Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Musim Penghujan, Pakan dan Ayam Kerdil


Fokus Majalah Infovet Edisi 162 Januari 2008

Narasumber Infovet menyampaikan sekitar Oktober 2007 serangan ayam kerdil juga bisa terjadi di ayam pullet, dengan besar kasus 5 persen dari polulasi. Akibatnya berat badan ayam cuma separo dari berat badan ayam normal bahkan ada yang kurang. Diduga terjadi serangan Runting and Stunting Syndrome, di mana dari hasil pemeriksaan terdapat virus Reo-nya.

Kasus kekerdilan pada ayam broiler juga banyak, tidak tergantung strain atau bangsa ayam. Bagaimana pengaruh musim penghujan dengan kejadian kasus ayam kerdil ini?

Pada saat musim penghujan ini kasus penyakit yang terjadi adalah penyakit-penyakit yang terkait dengan pencernaan dan pernafasan. Menurut narasumber Infovet sendiri, Penyakit ayam kerdil sendiri dapat terjadi oleh berbagai sebab. Bisa karena pencernaan terkait dengan pakan, serangan virus Reo, dan bibit ayam pada waktu masih muda.

Untuk itu untuk mengetahui kejadian dan penanggulangan kasus ayam kerdil, perlu: "Dicek dari hulu sampai hilir," kata narasumber Infovet.

Bilamana menjumpai ayam kerdil di peternakan, narasumber Infovet menyatakan ayam tersebut perlu dimusnahkan, agar tidak menyebabkan kerugian lebih lanjut. Contoh kasus pada peternakan ayam pullet tersebut, kejadian ayam kerdil pada ayam umur 2-3 minggu berat badan ayamnya hanya 2-3 ons.

Musim Penghujan dan Pakan

Sudah tentu terkait dengan pakan yang harganya mahal, ayam yang kondisinya demikian jelas merugikan, maka ia menganjurkan ayam yang tidak normal tersebut dimusnahkan atau dimatikan saja, dibakar dan dikubur.

Sebagai langkah pencegahan terkait dengan kondisi pakan yang harganya mahal, di Blitar, narasumber Infovet mengatakan peternak di wilayah ini banyak yang menunda masuknya DOC, meski akhirnya tetap masuk.

Adapun banjir yang terjadi di mana-mana banyak menyebabkan terputusnya jalan dari satu wilayah ke wilayah lain. Misalnya narasumber Infovet yang sedang dalam perjalanan ke peternakan di Klaten di jalan di atas bengawan Solo yang airnya naik meluber di jalan-jalan, menegaskan perhubungan yang putus karena banjir ini berpengaruh secara nyata pada pengiriman ayam dan sarana produksi peternakan yang lain termasuk pakan.

Dengan sendirinya bilamana pasokan pakan terhambat, merupakan faktor yang sangat serius bagi perkembangan ayam pada masa pemeliharaan.

Di samping itu, kaitan antara musim penghujan dan pakan adalah pada soal kualitasnya dengan kualitas pakan. Bahkan, musim penghujan selalu sangat erat kaitannya dengan kualitas pakan ini.

Jamur pada musim penghujan begitu mudah tumbuh dan berbiak di mana-mana, termasuk pada pakan, bisa menyebabkan mikotoksikosis yang ujung-ujungnya juga mampu menyebabkan kekerdilan.

Adanya kandida, jamur, khamir, pada tembolok bisa menyebabkan malaborpsi. Dulu terjadi pada broiler, kini pun terjadi pada layer pada masa pemeliharaan dara. Pertumbuhan terhambat, masa produksi lambat umur. Secara patologi anatomi ada, terjadi malabsorpsi, rusaknya usus, pakreas, terjadinya proventrikulus. Demikian narasumber Infovet.

Lingkungan dengan turun hujan secara terus-menerus, menyebabkan kadar Oksigen turun drastis, terutama di daerah pegunungan, dan kurangnya pemanas. Hal ini pun bisa terjadi pada hacthery (penetasan) yang juga dapat ikut ambil bagian.

Ketika cuaca sungguh tidak beraturan, hujan dan panas, kondisi ini menyebabkan kelembaban, suhu, level oksigen dan CO2 menjadi sangat sulit untuk diatur dan dikendalikan di dalam hatchery.

Padahal kita ketahui: Embrio modern sangat rentan dalam hal kebutuhan oksigen. Jelas tercukupi atau tidaknya O2 ini sangat mempengaruhi aktivitas ayam termasuk dalam kegiatan makan," kata narasumber Infovet.

Dengan demikian kita bisa menarik benang merah antara musim penghujan, pakan dan kekerdilan. Apalagi ternyata, aktivitas makan dan pertumbuhan ayam sendiri yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada pertumbuhan ayam sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di bawah ini sesuai dengan problem faali ayam.

“Brooding”

Ketika akhirnya peternak memutuskan memasukkan DOC, untuk persiapan kedatangan DOC, persiapan brooding harus sudah siap meliputi chick guard, pemanas, tirai dalam, tirai luar, tempat pakan, tempat minum, bila kandang panggung maka seluruh lantai harus ditutup. Cick guard berdiameter 3 m untuk 750 ekor. Pemanas dinyalakan 2 jam sebelum DOC datang.

Perhatikan suhu brooding setiap saat terutama pada dini hari saat suhu terdingin yaitu sekitar jam 2 malam/pagi, dan pada siang hari saat suhu terpanas yaitu antara jam 11-14.

"Bila kontrol suhu dapat dilakukan dengan baik maka anak ayam akan merasa nyaman. Tidak terlalu panas atau dingin sehingga dapat makan dan minum dengan baik," tutur narasumber Infovet.

Untuk mengatasi permasalahan kekerdilan pada ayam dengan kondisi lingkungan sangat dingin, pemanas harus kuat betul. Pada dua minggu pertama suhu brooding paling rendah 29 derajat Celsius, paling tinggi 35 derajad Celsius.

Itu pada minggu 1, 2, dan 3. Sedangkan pada minggu ke 4, 5 dan 6 suhu sebesar 33 derajad Celsius. Hal tersebut dengan catatan tidak ada fluktuasi suhu yang terlalu tinggi. Demikian anjuran narasumber Infovet.

Yang penting adalah kepekaan terhadap suhu. Usahakan ada termometer untuk setiap kandang. Kalau tidak ada, dapat gunakan tubuh peternak sebagai patokan dan atau melihat pola penyebaran anak ayam yang merata saat itu. Peternak harus tahu kapan mengatur suhu brooding dan kandang.

Perlu diingat, kondisi brooding mempengaruhi penyerapan kuning telur. Bila suhu terlalu panas, kuning telur akan menjadi kering. Sebaliknya bila terlalu panas, saluran kuning telur akan menyempit. Keduanya akan menyebabkan kuning telur menjadi tidak sempurna.

Padahal, dalam kuning telur selain terdapat cadangan makanan, vitamin, hormon, juga sumber kekebalan yang diturunkan dari induk. Bila kuning telur tidak terserap sempurna akan ada masalah kesehatan anak ayam.

“Hal itu penting untuk menjaga kekebalan anak, sebab apabila kekebalan yang diwariskan dari induk lemah, bisa menyebabkan ayam mengalami gagal pertumbuhan dan rentan sakit,” papar narasumber Infovet.

Tirai

Penyesuaian tirai pun perlu dilakukan dengan rajin. Ada saatnya membuka, ada saatnya menutup, bahkan menutup rangkap. Dalam kondisi penuh hujan dan kabut dingin itu, untuk melindungi ayam di kandang-kadangnya, kandang butuh tirai tambahan.

Sayangnya, pada daerah-daerah yang dingin ini, biasanya tirai tidak dirangkap. Tirai rangkap sangat dibutuhkan pada kondisi ini.

Selanjutnya operator jangan teledor mengatur pemanas dan suhu sesuai kondisi dingin atau panas yang berubah-ubah. Untuk membantu kelemahan kedisiplinan ini ada solusi alternatif, yaitu pemanas atau brooder yang otomatis, yang dapat menyesuaikan dengan suhu yang ada dengan lampu yang kecil.

Hal ini dapat membantu mengatasi masalah pada pemanasan yang tidak otomatis, di mana pemanasan tidak mencukupi bila malam dingin, dan siang menjadi kepanasan.

Efek pemanasan yang tidak tepat ini berpengaruh terhadap tidak berhasilnya berat badan mencapai yang diinginkan. Demikian pula tentang pencahayaan, berpengaruh dalam jangka panjang secara nyata.

“Chicken Guard”

Selanjutnya, "Oksigenasi brooding jangan terlalu pengap," tegas narasumber Infovet. Kalau perlu dibantu dengan kipas angin. Syukur bisa diberikan suplai oksigen ke air minum walau belum diketahui betul pengaruhnya karena hal ini diambil pengalaman penerapannya untuk ikan, dan sekarang dicoba diterapkan pada ayam.

Artinya, jangan lupa memperhatikan kepentingan ventilasi ayam. Dengan melebarkan chicken guard, lebih cepat melebar hasilnya ventilasi lebih bagus. Pelebaran ini dilakukan mulai hari ke 5 sesuai pertumbuhan dan kepadatan kandang.

Litter

Adapun, sekam atau serutan yang akan digunakan sebagai litter sebelum digunakan dilakukan desinfeksi lebih dulu. Penggunaan alas koran minggu pertama agar pakan dapat disajikan sedikit demi sedikit dan selalu dalam keadaan segar.

Pastikan bahwa, litter atau alas kandang dalam kondisi yang baik. Litter yang basah, lembab dan menggumpal dapat meningkatkan resiko penyakit. Penggantian litter ini jangan dilakukan secara total, tetapi bertahap, litter yang basah dan menggumpal segera dikeluarkan dan diganti dengan yang baru.

Pada kandang panggung, sekam dikeringkan. “Litter setidaknya selama 2 minggu pertama harus kering dan steril, jangan sampai basah.”

Soal litter ini sangat vital, apalagi pada musim penghujan, jangan sampai litter itu menjadi sarang Reo. Pernah dijumpai litter ayam yang sangat kotor seperti lantai kandang bebek.

"Jangan litter yang seperti itu, litter setebal 20 cm pun, apalagi basah, tetap dapat menjadi tempat berbiaknya Reo." Apalagi, di daerah endemis yang selalu ada infeksi Reovirus, bila pelakuan terhadapnya tidak diterapkan secara ketat.

Olesi Pusar

Cara lain menghadapi hujan yang membasahkan adalah perhatian langsung pada ayamnya sendiri. Air basah dan litter lembab pada litter dapat langsung menyerang individu anak ayam. Seperti anak manusia yang bisa tersarang masuk angin, apalagi anak ayam yang lemah.

Ingat bagaimana kala anak-anak terserang masuk angin? Olesi pusar dengan minyak kayu putih. Kalau anak ayam? Olesi pusar dengan desinfektan.

Bila diketahui 5-10 persen dari jumlah anak ayam itu terdapat pusar basah, segeralah olesi dengan desinfektan, yang aman adalah dengan Iodine, untuk mencegah terjadinya ascites yang mendorong terjadinya kekerdilan.

Pada saat anak ayam umur sehari ini dilepaskan sebelumnya oleskan Iodine satu demi satu pada anak-anak ayam itu, baru dilepaskan satu per satu. Demikian narasumber Infovet.

Hal-hal begini peternak tidak melakukan, mengakibatkan hambatan pertumbuhan ayam sehingga terjadi kegagalan pertumbuhan. Sebaliknya, "Kalau persyaratan dipenuhi kasus lambat tumbuh bisa diminimalisir. Persentase kejadian bisa dikurangi lebih kecil dari 5 persen,” urai narasumber Infovet.

Semakin jelas-lah benang merah antara musim penghujan, pakan dan kekerdilan. Sekaligus: cara kita menghadapi. (YR)

Awal yang Baik, Gangguan Stres dan Penampilan Akhir Ayam

Fokus Majalah Infovet Edisi 162 Januari 2008

Awal yang baik akan memberikan hasil yang baik. Ternyata, pepatah kuno tersebut juga berlaku pada aktifitas pemeliharaan ayam modern. Soalnya, kesalahan pada penanganan awal telah terbukti akan mengakibatkan penampilan ayam selanjutnya yang tidak prima alias kurang ‘tokcer’ pada pertumbuhannya. Demikian diungkapkan Drs Tony Unandar Private Poultry Farm Consultant dalam sebuah seminar teknis di Bogor belum lama ini.

Berdasarkan pengamatan lapangannya, ada tiga masalah yang paling sering mengganggu pemeliharaan awal ayam, yaitu: tingginya faktor stres yang ada, peradangan tali pusar (omphalitis) dan dehidrasi (kehilangan cairan tubuh yang berlebihan). “Ketiga hal inilah yang menjadi pemicu utama munculnya kasus kekerdilan dan lambat tumbuh,” ujarnya.

Namun dalam tulisan ini akan difokuskan pada hal-hal yang terkait dengan masalah stres dan penampilan akhir ayam. Stres merupakan reaksi fisiologis normal ayam dalam rangka beradaptasi dengan situasi baru, baik itu yang terkait dengan lingkungan maupun perlakuan-perlakuan yang diterima oleh ayam.

Proses adaptasi ini tentu saja akan membutuhkan sejumlah energi tertentu yang akan diperoleh dari sisa kuning telur yang ada, pakan, atau bahkan dari cadangan energi lain yang terdapat dalam tubuh ayam. Itulah sebabnya, dalam kondisi stres yang tinggi, bobot badan ayam sangat sulit untuk mencapai bobot yang sesuai dengan standar, karena sebagian energi akan digunakan untuk mengeliminir efek stres yang terjadi. Akibatnya FCR nya jelek dan hanya akan memboroskan pakan yang diberikan, itupun kalau ayamnya masih mau makan.

Di lain pihak, tingginya faktor stres yang ada, terutama disebabkan oleh proses-proses yang terjadi di lingkungan penetasan seperti seleksi dan penghitungan DOC, vaksinasi Marek dan potong paruh (khusus untuk DOC ayam petelur), transportasi serta kondisi di lingkungan induk buatan, dapat mengakibatkan kondisi umum DOC akan menurun, rendahnya nafsu makan serta terganggunya penyerapan sisa kuning telur.

Selanjutnya, hal ini tentu saja akan memperparah kondisi ayam secara umum.

Adanya faktor-faktor stres tersebut akan mengakibatkan peningkatan sekresi Adeno Cortico Streroid Hormone (ACTH) oleh kelenjar pituitari pada otak (Siegel, 1999). Salah satu efek utama dan tingginya kadar hormon ini adalah menurunnya laju metabolisme tubuh secara umum, termasuk menurunnya penyerapan sisa kuning telur yang masih ada. Secara normal, sisa kuning telur yang ada pada DOC akan habis terserap dalam tempo 4-7 hari setelah menetas (hatching). Gangguan pada penyerapan akhir sisa kuning telur ini akan memberikan beberapa efek negatif pada perkembangan ayam selanjutnya, yaitu:

1. Gangguan pada kecukupan nutrisi yang dibutuhkan pada awal kehidupan ayam. Dibner (1998) telah membuktikan bahwa untuk pertumbuhan lanjut jaringan tubuh ayam setelah menetas, kurang lebih 50% dari kebutuhan protein dan energi pada hari pertama berasal dari sisa kuning telur yang ada, karena pada awal kehidupan ayam. sistem pencernaannya belum berfungsi secara optimum, termasuk sekresi enzim-enzim pencernaan. Gangguan pada kecukupan nutrisi ini pada tahap berikutnya tentu saja akan mengakibatkan keterlambatan tumbuh pada ayam yang dipelihara, termasuk besarnya peluang untuk mendapatkan ayam yang tidak seragam (un-uniform), baik itu pada ayam broiler atau ayam petelur.

2. Gangguan pada absorpsi zat kebal induk yang terkandung dalam sisa kuning telur. Gangguan ini sedikit banyak agak bervariasi, tergantung pada derajat stres yang dialami oleh DOC. Yang jelas, manifestasi lapangan yang bisa dideteksi adalah tidak optimumnya dan tidak ratanya antibodi dari induk yang dapat diserap oleh DOC. Secara umum, kondisi ini akan mengakibatkan meningkatnya kepekaan ayam yang bersangkutan terhadap tantangan mikroba dari lingkungan, termasuk terganggunya respon kekebalan akibat pemberian vaksin aktif. Alexander (1988) mengatakan bahwa ketidakrataan zat kebal induk yang ada pada flok ayam tertentu setidaknya akan memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan pada keberhasilan vaksinasi terhadap ND (Newcastle Disease).

3. Gangguan pada absorpsi sisa kuning telur akan memperbesar peluang terjadinya kontaminasi kuman lingkungan. Walaupun sisa kuning telur telah berada di dalam rongga perut ayam, namun pada minggu-minggu pertama masih terdapat pori-pori yang cukup banyak pada bekas tali pusar ayam. Lingkungan dengan sanitasi yang tidak begitu baik dan ditambah dengan adanya kuning telur yang mengalami gangguan pada absorpsinya akan memperbesar peluang terjadinya kontaminasi kuning telur oleh kuman lingkungan. Walaupun kontaminasi kuman lingkungan ini tidak mengakibatkan kematian yang tinggi pada DOC yang bersangkutan, namun aktifitas kuman lingkungan pada sisa kuning telur tersebut akan mengakibatkan perubahan sifat-sifat fisika maupun kimiawi pada kuning telur yang ada, misalnya terjadinya penggumpalan (koagulasi) kuning telur. Manifestasi akhir dari kondisi ini adalah adanya kuning telur yang persisten selama hidup ayam tersebut yaitu kontaminasi kuman dan omphalitis. Selanjutnya, ditemukan adanya pertumbuhan yang terlambat, asites, atau bahkan peningkatan kematian ayam pada fase-fase berikutnya.

Kondisi stres pada ayam juga akan mengakibatkan terganggunya sekresi neurotransmitter (cairan penghubung impuls) pada sistem syaraf ayam. Salah satunya adalah kholesistokinin. Gangguan pada sekresi neurotransmitter ini dapat mengakibatkan turunnya tingkat konsumsi pakan pada ayam yang dipelihara (Cook, 1998). Tergantung pada derajat stres yang dialami oleh ayam, maka gangguan konsumsi pakan yang dialami juga akan sangat bervariasi, Manifestasi akhir dari kondisi ini adalah adanya gangguan pertumbuhan pada ayam yang sangat bervariasi dan tentu saja ayam dalam flok yang bersangkutan sangat tidak seragam.

Pada sisi lain, Siegel dan Gross pada tahun 1990 telah membuktikan bahwa adanya stres pada ayam akan mengakibatkan beberapa efek negatif pada sistem pertahanan tubuh dalam menghadapi agen penyakit. Yang jelas, dalam kondisi kadar ACTH yang tinggi, kewaspadaan butir darah putih dalam menangkal bibit penyakit akan menurun (lazy leucocyte syndrome). Kondisi ini tentu saja akan mengakibatkan peningkatan kepekaan ayam terhadap tantangan bibit penyakit.

Stres ternyata juga dapat mengakibatkan gangguan pada sistem pencernaan ayam. Fuller (1982) adalah seorang peneliti pertama yang mengamati efek stres pada ayam terhadap menurunnya laju peristaltik usus dan perubahan komposisi mikroflora usus. Pada tahap akut, adanya stres akan mengakibatkan peningkatan laju peristaltik usus, akan tetapi pada fase berikutnya justru terjadi penurunan Iaju peristaltik usus yang diikuti dengan perubahan komposisi mikroflora usus. Yang jelas, manifestasi kedua kondisi ini adalah sama yaitu "wet dropping" alias kotoran basah dan efisiensi pakan tentu saja akan menurun.

“Jadi, agar ayam anda dapat menunjukkan potensi genetiknya secara maksimal, coba minimkan faktor stres yang diterimanya pada awal kehidupan. Caranya adalah, dengan penanganan yang lebih baik, penuh dengan perasaan sayang alias perasaan perikebinatangan,” kata Tony.

Ketika ditanya mungkinkah buruknya kualitas DOC datang dari kualitas induk yang jelek? Tony buru-buru menampik dan mencoba netral, “Pada prinsipnya perusahaan pembibitan ayam merupakan perusahaan publik yang juga hidup dari adanya peternak rakyat, sehingga kecil kemungkinan perusahaan tersebut akan mengeluarkan produk yang jelek bila nantinya hanya akan merusak citra perusahaan. Karena biar bagaimanapun kerugian yang diderita peternak pasti akan berimbas pada kerugian perusahaan pembibitan,” ujar Tony menandaskan. (Infovet)



Gambar 1. Efek lanjutan stres pada DOC.

Kegerahan Picu Kekerdilan dan Penurunan Produksi Telur

Fokus Majalah Infovet Edisi 162 Januari 2008

Tampaknya, ayam modern memang lebih rapuh dalam temperatur lingkungan yang tidak sesuai. Keberadaan energi panas dalam tubuh ayam dapat diketahui melalui temperatur tubuh, yaitu berkisar antara 39-42 oC. Temperatur tubuh DOC (rata-rata mendekati 42 oC) relatif lebih tinggi dibanding dengan ayam dewasa (rata-rata mendekati 40 oC).

Menurut Teeter (1988) jika temperatur lingkungan sudah mendekati temperatur rata-rata tubuh secara normal, maka ayam akan mengalami kesulitan dalam mengeluarkan sisa energi panas tubuh yang terbentuk dalam proses metabolisme tubuh. Ayam akan mulai merasa kegerahan ketika perbedaan antara temperatur tubuh dengan temperatur lingkungan adalah 8 oC atau kurang. Jadi, DOC akan mengalami kegerahan jika temperatur lingkungannya mencapai 34 oC, sedangkan pada ayam dewasa 31 oC.

Akibat dari kegerahan pada ayam dapat dideteksi melalui beberapa perubahan tingkah laku ayam, misalnya:

1. Nafsu makan ayam menurun secara bertahap. Kadang kala, walaupun secara kuantitatif penurunan konsumsi pakan belum terdeteksi, namun manifestasi kegerahan dapat dideteksi melalui bertambahnya waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sejumlah pakan, terutama saat pagi hari.

2. konsumsi air minum meningkat, bisa sampai sua atau tiga kali dibanding normal. Kebanyakan peternak tidak memperhatikan hal ini, namun manifestasi lapangan tentang hal ini sebenarnya dapat dideteksi dengan mengamati pial yang selalu basah atau adanya bekas aliran air (tali air) pada bagian bawah leher ayam.

3. ayam cenderung berkumpul pada area yang lebih sejuk (dengan aliran angin yang baik). Hal ini akan tampak dengan jelas pada sistem kandang tertutup.

4. untuk mempercepat pengeluaran panas melalui konduksi, ayam akan cenderung mempermainkan bahan litter, atau bahkan membenamkan tubuhnya ke dalam litter. Disamping itu tampak sebagian ayam berusaha meningkatkan pengeluaran panas tubuhnya melalui radiasi yaitu dengan cara melebarkan sayapnya.

5. dalam kondisi yang cukup parah, akan tampak gejala ‘gasping’ atau megap-megap. Ditandai dengan mulut terbuka lebar dengan frekuensi pernapasan yang tinggi (di atas 70 kali/menit). Jika dibiarkan kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya alkalosis dengan derajat yang sangat variatif atau bahkan kematian ayam yang sifatnya mendadak.

Kejadian alkalosis menimbulkan beberapa efek negatif lanjut yaitu terjadinya gangguan keseimbangan kalsium darah, sehingga persentasi kalsium bebas dalam darah akan menurun tajam. Kondisi ini menyebabkan turunnya palatabilitas (akibat nafsu makan yang menurun lebih dahulu), terganggunya pembentukan tulang, serta adanya gejala kerabang telur yang tipis dan pucat pada ayam petelur atau bibit.

Rendahnya kalsium bebas darah dapat juga mengakibatkan terhambatnya impuls dari sistem syaraf pusat ke organ internal, dengan demikian kematian mendadak dapat saja terjadi akibat kegagalan kerja jantung dan atau paru-paru.

Pada ayam bibit, lanjut Tony Unandar, kejadian alkalosis menyebabkan gangguan sintesa vitellogenin dalam sel-sel hati. Vitellogenin merupakan komponen utama kuning telur. Dalam kondisi alkolosis ringan yang kronis, walaupun berat telur tidak terganggu, jika rasio antara kuning telur dan putih telur (albumin) semakin kecil, maka kualitas DOC yang dihasilkan akan sangat nyata terganggu. Ditandai dengan berat DOC yang lebih ringan (walaupun bobot telur memenuhi standar untuk ditetaskan), lemah, dehidrasi ringan, serta kematian yang di bawah umur satu minggu tanpa adanya gejala infeksius.

Untuk mencegah hal ini Tony menyarankan perbaikan sirkulasi udara dalam kandang dan mengurangi kepadatan ayam merupakan saran umum yang sangat dianjurkan. Disamping itu, evaluasi lanjut mengenai program pemberian pakan serta dinamika energi antara ayam dan lingkungannya juga perlu dilakukan dalam rangka mengatasi problem kegerahan pada ayam modern. (wan)

Kekerdilan Akibat Stres Diawal Pemeliharaan

Fokus Majalah Infovet Edisi 162 Januari 2008

((Ayam modern sekarang tampaknya memang lebih cengeng dan manja dibanding dengan ayam klasik yang dulu dipelihara secara tradisional. Penyebabnya tak lain karena temperatur, kelembaban dan kualitas udara yang baik sangat dibutuhkan untuk mengekspresikan potensi genetiknya. ))

Jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka ayam modern akan mogok tumbuh atau bahkan mati. Dan ujung-ujungnya adalah urusan uang yaitu keuntungan atau kerugian peternak dalam usaha peternakannya. Demikian diungkapkan Drs Tony Unandar Private Poultry Farm Consultant dalam sebuah seminar teknis di Bogor, Selasa (18/12).

Menurut Tony, dalam urusan temperatur tubuh, ayam termasuk kategori hewan homeotermal alias berdarah panas. Tegasnya, temperatur tubuh relatif stabil dan berada dalam selang temperatur tertentu, tidak bergantung pada temperatur lingkungannya seperti hewan berdarah dingin.

Akan tetapi, dalam hirarki hewan bertulang belakang (vertebrata), ayam termasuk dalam kelas Aves (bangsa burung) yang merupakan kelas peralihan antara hewan berdarah dingin (poikilotermal) dengan hewan homeotermal. Itulah sebabnya pada ayam muda (umur dibawah 3 minggu) dikenal masa brooding (masa indukan), dimana pada masa ini kemampuan adaptasinya terhadap temperatur lingkungan masih rendah dan perkembangan lanjut sistem termoregulatornya masih terus terjadi.

Lebih lanjut, Tony Unandar menjelaskan bahwa pengaturan temperatur tubuh hewan homeotermal relatif kompleks dan merupakan sirkuit yang terdiri dari beberapa komponen. Menurut ahli, pengaturan temperatur tubuh ayam dilakukan oleh 4 komponen penting, yaitu bagian depan (anterior) hipotalamus, bagian pre-optik otak besar (cerebrum), tali syaraf otak kesepuluh (nervus vagus), dan tali-tali syaraf tepi yang sensitif terhadap temperatur (temperatur sensitive nerves).

Ayam umur sehari atau DOC belum dapat mengatur temperatur tubuhnya dengan baik. Mekanisme pengaturan temperatur tubuh yang dilakukan oleh sistem termoregulator baru terjadi secara optimal ketika ayam berumur 7-21 hari.

Dilain pihak, komponen termoregulator berupa tali-tali syaraf yang sensitif terhadap temperatur pada ayam muda sudah berfungsi dengan baik ketika ayam berumur sehari dan sebagian besar terletak di telapak kaki. Itulah sebabnya, walaupun komponen termoregulator lainnya (terutama komponen yang merupakan bagian dari otak besar) belum berkembang dengan baik, telapak kaki merupakan organ sensori yang paling penting pada saat DOC berinteraksi pertama kali dengan lingkungannya.

Waspada Litter yang Dingin

Reignier dan Kelley pada tahun 1981 melaporkan pertama kali fenomena renyatan temperatur (temperature shock) pada DOC. Kondisi ini bisa terjadi jika seekor DOC diletakkan pada permukaan litter dengan temperatur rendah, khususnya pada temperatur di bawah 25oC. Itulah sebabnya, untuk menghindari terjadinya renyatan temperatur pada tahap awal pemeliharaan ayam, pemanas harus dinyalakan minimum satu jam sebelum DOC ditebar di atas litter dalam indukan buatan.

Tony Unandar mengutip hasil penelitian beberapa ahli menegaskan bahwa renyatan temperatur tidak bisa dianggap remeh karena menimbulkan beberapa mekanisme lanjut, yaitu meningkatnya kadar adenocorticotropic hormone (ACTH) yang merupakan suatu indikator terjadinya stres pada DOC yang mengalami renyatan temperatur.

Kadar ACTH yang lebih tinggi dari normal akan membawa dampak lanjut berupa terganggunya proses penyerapan sisa kuning telur. Ini berarti, penyerapan zat kebal induk dan komponen nutrisi lainnya yang terkandung dalam kuning telur jelas terhambat. Di lain pihak, kadar ACTH yang berlebihan juga akan memberikan efek lazy leucocytes syndrome, yaitu suatu kondisi dimana butir darah putih tidak memberikan respon yang optimal terhadap keberadaan benda asing alias patogen yangmenginvasi tubuh ayam bersangkutan.

Manifestasi lapangan dari kejadian-kejadian tersebut di atas adalah terganggunya pertumbuhan lanjut ayam dengan berbagai derajat keparahan seperti kekerdilan dan lambat tumbuh dan keseragaman yang jelek. Serta rentannya ayam terhadap serangan mikroorganisme dari lingkungannya, termasuk mikroorganisme yang terdapat dalam vaksin aktif (reaksi pasca vaksinasi akan berlebihan).

Selain itu renyatan temperatur juga ditunjukkan dengan adanya perubahan dalam tingkah laku (behavior) ayam yang sangat signifikan. Dalam keadaan kondisi normal, di mana temperatur permukaan litter sesuai dengan yang diinginkan oleh DOC yaitu sekitar 29-31 oC, maka dalam tempo kurang dari 15 detik setelah ditebar, DOC akan melakukan aktivitas biologis lanjutan, misalnya melakukan pergerakan (movement), minum dan makan.

Jika terjadi renyatan temperatur maka DOC akan malas bergerak, minum dan makan. Ini berarti, gangguan pertumbuhan dan kematian ayam dengan berbagai derajat keparahan akibat dehidrasi dan hipoglisemia dengan mudah terjadi pada fase lanjutnya.

Stres Bisa Lewat Air Minum

Sementara itu, menurut Pattison (1997), renyatan temperatur dapat juga terjadi akibat DOC mengkonsumsi air minum dengan tempertaur yang rendah (<20 oC). Air minum dengan temperatur rendah dapat menurunkan temperatur tubuh ayam secara mendadak. Dilaporkan pula, DOC cenderung menolak untuk minum jika suhu air minum dibawah 15 oC.

Peneliti lain mengungkapkan bahwa pemberian air minum hangat menstimulasi peningkatan gerakan peristaltik usus dari dibawah 5 kali per menit menjadi 12-15 kali per menit. Meningkatnya gerakan peristaltik ini akan juga menstimulasi perkembangan alat-alat pencernaan yang sangat diperlukan mencerna makanan.

Jika gerakan peristaltik usus tidka optimal, maka DOC akan mengalami kesulitan pada saat defekasi (buang kotoran) berupa terjadinya perlengketan kotoran pada kloaka (cloacal pasting).

Selain menstimulasi perkembangan alat-alat pencernaan air minum yang hangat juga menstimulasi perkembangan hiperplasia alat pertahanan tubuh. Serta memperbaiki penyerapan sisa kuning telur yang berarti penyerapan zat kebal induk juga akan berlangsung dengan baik.

Diakhir presentasinya Drs Tony Unandar menyimpulkan bahwa ketebalan litter sebaiknya tidak boleh kurang dari 8 cm dan pemanas sudah harus dinyalakan setidaknya 2 jam sebelum ayam datang agar suhu permukaan litter sesuai dengan kenyamanan ayam yaitu 29-31 oC. Sementara air minum yang diberikan sebaiknya bersuhu 24-25 oC atau bahkan lebih baik jika dimasak terlebih dahulu untuk mematikan bakteri patogen. Air minum yang hangat menstimulasi gerakan peristaltik usus. Gerakan peristaltik usus yang semakin cepat membuat ayam semakin cepat lapar dan ingin makan. Persiapan brooding yang baik akan mencegah stres dini di fase pemeliharaan awal yang mencegah dampak buruk difase pertumbuhan berikutnya. Gagalnya pertumbuhan di fase awal tidak bisa dikompensasi di fase pertumbuhan berikutnya. (wan)

Masalah Itu Muncul dari Pembibit

Fokus Majalah Infovet Edisi 162 Januari 2008

Umumnya kekerdilan baru diketahui peternak setelah memasuki usia panen sekitar umur 28 hari. Di usia itu biasanya ayam kerdil tak mencapai bobot 1 kg dimana teman seangkatannya berbobot 1,2-1,4 kg.

Kekerdilan yang semacam ini bukan terjadi karena masalah pakan tetapi lebih disebabkan oleh infeksi virus MAS (malabsorption syndrome). MAS menyebabkan tidak optimalnya pencernaan dan penyerapan sari makanan yang berbuntut pada kekerdilan.

Selain kasus kekerdilan ada juga kasus keterlambatan tumbuh yang bisa disebabkan oleh kualitas pakan yang jelek dan atau buruknya manajemen pemeliharaan di fase awal pemeliharaan. Contohnya pemberian pemanas yang kurang tepat, stres dan kepadatan yang berlebihan.

Selain itu kerdil juga bisa disebabkan oleh kualitas genetik dari bibit ayam yang memang membawa sifat kerdil. Karena menurut Hadi kekerdilan akan selalu ada setidaknya 20% dalam setiap flok, namun persentase tersebut bisa bervariasi tergantung kualitas ayam bibit. Ayam seperti ini biasanya menunjukkan pertumbuhan normal dengan berat badan yang tidak standar.

Hadi selalu mengkaitkan antara kekerdilan dengan keterlambatan tumbuh karena kedua kasus ini hampir selalu ditemukan bersamaan menjelang akhir masa pemeliharaan. Kendati menurut Hadi kasus kerdil bisa disebabkan karena kesalahan di manajemen, pakan dan bibit. Ia juga menjelaskan bahwa infeksi penyakit yang menekan kekebalan (imunosupresan) juga umumnya dapat menyebabkan ayam lambat tumbuh. Penyakit itu diantaranya adalah Koksidiosis, Avian Influenza, Necrotic Enteritis, Marek, Coryza, dll.
Hadi juga menuturkan bahwa sewaktu dirinya masih mengelola farm setidaknya dari populasi 10.000 ekor ditemui kasus kekerdilan sebesar 2-10%. Dari perhitungannya bila setiap boks ayam jumlahnya 102 ekor, maka kerugian akibat kekerdilan yang dirasakan peternak mencapai 8% dari jumlah populasi yang dipeliharanya. Menurut Hadi sebaiknya kasus kekerdilan bisa ditekan minimal hingga 1-2% saja dari total populasi.

Kasus kekerdilan ini, lanjut Hadi, disebabkan oleh kualitas bibit yang tidak standar. Ia mengkaitkan kejadian ini dengan naik turunnya harga bibit DOC. Bila harga sedang jelek misalnya harga DOC broiler atau layer Rp 500 maka kasus kekerdilan dipeternak akan menurun. Sementara bila harga sedang baik yaitu untuk DOC broiler berkisar antara Rp 3500-Rp 4000 dan harga DOC layer Rp 4.000 sampai Rp 6.000 seperti baru-baru ini terjadi maka bisa dipastikan kualitas bibit DOC akan menurun yang disertai dengan meningkatnya kasus kekerdilan.

“Hal ini tak lain dari ulah pembibit yang sengaja melepas DOC diluar standar memanfaatkan sedang bagusnya harga DOC di pasaran. Jadi ada tekanan kepentingan bisnis disini,” ujar Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita.

Hal inilah yang disebut Hadi sebagai penyebab kekerdilan non genetis. Sehingga bisa disimpulkan kasus kekerdilan semacam ini tak akan mengenal musim atau waktu. Karena bisa terjadi di awal, tengah atau akhir tahun.

Namun fenomena ini berusaha dibantah oleh Drs Tony Unandar (konsultan perunggasan swasta) belum lama ini di Bogor. Menurut Tony, tak ada usaha pembibitan yang menggiring pelanggannya yang nota bene adalah peternak kejurang kerugian. Karena bila peternaknya rugi tentu pembibit juga akan rugi.

Hadi menimpali, memang secara teoritis begitu yang berlaku, namun bila kita melihat kenyataan di lapangan tak bisa dipungkiri peran bibit pasti ada walaupun sekecil mungkin terhadap maraknya kasus kekerdilan. Entah itu karena penyakit bawaan dari induk yang terinfeksi reovirus, manajemen pengiriman yang menyebabkan ayam stres dan dehidrasi, atau karena manajemen di fase awal yang kurang tepat diterapkan peternak.

Hadi tetap menekankan bahwa faktor harga DOC sangat berpengaruh terhadap kualitas DOC yang dijual. Dimana apabila harga sedang bagus maka biasanya banyak anak ayam yang akan mengalami kekerdilan. Hal itu berdasarkan pengamatan pengalamannya selama lebih dari 25 tahun berkecimpung di perunggasan.

Perlu Perlakuan Khusus

Ia menyarankan untuk meminimalisasi dampak buruk dari ayam yang berpotensi kerdil, ada baiknya di awal DOC baru datang dilakukan seleksi berdasarkan berat badan. Nah, DOC bermasalah inilah yang disisihkan untuk diberikan perlakuan khusus. Kalau diculling tentu akan mubazir karena harga DOC yang sedang mahal. Karena kalau tidak tentu akan memperparah keburukan kerdil yang disebabkan ia kalah bersaing dalam mendapatkan makan dan minum. Itu dilakukan supaya nanti saat dipanen perbedaan capaian berat badan tidak terlampau mencolok.

Hadi kembali menegaskan keterkaitan harga DOC dengan kualitas, bila harga sedang bagus biasanya 10 sampai 20 persennya bermasalah. Masalah itu bisa berupa membawa sifat kerdil secara genetis, bobot badan tidak standar/DOC kapas, terinfeksi pullorum, dehidrasi dan setengah mati akibat tergencet atau lainnya.

Perlakuan khusus untuk DOC bermasalah ini dengan memberikan perlakuan manajemen yang optimum. Seperti pemberian pemanas yang sesuai dan merata, kualitas dan kuantitas pakan pre-starter yang superior mempunyai nutrisi dan digestibility tinggi.

Tambahkan pula ATP dan Zinc dalam minumnya untuk meningkatkan nafsu makannya.
“Niscaya dengan perlakuan seperti ini tingkat keseragaman berat badan saat panen akan terbantu lebih seragam,” ujar Hadi. (wan)

Masalah Klasik yang Tetap Mengusik

Fokus Edisi 182 Januari 2008

Ditengah jaman yang serba sulit ditengah berbagai tekanan naiknya harga pokok produksi seperti pakan, minyak tanah, bensin, gas, listrik, dll. Belum lagi menghadapi kondisi cuaca yang mulai susah ditebak akibat pemanasan global. Kadang panas kadang juga hujan mendadak yang menyebabkan ayam harus kerja keras untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan seperti ini.

Masalah klasik yang mulai muncul di era tahun 1990-an kekerdilan masih tetap saja menghantui peternak. Kasus ini sudah bertahun-tahun menjadi santapan akrab peternak, yang muncul kala bibit-bibit ayam tiba dan dikembangkan ternyata tak jua tumbuh normal.

Namun peternak hanya bisa meradang lalu hilang. Perdamaian dengan pembibit selalu ada jalan keluarnya, tanpa peduli siapa yang kalah dan siapa yang menang. Karena di sini bukan soal kalah menang, tapi soal keberlanjutan usaha keduanya.

Pemerintah sebagai wasit masih saja diharap turun sebagai dewa penyelamat, meski pada kenyataannya soal perunggasan peternak sudah terlalu lama ‘cuci tangan’ dalam arti lebih melepaskan penyelesaiannya pada kalangan swasta yang dianggap telah eksis bahkan tinggal landas, dibanding pengawasan dan pembinaan pada ternak besar sapi, kambing, domba.

Kekerdilan atau lambat tumbuh dan keseragaman kurang baik yang dirasakan peternak belakangan ini, selain penyebab utamanya karena masih lemahnya praktek manajemen di tingkat peternak komersial (terutama manajemen masa brooding), dan kebanyakan terjadi pada peternak skala kecil, juga karena kualitas DOC yang sejak awal diterima sudah cukup bermasalah (omphalitis dan infeksi yolk sac).

Selain faktor bibit kecurigaan pun ditujukan pada kualitas pakan yang diberikan, dimana daya cernanya menurun dibanding biasanya yang menyebabkan anak ayam tidak mendapat nutrisi yang semestinya.

Drh Edi Purwoko Country Manager CEVA Animal Health kepada Infovet beberapa waktu silam pernah menjelaskan bahwa kekerdilan adalah gejala terhenti atau terhambatnya pertumbuhan. Kekerdilan itu sendiri merupakan multi-factorial syndrome. Penyebab terjadinya kekerdilan bisa dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu.

Kekerdilan Akibat Penyakit atau Agen Infeksius

Banyak agen penyakit baik viral, bakterial maupun protozoa yang secara mandiri maupun bersama-sama menyebabkan kekerdilan maupun ketidakseragaman pertumbuhan broiler/pullet.

Multi age broiler farm dengan waktu istirahat yang pendek merupakan faktor yang ikut menyebabkan terjadinya kekerdilan. Apabila kekerdilan disebabkan oleh agen penyakit atau hal yang ada hubungannya dengan penyakit, maka salah satu ciri utamanya sindrom kekerdilan akan berulang dari periode ke periode.

Beberapa penyebab diantaranya adalah Gumboro subklinis. Gumboro membuka pintu bagi masuknya mikroorganisme lain ke dalam tubuh ayam. Selain itu, Banyak laporan yang menyatakan, Reovirus sering diisolasi dari ayam-ayam yang menderita kekerdilan.

“Tetapi harus hati-hati untuk menunjuk virus ini sebagai penyebabnya, karena reovirus bersifat ‘obiquitous’ atau ada dimana-mana, terkadang ada banyak di flok broiler tanpa menyebabkan suatu problem,” ujar Edi.

Penyakit Marek atau Chicken anemia dan Koksidiosis yang menyebabkan imunosupresi membuat agen penyakit yang biasanya tidak menyebabkan sakit dapat membuat efek buruk pada ayam, seperti gejala kerdil.

Untuk mengatasinya, Edi mengajurkan pembibit untuk mereview ulang program vaksinasi pada broiler breeder untuk mendapatkan anak ayam yang mempunyai maternal antibodi yang tinggi dan seragam terhadap Gumboro dan Reovirus. Sampling darah secara rutin pada DOC broiler sangat dianjurkan untuk kesuksesan vaksinasi terhadap gumboro.
Pemberian koksidiostat pada pakan sangat dianjurkan, dan koksidiostat sebaiknya diganti secara reguler untuk menghindari resistensi pada tingkat komersial. Serta pembersihan dan desinfeksi kandang yang baik, dilanjutkan dengan istirahat kandang yang cukup akan membantu memperbaiki performans ayam pada periode selanjutnya.

Dari pantauan kasus ini pun bisa mencapai 20% dari seluruh populasi. Itu merupakan jumlah yang cukup banyak. Umumnya ayam-ayam yang lambat tumbuh sangat rentan terhadap serangan penyakit infeksius. Ini dikarenakan lambatnya pula pertumbuhan organ pertahanan tubuhnya seperti bursa, limpa, thymus dan kelenjar pertahanan tubuh lainnya.

Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan tubuh ayam itu sendiri dalam menghasilkan zat kebal tubuh, guna menangkal atau melawan agen infeksi yang masuk dan menyerang tubuh ayam itu sendiri.

Dengan tidak sempurnanya perkembangan organ dan kelenjar pertahanan yang dimiliki oleh ayam yang mengalami lambat tumbuh tersebut, akan menyebabkan respon immune terhadap semua perlakuan vaksinasi yang diberikan pada ayam, tidak dapat menghasilkan kekebalan yang optimal.

Sehingga titer antibodi dari hasil vaksinasi yang ada dalam plasma darahnya akan sangat rendah, dan ini tentu sangat berpengaruh pada tingkat proteksi terhadap serangan agen penyakit yang menjadikan ayam rentan terhadap serangan agen penyakit infeksius.

Kekerdilan Akibat Kesalahan Manajemen dan Kualitas DOC

Problem umum di hatchery terutama kelembaban, temperatur, dan pulling time dari hatcher terkadang menjadi penyebab turunnya kualitas DOC. DOC yang baik tidak boleh terdehidrasi.

Penularan penyakit secara vertikal, terutama dari kerabang telur (external egg contamination) harus dijaga. Di hatchery sangat penting untuk men-set hanya telur yang bersih dan melakukan prosedur desinfeksi telur yang efektif.

Di tingkat budidaya, peternak sebaiknya menghindari mencampur anak ayam dari breeder yang berbeda baik umur, asal, maupun berat badannya. Hal ini dilakukan untuk tetap mempertahankan keseragaman. Karena keseragaman yang lebih baik selalu menghasilkan performa yang lebih baik. Sebaiknya dihindarkan memelihara bibit muda.

Masa brooding adalah masa yang kritis untuk pertumbuhan selanjutnya. Kedinginan dimasa brooding harus dihindarkan. Early acces dan easy acces terhadap air dan pakan juga diharuskan. Oleh karenanya penempatan tempat pakan dan tempat minum harus disesuaikan dengan jumlah populasi agar anak dipastikan semua anak ayam mempunyai akses yang sama terhadap pakan dan minum. Hindari pula perlakuan yang terlalu tumpang tindih seperti vaksinasi macam-macam penyakit untuk mengurangi stres di masa awal pemeliharaan.

Kekerdilan Akibat Nutrisi dan pakan

Penyebab kekerdilan yang dipengaruhi faktor kualitas pakan adalah keberadaan jamur penyebab mikotoksin. Mycotoxin di pakan, selalu menjadi faktor utama penyebab kekerdilan pada broiler. Terlebih lagi tidak banyak yang bisa dilakukan terhadap racun asal jamur pada pakan ini, kecuali penyeleksian bahan baku untuk menjamin kecukupan nutrisi dan ketiadaan toksin pada pakan.

Defisiensi nutrisi dan vitamin dari pakan yang jelek juga sering memicu kekerdilan. Sering terjadi pada saat bahan baku pakan sulit didapat dan harganya mahal.
“Defisiensi dapat juga terjadi karena problem mixing atau pencampuran pada feedmill. Pemberian tambahan vitamin lewat air minum, utamanya vitamin yang larut dalam lemak dianjurkan pada minggu pertama dan kedua,” ujar Drh Edi Purwoko menandaskan. (wan)

Fokus 2008

[Edisi 162 Januari]
Musim Penghujan, Pakan dan Ayam Kerdil
Awal yang Baik, Gangguan Stres dan Penampilan Akhir Ayam
Kegerahan Picu Kekerdilan dan Penurunan Produksi Telur
Kekerdilan Akibat Stres Diawal Pemeliharaan
Masalah Itu Muncul dari Pembibit
Masalah Klasik yang Tetap Mengusik

[Edisi 163 Pebruari]
”SERGAPAN KEPALA BENGKAK”
INFECTIOUS CORYZA (SNOT)
Korisa dalam Pandangan Peternak Bekasi
Korisa, Stres dan Cara Penularan

[Edisi 164 Maret]
MUNCULNYA JAMUR MASA PEMANASAN GLOBAL
PAKAN MAHAL JANGAN SAMPAI GAGAL
Persoalan Jamur Pada Musim Hujan
Problem Imunosupresi Melawan Mikotoksin
RACUN JAMUR DAN UJI MUTU PRODUK TERNAK

[Edisi 165 April]
TIDAK PANDANG BULU, TIDAK BERDIRI SENDIRI
BAHAYA LATEN KOLERA DI PETERNAKAN
Dinamika Lapangan: Kasus Fowl Cholera
KOLERA DIKENALI DARI GEJALANYA
MEMBUNUH BAKTERI KOLERA
LARA PETERNAK KARENA KHOLERA
TANGANI KOLERA BERSAMA PRAKTISI BOGOR

[Edisi 166 Mei]
MEMPERSIAPKAN PULLET UNTUK PRODUKSI TELUR YANG EFISIEN
PAKAN DAN MANAJEMEN PERSONAL
Manajemen Layer Modern
Mengulik Tehnik Beternak Layer Modern
Kenali Fase Kritis Pemeliharaan Ayam Layer
Nutrisi Harus Cukup, Lighting Juga Penting
Ketika Ayam Petelur Kegemukan
PETELUR MODERN HEBAT, PETERNAK TIDAK SIAP

[Edisi 167 Juni]
CACINGAN
Cacingan Si Pencuri Nutrisi Ternak
Cacingan dan Pengobatannya
MENGAPA MEREKA MEMILIH BOLUS ???
BLOKIR URAT SYARAF CACING DENGAN NIKOTIN

[Edisi 168 Juli]
38 Lokasi Pabrik Mini Pakan Ternak Dikembangkan Deptan
ANTIBIOTIK DALAM PAKAN TERNAK
Kehidupan Tanpa Oksigen
PRO/PREBIOTIK, ASAM ORGANIK DAN ENZIM
PROBIOTIK DALAM PAKAN RANGSANG KEKEBALAN AYAM?
MUSIM PERALIHAN, ANGIN KENCANG dan VITAMIN
BUKAN SEKEDAR MENGENANG SILASE KOMPLIT
PAKAN LAGI, JAGUNG LAGI
Ketika Pabrik Pakan Ternak Pontianak "Berburu" Jagung

[Edisi 169 Agustus]
SOLUSI PENGENDALIAN AI PADA BROILER
PROYEK MONITOR AI UNTUK KEBIJAKAN TEPAT
Praktisi Perunggasan dan AI di Indonesia
Peran Sentral Pasar Unggas dalam Penyebaran AI
5 TAHUN AI DI INDONESIA OPTIMISME PERUNGGASAN HARU...
MONITORING VARIAN VIRUS HPAI KITA
MENGUAK TABIR AVIAN INFLUENZA
EFEKTIFKAN BIAYA VAKSINASI
AI dan Dunia Peternakan di Mata Mahasiswa Peternak...
SULITNYA BETERNAK SAAT INI, APA SOLUSINYA?
STRAIN VAKSIN GENETIK REVERSE UNTUK MASA DEPAN

[Edisi 170 September]
SAATNYA REKONSTRUKSI KANDANG :OPEN ATAU CLOSE HOUS...
PERBAIKAN TATA LAKSANAMencegah Kerugian di Farm da...
MUNGKINKAH TERNAK GIZI BURUK?
KIAT PETERNAK MENGAIS UNTUNG DI KANDANG
PADA BROILER MODERN “FUNGSI PEMANAS = PRODUKTIVITA...
DEFISIENSI VITAMIN A DAN E
STRES PANAS JUGA TURUNKAN IMUNITAS
SOLUSI PENGENDALIAN AI PADA BROILER
PROYEK MONITOR AI UNTUK KEBIJAKAN TEPAT
KABAR TERBARU :ASCITES (PULMONARY HIPERTENSION SYN...

[Edisi 171 Oktober]
21 HARI AYAM BERTELUR
Waspada 3 Penyakit Utama Penyebab Turunnya Produks...
SEJARAH SI GALLUS AYAM PETELUR
Produksi Telur Turun, Perhatikan Kualitas Pakan da...
Sumber Multivita Gandeng FKH IPB Update Info AI Te...
ND, EDS, IB, Pakan, Kandang dan Penurunan Produksi...
Produksi Telur Ayam Kampung di Sisi Ayam Ras
Mempertimbangkan Vaksinasi Yang Banyak Sekali
Ketika Virus ND dan EDS Diteliti Untuk Cari Virus ...
Kenali Penyebab Turunnya Produksi Telur
Jangan Lupakan Tubuh Ayam
EDS dan Vaksin Lokal
Diagnosalah Penurunan Produksi Telur

[Edisi 172 Nopember]
Penelitian Kemitraan Broiler
Leucocytozoonosis, dari Gejalanya sampai Penangana...
KETIKA 500 PETERNAK PRIANGAN TIMUR MEMETAKAN DIRI
AYAM BANGKAI KAPAN BERAKHIR ?
3 TAHAP PRODUKSI DAGING EFISIEN
TIDAK ADA CERITANYA PETERNAK BROILER RUGI?
CAMAR DI PETERNAKAN BROILER

[Edisi 173 Desember]
LALAT VEKTOR AI SEBUAH TELAAH UP DATE
HARAPAN TERBENTANG PERUNGGASAN 2009
DI MASA KRISIS:BERUNTUNGLAH PETERNAK!
YANG HARUS DIKERJAKAN PETERNAK 2009
Pemanasan Global dan Penyakit 2009

PROFESIONAL DAN MORAL PETERNAKAN/KESWAN

Ruang Redaksi Majalah Infovet Edisi 162 Januari 2008
Akhir tahun 2007, Tim Infovet bersama Peternak Ricky Bangsaratoe SH berkeliling area peternakan peternak maju di wilayah Ciputat Tangerang Jawa Barat ini. Bermula dari dialog di kantornya yang juga berlokasi di area peternakan, berlanjut dialog sambil mengamati ayam petelur di kandang yang begitu luas. Infovet mendapati begitu banyak pengalaman peternak ini yang memulai kerja bidang di luar bidang peternakan (mobil, properti), begitu terjun di bidang peternakan dengan begitu teguh memegang dua hal penting terkait tanggung jawab di bidang peternakan/kesehatan hewan.

Tanggungjawab sendiri mempunyai dua arah, yaitu: tanggungjawab secara profesional dan tanggungjawab moral.

Tanggungjawab profesional terkait penentuan standar kompetensi sebagai pelaku bidang peternakan dan kesehatan hewan, berfungsi sebagai mekanisme pengendalian mutu layanan profesional kepada masyarakat dan akan menentukan kepercayaan publik terhadap profesi bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Tanggungjawab moral terkait dengan standar legal dalam berkarya bidang peternakan dan kesehatan hewan, berperan sebagai pemandu perilaku profesional dan pengendali integritas pribadi pelaku sekaligus karyanya jangan sampai melanggar hukum dan standar moral yang secara umum berlaku dalam masyarakat, dalam lingkup lokal maupun global, sekaligus pemandu ketika terjadi konflik antarstandar moral, atau konflik antara standar moral dengan standar legal.

Mengapa kalangan peternakan dan kesehatan hewan perlu bertanggungjawab dalam kegiatannya, alasannya adalah: bagaimanapun, kegiatan dunia peternakan dan kesehatan hewan merupakan bagian integral kegiatan manusia yang wajib dipertanggungjawabkan, lalu semakin besarnya dampak pengaruh bisnis, ilmu dan segala terkait bidang ini bagi kehidupan manusia, serta kenyataan semakin pendeknya jarak waktu antara penemuan ilmiah, pemasaran hasil-hasil kerja bidang peternakan dan kesehatan hewan dalam industri binis dan kehidupan masyarakat.

Tanggungjawab kalangan peternakan dan kesehatan hewan secara internal berdasar standar perilaku profesional di mana profesi ini dapat berperan menjaga dan meningkatkan kompetensi profesional di bidangnya. Dengan cara-cara teruji, kalangan peternakan dan kesehatan hewan perlu mendorong para pelaku-nya untuk mematuhi standar metodologi bidang peternakan dan kesehatan hewan, menjaga dan setia berpegang pada hati nurani profesional bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Adapun tanggungjawab secara eksternal berdasarkan standar moral sebagai pelaku bidang peternakan dan kesehatan ehwan perlu bersikap dan bertindak jujur, bersikap terbuka atas segala masukan dan informasi yang berkembang. Namun, tetap menjaga otonomi dan integritas diri sebagai profesional bidang peternakan dan kesehatan hewan sekaligus mematuhi hukum yang berlaku.

Upaya peningkatan tanggungjawab bidang peternakan dan kesehatan hewan sendiri membutuhkan pendidikan (dalam arti luas) yang menjamin integritas profesional dan moral, juga membutuhkan kontrol publik terhadap kinerja para pelaku bidang peternakan dan kesehatan hewan, dan perlunya komite etik untuk penelitian dan pengembangan bidang peternakan dan kesehatan hewan baik pada lingkup lokal maupun global.

Tampak dalam pengamatan Tim Infovet, tanggungjawab profesional dan moral itu coba dijalankan secara terbaik oleh peternak yang kemudian menjadi pembicara dalam Training Marketing Nasional untuk Industri dan Kesehatan Hewan oleh Infovet Group, tepatnya GITA Organizer, dalam satu naungan PT Gallus Indonesia Utama bersama Infovet, akhir 2007.

Bukankah hal ini menjadi bekal yang bagus bagi kita kalangan peternakan dan kesehatan hewan untuk melangkah lebih gagah di tahun 2008, apapun yang merintang dan menghadang di depan sekaligus apapun yang telah terjadi di tahun 2007? Selamat Tahun Baru 2008. (Yonathan Rahardjo)

Perunggasan Belum Memikat di Pasar Modal?


Pengamat pasar modal Haryajid Ramelan masih dalam rangkaian seminar Perunggasan ke-3 yang bertema “Akankah Bisnis Perunggasan Tahun 2008 Lebih Menarik?” di Jakarta, 7 November 2007 mengungkapkan, sektor perunggasan belum memberikan daya pikat yang kuat bagi pasar modal, fluktuasi kenaikkan saat ini lebih banyak disebabkan oleh rumors atau corporate action. Selain itu kenaikkan BBM dan bahan baku akan mempengaruhi produktivitas dan kinerja emiten.
Oleh karenanya investor masih memandang bahwa bisnis disektor ini merupakan bisnis full risk. Free float terhadap saham mereka yang masih sangat kecil dipasar menjadikan saham sektor ini kurang likuid.
“Perlu pembenahan secara internal seperti efisiensi dll, agar ada perbaikkan kinerja keuangan emiten sehingga dapat mempengaruhi kinerja saham,” kata Haryajid menyarankan.
Lebih lanjut, menurut Haryajid, jika bisnis ini dianggap full risk dan belum memikat pasar modal, maka untuk tetap eksis tak ada salahnya untuk merubah core bisnis sesuai keinginan dari pelaku atau bahkan melakukan sharing dengan masyarakat dengan melakukan IPO.
Dari pengamatan Haryajid diperkirakan stabilitas ekonomi makro tahun 2008 masih cukup baik. Namun tetap sektor riil belum seluruhnya berjalan. Diperkirakan bisa berkisar 5,5% - 6%.
Meskipun dibayang-bayangi kemungkinan terjadinya perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh peningkatan harga minyak yang mendekati USD 100 per barel. Namun prospek ekonomi 2008 masih cerah menyusul permintaan dari pasar non tradisional di luar Amerika Serikat, Jepang dan Eropa yang diperkirakan relatif tidak terpengaruh oleh risiko pelemahan perekonomian global.
Kebijakan Bank Sentral Amerika yang diperkirakan masih akan kembali menurunkan suku bunganya hingga akhir tahun ini akan memicu BI rate untuk kembali turun.
Inflasi akhir tahun 2007 diperkirakan 6,5%. BI rate akhir tahun diperkirakan sebesar 8.00% (posisi per Oktober 2007 BI rate 8.25%) dengan nilai tukar Rupiah di kisaran Rp. 9.100,- per USD. (wan)

Deptan: Prospek dan Arah Pengembangan Perunggasan

Diambil dari kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dulu sempat diresmikan Presiden SBY di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat 11 Juni 2005. RPPK merupakan salah satu dari “Triple Track Strategy” Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Infovet menyoroti kebijakan ini dari sudut prospek dan arah pengembangan agribisnis unggas.
Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim, harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik.
Komoditas ini merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional, sehingga prospek yang sudah bagus ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di perdesaan melalui pemanfaatan sumberdaya secara lebih optimal.
Industri perunggasan di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk-produk unggas dari luar negeri.
Pembangunan industri perunggasan menghadapi tantangan global yang mencakup kesiapan dayasaing produk perunggasan, utamanya bila dikaitkan dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan, yang merupakan 60-70 persen dari biaya produksi karena sebagian besar masih sangat tergantung dari impor.
Upaya meningkatkan dayasaing produk perunggasan harus dilakukan secara simultan dengan mewujudkan harmonisasi kebijakan yang bersifat lintas departemen. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan faktor internal seperti menerapkan efisiensi usaha, meningkatkan kualitas produk, menjamin kontinuitas suplai dan sesuai dengan permintaan pasar.
Budidaya Unggas Masih Menjanjikan
Ternak ayam lokal dan itik dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan dengan pangsa pasar tertentu, dimana hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa usaha peternakan ayam lokal dan itik cukup menguntungkan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga.
Profil usaha di sektor primer menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam ras pedaging cukup memberikan peluang usaha yang baik, sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku.
Dari penelitian Departemen Pertanian menunjukkan dengan nilai B/C yang diperoleh secara berturut-turut sebesar 1,16; 1,28 dan 1,25 pada usaha mandiri, pola kemitraan inti-plasma dan pola kemitraan poultry shop dengan skala usaha 15 ribu ekor.
Indikasi yang hampir sama juga terjadi pada ayam ras petelur pada skala usaha 10 ribu ekor, dengan nilai B/C adalah 1,29 dan 1,13 masing-masing untuk usaha mandiri dan pola kemitraan dengan poultry shop. Hal ini memberikan indikasi bahwa usaha peternakan ayam ras petelur mempunyai keuntungan yang relatif baik bagi para peternak. Sedangkan hal tersebut untuk usaha ayam lokal dan ternak itik masing-masing nilai B/C adalah 1,04 dan 1,2.

Jagung dan Desentralisasi Perunggasan
Salah satu prospek pasar yang menarik dan perlu dikembangkan adalah industri pakan unggas, dimana biaya pakan ini merupakan komponen tertinggi dalam komposisi biaya produksi industri perunggasan, berkisar antara 60-70 persen.
Diproyeksikan masing-masing pada tahun 2010 dan tahun 2020, impor jagung dapat mencapai 4 juta ton dan 8 juta ton jika produksi jagung nasional tidak tumbuh. Jagung untuk pakan unggas memiliki prospek pasar yang sangat baik, dimana dinyatakan bahwa jika industri unggas tumbuh dengan baik, maka kebutuhan akan jagung juga terus meningkat. Pengembangan komoditas jagung perlu mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat petani.
Pengembangan unggas ke depan harus mulai dipikirkan di luar Jawa, dimana ketersediaan pasokan bahan pakan masih memungkinkan, serta prospek pemasaran yang baik. Pengalaman wabah Avian Influenza (AI) beberapa waktu yang lalu memberi pelajaran bahwa sudah saatnya dilakukan desentralisasi industri perunggasan nasional. Upaya ini akan sangat baik ditinjau dari berbagai aspek, baik teknis, ekonomis maupun sosial, dan dalam hal ini memerlukan dukungan kebijakan termasuk ketersediaan inovasi teknologi yang sesuai dengan perkembangan usaha.
Peranan pemerintah juga harus memperhatikan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk: (a) melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, (b) mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam negeri, (c) pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, serta (d) dukungan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya. Untuk memberi kepastian berusaha pada peternakan mandiri perlu dibuat mekanisme yang menjamin transparansi dalam hal informasi produksi DOC, biaya bahan-bahan input, serta kondisi pasar (permintaan, produksi, dan harga).

Lestarikan Plasma Nutfah
Potensi dan arah pengembangan ayam lokal lebih difokuskan terhadap kerentanan potensi genetik terhadap penyakit unggas, sehingga konservasi terhadap plasma nutfah ayam lokal menjadi sangat penting.
Potensi dan arah pengembangan itik dititikberatkan pada perbaikan bibit, sehingga terjadi perbedaan antara itik untuk bibit dan itik untuk produksi. Program intensifikasi itik, dengan merubah pola pemeliharaan tradisional menjadi pemeliharaan terkurung atau intensif perlu dipertimbangkan dalam arah pengembangan peternakan unggas ke depan.
Keadaan sawah yang semakin intensif menyebabkan jarak antara panen dan tanam menjadi semakin sempit yang menyebabkan semakin terdesaknya itik gembala. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan kematian itik secara langsung dan menurunnya ketersediaan pakan itik di sawah berupa ikan kecil, cacing, katak dll. secara tidak langsung.
Pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas diarahkan untuk: (a) menghasilkan pangan protein hewani sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional, (b) meningkatkan kemandirian usaha, (c) melestarikan dan memanfaatkan secara sinergis keanekaragaman sumberdaya lokal untuk menjamin usaha peternakan yang berkelanjutan, dan (d) mendorong serta menciptakan produk yang berdayasaing dalam upaya meraih peluang ekspor.
Tujuan pengembangan agribisnis komoditas unggas adalah (a) membangun kecerdasan dan menciptakan kesehatan masyarakat seiring dengan bergesernya permintaan terhadap produk yang aman dan berkualitas, (b) meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan skala usaha yang optimal berdasarkan sumberdaya yang ada, (c) menciptakan lapangan kerja yang potensial dan tersebar hampir di seluruh wilayah, dan (d) meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan devisa negara.

Kebijakan Perunggasan yang Kondusif
Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, kebijakan peternakan unggas diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis peternakan, peningkatan nilai tambah dan dayasaing dengan misi mendorong pembangunan peternakan unggas yang tangguh dan berkelanjutan.
Salah satu kebijakan yang diperlukan dan berpengaruh efektif mencapai visi tersebut adalah kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi melalui peningkatan investasi swasta, pemerintah dan masyarakat; serta kebijakan pewilayahan komoditas dan peningkatkan penelitian, penyuluhan dan pendidikan bagi peternak disertai pengembangan kelembagaan.
Apabila sasaran pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan protein hewani pada 10 tahun mendatang, maka setara dengan 1.250 milyar ekor dengan nilai mencapai Rp. 24,5 trilyun.
Pelaku investasi pengembangan agribisnis komoditas unggas dibedakan dalam tiga kelompok, yakni investasi yang dilakukan oleh rumah tangga peternak (masyarakat), swasta dan pemerintah.
Kebutuhan investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis ayam ras pedaging dan petelur berkisar antara 10-20 persen, masing-masing sebesar Rp.1 trilyun untuk memenuhi kebutuhan daging dan telur. Estimasi kebutuhan investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 60 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 4,5 trilyun dan Rp. 1,5 trilyun.
Investasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa investasi sumberdaya dan produksi yang meliputi aset tetap seperti lahan, kandang dan tenaga kerja. Sumber pembiayaan dapat berupa kredit dari perbankan maupun lembaga keuangan formal lainnya, serta tidak menutup kemungkinan lembaga keuangan non-formal seperti pinjaman kelompok maupun koperasi bersama.
Pangsa kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam pedaging dan petelur rata-rata berkisar antara 80 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 9,5 trilyun dan Rp. 3,8 trilyun. Estimasi kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 10 persen, dengan nilai Rp. 0,5 trilyun untuk ayam lokal dan Rp. 250 milyar untuk ternak itik.
Bentuk investasi swasta dapat berupa peningkatan penyediaan sarana input seperti peningkatan pasokan bibit, pabrik pakan, peralatan serta obat dan vaksin. Investasi di sektor hilir seperti pabrik pengolahan dan prosesing produk unggas seperti penyediaan sarana cold storage dan pembangunan pabrik tepung telur perlu mendapat perhatian yang serius.
Investasi produksi yang berupa infrastruktur oleh pemerintah sangat diperlukan seperti penyediaan benih jagung unggul, penanganan pascapanen berupa pembuatan silo dan sarana transportasi. Estimasi kebutuhan investasi pemerintah untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam ras pedaging dan petelur masing-masing adalah sebesar 5 persen, yakni Rp. 500 milyar untuk ayam ras pedaging dan Rp. 200 milyar untuk ayam ras petelur. Pada pengembangan komoditas ayam lokal dan itik, hal tersebut rata-rata berkisar antara 30 persen, dengan nilai berturut-turut Rp. 1 trilyun dan Rp. 750 milyar.
Investasi pemerintah utamanya terfokus pada kegiatan promosi dalam upaya meningkatkan konsumsi daging dan telur yang aman, sehat, utuh dan halal. Pelayanan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat sejak usia dini tentang manfaat mengkonsumsi daging dan telur perlu dilakukan secara konsisten.
Peran pemerintah juga diharapkan dalam aspek penelitian dan pengembangan, utamanya dalam hal menyediakan alternatif bahan baku pakan berdasarkan sumberdaya lokal. Demikian pula halnya dengan identifikasi dan evaluasi untuk pengembangan ayam lokal yang resisten terhadap penyakit, serta peningkatan mutu genetik itik.
Untuk mencapai visi, misi dan tujuan program pembangunan pertanian diperlukan kebijakan pendukung. Beberapa kebijakan pendukung seperti membentuk lingkungan investasi yang kondusif, utamanya dalam hal pelayanan investasi khususnya investasi di luar sektor pertanian.
Selain itu, kebijakan lain adalah secara kontinyu mempromosikan produk unggas, inovasi dalam hal tata-ruang, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta penegakan aturan yang terkait dengan lalulintas ternak dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah dan perdagangan global.
Sementara dalam dalam rangka pencegahan penyakit, pemerintah perlu memperkuat pelayanan laboratorium dan pos-pos kesehatan hewan, serta melakukan penyuluhan tentang bahaya dan pencegahan penularan penyakit unggas. Tak lupa pula perlu membuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis perunggasan yang adil baik bagi mitra maupun bagi inti melalui pembagian resiko dan keuntungan yang adil. (Infovet)


Avian Influenza dan Naiknya Harga Pakan Warnai Perunggasan 2008

Masalah yang tak henti-hentinya menghimpit sektor peternakan unggas adalah masih seringnya terjadi wabah Avian Influenza (AI) dan naiknya harga jagung yang berimbas pada terus naiknya harga pakan unggas. Kedua hal inilah yang diramalkan Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita masih akan terus mewarnai hari-hari di sektor perunggasan tahun 2008.
Hingga berita ini diturunkan, harga pakan broiler sekitar Rp 3.400 sementara pakan layer sudah mencapai 2.800 dan diramalkan akan terus naik. Kondisi ini semakin memberatkan peternak broiler maupun layer, karena naiknya ongkos produksi tidak diikuti dengan naiknya harga jual produk. Bila harga jual produk dinaikkan maka akan terbentur dengan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia yang relatif masih lemah.
Dampak yang paling cepat tentu akan dirasakan oleh peternak yang biasa menggunakan pakan jadi. Namun untuk peternak self mixing pun juga harus ekstra kerja keras untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas dengan harga yang murah. Dan itu pun tidak mudah. “Maka perlu dicarikan solusinya untuk peternak,” ujar Hadi Wibowo praktisi perunggasan yang menjadi narasumber tetap Infovet.
Menurut Hadi, “Biar bagaimanapun formulasi pakan itu dibuat, bila harga bahan bakunya dari sananya sudah naik pasti ongkos pakannya juga akan tetap naik.”
Sebagai contoh sumber protein biasanya pakan unggas mengandalkan tepung ikan dan tepung daging yang kaya akan asam amino Methionine dan Tryptophan. Asam amino ini dibutuhkan untuk pertumbuhan bulu dan produktivitas baik daging atau telur.
Namun karena kedua bahan baku ini tengah langka dan harganya naik perlu dicari bahan alternatif penggantinya atau setidaknya pelengkapnya. Untuk itu Hadi menyarankan peternak untuk menambahkan asam amino konsentrat dalam ransum unggasnya.
“Asam amino konsentrat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas. Dengan feed additive ini produksi telur yang optimal bisa dicapai sekaligus mempertahankan produksi puncak lebih lama.,” ujar Hadi.
Lebih lanjut, kata Hadi, asam amino konsentrat umumnya digunakan untuk mengatasi defisiensi asam amino yang disebabkan oleh kualitas ransum atau bahan baku yang rendah. Asam amino konsentrat juga bisa mengurangi stress dan meningkatkan stamina unggas serta mempercepat proses penyembuhan penyakit.
Broiler hingga panen dengan berat badan 1,7 kg – 2 kg biasanya menghabiskan pakan 3 kg dengan FCR 1,7-1,5. Dengan FCR yang bagus seperti ini akan didapat IP yang bagus pula, dengan IP yang bagus (±300) maka insentif bonus untuk anak kandang juga semakin besar.
Maka melihat kondisi saat ini dimana biaya produksi untuk pakan sudah naik luar biasa ada baiknya peternak lebih memilih optimalisasi. Artinya tidak perlu IP terlalu bagus namun cukup dengan IP 275 dengan FCR 1,6-1,7 untuk broiler. Dengan begitu ada biaya yang bisa dihemat.
Dengan asam amino esensial konsentrat yang memiliki setidaknya 20 asam amino esensial ini peternak dapat menghemat 5 gr/ekor/hari dari bahan baku pakan sumber protein. Bayangkan berapa nilai rupiah yang bisa dihemat dengan inovasi ini.
Hadi menjelaskan, kandungan asam amino dalam ransum berpengaruh langsung dengan sistem kekebalan, karena zat pembentuk antibodi tersusun dari asam amino. Bila asam amino rendah maka dipastikan respon antibodi ayam juga akan lemah.
Lebih jauh, kata Hadi, masalah lain yang juga terus menjadi ancaman adalah infeksi AI. Untuk itu ia menekankan guna menunjang sistem kekebalan ayam ditengah fluktuasi kualitas pakan ayam diperlukan suatu zat yang mampu merangsang pertumbuhan sel-sel yang berfungsi dalam sistem kekebalan. Zat itu tiada lain adalah imunomodulator.
Seperti pernah diulas Infovet Oktober 2007 lalu, bahwa vaksin yang beredar saat yang menggunakan seed virus 2003 disinyalir sudah tidak cocok lagi dengan virus lapang yang beredar saat ini. Sehingga upaya vaksinasi saat ini sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai satu-satunya penghambat masuknya virus AI ke lingkungan farm.
Untuk itu Hadi kembali menyarankan peran penting imunomodulator yang berfungsi memperbanyak, mematangkan dan mengaktifkan sel-sel yang berperan dalam respon immun. (wan)

5 GENOTIPE FLU BURUNG DAN EKOSISTEM KESEHATAN

(( Konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan. ))


9 November 2007, Indonesia Mencatat Kasus Flu Burung Ke-113. Hasil test Laboratorium Badan Litbangkes tanggal ini dan hasil test Lembaga Eijkman Jakarta menyatakan bahwa MN, (P, 31 tahun) dari Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau positif terinfeksi virus H5N1. Demikian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI).
Menurut sumber Komnas FBPI, MN mulai sakit pada tanggal 31 Oktober 2007. Pada 3 Nobvember 2007, MN dirawat di RS Permata Hati di Kecamatan Duri dan kemudian dirujuk ke RS Arifin Achmad di Pekanbaru pada tanggal 6 November 2007 dimana saat tiba di rumah sakit pada pukul 13.00 korban telah meninggal dunia.
MN menunjukkan gejala panas, sesak nafas, leukopeni (penurunan jumlah sel darah putih), thrombositopeni (penurunan jumlah sel darah dalam darah) dan pneumonia (infeksi paru-paru yang menimbulkan masalah respirasi).
“Dengan demikian kasus Avian Influenza positif di Indonesia berjumlah 113 kasus, di mana 91 kasus diantaranya meninggal,” kata sumber di Komnas FBPI.
Bagaimana wajah Flu Burung pada tahun 2008?

Lima Genotipe

Perkembangan terakhir, terungkap, virus H5N1 penyebab flu burung telah berkembang menjadi lima genotipe di Indonesia, sedangkan di negara-negara lain hanya dikenal tiga genotipe. Dengan demikian, penanganan klinis flu burung di Indonesia harus lebih hati-hati ketimbang negara lain.
Peneliti flu burung dari Universitas Airlangga Surabaya, Dr drh CA Nidom, mengemukakan, virus flu burung yang dikenal di negara lain hanya varian A, B, dan C. Di Indonesia telah muncul varian C* dan D. "Kedua varian itu hasil mutasi dari varian A," ujar Nidom di sela peresmian laboratorium Keamanan Biologi Level 3 (Biosafety Level 3/BSL 3) di Gedung Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga, Senin (26/11).
Varian A dikenal sebagai varian virus yang pertama kali diketahui menyebar di Pulau Jawa. Di Sumatera bagian utara, varian itu bermutasi menjadi varian B. "Varian ini antara lain diketahui menginfeksi orang-orang di daerah Karo, Sumatera Utara," ujar penanggung jawab penelitian flu burung di Universitas Airlangga ini.
Varian C dihasilkan dari mutasi varian A di Kalimantan. Proses mutasi itu juga menghasilkan varian C*, yang daerah penyebarannya belum teridentifikasi secara jelas. Adapun varian D ditemukan di Papua dan Sumatera bagian selatan.
Varian beragam itu membuat antivirus dari luar negeri belum tentu cocok untuk Indonesia. Karena itu, Indonesia perlu mengusahakan penangkal sendiri. Pengupayaan itu antara lain harus dimulai dengan pengenalan virus secara klinis.
Sayangnya, tidak ada data klinis varian-varian itu. Sebab, selama ini seluruh penelitian tentang flu burung menggunakan virus mati. "Seharusnya menggunakan virus hidup agar benar-benar diketahui identitas dan perilaku virus," ujarnya.

BSL 3

Fasilitas BSL 3 itu memungkinkan Indonesia meneliti dan menganalisis sampel virus flu burung yang masih hidup. "Dengan adanya fasilitas laboratorium BSL 3 itu, virus yang diambil dari sampel lendir manusia atau unggas bisa dianalisis," kata Nidom.
Direktur TDC Universitas Airlangga yang membawahi laboratorium itu, Prof Dr Yoes Prijatna Dachlan, menuturkan, fasilitas tersebut memungkinkan Indonesia meneliti sendiri virus flu burung. Selama ini Indonesia harus mengirim contoh virus untuk diteliti di negara lain.
Hal itu, menurut Yoes, bisa merugikan Indonesia. Kerugian itu antara lain berupa tawaran antivirus berharga mahal dari perusahaan farmasi asing. Padahal, antivirus itu dibuat berdasarkan contoh virus dari Indonesia.
Di Indonesia, laboratorium level tiga hanya dimiliki Lembaga Eijkman dan Universitas Airlangga. "Laboratorium ini hanya setingkat di bawah level tertinggi yang dimiliki Kanada dan Perancis," kata Yoes.

Lingkungan Kesehatan

Mencoba memperkuat konsepsi restrukturisasi sektor perunggasan sebagai salah satu penjabaran rencana strategi nasional (RENSTRANAS) Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza 2006-2010, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD dalam suatu kesempatan memberikan pendapatnya.
Wakil Ketua Pelaksana Harian II Komnas FBPI ini menyatakan, konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan.
“Harus disadari bahwa benang merah sirkulasi virus di lingkungan antara ayam belakang rumah (sektor 4) dan sistim industri perunggasan (sektor 1, 2 dan 3) -- dalam arah bolak balik -- menjadi permasalahan tersendiri,” kata Dr Tata, panggilan akrabnya.
Tata menjabarkan, suatu laporan FAO dan OIE membuktikan bahwa meskipun virus H5N1 beradaptasi baik terhadap ayam kampung, sama halnya terhadap itik atau entok domestik, ketahanan virus pada operasi peternakan skala kecil dan belakang rumah bergantung kepada peningkatan konsentrasi virus yang berkelanjutan.
“Virus H5N1 tidak melonjak ke dalam bentuk lebih ganas pada populasi ayam sektor 4, di mana tingkat kepadatan populasi rendah dan keragaman genetik mampu mempertahankan kandungan virus pada tingkat yang rendah,” urai Dr Tata, “Amplikasi virus justru terjadi pada operasi skala besar dan tertutup.”
Untuk menghindari lebih lanjut risiko penularan ke manusia, Dr Tata mengatakan, restrukturisasi sektor perunggasan yang menjadi strategi pemerintah dalam pengendalian flu burung jangka menengah dan panjang, harus betul-betul terkonsepsi secara menyeluruh dengan memperhatikan keterkaitan antara ekosistem kesehatan dengan faktor geografis, pasar dan produksi.
Untuk itu, katanya, pisahkan unggas harus dilihat sebagai satu solusi, bukan masalah. “Pemerintah bersama-sama masyarakat harus menyadari bahwa pelajaran yang bisa diambil dari pemahaman tentang flu burung dalam konteks ekosistem kesehatan,” tegasnya.

Produksi Unggas
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD pun mengungkap di satu sisi perlu diketahui bahwa transformasi produksi unggas di Asia termasuk Indonesia dalam dekade terakhir sangat luar biasa.
“Di negara-negara Asia Tenggara, dimana sebagian besar wabah flu burung terjadi - Thailand, Indonesia dan Vietnam - produksi melonjak delapan kali hanya dalam rentang waktu 30 tahun,” ungkap Dr Tata.
Ia jelaskan, produksi unggas China saja mengalami tiga kali lipat setelah 1990 dengan pertumbuhan yang terus meningkat setiap tahun. Situasi seperti ini merupakan tempat berkembang yang ideal untuk virus flu burung seperti strain H5N1 yang dikhawatirkan akan mencetuskan pandemi influenza manusia.
Adapun, lanjutnya, produksi daging ayam di Indonesia mencapai 672 ribu ton pada 2006, hanya 5 persen diatas produksi 2005. Sementara konsumsi daging ayam sekitar 2,9 kg per kapita per tahun yang diproyeksikan untuk 220 juta penduduk Indonesia pada 2005, masih jauh dibawah rata-rata tingkat konsumsi negara-negara tetangga di ASEAN.
“Flu burung telah menjadi satu faktor yang menaikkan biaya input produksi dan menghambat potensi pertumbuhan produksi yang lebih cepat di sektor perunggasan,” tegas Tata.
Adapun, tuturnya, tingkat konsumsi ayam diperkirakan menurun sekitar 20 persen setelah kasus pertama manusia yang meninggal karena flu burung pada Juli 2005, akan tetapi Agustus 2005 tingkat kepercayaan konsumen mulai membaik dan sudah pulih saat mendekati bulan Ramadhan Oktober 2005.
Dengan bertambahnya lima korban pasien flu burung pada Januari 2007, maka kejadian terulang kembali dengan menurunnya omzet perunggasan sebesar 40 persen dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 8 milyar rupiah per hari.
Menarik untuk dicermati bahwa justru rantai pendek outlet ayam pedaging untuk kebutuhan restauran cepat saji yang secara eksklusif berlokasi di daerah-daerah urban tidak banyak ikut terpengaruh.
“Penjualan semacam ini tetap berlangsung normal pada saat permintaan di segmen pasar lainnya mengalami penurunan. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan peran outlet semakin penting dalam memenuhi kebutuhan konsumen urban dan terintegrasi ke dalam sistem produksi transnasional,” tegas Dr Tata.

Ayam Belakang Rumah
Untuk lebih memahami konsepnya tentang flu burung dalam konteks ekosistem kesehatan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD selengkapnya mengungkap di Milis Dokter Hewan bahwa berbagai pendapat disampaikan oleh lembaga dunia seperti FAO dan WHO serta berbagai pemerintahan di dunia yang mempertanyakan sejauh mana implikasi industri perunggasan (sektor 1, 2 dan 3) terhadap krisis flu burung.
Namun demikian saat ini justru tudingan sebagai sumber infeksi utama lebih diarahkan kepada ayam-ayam belakang rumah (sektor 4), dengan seruan untuk melakukan pengendalian yang lebih ketat dan upaya restrukturisasi sektor perunggasan yang lebih luas.
Menurut Tata, ayam sektor 4 merupakan bagian dari ketahanan pangan dan pendapatan peternak bagi ratusan juta penduduk pedesaan di Asia dan Afrika. Ayam adalah satu-satunya ternak yang dapat dimiliki oleh kaum miskin, sehingga hampir setiap rumah tangga di pedesaan atau di pinggiran kota pada umumnya memelihara beberapa ekor ayam untuk pemenuhan kebutuhan daging, telur dan bahkan pupuk.
Alasan mengapa ayam sektor 4 dianggap sebagai masalah, menurutnya, oleh karena dipelihara di tempat terbuka (outdoor poultry), memungkinkan sering kontak dengan burung liar yang membawa virus flu burung atau pergi mencari makan ke lingkungan yang terkontaminasi.
“Burung liar dalam pengertiannya harus dibedakan dengan burung migran. Pada akhirnya ayam sektor 4 dianggap menjadi tempat percampuran untuk kelangsungan sirkulasi yang konstan dari penyakit ini,” ujar Dr Tata.
Selanjutnya mantan Dirkeswan ini menyatakan, situasi di Indonesia tidak secara jelas diketahui mengingat populasi ayam sektor 4 begitu banyak dengan sekitar 30 juta rumah tangga pemilik unggas. Pada kenyataannya, terjadi saling tumpang tindih antara ayam sektor 4 dengan usaha peternakan (sektor 1, 2 dan 3).
“Kebanyakan peternakan unggas besar atau menengah di Pulau Jawa, sekitar 10 sampai 15 tahun lalu membangun perkandangan di lokasi terpencil dan jauh dari pemukiman,” ucapnya.
Akan tetapi seiring pertumbuhan penduduk dan pemekaran wilayah, lokasi kandang sudah tidak dapat dipisahkan secara pasti dengan pemukiman penduduk. Hal seperti itu tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat sekitarnya untuk memelihara ayam sektor 4.
Dr Tata mengungkap, keberadaan unggas sektor 4 dan berjangkitnya flu burung telah membuat pihak berwenang di tingkat kabupaten/kota mengalami tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
Sifat alamiah dari pemeliharaan seperti ini - skala kecil, berkeliaran, menyebar dan informal - sehingga membuat dua tindakan pengendalian utama yaitu pemusnahan dan vaksinasi tidak mungkin dapat berjalan baik tanpa disertai keseriusan pemerintah dan kepatuhan masyarakat.

Pisahkan Unggas
Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD, banyak negara di seluruh dunia berusaha memahami kondisi unggas sektor 4 ini dari aspek ekosistem kesehatan. Mengingat juga di Indonesia diperburuk dengan fakta bahwa 46 persen kasus korban manusia akibat flu burung terjadi di daerah non-urban, sisanya di daerah semi urban (24 persen) dan urban (30 persen).
Dr Tata mengungkap, saat ini sebagian besar aturan yang diterapkan di negara maju dalam kaitan dengan kebijakan pengendalian flu burung adalah pisahkan unggas dari burung liar. Sedangkan di negara berkembang diterapkan aturan yang menekankan kepada pisahkan unggas dengan manusia.
“Pelarangan pemeliharaan unggas dalam keadaan terbuka (outdoor poultry) untuk tidak berinteraksi dengan burung liar lebih banyak diterapkan di negara maju seperti Austria, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Norwegia dan Swedia,” paparnya.
Sementara, Italia dan Swiss mengharuskan pemeliharaan unggas di lokasi yang dilindungi dengan atap atau lapisan kawat. Beberapa negara lain juga mengatur pelarangan terhadap unggas dalam keadaan terbuka selama musim migrasi burung, seperti Slovenia dan Kroasia.
Di Asia, baru Hongkong yang memberlakukan pelarangan secara menyeluruh terhadap ayam sektor 4. Pelarangan usaha peternakan ayam di perkotaan diterapkan oleh Vietnam.
Sedangkan, “Thailand membatasi pemeliharaan itik yang berkeliaran, pelarangan pasar ayam hidup di kota Bangkok dan rumah pemotongan ayam harus dipindahkan ke luar kota. Juga mengharuskan tempat penampungan ayam dari peternakan skala kecil (sektor 3) direlokasi ke satu wilayah,” kata Tata.

Gambaran Masyarakat Kita
Berkaitan dengan konsep Memisahkan Unggas itu, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD pun memberi penjelasan bagaimana gambaran pemetaan pemeliharaan ayam di tanah air. “Seperti pada umumnya di negara-negara berkembang, pemeliharaan unggas di kota besar seperti halnya DKI Jakarta sangat tumpang tindih dengan perumahan penduduk,” katanya.
Tata memberi gambaran, di balik gedung-gedung tinggi - baik hotel maupun perkantoran - banyak sekali dijumpai rumah-rumah yang memelihara unggas, baik sebagai hewan kesayangan/hobi maupun sebagai sumber pendapatan ekonomi keluarga. Dengan kandang ayam yang menempel di dinding rumah atau berada di halaman belakang rumah yang sangat sempit. Bahkan juga rumah-rumah yang digunakan sebagai tempat pemotongan ayam yang limbahnya bersamaan masuk ke dalam pembuangan limbah rumah tangga.
Menurut Tata, penduduk DKI Jakarta yang berjumlah sekitar 12 juta orang merupakan satu pasar konsumen yang besar untuk produk unggas. Itu sebabnya kurang lebih 600 ribu ekor ayam hidup setiap hari diangkut masuk ke wilayah DKI Jakarta yang berasal dari kabupaten/kota sekitarnya.
“Setiap pagi sekali dapat dilihat di jalan-jalan raya masuk kota Jakarta, kendaraan-kendaraan pengangkut ayam potong hidup maupun karkas ayam yang dilalulintaskan dari Kabupaten Tangerang, Sukabumi, Subang, Bogor, Ciamis, Cianjur dan lainnya,” ungkapnya.
Rantai pemasaran ayam yang sibuk dan padat melibatkan sekian banyak tenaga kerja yang mendapatkan mata pencaharian di sektor ini dan merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat perkotaan.
Sejak lama ada kesukaan yang lebih besar untuk membeli daging ayam segar dibandingkan dengan daging ayam beku. Meskipun sudah tidak banyak lagi dapat dipertahankan, mengingat kesibukan kebanyakan ibu-ibu rumah tangga yang bekerja dan kekurangan waktu menyiapkan masakan bagi keluarga.
Begitu juga kekurangan waktu setiap hari bagi para ibu untuk menyempatkan diri membeli daging ayam segar di pasar becek atau pasar tradisional.
Dengan kondisi ini, serta peta produksi unggas di atas, maka Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menegaskan konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan. (berbagai sumber/ Kps/ YR)

Rekomendasi Seminar Perunggasan ke-3: Perunggasan 2008, Saatnya Stakeholder Bersatu

“Akankah Bisnis Perunggasan tahun 2008 lebih menarik?” Begitulah tema yang diusung dalam seminar nasional perunggasan yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) untuk yang ketiga kalinya. Seminar perunggasan ini merupakan kesinambungan dari seminar sebelumnya yaitu seminar nasional perunggasan pertama tanggal 8 Maret 2006 dan seminar nasional perunggasan kedua 7 Desember 2006.
Seminar nasional perunggasan ketiga yang berlangsung pada Rabu, 7 Nopember 2007 ini bertempat di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Seminar ini dihadiri lebih kurang 140 peserta dari berbagai daerah dan lembaga, mulai dari peternak, pengusaha, peneliti hingga kalangan pasar modal, namun tidak nampak dari kalangan birokrat.
Dalam sambutannya saat membuka seminar, Ketua Umum ASOHI Gani Haryanto mengungkapkan bahwa tujuan seminar ini adalah untuk mengevaluasi situasi bisnis perunggasan 2007 dengan membandingkan dengan prediksi dalam seminar sebelumya disertai dengan pembahasan mengapa hal itu terjadi.
Selain itu, “Seminar ini juga bertujuan memprediksi situasi bisnis perunggasan tahun 2008 dari aspek bibit, pakan, obat hewan dan pasar unggas baik petelur maupun broiler, sekaligus mendiskusikan tantangan bisnis perunggasan yang aktual saat ini dan di masa depan sehingga mendapatkan solusi yang terbaik,” ujar Gani.
Tak tanggung-tanggung seminar yang diselenggarakan oleh GITA event organizer bekerjasama dengan ASOHI dan didukung penuh oleh Majalah Infovet ini menghadirkan pembicara Ketua Umum GPPU Drh Paulus Setiabudi dengan makalah berjudul “Overview on Poultry Breeding Industry And Business Outlook in 2008”, Ketua Umum GPMT Ir Budiarto Soebijanto, diwakili Ir Anang Hermanta dengan uraian berjudul Prospek Pakan 2008, Akankah Lebih Menarik?
Selain mereka Ketua Umum Pinsar Drh Hartono mewakili peternak juga membawakan makalah dengan judul “Bisnis Unggas dan Perekonomian Nasional; Proyeksi, Fakta dan Implikasi”. Sementara Dewan Pakar ASOHI Freddie Hadi Wibowo D MS memberikan orasi dengan judul “Business Prediction & Analysis of National Poultry Health Industries in 2008”. Lebih lanjut pengamat pasar modal Drs Haryajid Ramelan juga hadir dengan makalah berjudul “Kinerja Emiten Perunggasan 2006-2007” yang menitikberatkan pembahasan kinerja perusahaan publik perunggasan 2006-2007”. Seminar ini dimoderatori oleh Drh Ketut Tastra Sukata MBA dan Drh Rachmat Nuriyanto MM.
Seminar ini juga disponsori oleh Japfa, Medion, Novartis, Pfizer, PT Romindo Primavetcom, ISA, Cargill, Intervet, PT Otasindo, dan PT SHS Internasional. Acara ini juga diliput oleh berbagai media cetak dan elektronik serta mendapat dukungan dari majalah Poultry Indonesia, Trobos, dan Satwa Kesayangan, serta tabloid Sinar Tani dan Agrina.

Situasi dan Proyeksi
Diakhir seminar situasi perunggasan 2007 disimpulkan bahwa, produksi DOC broiler tahun 2007 diperkirakan 1,15 milyar ekor atau naik 7% dibanding tahun 2006. Populasi ayam petelur tahun 2007 sebesar 97,3 juta, naik 7,7% dibanding tahun 2006. Konsumsi pakan tahun 2007 sebesar 7,6 juta ton atau naik 5,5% dibanding tahun 2006.
Sementara untuk proyeksi perunggasan 2008 berdasarkan situasi tahun 2007, produksi DOC broiler tahun 2008 diproyeksikan 1,25 miliar ekor, atau naik 8,7% dibanding tahun 2007. Populasi ayam petelur diproyeksikan 104,8 juta atau naik 7,7% dibanding tahun 2007. Dan konsumsi pakan tahun 2008 diperkirakan 8,13 juta ton, naik 7% dibanding tahun 2007.

Tantangan Tahun 2008
Semua pembicara seminar sepakat bahwa di tahun 2008 pelaku usaha perunggasan kemungkinan akan menghadapi masalah serius yaitu:
1. Dampak kenaikan harga minyak dunia yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kenaikan biaya produksi.
2. Harga pakan cenderung terus meningkat, akibat kenaikan biaya transport dan harga bahan baku dunia.
3. Kemungkinan terjadi Oversupply DOC, yang menyebabkan harga DOC maupun harga ayam broiler jatuh.
4. Penyakit AI masih menjadi ancaman serius bagi peternak unggas, yang dampaknya langsung terhadap kematian unggas maupun dampak tidak langsung berupa isu media massa terhadap penurunan konsumsi produk unggas.
5. Daya beli masyarakat masih lemah serta gaya hidup konsumtif yang cenderung lebih mementingkan aspek penampilan (telepon seluler, rokok dan lain-lain) dan kurang memperhatikan konsumsi protein hewani.

Rekomendasi Seminar
Dari hasil rapat panitia yang terdiri dari Drh Ketut Tastra Sukata MBA (Moderator), Drh. Rachmat Nuriyanto MM (Moderator), Drh Suhandri (Ketua ASOHI Bidang Hubungan Antar Lembaga), Drh. Achmad Chariri (Ketua Panitia Seminar), dan Ir Bambang Suharno (Sekretaris Eksekutif ASOHI) menghasilkan beberapa rekomendasi untuk stakeholder perunggasan berupa:
1. Masyarakat perunggasan dengan dukungan pemerintah perlu melakukan kampanye konsumsi daging dan telur ayam. Terbukti protein telur dan daging ayam merupakan protein hewan paling murah dibanding sumber protein hewani lainnya. Pola pembiayaan kampanye konsumsi daging dan telur perlu didiskusikan lebih lanjut agar sebanyak mungkin masyarakat perunggasan berpartisipasi.
2. Perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian produksi DOC tanpa melanggar peraturan tentang persaingan usaha.
3. Pemerintah perlu mendorong pembangunan Rumah Pemotongan Ayam (RPA) di berbagai daerah agar penjualan ayam tidak lagi didominasi oleh ayam hidup sehingga fluktuasi harga ayam di tingkat peternak dapat dikurangi. Upaya ini sekaligus untuk mengendalikan penyebaran penyakit, dan seiring dengan upaya pemerintah DKI Jakarta agar ayam yang masuk ke wilayah DKI tidak lagi ayam hidup.
4. Dalam rangka peningkatan penanggulangan penyakit Avian Influenza diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan biosekuriti dan pelaksanaan vaksinasi yang lebih baik
5. Diperlukan koordinasi dan kerjasama berbagai pihak termasuk Pemda agar terjadi peningkatan produksi bahan baku pakan lokal khususnya jagung seiring dengan meningkatnya produksi pakan unggas.
6. Diperlukan dukungan Pemerintah agar ikut menciptakan kondisi yang kondusif bagi industri perunggasan misalnya penanganan izin rekomendasi impor dan registrasi obat hewan serta meninjau kembali Perda-Perda yang menimbulkan biaya tinggi.

Berbagai tantangan bagi pelaku bisnis perunggasan memang menjadi cambuk bagi sektor ini untuk terus bergeliat. Namun bila semua tantangan tersebut dianggap sebagai peluang tentu akan dengan mudah dicari solusi bersama agar sektor perunggasan terus jalan dan tumbuh melewati tahun 2008. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer