesia, laboratorium level tiga hanya dimiliki Lembaga Eijkman dan Universitas Airlangga. "Laboratorium ini hanya setingkat di bawah level tertinggi yang dimiliki Kanada dan Perancis," kata Yoes.

Lingkungan Kesehatan

Mencoba memperkuat konsepsi restrukturisasi sektor perunggasan sebagai salah satu penjabaran rencana strategi nasional (RENSTRANAS) Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza 2006-2010, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD dalam suatu kesempatan memberikan pendapatnya.
Wakil Ketua Pelaksana Harian II Komnas FBPI ini menyatakan, konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan.
“Harus disadari bahwa benang merah sirkulasi virus di lingkungan antara ayam belakang rumah (sektor 4) dan sistim industri perunggasan (sektor 1, 2 dan 3) -- dalam arah bolak balik -- menjadi permasalahan tersendiri,” kata Dr Tata, panggilan akrabnya.
Tata menjabarkan, suatu laporan FAO dan OIE membuktikan bahwa meskipun virus H5N1 beradaptasi baik terhadap ayam kampung, sama halnya terhadap itik atau entok domestik, ketahanan virus pada operasi peternakan skala kecil dan belakang rumah bergantung kepada peningkatan konsentrasi virus yang berkelanjutan.
“Virus H5N1 tidak melonjak ke dalam bentuk lebih ganas pada populasi ayam sektor 4, di mana tingkat kepadatan populasi rendah dan keragaman genetik mampu mempertahankan kandungan virus pada tingkat yang rendah,” urai Dr Tata, “Amplikasi virus justru terjadi pada operasi skala besar dan tertutup.”
Untuk menghindari lebih lanjut risiko penularan ke manusia, Dr Tata mengatakan, restrukturisasi sektor perunggasan yang menjadi strategi pemerintah dalam pengendalian flu burung jangka menengah dan panjang, harus betul-betul terkonsepsi secara menyeluruh dengan memperhatikan keterkaitan antara ekosistem kesehatan dengan faktor geografis, pasar dan produksi.
Untuk itu, katanya, pisahkan unggas harus dilihat sebagai satu solusi, bukan masalah. “Pemerintah bersama-sama masyarakat harus menyadari bahwa pelajaran yang bisa diambil dari pemahaman tentang flu burung dalam konteks ekosistem kesehatan,” tegasnya.

Produksi Unggas
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD pun mengungkap di satu sisi perlu diketahui bahwa transformasi produksi unggas di Asia termasuk Indonesia dalam dekade terakhir sangat luar biasa.
“Di negara-negara Asia Tenggara, dimana sebagian besar wabah flu burung terjadi - Thailand, Indonesia dan Vietnam - produksi melonjak delapan kali hanya dalam rentang waktu 30 tahun,” ungkap Dr Tata.
Ia jelaskan, produksi unggas China saja mengalami tiga kali lipat setelah 1990 dengan pertumbuhan yang terus meningkat setiap tahun. Situasi seperti ini merupakan tempat berkembang yang ideal untuk virus flu burung seperti strain H5N1 yang dikhawatirkan akan mencetuskan pandemi influenza manusia.
Adapun, lanjutnya, produksi daging ayam di Indonesia mencapai 672 ribu ton pada 2006, hanya 5 persen diatas produksi 2005. Sementara konsumsi daging ayam sekitar 2,9 kg per kapita per tahun yang diproyeksikan untuk 220 juta penduduk Indonesia pada 2005, masih jauh dibawah rata-rata tingkat konsumsi negara-negara tetangga di ASEAN.
“Flu burung telah menjadi satu faktor yang menaikkan biaya input produksi dan menghambat potensi pertumbuhan produksi yang lebih cepat di sektor perunggasan,” tegas Tata.
Adapun, tuturnya, tingkat konsumsi ayam diperkirakan menurun sekitar 20 persen setelah kasus pertama manusia yang meninggal karena flu burung pada Juli 2005, akan tetapi Agustus 2005 tingkat kepercayaan konsumen mulai membaik dan sudah pulih saat mendekati bulan Ramadhan Oktober 2005.
Dengan bertambahnya lima korban pasien flu burung pada Januari 2007, maka kejadian terulang kembali dengan menurunnya omzet perunggasan sebesar 40 persen dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 8 milyar rupiah per hari.
Menarik untuk dicermati bahwa justru rantai pendek outlet ayam pedaging untuk kebutuhan restauran cepat saji yang secara eksklusif berlokasi di daerah-daerah urban tidak banyak ikut terpengaruh.
“Penjualan semacam ini tetap berlangsung normal pada saat permintaan di segmen pasar lainnya mengalami penurunan. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan peran outlet semakin penting dalam memenuhi kebutuhan konsumen urban dan terintegrasi ke dalam sistem produksi transnasional,” tegas Dr Tata.

Ayam Belakang Rumah
Untuk lebih memahami konsepnya tentang flu burung dalam konteks ekosistem kesehatan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD selengkapnya mengungkap di Milis Dokter Hewan bahwa berbagai pendapat disampaikan oleh lembaga dunia seperti FAO dan WHO serta berbagai pemerintahan di dunia yang mempertanyakan sejauh mana implikasi industri perunggasan (sektor 1, 2 dan 3) terhadap krisis flu burung.
Namun demikian saat ini justru tudingan sebagai sumber infeksi utama lebih diarahkan kepada ayam-ayam belakang rumah (sektor 4), dengan seruan untuk melakukan pengendalian yang lebih ketat dan upaya restrukturisasi sektor perunggasan yang lebih luas.
Menurut Tata, ayam sektor 4 merupakan bagian dari ketahanan pangan dan pendapatan peternak bagi ratusan juta penduduk pedesaan di Asia dan Afrika. Ayam adalah satu-satunya ternak yang dapat dimiliki oleh kaum miskin, sehingga hampir setiap rumah tangga di pedesaan atau di pinggiran kota pada umumnya memelihara beberapa ekor ayam untuk pemenuhan kebutuhan daging, telur dan bahkan pupuk.
Alasan mengapa ayam sektor 4 dianggap sebagai masalah, menurutnya, oleh karena dipelihara di tempat terbuka (outdoor poultry), memungkinkan sering kontak dengan burung liar yang membawa virus flu burung atau pergi mencari makan ke lingkungan yang terkontaminasi.
“Burung liar dalam pengertiannya harus dibedakan dengan burung migran. Pada akhirnya ayam sektor 4 dianggap menjadi tempat percampuran untuk kelangsungan sirkulasi yang konstan dari penyakit ini,” ujar Dr Tata.
Selanjutnya mantan Dirkeswan ini menyatakan, situasi di Indonesia tidak secara jelas diketahui mengingat populasi ayam sektor 4 begitu banyak dengan sekitar 30 juta rumah tangga pemilik unggas. Pada kenyataannya, terjadi saling tumpang tindih antara ayam sektor 4 dengan usaha peternakan (sektor 1, 2 dan 3).
“Kebanyakan peternakan unggas besar atau menengah di Pulau Jawa, sekitar 10 sampai 15 tahun lalu membangun perkandangan di lokasi terpencil dan jauh dari pemukiman,” ucapnya.
Akan tetapi seiring pertumbuhan penduduk dan pemekaran wilayah, lokasi kandang sudah tidak dapat dipisahkan secara pasti dengan pemukiman penduduk. Hal seperti itu tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat sekitarnya untuk memelihara ayam sektor 4.
Dr Tata mengungkap, keberadaan unggas sektor 4 dan berjangkitnya flu burung telah membuat pihak berwenang di tingkat kabupaten/kota mengalami tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
Sifat alamiah dari pemeliharaan seperti ini - skala kecil, berkeliaran, menyebar dan informal - sehingga membuat dua tindakan pengendalian utama yaitu pemusnahan dan vaksinasi tidak mungkin dapat berjalan baik tanpa disertai keseriusan pemerintah dan kepatuhan masyarakat.

Pisahkan Unggas
Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD, banyak negara di seluruh dunia berusaha memahami kondisi unggas sektor 4 ini dari aspek ekosistem kesehatan. Mengingat juga di Indonesia diperburuk dengan fakta bahwa 46 persen kasus korban manusia akibat flu burung terjadi di daerah non-urban, sisanya di daerah semi urban (24 persen) dan urban (30 persen).
Dr Tata mengungkap, saat ini sebagian besar aturan yang diterapkan di negara maju dalam kaitan dengan kebijakan pengendalian flu burung adalah pisahkan unggas dari burung liar. Sedangkan di negara berkembang diterapkan aturan yang menekankan kepada pisahkan unggas dengan manusia.
“Pelarangan pemeliharaan unggas dalam keadaan terbuka (outdoor poultry) untuk tidak berinteraksi dengan burung liar lebih banyak diterapkan di negara maju seperti Austria, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Norwegia dan Swedia,” paparnya.
Sementara, Italia dan Swiss mengharuskan pemeliharaan unggas di lokasi yang dilindungi dengan atap atau lapisan kawat. Beberapa negara lain juga mengatur pelarangan terhadap unggas dalam keadaan terbuka selama musim migrasi burung, seperti Slovenia dan Kroasia.
Di Asia, baru Hongkong yang memberlakukan pelarangan secara menyeluruh terhadap ayam sektor 4. Pelarangan usaha peternakan ayam di perkotaan diterapkan oleh Vietnam.
Sedangkan, “Thailand membatasi pemeliharaan itik yang berkeliaran, pelarangan pasar ayam hidup di kota Bangkok dan rumah pemotongan ayam harus dipindahkan ke luar kota. Juga mengharuskan tempat penampungan ayam dari peternakan skala kecil (sektor 3) direlokasi ke satu wilayah,” kata Tata.

Gambaran Masyarakat Kita
Berkaitan dengan konsep Memisahkan Unggas itu, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD pun memberi penjelasan bagaimana gambaran pemetaan pemeliharaan ayam di tanah air. “Seperti pada umumnya di negara-negara berkembang, pemeliharaan unggas di kota besar seperti halnya DKI Jakarta sangat tumpang tindih dengan perumahan penduduk,” katanya.
Tata memberi gambaran, di balik gedung-gedung tinggi - baik hotel maupun perkantoran - banyak sekali dijumpai rumah-rumah yang memelihara unggas, baik sebagai hewan kesayangan/hobi maupun sebagai sumber pendapatan ekonomi keluarga. Dengan kandang ayam yang menempel di dinding rumah atau berada di halaman belakang rumah yang sangat sempit. Bahkan juga rumah-rumah yang digunakan sebagai tempat pemotongan ayam yang limbahnya bersamaan masuk ke dalam pembuangan limbah rumah tangga.
Menurut Tata, penduduk DKI Jakarta yang berjumlah sekitar 12 juta orang merupakan satu pasar konsumen yang besar untuk produk unggas. Itu sebabnya kurang lebih 600 ribu ekor ayam hidup setiap hari diangkut masuk ke wilayah DKI Jakarta yang berasal dari kabupaten/kota sekitarnya.
“Setiap pagi sekali dapat dilihat di jalan-jalan raya masuk kota Jakarta, kendaraan-kendaraan pengangkut ayam potong hidup maupun karkas ayam yang dilalulintaskan dari Kabupaten Tangerang, Sukabumi, Subang, Bogor, Ciamis, Cianjur dan lainnya,” ungkapnya.
Rantai pemasaran ayam yang sibuk dan padat melibatkan sekian banyak tenaga kerja yang mendapatkan mata pencaharian di sektor ini dan merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat perkotaan.
Sejak lama ada kesukaan yang lebih besar untuk membeli daging ayam segar dibandingkan dengan daging ayam beku. Meskipun sudah tidak banyak lagi dapat dipertahankan, mengingat kesibukan kebanyakan ibu-ibu rumah tangga yang bekerja dan kekurangan waktu menyiapkan masakan bagi keluarga.
Begitu juga kekurangan waktu setiap hari bagi para ibu untuk menyempatkan diri membeli daging ayam segar di pasar becek atau pasar tradisional.
Dengan kondisi ini, serta peta produksi unggas di atas, maka Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menegaskan konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan. (berbagai sumber/ Kps/ YR)

Rekomendasi Seminar Perunggasan ke-3: Perunggasan 2008, Saatnya Stakeholder Bersatu

“Akankah Bisnis Perunggasan tahun 2008 lebih menarik?” Begitulah tema yang diusung dalam seminar nasional perunggasan yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) untuk yang ketiga kalinya. Seminar perunggasan ini merupakan kesinambungan dari seminar sebelumnya yaitu seminar nasional perunggasan pertama tanggal 8 Maret 2006 dan seminar nasional perunggasan kedua 7 Desember 2006.
Seminar nasional perunggasan ketiga yang berlangsung pada Rabu, 7 Nopember 2007 ini bertempat di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Seminar ini dihadiri lebih kurang 140 peserta dari berbagai daerah dan lembaga, mulai dari peternak, pengusaha, peneliti hingga kalangan pasar modal, namun tidak nampak dari kalangan birokrat.
Dalam sambutannya saat membuka seminar, Ketua Umum ASOHI Gani Haryanto mengungkapkan bahwa tujuan seminar ini adalah untuk mengevaluasi situasi bisnis perunggasan 2007 dengan membandingkan dengan prediksi dalam seminar sebelumya disertai dengan pembahasan mengapa hal itu terjadi.
Selain itu, “Seminar ini juga bertujuan memprediksi situasi bisnis perunggasan tahun 2008 dari aspek bibit, pakan, obat hewan dan pasar unggas baik petelur maupun broiler, sekaligus mendiskusikan tantangan bisnis perunggasan yang aktual saat ini dan di masa depan sehingga mendapatkan solusi yang terbaik,” ujar Gani.
Tak tanggung-tanggung seminar yang diselenggarakan oleh GITA event organizer bekerjasama dengan ASOHI dan didukung penuh oleh Majalah Infovet ini menghadirkan pembicara Ketua Umum GPPU Drh Paulus Setiabudi dengan makalah berjudul “Overview on Poultry Breeding Industry And Business Outlook in 2008”, Ketua Umum GPMT Ir Budiarto Soebijanto, diwakili Ir Anang Hermanta dengan uraian berjudul Prospek Pakan 2008, Akankah Lebih Menarik?
Selain mereka Ketua Umum Pinsar Drh Hartono mewakili peternak juga membawakan makalah dengan judul “Bisnis Unggas dan Perekonomian Nasional; Proyeksi, Fakta dan Implikasi”. Sementara Dewan Pakar ASOHI Freddie Hadi Wibowo D MS memberikan orasi dengan judul “Business Prediction & Analysis of National Poultry Health Industries in 2008”. Lebih lanjut pengamat pasar modal Drs Haryajid Ramelan juga hadir dengan makalah berjudul “Kinerja Emiten Perunggasan 2006-2007” yang menitikberatkan pembahasan kinerja perusahaan publik perunggasan 2006-2007”. Seminar ini dimoderatori oleh Drh Ketut Tastra Sukata MBA dan Drh Rachmat Nuriyanto MM.
Seminar ini juga disponsori oleh Japfa, Medion, Novartis, Pfizer, PT Romindo Primavetcom, ISA, Cargill, Intervet, PT Otasindo, dan PT SHS Internasional. Acara ini juga diliput oleh berbagai media cetak dan elektronik serta mendapat dukungan dari majalah Poultry Indonesia, Trobos, dan Satwa Kesayangan, serta tabloid Sinar Tani dan Agrina.

Situasi dan Proyeksi
Diakhir seminar situasi perunggasan 2007 disimpulkan bahwa, produksi DOC broiler tahun 2007 diperkirakan 1,15 milyar ekor atau naik 7% dibanding tahun 2006. Populasi ayam petelur tahun 2007 sebesar 97,3 juta, naik 7,7% dibanding tahun 2006. Konsumsi pakan tahun 2007 sebesar 7,6 juta ton atau naik 5,5% dibanding tahun 2006.
Sementara untuk proyeksi perunggasan 2008 berdasarkan situasi tahun 2007, produksi DOC broiler tahun 2008 diproyeksikan 1,25 miliar ekor, atau naik 8,7% dibanding tahun 2007. Populasi ayam petelur diproyeksikan 104,8 juta atau naik 7,7% dibanding tahun 2007. Dan konsumsi pakan tahun 2008 diperkirakan 8,13 juta ton, naik 7% dibanding tahun 2007.

Tantangan Tahun 2008
Semua pembicara seminar sepakat bahwa di tahun 2008 pelaku usaha perunggasan kemungkinan akan menghadapi masalah serius yaitu:
1. Dampak kenaikan harga minyak dunia yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kenaikan biaya produksi.
2. Harga pakan cenderung terus meningkat, akibat kenaikan biaya transport dan harga bahan baku dunia.
3. Kemungkinan terjadi Oversupply DOC, yang menyebabkan harga DOC maupun harga ayam broiler jatuh.
4. Penyakit AI masih menjadi ancaman serius bagi peternak unggas, yang dampaknya langsung terhadap kematian unggas maupun dampak tidak langsung berupa isu media massa terhadap penurunan konsumsi produk unggas.
5. Daya beli masyarakat masih lemah serta gaya hidup konsumtif yang cenderung lebih mementingkan aspek penampilan (telepon seluler, rokok dan lain-lain) dan kurang memperhatikan konsumsi protein hewani.

Rekomendasi Seminar
Dari hasil rapat panitia yang terdiri dari Drh Ketut Tastra Sukata MBA (Moderator), Drh. Rachmat Nuriyanto MM (Moderator), Drh Suhandri (Ketua ASOHI Bidang Hubungan Antar Lembaga), Drh. Achmad Chariri (Ketua Panitia Seminar), dan Ir Bambang Suharno (Sekretaris Eksekutif ASOHI) menghasilkan beberapa rekomendasi untuk stakeholder perunggasan berupa:
1. Masyarakat perunggasan dengan dukungan pemerintah perlu melakukan kampanye konsumsi daging dan telur ayam. Terbukti protein telur dan daging ayam merupakan protein hewan paling murah dibanding sumber protein hewani lainnya. Pola pembiayaan kampanye konsumsi daging dan telur perlu didiskusikan lebih lanjut agar sebanyak mungkin masyarakat perunggasan berpartisipasi.
2. Perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian produksi DOC tanpa melanggar peraturan tentang persaingan usaha.
3. Pemerintah perlu mendorong pembangunan Rumah Pemotongan Ayam (RPA) di berbagai daerah agar penjualan ayam tidak lagi didominasi oleh ayam hidup sehingga fluktuasi harga ayam di tingkat peternak dapat dikurangi. Upaya ini sekaligus untuk mengendalikan penyebaran penyakit, dan seiring dengan upaya pemerintah DKI Jakarta agar ayam yang masuk ke wilayah DKI tidak lagi ayam hidup.
4. Dalam rangka peningkatan penanggulangan penyakit Avian Influenza diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan biosekuriti dan pelaksanaan vaksinasi yang lebih baik
5. Diperlukan koordinasi dan kerjasama berbagai pihak termasuk Pemda agar terjadi peningkatan produksi bahan baku pakan lokal khususnya jagung seiring dengan meningkatnya produksi pakan unggas.
6. Diperlukan dukungan Pemerintah agar ikut menciptakan kondisi yang kondusif bagi industri perunggasan misalnya penanganan izin rekomendasi impor dan registrasi obat hewan serta meninjau kembali Perda-Perda yang menimbulkan biaya tinggi.

Berbagai tantangan bagi pelaku bisnis perunggasan memang menjadi cambuk bagi sektor ini untuk terus bergeliat. Namun bila semua tantangan tersebut dianggap sebagai peluang tentu akan dengan mudah dicari solusi bersama agar sektor perunggasan terus jalan dan tumbuh melewati tahun 2008. (wan)

Industri Obat Unggas 2008 Tumbuh 7,1%

(( Berdasar data-data ekonomi, keuangan dan prediksi industri yang dikumpulkan, serta angka-angka asumsi dibuat, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2008 industri obat unggas tumbuh 7,1 persen. ))

Pada tahun 2008, Industri Obat Unggas, sebagai industri hilir, diprediksikan akan tetap bertumbuh sebesar 7,1%. Demikian kata Freddie Hadiwibowo DMS, dari PT SHS Internasional selaku Anggota Dewan Pakar Asosiasi Obat Hewan Indonesia dalam seminar tentang Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta 7 November 2007.
Freddie Hadiwibowo mengungkapkan bahwa berdasar Wood Mackenzie, 2007, Pasar Obat Hewan Dunia dalam tahun 2006 masih tumbuh sebesar 7,7% dari tahun sebelumnya.
“Sampai dengan bulan Juni 2007, pertumbuhan penjualan secara global dari Perusahaan Multinasional dalam Industri Obat Hewan adalah rata-rata 11,8%,” kata Freddie menyitir Wood Mackenzie tersebut.
Adapun berdasar Bank Indonesia & Business Monitor International, Q3 2007, Freddie mengungkap bahwa dalam tahun 2008, indikator ekonomi memprediksi PDB Nasional masih akan tumbuh sebesar 6,1%, inflasi diperkirakan agak menurun menjadi 5,3%.
Di tahun 2008, Industri perunggasan di Indonesia diprediksikan akan bertumbuh sebesar 6,5 – 7,0 %. Menurut Freddie, seluruh prediksi tersebut di atas akan terealisir apabila: Harga minyak masih dalam kisaran 80 - 90 US$/barel.
Lalu, tidak ada gangguan keamanan yang berarti selama masa persiapan Pemilu dalam tahun 2008. Serta, adanya deregulasi dan debirokratisasi Pemerintah untuk bidang industri perunggasan dan obat hewan.
Freddie Hadiwibowo DMS membuat kesimpulan tersebut berdasar data-data ekonomi, keuangan dan prediksi industri yang ia kumpulkan, serta angka-angka asumsi yang ia buat.

Peran Strategis Peternakan
Menurut Anggota Dewan Pakar ASOHI ini, sampai kapanpun, terutama untuk Indonesia, agribisnis peternakan dan pertanian akan selalu memiliki peran yang strategis dalam pembangunan nasional.
Menurutnya, World Development Report (WDR) mengungkap bahwa pada periode 1995-2003, pertanian menyumbang rata-rata 7 persen terhadap pertumbuhan PDB di negara-negara berkembang, seperti China, India, Indonesia dan Thailand. Padahal sektor tersebut mencakup sekitar 13 persen perekonomian dan mempekerjakan lebih dari separuh tenaga kerja yang ada.
Bank Dunia memperhitungkan, target penurunan tingkat kemiskinan dan kelaparan yang barah pada tahun 2015 takkan tercapai jika sektor pertanian dan pedesaan terabaikan. Sehingga, mereka menghimbau dan menekankan vitalnya agar Pemerintah di negara-neraga berkembang mepreoritaskan investasi di sektor pertanian untuk mengatasi kemiskinan, termasuk Indonesia.
Perhitungan itu disampaikan dalam Laporan Pembangunan Dunia (World Development Bank/WDR) yang terbaru bertajuk “Agricuture For Development” (“Pertanian Untuk Pembangunan”) yang diluncurkan di Washington DC tanggal 20 Oktober 2007.
Freddie pun mengajak kita kembali ke sektor Agribisnis Peternakan, di mana Indonesia masih jauh dari kecukupan protein hewani, konsumsi daging per kapita per tahun baru mencapai 8,5 kg (Data USDA-GAIN Report Oktober 2007).
“Dari angka tersebut daging ayam hanya 4,5 kg/kapita/tahun. Konsumsi telur pun hanya 67 butir/kapita/tahun,” katanya.
Menurut Freddie, angka konsumsi tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN, disertai dengan program Swa-sembada daging sapi 2010 yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya.
Kalau dilihat dari sisi positif, tegas Freddie, “Sektor Agribisnis masih merupakan suatu sektor yang cukup menjanjikan dan memang harus lebih dikembangkan di tahun-tahun mendatang.”

Analisa Kualitatif
Untuk memprediksi perkembangan perunggasan dalam negeri secara umum dan khususnya industri obat unggas di tahun 2008, Freddie Hadiwibowo DMS mengatakan bahwa kita perlu melakukan analisa dan prediksi dari dua aspek, aspek kualitatif dan aspek kuantitatif.
“Dalam aspek kualitatif sendiri sebetulnya ada beberapa aspek yang bisa dilakukan,” kata Freddie.
Namun, lanjutnya, yang paling dominan adalah aspek ekonomis dan juga aspek polkam atau politik dan keamanan, karena di sektor industri manapun aspek polkam akan selalu merupakan faktor yang sedikit banyak akan mempengaruhi perkembangan industri itu sendiri.

Lingkungan Strategis Global
Diungkap oleh Direktur PT SHS Internasional Freddie Hadiwibowo DMS, negara negara produsen unggas yang potensial seperti Brazil dan China, dan beberapa negara di Eropa, mereka juga sedang direpotkan oleh penyakit Avia Influenza.
Karenanya, katanya, produk- produk unggas dari negara-negara bersangkutan tidak boleh masuk ke Indonesia. Selain itu masalah kehalalan tetap merupakan isu utama yang membantu menghambat masuknya produk unggas ke Indonesia, termasuk dari USA.
Di sisi lain, lanjutnya, produk pertanian yang menunjang industri perunggasan di Indonesia, yaitu bahan baku pakan seperti jagung dan bungkel kedele dari negara-negara pemasok seperti USA, Argentina, Brazil, Peru, Chili dan lain-lain, masih tetap cukup dan aman untuk diimpor ke Indonesia.
“Demikian pula halnya dengan Grand Parent Stock dan Parent Stock,” tegas Freddie. Diharapkan pada tahun 2008, negara-negara bersangkutan tetap stabil dari segi politik dan keamanan, sehingga tidak mengganggu kegiatan impor/ekspor bahan baku pakan dan Grand Parent Stock/Parent Stock.
Adapun, menurut Freddie, harga minyak global yang bergejolak hingga mencapai US$ 90 per barel sampai saat ini masih bisa teratasi meskipun dalam APBN tahun 2007 harga minyak hanya diperhitungkan US$ 65 per barel.
Namun, kenaikan sampai mencapai US$ 100 per barel tahun 2008 tentu akan berdampak cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Indonesia.
Karena, paparnya, keuntungan tambahan yang kita peroleh tidak cukup untuk menutupi defisit yang terjadi akibat naiknya harga harga komoditi secara global, yang kemungkinan disertai tidak tercapainya target lifting minyak yang dicanangkan akan mencapai 1,034 juta barel per hari (mbpd).

Lingkungan Strategis Regional
Di hadapan peserta Seminar Nasional yang datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, pada dasarnya Lingkungan Strategis Regional hampir sama dengan Lingkungan Strategis Global, baik dari segi penyakit Avian Influenza dan pasokan bahan baku pakan dan parent stock, maupun pengaruh kenaikan harga minyak.
Ia memaparkan bahwa, hanya isu politik dan keamanan yang masih ada gojolak dibeberapa negara Timur Tengah dan beberapa negara ASEAN, termasuk terjadinya gangguan keamanan sebagai akibat dari gerakan separatis, yang berpengaruh terhadap keamanan perbatasan.
“Selain itu hal tersebut juga menyebabkan maraknya penyelundupan yang sulit diawasi, termasuk penyelundupan hasil produksi ternak/unggas,” ungkap Freddie.

Lingkungan Strategis Nasional
Adapun berdasar Laporan Survei Persepsi Pasar dari Bank Indonesia untuk Triwulan III 2007, pertumbuhan ekonomi sampai dengan Twiwulan Pertama tahun 2007 diperkirakan dapat mencapai 5,1-6,0%. Demikian orang penting di ASOHI ini.
Menurutnya, pemerintah juga masih optimis bahwa pertumbuhan ekonomi 6,8% tahun 2007 bisa tercapai karena masih cukup tingginya tingkat konsumsi masyarakat dan iklim investasi yang semakin kondusif.
Sehingga, “Kita juga dapat mengharapkan sektor Agibisnis Peternakan juga akan tumbuh sebesar 6,0-7,0% seperti yang kita prediksikan pada akhir tahun 2006,” tukas Freddie.
Diungkap oleh Freddie Hadiwibowo, peran daging ayam sebagai substitusi daging ruminansia terutama daging sapi akan terus berlanjut, bahkan peluangnya menjadi semakin besar. Hal tersebut didasarkan pada pasokan daging sapi yang semakin berkurang, untuk imporpun selain jumlahnya terbatas karena negara pemasok yang terbatas karena faktor penyakit, juga harganya relatif tinggi.
“Pada tahun 2008, diperkirakan harga daging sapi akan mencapai diatas Rp 50.000,- per kg,’ katanya. Selama 5 tahun terakhir, tren perkembangan perunggasan terbukti terus meningkat meskipun besarnya setiap tahunnya masih fluktuatif.
Namun, dari data produksi tahun tahun sebelumnya sampai dengan tahun berjalan tidak terjadi penurunan, termasuk prediksi tahun 2008 baik oleh GPPU maupun GPMT, dan juga PINSAR.
“Isu Flu Burung walaupun masih ada, namun karena tidak dikaitkan lagi dengan isu pemusnahan unggas, hal tersebut akan berdampak bahwa konsumen unggas tidak lagi dibayang-bayangi kehantuan terhadap infeksi Flu Burung akibat mengkonsumsi produk unggas,” lanjut Freddie.
Adapun menurutnya, selama kran impor daging ayam terutama paha ayam/CLQ masih tertutup, maka kebutuhan dalam negeri mau tidak mau harus dipenuhi oleh pasokan dari dalam negeri sendiri. Hal tersebut secara langsung juga akan mempertahankan produksi perunggasan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan dagin ayam yang memang masih relatif rendah.
“Pada tahun 2008, isu politik akan menghangat dengan mendekatnya Pemilu tahun 2009. Namun diharapkan gejolak politik ini hanya terjadi pada tingkat elite politik dan tidak merambat ke bidang ekonomi,” harap Freddie.
Namun yang jelas, menurutnya, bidang keamanan juga akan terganggu dengan menghangatnya isu politik seperti demonstrasi demonstrasi yang mungkin diantaranya ada yang direkayasa.
“Mudah-mudahan isu politik dan keamanan ini tidak menjadikan negara menjadi chaos. Kalau hal tersebut bisa dijaga dan dicegah, maka perekonomian negeri kita akan tetap laju dan dunia perunggasan juga akan terus berkembang. Semoga!” tegas Freddie. (ASOHI/ YR)



Pakan Ternak Tumbuh 7% Pertahun Capai 8,13 Juta Ton

(( Tahun 2008 konsumsi pakan berkisar 8,13 juta ton dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan peternakan 7%. ))

Untuk mengimbangi kenaikan produksi unggas, maka konsumsi pakan ternak nasional pada 2008 diperkirakan juga akan naik mencapai 8,13 juta ton. Adapun kebutuhan pakan ternak meningkat rata-rata 7% per tahun sejalan dengan peningkatan usaha sektor terkait.
Demikian Ir Anang Hermanta dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak dalam Seminar tentang Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta, 7 November 2007 melengkapi pernyataannya bahwa perkiraan sampai akhir 2007 konsumsi pakan nasional akan mencapai 7,6 juta ton.
Hal itu menurut Anang menyusul kondisi terkait yang makin surut akibat dampak kenaikan harga minyak dunia dan iklim usaha di dalam negeri yang belum kondusif.
Untuk memenuhi produksi pakan ternak itu, lanjutnya, industri pakan ternak membutuhkan sekitar 4,07 juta ton jagung, baik impor maupun lokal, sebagai bahan baku utama yang mencapai 50% kebutuhan bahan baku pakan.
Selain jagung, bahan baku lain juga sebagian masih tergantung impor, a.l. bungkil kedelai 1,62 juta ton, tepung tulang & daging (meat bone meal/MBM) serta tepung daging unggas (poultry meat meal/PMM) 400 ribu ton, dan premix 50 ribu ton.
“Dengan kondisi seperti sekarang, apalagi kenaikan harga minyak dunia, kenaikan harga pakan terjadi di seluruh dunia karena bahan baku itu ikut naik. Selain memang barangnya yang naik, biaya angkut juga naik.”
Karena itu, kata Anang, produsen makanan ternak terus meminta pemerintah memberikan insentif sehingga kenaikan harga pakan tidak terlalu tinggi.

Harga Bahan Baku
Saat ini, data GPMT menunjukkan harga bahan baku makanan ternak naik rata-rata lebih dari 30%. Akibatnya sejak Juli harga pakan naik lebih dari Rp300 per kilogram menjadi rata-rata Rp3.675 untuk pakan ayam pedaging (broiler).
Sementara itu, harga pakan ayam petelur naik dari Rp2.550 per kilogram pada Juli 2007 menjadi Rp2.950 per kilogram.
“Harga jagung impor sekarang sudah US$306 per ton dari harga Juli 2007 sekitar US$220 per ton. Sama juga harga bungkil, MBM, dan PMM yang juga naik. Kalau tidak ada upaya pemerintah, sektor peternakan bisa hancur. Padahal kita selalu mengharapkan ada kenaikan pertumbuhan usaha paling tidak 7%.”
Tanpa upaya nyata, kata Anang Hermanta, dampak di sektor perunggasan akan tampak nyata pada harga unggas yang bakal meningkat di atas Rp20.000 per kilogram dari harga rata-rata saat ini sekitar Rp16.000 per kilogram.

Didominasi Pakan Unggas
Sebesar 83 % pakan ternak dibutuhkan untuk unggas. Sisanya, 6 % pakan untuk babi, 3 % pakan sapi perah, 7 % pakan akuakultur, dan 1 % pakan ternak lainnya. Adapun biaya utukpakan ternak ini mencapai 70% dari biaya produksi hasil ternak seperti daging dan telur ayam.
Menurut Anang Hermanta, pakan ternak memang tidak bisa dipisahkan dari rangkaian mata rantai usaha peternakan. Bila Peternakan berkembang, permintaan pakan meningkat, konsumsi bahan baku pakan juga meningkat.
“Pakan ternak berperan strategis,” katanya. Hal ini terkait dengan 70% dari biaya produksi hasil ternak seperti daging dan telur ayam tersebut.
Pakan ternak sendiri, menurut Anang Hermanta terkait harga bahan baku global. Secara nilai rupiah, lebih dari 60% tergantung dari bahan baku impor seperti: jagung, bungkil kedele, meat dan bone meal, poultry meat meal, corn gluten meal, rape seed meal, dll.
Menurut eksekutif PT Sinta Prima Feedmill ini, kualitas pakan sangat menentukan keberhasilan usaha peternakan. Untuk itu harus didukung dengan ketersediaan bahan baku yang berkualitas.
Keberhasilan penyediaan pakan ternak ini menurutnya terkait dengan kebijakan pemerintah. Ir Anang berharap, pemerintah sanggup membebaskan bea masuk 5% atas jagung impor. Lalu, meningkatkan produksi jagung dalam negeri. Dan, membuka impor US Meat and Bone Meal secara terbuka.
Bahan baku pakan kenapa melonjak dan bahkan lonjakannya drastic hingga sulit diikuti oleh kenaikan harga ayam dan telur. Penyebab naiknya harga ini diantaranya adalah kekeringan di Australia, gangguan cuaca di beberapa negara lain, penggunaan jagung dan biji-bijian lain untuk biofuel telah mendongkrak semua grain & bahan baku pakan ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu Kenaikan harga minyak dunia yang telah mencapai lebih dari US$ 90/barel menimbulkan persaingan baru (grain for food, feed & fuel).
Hal tersebut berdampak pada harga bahan baku global. Dari catatan GPMT periode Juli-Nop 2007 harga bahan baku seprti jagung naik dari 220 US$/MT menjadi 306 US$/MT, SBM naik dari 320 US$/MT menjadi 475 US$/MT, MBM naik dari 410 menjadi 575 US$/MT, CGM naik dari 530 US$/MT menjadi 675 US$/MT, dan PMM 500 US$/MT menjadi 740 US$/MT. Bahkan biaya pengapalan dari USA pun ikut naik dari 60 US$/ton menjadi 145 US$/ton.
Sudah barang tentu perunggasan nasional terkena imbasnya, harga pakan rata-rata naik sebesar Rp 450/kg sejak 3 bulan terakhir dan masih berpotensi naik lagi Rp 500/kg. Harga DOC anjlok menjadi Rp 1.000-1.500/ekor. Kalkulasi harga ayam dengan harga DOC di atas dan harga pakan saat ini Rp 3.700/kg maka BEP broiler ex farm sekitar Rp 8.700/kg, kenyataan harga jual karkas eceran rumah tangga sekitar Rp 16.000/kg. Jika pakan naik jadi Rp 4.200/kg dan DOC Rp 2.500, maka BEP ex farm mencapai Rp 10.500/kg yang bisa memicu harga jual karkas eceran rumah tangga mencapai di atas Rp 20.000/kg. Mungkinkah ini terjadi karena kita tetap harus mewaspadai lemahnya daya beli masyarakat.
Bila boleh membandingkan, kenaikan harga pakan terjadi di seluruh dunia. Bedanya kalau di Indonesia, BEP naik harga jual ayam tetap rendah sedangkan di negara lain harga ayam dan DOC ikut naik secara proporsional karena daya beli kuat dan saluran distribusi yang efektif. Sebagai contoh harga broiler di Malaysia 1,20 US$/kg dengan harga DOC 0,50 US$/ekor.

Permasalahan Bahan Baku Pakan
Ir Anang Hermanta pun menguraikan permasalahan bahan baku pakan secara lebih lengkap. Permasalahan itu adalah Bea Masuk Jagung Impor sebesar 5%. Jagung impor dikenakan BM 5% sesuai Peraturan Menkeu No: 591/2004. Tujuannya untuk membantu petani jagung meningkatkan produksi jagung nasional.
“Kenyataannya, produksi jagung dalam negeri masih tetap kurang meskipun sudah diterapkan BM 5%,” kata Anang seraya berpendapat bahwa hal ini menunjukkan ada penyebab lain yang menghambat.
Anang mengatakan bahwa harga jagung lokal selalu jauh diatas biaya pokok produksi. Di sisi lain peternak mendapat tambahan beban biaya pakan. Maka, “Diusulkan pembebasan BM 5% terhadap jagung impor sampai produksi jagung nasional mencukupi tanpa impor,” tegasnya.
Permasalahan Bahan Baku Pakan yang lain adalah Meat and Bone Meal asal USA. Anang mengungkap bahwa sejak Agustus 2006 impor MBM asal USA dibuka terbatas bagi satu produsen, Baker Comodity Inc., USA. Tujuan pembukaan impor MBM asal USA untuk menambah alternatif impor selain dari Australia & New Zealand, sehingga lebih bersaing menurunkan harga.
Namun, karena hanya satu produsen asal USA, maka harga justru tetap tinggi mengikuti harga MBM asal Australia & New`Zealand. Oleh karena itu, “GPMT mendesak pemerintah segera membuka impor MBM asal USA secara terbuka dari banyak produsen dan bebas melakukan impor langsung kepada produsen,” tutur Anang.
Pada saat itulah, produsen lain yang menunggu ijin masuk antara lain: Conagra, Excel, Darling. Proses pembukaan ijin impor ini menurut GPMT sangat lamban.
Ada pun yang juga menjadi permasalahan bahan baku pakan, menurut GPMT, adalah penanganan kasus penyelundupan MBM yang sangat lemah. Ditemukan kasus penyelundupan MBM asal Inggris pada tanggal 23 Agustus 2007 sebanyak 112 peti kemas berisi 2,056 ton. Pelakunya PT Tahta Muria Wahana (TMW) yang MBM-nya diimpor dari Gulf English Trading asal Virgin Island, Inggris.
Kasus serupa terjadi di Tanjung Perak, Surabaya tahun 2006. Namun sangat disayangkan, “Pelaku tidak jera karena sangsi tidak tegas,” sesal Anang.
Menurutnya, pengaruh hal ini bagi pabrik pakan anggota GPMT, adalah menimbulkan kesulitan karena semua ijin pemasukan MBM dan bahan baku impor lain yang legal diperketat dan sangat menghambat. “Ironisnya penyelundup tidak ditindak, importir legal “dipersulit” dan menimbulkan biaya tinggi,” keluh Ir Anang Hermanta.
Selain hal tersebut, Anang menambahkan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam Permentan No. 61/2007 yang mengijinkan masuknya MDM ke Indonesia melemahkan perjuangan menolak masuknya paha ayam atau Chicken Leg Quarter (CLQ).
Selama ini dasar yang digunakan oleh Pemerintah untuk menolak CLQ masuk adalah dengan syarat ASUH (Aman, Sehat Utuh dan Halal). CLQ berupa potongan paha ayam sehingga tidak memenuhi syarat “utuh”, maka diragukan kehalalannya.
Jika CLQ yang berupa potongan paha ayam atau sayap tidak memenuhi syarat ASUH, tentunya MDM yang berbentuk bubur daging ayam lebih diragukan kehalalannya. Namun bilamana MDM yang tidak memenuhi syarat ASUH tersebut diijinkan masuk maka akan melemahkan argumentasi penolakan masuknya CLQ dengan dalih tidak “utuh” atau tidak memenuhi syarat ASUH.

Kendala yang Harus Diantisipasi
Kendala yang harus diantisipasi adalah inflasi meningkat tajam di tahun 2008 akibat kenaikan BBM, yang akan berdampak pada penurunan daya beli. Harga pakan akan naik tajam sedangkan harga daging dan telur ayam tidak mengikuti kenaikkan biaya pokok produksinya.
Kendala berikutnya, belum tuntasnya penanganan Flu Burung di Indonesia. Juga, tambah Anang, perlu upaya meningkatkan produksi jagung dalam negeri.
Sementara itu, RUU Peternakan dan Keswan yang masih cenderung menonjolkan pada ancaman hukuman bagi pelaku usaha, berpotensi menurunkan minat investor, karena banyak sanksi-sanksi yang sifatnya kurang mendidik atau berlebihan.
“UU Peternakan dan Keswan harus menciptakan daya tarik dan rasa aman-nyaman bagi investor untuk masuk ke bisnis peternakan nasional,” harap GPMT.

Harapan GPMT
Oleh karena itu, GPMT berharap semua pelaku perunggasan perlu menjaga keseimbangan supply-demand DOC dan daging ayam broiler.
Selanjutnya, seluruh stakeholder perunggasan dan pemerintah segera mewaspadai dan mengambil langkah nyata untuk menghadapai situasi yang sangat sulit saat ini.
Langkah nyata sesuai harapan GMT, diungkap Anang adalah, “Pangkas biaya-biaya yang berlebihan.”
Lalu, “Tekan high cost economy berkaitan dengan peraturan-peraturan yang eksesif, perda-perda tumpang tindih, bea masuk, biaya pengawasan mutu, biaya karantina antar area, dan lain-lain.”
Kemudian, “Dekatkan harga ex farm dengan harga eceran rumah tangga, pangkas saluran distribusi.”
Akhirnya, tegas Ir Anang Hermanta, “Perlancar importasi bhn baku pakan yang bisa menyebabkan tambahan biaya demurage, OB san lain-lain akibat lambatnya pengurusan SPP impor, proses karantina dan bea cukai tanpa mengorbankan keamanan pangan nasional.” (YR/wan)

Broiler Naik 8,7 Persen dan Layer Meningkat 7,7 Persen

(( Diperkirakan terjadi peningkatan produksi broiler 8,7% menjadi 1,25 juta ekor untuk menghasilkan 1,82 juta ton daging ayam. Dan, terjadi peningkatan populasi layer 7,7% menjadi 104,8 juta ekor untuk menghasilkan 1,43 juta ton telur. ))

Prospek sektor perunggasan nasional 2008 diproyeksi lebih cerah dibandingkan dengan tahun 2007. Diperkirakan terjadi peningkatan produksi broiler 8,7% menjadi 1,25 juta ekor untuk menghasilkan 1,82 juta ton daging ayam. Dan, terjadi peningkatan populasi layer 7,7% menjadi 104,8 juta ekor untuk menghasilkan 1,43 juta ton telur.
Demikian Ketua Umum Pusat Informasi Pasar Unggas Nasional (Pinsar) Drh Hartono dalam Seminar Nasional Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta November 2007.
Menurut Hartono, pelaku bisnis terkait masih optimistis permintaan produk unggas di dalam negeri tidak akan surut kendati usaha ini masih terancam imbas kenaikan harga minyak dunia dan penurunan daya beli konsumen. Hal ini karena produk unggas tetap akan menjadi komoditas termurah dibandingkan bahan makanan lain, seperti ikan dan daging meski kondisinya juga cukup sulit.
“Dengan harga BBM yang makin mahal, ikan juga akan sulit di dapat karena kapal tidak melaut. Daging sapi juga pasti akan lebih mahal. Ayam dan telur yang masih akan tetap dicari,” ujar Drh Hartono.
Ketua Pinsar ini memperkirakan harga karkas ayam akan mencapai Rp 22.000 per kilogram atau lebih dari 25% dibandingkan harga saat ini.
“Tapi, meskipun harga naik, ayam dan telur masih dapat bersaing dengan kompetitornya seperti daging sapi dan ikan yang juga pasti akan jauh lebih mahal. Ayam dan telur ini tetap akan menjadi sumber protein yang termurah.”

Dugaan Yang Selama Ini Dipercaya
Dalam rangkaian pendapatnya, Drh Hartono mengungkap dugaan yang selama ini dipercaya bahwa pertumbuhan ekonomi nasional akan mendorong pertumbuhan bisnis unggas dalam angka yang relatif sama.
Oleh karena itu, katanya, selama setidaknya tiga tahun terakhir, pertumbuhan bisnis unggas diperkirakan diatas 5% per tahunnya. Ini berarti setidaknya telah terjadi pertumbuhan bisnis unggas sebesar 15% secara kumulatif dalam tiga tahun terakhir.
Maka, lanjutnya, ketika pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2008 mendatang sebesar 6.8%. Pertumbuhan bisnis unggas pun diproyeksikan pada angka yang relatif sama.

Kecurigaan
Namun Drh Hartono juga mengungkap kecurigaan, “Apakah benar bahwa bisnis unggas telah mengalami pertumbuhan sebagaimana anggapan tersebut?” tanya Ketua Pinsar ini.
“Berdasar pada data yang seperti apakah dugaan tersebut dibangun?” lanjutnya.
“Fakta-fakta apa sajakah yang dapat dipakai sebagai landasan dari dugaan tersebut?” tanya Hartono lagi.
Serta, “Bagaimanakah memperkirakan prospek bisnis unggas untuk tahun 2008 mendatang?” pungkas pertanyaan Drh Hartono.

Fakta Perekonomian Nasional
Ketua Pinsar ini pun mengungkapkan sejak kenaikan BBM pada oktober 2005, penurunan daya beli masyarakat terjadi sangat signifikan yang hingga tahun 2007 ini masih belum mengalami pemulihan secara berarti.
Angka pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini diumumkan oleh pemerintah, menurut Hartono tidak dapat serta-merta berpengaruh terhadap perekonomian nasional oleh sebab kualitas pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan berkurang kualitasnya.
Oleh karena itu menurut Hartono, diperkirakan daya serap tenaga kerja berkurang, sementara angka pengangguran serta kemiskinan menjadi bertambah. Pertumbuhan ekonomi nasional dalam tiga tahun terakhir ini juga kurang mencerminkan bergeraknya sektor riil yang merangkak pelan.

Realitas Data Produksi Unggas
Drh Hartono juga mengungkapkan realitas data produksi unggas bahwa sementara faktor flu burung semakin memperumit perkiraan data yang sesungguhnya. Data produksi pakan ternak yang diperkirakan paling mendekati realitas dilapangan melalui angka impor SBM, juga menemui masalah ketika terjadi kelangkaan MBM serta komponen bahan baku pakan ternak lainnya.
“Satu-satunya indikator yang dapat dipakai secara memuaskan adalah harga jual panen ex-farm,” kata Ketua Pinsar ini.
Gambaran pergerakan harga broiler dan telur di pasar unggas untuk tahun 2007. Rata-rata harga broiler nasional Rp. 8.898/kg, rata-rata harga telur nasional RP. 8.186/kg, sementara rata-rata persepsi pasar broiler 0,973 dan sementara rata-rata persepsi pasar telur 0,978.
Hasil catatan Pinsar menggambarkan persepsi pasar menunjukkan angka sepi saat berada di poin 0,90; persepsi pasar menunjukkan angka sedang saat berada di poin 1,00 dan persepsi pasar menunjukkan angka ramai saat berada di poin 1,10
Untuk itulah, Hartono yang dokter hwan alumnus FKH IPB menyimpulkan adalah sulit memperkirakan adanya pertumbuhan atau pun kontraksi pasar nasional melalui data harga jual belaka. Tetapi, indikator persepsi pasar nasional lebih cenderung menunjukkan kelesuan pasar nasional secara keseluruhan daripada sebaliknya.
Adapun, terjadinya kenaikan rata-rata harga jual diiringi dengan penurunan persepsi pasar, menunjukkan adanya penurunan produksi di tahun 2007 dibanding dengan tahun 2006.
Dengan memperhatikan indikator persepsi pasar nasional serta masih lambannya ekonomi sektor riil, Pinsar Unggas Nasional pada akhir 2006 memperkirakan sangat sulit mengharapkan adanya pertumbuhan bisnis unggas pada tahun 2007. Hal yang sama sepertinya akan terulang untuk tahun 2008 mendatang, terlebih dengan adanya ancaman kenaikan harga minyak dunia yang sulit dihindarkan.
Barangkali terdapat perbedaan pandangan Pinsar Unggas Nasional yang diketuai Drh Hartono ini dibanding narasumber lain dalam seminar perunggasan nasional tersebut.
“Catatan suram ini bukan bermaksud melemahkan semangat pelaku bisnis unggas, sebaliknya justru ingin menggambarkan betapa besar dan kerasnya tantangan kerja yang harus dihadapi segenap pelaku bisnis unggas pada tahun 2008 mendatang,” pungkas Drh Hartono. (wan/YR)

HOMO ECONOMICUS

Ruang Redaksi Majalah Infovet Edisi 161 Desember 2007

Dengan penuh kepedulian Tim Infovet meliput Seminar Nasional Prospek Perunggasan 2008 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia 7 November 2007 di Hotel Peninsula Jakarta.

ASOHI mempercayakan penyelenggaraan acara ini pada Divisi Event Organizer PT Gallus Indonesia Utama. Infovet juga salah satu divisi pada PT Gallus ini, bersama-sama Divisi Majalah Satwa Kesayangan, Divisi Penerbit Buku Gita Pustaka, dan Divisi G Multimedia. PT Gallus sendiri merupakan badan usaha yang dimiliki oleh ASOHI.

Tergambar dengan jelas, antara Infovet, EO, PT Gallus dan ASOHI merupakan satu keluarga besar. Di sini berlaku prinsip manajemen, di mana sesungguhnya setiap organisasi dan pengorganisasian adalah sebuah manajemen. Korporasi sebagai istilah lain dari perusahaan sendiri, berasal dari bahasa Latin korpus, yang artinya tubuh.

Tubuh mempunyai anggota, organ-organ, berupa tangan, kaki dan lain-lain, begitulah PT Gallus yang dimiliki oleh ASOHI ini juga punya divisi-divisi termasuk Majalah kesayangan Anda ini.

Untuk menjalankan organisasi dibutuhkan manajemen. Ketika membicarakan manajemen, berarti membicarakan organisasi. Pembicaraan tentang manajemen sudah berlaku sangat lama dalam sejarah manusia. Bahkan ketika tokoh-tokoh dunia Machiavelli, Thomas Hobbes dan Adam Smith berbicara tentang organisasi mereka sudah berbicara tentang manajemen.

Pada saat menjalankan roda organisasi perusahaan dengan manajemen itu, ada suatu nilai yang dikejar setiap perusahaan, yaitu nilai ekonomi. Apakah yang mendasari nilai ekonomi ini?

Adam Smith (1723-1790) mempunyai konsep dalam perdagangan manusia digerakkan oleh kepentingan diri sendiri. Namun ilmuwan-ilmuwan selanjutnya menciutkan konsep ini menjadi manusia adalah makhluk yang dipenuhi oleh kepentingan diri sendiri, menyulut konsep Homo economicus.

Selanjutnya, konsep homo economiscus secara ekstrim mendominasi pelabelan citra manusia bahwa yang menggerakkan semua banyak bidang kehidupan selalu diukur dari kepentingan ekonomi semata. Padahal, semula, Adam Smith menyatakan sifat homo ecomomicus ini hanya bagian dari sifat manusia dalam konteks perdagangan, bukan citra diri manusia secara ekstrim.

Sementara itu, masih banyak cita manusia yang lain, bukan hanya makhluk ekonomi, namun juga makhluk sosial, makhluk religius, makhluk budaya, makhluk sejarah dan lain-lain. Sebagai satu kesatuan diri manusia, manusia tinggal mewujudkan keseluruhan sifatnya secara intuitif menghadapi semua persoalan kehidupan, bukan hanya dari sisi ekonomi sebagai kedirian yang ekstrim sebagai homo economicus.

Dalam konteks perusahaan PT Gallus di mana Infovet sebagai satu organ, setidaknya konsep-konsep para tokoh ini dapat terefleksikan. Sentuhan-sentuhan manajemen roda ekonomi dari Infovet terasa diwarnai berbagai sisi kehidupan manusia, baik sisi ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan kedokteran hewan dan peternakan, pendidikan dan lain-lain.

Katakanlah, Infovet mencoba menyeimbangkan berbagai sisi dalam diri manusia, yang tercermin dari sajian-sajian untuk pembaca pada setiap edisi. Harapan yang sama juga berlaku untuk kita semua, terutama bangsa Indonesia dalam menghadapi persoalan-persoalan peternakan dan kesehatan hewan.

Sulit untuk dipungkiri pendekatan kita dalam menghadapi problem-problem peternakan dan kesehatan hewan, sejauh ini terasakan lebih didominasi paradigma ekonomi dan pembangunan, guna meningkatkan pendapatan negara maupun perusahaan.
Gambaran sejujurnya, masih banyak peredaran obat hewan ilegal yang dilaporkan dalam Infovet edisi November 2007. Masih ada upaya-upaya untuk mengatur peradagangan sarana produksi peternakan baik bibit, pakan, obat, peralatan dengan bermain-main di wilayah hukum yang bisa dikondisikan oleh pengaruh lobi-lobi. Bahkan juga menjalar pada impor produk-produk peternakan seperti MBM dan MDM yang beresiko penyakit sapi gila.

Citra Homo economicus yang ekstrim mestinya menyadari, bahwa penemu sifat ekonomi ini (Adam Smith) hanya menempatkan kepentingan ekonomi ini sebagai bagian dari diri manusia, bukan yang utama. Sedangkan Adam Smith sendiri menemukan konsep ini dengan bertumpu pada etika moral, sebagai suatu mata rantai dari pengenalan manusia sejak abad-abad sebelumnya sebagai Homo Sapiens, makhluk berjalan berkaki dua yang berpikir.

Di sini kita disadarkan bahwa dalam bisnis pun kita mesti mengakomodasi nilai-nilai dalam diri manusia secara utuh bukan hanya nilai ekonomi. Akomodasi itu pun dapat terlaksana dengan suatu manajemen, sehingga kita menyongsong tahun baru 2008 dengan sikap positif dan lebih maju. (Yonathan Rahardjo)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer