Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

5 GENOTIPE FLU BURUNG DAN EKOSISTEM KESEHATAN

(( Konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan. ))


9 November 2007, Indonesia Mencatat Kasus Flu Burung Ke-113. Hasil test Laboratorium Badan Litbangkes tanggal ini dan hasil test Lembaga Eijkman Jakarta menyatakan bahwa MN, (P, 31 tahun) dari Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau positif terinfeksi virus H5N1. Demikian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI).
Menurut sumber Komnas FBPI, MN mulai sakit pada tanggal 31 Oktober 2007. Pada 3 Nobvember 2007, MN dirawat di RS Permata Hati di Kecamatan Duri dan kemudian dirujuk ke RS Arifin Achmad di Pekanbaru pada tanggal 6 November 2007 dimana saat tiba di rumah sakit pada pukul 13.00 korban telah meninggal dunia.
MN menunjukkan gejala panas, sesak nafas, leukopeni (penurunan jumlah sel darah putih), thrombositopeni (penurunan jumlah sel darah dalam darah) dan pneumonia (infeksi paru-paru yang menimbulkan masalah respirasi).
“Dengan demikian kasus Avian Influenza positif di Indonesia berjumlah 113 kasus, di mana 91 kasus diantaranya meninggal,” kata sumber di Komnas FBPI.
Bagaimana wajah Flu Burung pada tahun 2008?

Lima Genotipe

Perkembangan terakhir, terungkap, virus H5N1 penyebab flu burung telah berkembang menjadi lima genotipe di Indonesia, sedangkan di negara-negara lain hanya dikenal tiga genotipe. Dengan demikian, penanganan klinis flu burung di Indonesia harus lebih hati-hati ketimbang negara lain.
Peneliti flu burung dari Universitas Airlangga Surabaya, Dr drh CA Nidom, mengemukakan, virus flu burung yang dikenal di negara lain hanya varian A, B, dan C. Di Indonesia telah muncul varian C* dan D. "Kedua varian itu hasil mutasi dari varian A," ujar Nidom di sela peresmian laboratorium Keamanan Biologi Level 3 (Biosafety Level 3/BSL 3) di Gedung Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga, Senin (26/11).
Varian A dikenal sebagai varian virus yang pertama kali diketahui menyebar di Pulau Jawa. Di Sumatera bagian utara, varian itu bermutasi menjadi varian B. "Varian ini antara lain diketahui menginfeksi orang-orang di daerah Karo, Sumatera Utara," ujar penanggung jawab penelitian flu burung di Universitas Airlangga ini.
Varian C dihasilkan dari mutasi varian A di Kalimantan. Proses mutasi itu juga menghasilkan varian C*, yang daerah penyebarannya belum teridentifikasi secara jelas. Adapun varian D ditemukan di Papua dan Sumatera bagian selatan.
Varian beragam itu membuat antivirus dari luar negeri belum tentu cocok untuk Indonesia. Karena itu, Indonesia perlu mengusahakan penangkal sendiri. Pengupayaan itu antara lain harus dimulai dengan pengenalan virus secara klinis.
Sayangnya, tidak ada data klinis varian-varian itu. Sebab, selama ini seluruh penelitian tentang flu burung menggunakan virus mati. "Seharusnya menggunakan virus hidup agar benar-benar diketahui identitas dan perilaku virus," ujarnya.

BSL 3

Fasilitas BSL 3 itu memungkinkan Indonesia meneliti dan menganalisis sampel virus flu burung yang masih hidup. "Dengan adanya fasilitas laboratorium BSL 3 itu, virus yang diambil dari sampel lendir manusia atau unggas bisa dianalisis," kata Nidom.
Direktur TDC Universitas Airlangga yang membawahi laboratorium itu, Prof Dr Yoes Prijatna Dachlan, menuturkan, fasilitas tersebut memungkinkan Indonesia meneliti sendiri virus flu burung. Selama ini Indonesia harus mengirim contoh virus untuk diteliti di negara lain.
Hal itu, menurut Yoes, bisa merugikan Indonesia. Kerugian itu antara lain berupa tawaran antivirus berharga mahal dari perusahaan farmasi asing. Padahal, antivirus itu dibuat berdasarkan contoh virus dari Indonesia.
Di Indonesia, laboratorium level tiga hanya dimiliki Lembaga Eijkman dan Universitas Airlangga. "Laboratorium ini hanya setingkat di bawah level tertinggi yang dimiliki Kanada dan Perancis," kata Yoes.

Lingkungan Kesehatan

Mencoba memperkuat konsepsi restrukturisasi sektor perunggasan sebagai salah satu penjabaran rencana strategi nasional (RENSTRANAS) Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza 2006-2010, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD dalam suatu kesempatan memberikan pendapatnya.
Wakil Ketua Pelaksana Harian II Komnas FBPI ini menyatakan, konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan.
“Harus disadari bahwa benang merah sirkulasi virus di lingkungan antara ayam belakang rumah (sektor 4) dan sistim industri perunggasan (sektor 1, 2 dan 3) -- dalam arah bolak balik -- menjadi permasalahan tersendiri,” kata Dr Tata, panggilan akrabnya.
Tata menjabarkan, suatu laporan FAO dan OIE membuktikan bahwa meskipun virus H5N1 beradaptasi baik terhadap ayam kampung, sama halnya terhadap itik atau entok domestik, ketahanan virus pada operasi peternakan skala kecil dan belakang rumah bergantung kepada peningkatan konsentrasi virus yang berkelanjutan.
“Virus H5N1 tidak melonjak ke dalam bentuk lebih ganas pada populasi ayam sektor 4, di mana tingkat kepadatan populasi rendah dan keragaman genetik mampu mempertahankan kandungan virus pada tingkat yang rendah,” urai Dr Tata, “Amplikasi virus justru terjadi pada operasi skala besar dan tertutup.”
Untuk menghindari lebih lanjut risiko penularan ke manusia, Dr Tata mengatakan, restrukturisasi sektor perunggasan yang menjadi strategi pemerintah dalam pengendalian flu burung jangka menengah dan panjang, harus betul-betul terkonsepsi secara menyeluruh dengan memperhatikan keterkaitan antara ekosistem kesehatan dengan faktor geografis, pasar dan produksi.
Untuk itu, katanya, pisahkan unggas harus dilihat sebagai satu solusi, bukan masalah. “Pemerintah bersama-sama masyarakat harus menyadari bahwa pelajaran yang bisa diambil dari pemahaman tentang flu burung dalam konteks ekosistem kesehatan,” tegasnya.

Produksi Unggas
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD pun mengungkap di satu sisi perlu diketahui bahwa transformasi produksi unggas di Asia termasuk Indonesia dalam dekade terakhir sangat luar biasa.
“Di negara-negara Asia Tenggara, dimana sebagian besar wabah flu burung terjadi - Thailand, Indonesia dan Vietnam - produksi melonjak delapan kali hanya dalam rentang waktu 30 tahun,” ungkap Dr Tata.
Ia jelaskan, produksi unggas China saja mengalami tiga kali lipat setelah 1990 dengan pertumbuhan yang terus meningkat setiap tahun. Situasi seperti ini merupakan tempat berkembang yang ideal untuk virus flu burung seperti strain H5N1 yang dikhawatirkan akan mencetuskan pandemi influenza manusia.
Adapun, lanjutnya, produksi daging ayam di Indonesia mencapai 672 ribu ton pada 2006, hanya 5 persen diatas produksi 2005. Sementara konsumsi daging ayam sekitar 2,9 kg per kapita per tahun yang diproyeksikan untuk 220 juta penduduk Indonesia pada 2005, masih jauh dibawah rata-rata tingkat konsumsi negara-negara tetangga di ASEAN.
“Flu burung telah menjadi satu faktor yang menaikkan biaya input produksi dan menghambat potensi pertumbuhan produksi yang lebih cepat di sektor perunggasan,” tegas Tata.
Adapun, tuturnya, tingkat konsumsi ayam diperkirakan menurun sekitar 20 persen setelah kasus pertama manusia yang meninggal karena flu burung pada Juli 2005, akan tetapi Agustus 2005 tingkat kepercayaan konsumen mulai membaik dan sudah pulih saat mendekati bulan Ramadhan Oktober 2005.
Dengan bertambahnya lima korban pasien flu burung pada Januari 2007, maka kejadian terulang kembali dengan menurunnya omzet perunggasan sebesar 40 persen dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 8 milyar rupiah per hari.
Menarik untuk dicermati bahwa justru rantai pendek outlet ayam pedaging untuk kebutuhan restauran cepat saji yang secara eksklusif berlokasi di daerah-daerah urban tidak banyak ikut terpengaruh.
“Penjualan semacam ini tetap berlangsung normal pada saat permintaan di segmen pasar lainnya mengalami penurunan. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan peran outlet semakin penting dalam memenuhi kebutuhan konsumen urban dan terintegrasi ke dalam sistem produksi transnasional,” tegas Dr Tata.

Ayam Belakang Rumah
Untuk lebih memahami konsepnya tentang flu burung dalam konteks ekosistem kesehatan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD selengkapnya mengungkap di Milis Dokter Hewan bahwa berbagai pendapat disampaikan oleh lembaga dunia seperti FAO dan WHO serta berbagai pemerintahan di dunia yang mempertanyakan sejauh mana implikasi industri perunggasan (sektor 1, 2 dan 3) terhadap krisis flu burung.
Namun demikian saat ini justru tudingan sebagai sumber infeksi utama lebih diarahkan kepada ayam-ayam belakang rumah (sektor 4), dengan seruan untuk melakukan pengendalian yang lebih ketat dan upaya restrukturisasi sektor perunggasan yang lebih luas.
Menurut Tata, ayam sektor 4 merupakan bagian dari ketahanan pangan dan pendapatan peternak bagi ratusan juta penduduk pedesaan di Asia dan Afrika. Ayam adalah satu-satunya ternak yang dapat dimiliki oleh kaum miskin, sehingga hampir setiap rumah tangga di pedesaan atau di pinggiran kota pada umumnya memelihara beberapa ekor ayam untuk pemenuhan kebutuhan daging, telur dan bahkan pupuk.
Alasan mengapa ayam sektor 4 dianggap sebagai masalah, menurutnya, oleh karena dipelihara di tempat terbuka (outdoor poultry), memungkinkan sering kontak dengan burung liar yang membawa virus flu burung atau pergi mencari makan ke lingkungan yang terkontaminasi.
“Burung liar dalam pengertiannya harus dibedakan dengan burung migran. Pada akhirnya ayam sektor 4 dianggap menjadi tempat percampuran untuk kelangsungan sirkulasi yang konstan dari penyakit ini,” ujar Dr Tata.
Selanjutnya mantan Dirkeswan ini menyatakan, situasi di Indonesia tidak secara jelas diketahui mengingat populasi ayam sektor 4 begitu banyak dengan sekitar 30 juta rumah tangga pemilik unggas. Pada kenyataannya, terjadi saling tumpang tindih antara ayam sektor 4 dengan usaha peternakan (sektor 1, 2 dan 3).
“Kebanyakan peternakan unggas besar atau menengah di Pulau Jawa, sekitar 10 sampai 15 tahun lalu membangun perkandangan di lokasi terpencil dan jauh dari pemukiman,” ucapnya.
Akan tetapi seiring pertumbuhan penduduk dan pemekaran wilayah, lokasi kandang sudah tidak dapat dipisahkan secara pasti dengan pemukiman penduduk. Hal seperti itu tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat sekitarnya untuk memelihara ayam sektor 4.
Dr Tata mengungkap, keberadaan unggas sektor 4 dan berjangkitnya flu burung telah membuat pihak berwenang di tingkat kabupaten/kota mengalami tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
Sifat alamiah dari pemeliharaan seperti ini - skala kecil, berkeliaran, menyebar dan informal - sehingga membuat dua tindakan pengendalian utama yaitu pemusnahan dan vaksinasi tidak mungkin dapat berjalan baik tanpa disertai keseriusan pemerintah dan kepatuhan masyarakat.

Pisahkan Unggas
Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD, banyak negara di seluruh dunia berusaha memahami kondisi unggas sektor 4 ini dari aspek ekosistem kesehatan. Mengingat juga di Indonesia diperburuk dengan fakta bahwa 46 persen kasus korban manusia akibat flu burung terjadi di daerah non-urban, sisanya di daerah semi urban (24 persen) dan urban (30 persen).
Dr Tata mengungkap, saat ini sebagian besar aturan yang diterapkan di negara maju dalam kaitan dengan kebijakan pengendalian flu burung adalah pisahkan unggas dari burung liar. Sedangkan di negara berkembang diterapkan aturan yang menekankan kepada pisahkan unggas dengan manusia.
“Pelarangan pemeliharaan unggas dalam keadaan terbuka (outdoor poultry) untuk tidak berinteraksi dengan burung liar lebih banyak diterapkan di negara maju seperti Austria, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Norwegia dan Swedia,” paparnya.
Sementara, Italia dan Swiss mengharuskan pemeliharaan unggas di lokasi yang dilindungi dengan atap atau lapisan kawat. Beberapa negara lain juga mengatur pelarangan terhadap unggas dalam keadaan terbuka selama musim migrasi burung, seperti Slovenia dan Kroasia.
Di Asia, baru Hongkong yang memberlakukan pelarangan secara menyeluruh terhadap ayam sektor 4. Pelarangan usaha peternakan ayam di perkotaan diterapkan oleh Vietnam.
Sedangkan, “Thailand membatasi pemeliharaan itik yang berkeliaran, pelarangan pasar ayam hidup di kota Bangkok dan rumah pemotongan ayam harus dipindahkan ke luar kota. Juga mengharuskan tempat penampungan ayam dari peternakan skala kecil (sektor 3) direlokasi ke satu wilayah,” kata Tata.

Gambaran Masyarakat Kita
Berkaitan dengan konsep Memisahkan Unggas itu, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD pun memberi penjelasan bagaimana gambaran pemetaan pemeliharaan ayam di tanah air. “Seperti pada umumnya di negara-negara berkembang, pemeliharaan unggas di kota besar seperti halnya DKI Jakarta sangat tumpang tindih dengan perumahan penduduk,” katanya.
Tata memberi gambaran, di balik gedung-gedung tinggi - baik hotel maupun perkantoran - banyak sekali dijumpai rumah-rumah yang memelihara unggas, baik sebagai hewan kesayangan/hobi maupun sebagai sumber pendapatan ekonomi keluarga. Dengan kandang ayam yang menempel di dinding rumah atau berada di halaman belakang rumah yang sangat sempit. Bahkan juga rumah-rumah yang digunakan sebagai tempat pemotongan ayam yang limbahnya bersamaan masuk ke dalam pembuangan limbah rumah tangga.
Menurut Tata, penduduk DKI Jakarta yang berjumlah sekitar 12 juta orang merupakan satu pasar konsumen yang besar untuk produk unggas. Itu sebabnya kurang lebih 600 ribu ekor ayam hidup setiap hari diangkut masuk ke wilayah DKI Jakarta yang berasal dari kabupaten/kota sekitarnya.
“Setiap pagi sekali dapat dilihat di jalan-jalan raya masuk kota Jakarta, kendaraan-kendaraan pengangkut ayam potong hidup maupun karkas ayam yang dilalulintaskan dari Kabupaten Tangerang, Sukabumi, Subang, Bogor, Ciamis, Cianjur dan lainnya,” ungkapnya.
Rantai pemasaran ayam yang sibuk dan padat melibatkan sekian banyak tenaga kerja yang mendapatkan mata pencaharian di sektor ini dan merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat perkotaan.
Sejak lama ada kesukaan yang lebih besar untuk membeli daging ayam segar dibandingkan dengan daging ayam beku. Meskipun sudah tidak banyak lagi dapat dipertahankan, mengingat kesibukan kebanyakan ibu-ibu rumah tangga yang bekerja dan kekurangan waktu menyiapkan masakan bagi keluarga.
Begitu juga kekurangan waktu setiap hari bagi para ibu untuk menyempatkan diri membeli daging ayam segar di pasar becek atau pasar tradisional.
Dengan kondisi ini, serta peta produksi unggas di atas, maka Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menegaskan konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan. (berbagai sumber/ Kps/ YR)

Rekomendasi Seminar Perunggasan ke-3: Perunggasan 2008, Saatnya Stakeholder Bersatu

“Akankah Bisnis Perunggasan tahun 2008 lebih menarik?” Begitulah tema yang diusung dalam seminar nasional perunggasan yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) untuk yang ketiga kalinya. Seminar perunggasan ini merupakan kesinambungan dari seminar sebelumnya yaitu seminar nasional perunggasan pertama tanggal 8 Maret 2006 dan seminar nasional perunggasan kedua 7 Desember 2006.
Seminar nasional perunggasan ketiga yang berlangsung pada Rabu, 7 Nopember 2007 ini bertempat di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Seminar ini dihadiri lebih kurang 140 peserta dari berbagai daerah dan lembaga, mulai dari peternak, pengusaha, peneliti hingga kalangan pasar modal, namun tidak nampak dari kalangan birokrat.
Dalam sambutannya saat membuka seminar, Ketua Umum ASOHI Gani Haryanto mengungkapkan bahwa tujuan seminar ini adalah untuk mengevaluasi situasi bisnis perunggasan 2007 dengan membandingkan dengan prediksi dalam seminar sebelumya disertai dengan pembahasan mengapa hal itu terjadi.
Selain itu, “Seminar ini juga bertujuan memprediksi situasi bisnis perunggasan tahun 2008 dari aspek bibit, pakan, obat hewan dan pasar unggas baik petelur maupun broiler, sekaligus mendiskusikan tantangan bisnis perunggasan yang aktual saat ini dan di masa depan sehingga mendapatkan solusi yang terbaik,” ujar Gani.
Tak tanggung-tanggung seminar yang diselenggarakan oleh GITA event organizer bekerjasama dengan ASOHI dan didukung penuh oleh Majalah Infovet ini menghadirkan pembicara Ketua Umum GPPU Drh Paulus Setiabudi dengan makalah berjudul “Overview on Poultry Breeding Industry And Business Outlook in 2008”, Ketua Umum GPMT Ir Budiarto Soebijanto, diwakili Ir Anang Hermanta dengan uraian berjudul Prospek Pakan 2008, Akankah Lebih Menarik?
Selain mereka Ketua Umum Pinsar Drh Hartono mewakili peternak juga membawakan makalah dengan judul “Bisnis Unggas dan Perekonomian Nasional; Proyeksi, Fakta dan Implikasi”. Sementara Dewan Pakar ASOHI Freddie Hadi Wibowo D MS memberikan orasi dengan judul “Business Prediction & Analysis of National Poultry Health Industries in 2008”. Lebih lanjut pengamat pasar modal Drs Haryajid Ramelan juga hadir dengan makalah berjudul “Kinerja Emiten Perunggasan 2006-2007” yang menitikberatkan pembahasan kinerja perusahaan publik perunggasan 2006-2007”. Seminar ini dimoderatori oleh Drh Ketut Tastra Sukata MBA dan Drh Rachmat Nuriyanto MM.
Seminar ini juga disponsori oleh Japfa, Medion, Novartis, Pfizer, PT Romindo Primavetcom, ISA, Cargill, Intervet, PT Otasindo, dan PT SHS Internasional. Acara ini juga diliput oleh berbagai media cetak dan elektronik serta mendapat dukungan dari majalah Poultry Indonesia, Trobos, dan Satwa Kesayangan, serta tabloid Sinar Tani dan Agrina.

Situasi dan Proyeksi
Diakhir seminar situasi perunggasan 2007 disimpulkan bahwa, produksi DOC broiler tahun 2007 diperkirakan 1,15 milyar ekor atau naik 7% dibanding tahun 2006. Populasi ayam petelur tahun 2007 sebesar 97,3 juta, naik 7,7% dibanding tahun 2006. Konsumsi pakan tahun 2007 sebesar 7,6 juta ton atau naik 5,5% dibanding tahun 2006.
Sementara untuk proyeksi perunggasan 2008 berdasarkan situasi tahun 2007, produksi DOC broiler tahun 2008 diproyeksikan 1,25 miliar ekor, atau naik 8,7% dibanding tahun 2007. Populasi ayam petelur diproyeksikan 104,8 juta atau naik 7,7% dibanding tahun 2007. Dan konsumsi pakan tahun 2008 diperkirakan 8,13 juta ton, naik 7% dibanding tahun 2007.

Tantangan Tahun 2008
Semua pembicara seminar sepakat bahwa di tahun 2008 pelaku usaha perunggasan kemungkinan akan menghadapi masalah serius yaitu:
1. Dampak kenaikan harga minyak dunia yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kenaikan biaya produksi.
2. Harga pakan cenderung terus meningkat, akibat kenaikan biaya transport dan harga bahan baku dunia.
3. Kemungkinan terjadi Oversupply DOC, yang menyebabkan harga DOC maupun harga ayam broiler jatuh.
4. Penyakit AI masih menjadi ancaman serius bagi peternak unggas, yang dampaknya langsung terhadap kematian unggas maupun dampak tidak langsung berupa isu media massa terhadap penurunan konsumsi produk unggas.
5. Daya beli masyarakat masih lemah serta gaya hidup konsumtif yang cenderung lebih mementingkan aspek penampilan (telepon seluler, rokok dan lain-lain) dan kurang memperhatikan konsumsi protein hewani.

Rekomendasi Seminar
Dari hasil rapat panitia yang terdiri dari Drh Ketut Tastra Sukata MBA (Moderator), Drh. Rachmat Nuriyanto MM (Moderator), Drh Suhandri (Ketua ASOHI Bidang Hubungan Antar Lembaga), Drh. Achmad Chariri (Ketua Panitia Seminar), dan Ir Bambang Suharno (Sekretaris Eksekutif ASOHI) menghasilkan beberapa rekomendasi untuk stakeholder perunggasan berupa:
1. Masyarakat perunggasan dengan dukungan pemerintah perlu melakukan kampanye konsumsi daging dan telur ayam. Terbukti protein telur dan daging ayam merupakan protein hewan paling murah dibanding sumber protein hewani lainnya. Pola pembiayaan kampanye konsumsi daging dan telur perlu didiskusikan lebih lanjut agar sebanyak mungkin masyarakat perunggasan berpartisipasi.
2. Perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian produksi DOC tanpa melanggar peraturan tentang persaingan usaha.
3. Pemerintah perlu mendorong pembangunan Rumah Pemotongan Ayam (RPA) di berbagai daerah agar penjualan ayam tidak lagi didominasi oleh ayam hidup sehingga fluktuasi harga ayam di tingkat peternak dapat dikurangi. Upaya ini sekaligus untuk mengendalikan penyebaran penyakit, dan seiring dengan upaya pemerintah DKI Jakarta agar ayam yang masuk ke wilayah DKI tidak lagi ayam hidup.
4. Dalam rangka peningkatan penanggulangan penyakit Avian Influenza diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan biosekuriti dan pelaksanaan vaksinasi yang lebih baik
5. Diperlukan koordinasi dan kerjasama berbagai pihak termasuk Pemda agar terjadi peningkatan produksi bahan baku pakan lokal khususnya jagung seiring dengan meningkatnya produksi pakan unggas.
6. Diperlukan dukungan Pemerintah agar ikut menciptakan kondisi yang kondusif bagi industri perunggasan misalnya penanganan izin rekomendasi impor dan registrasi obat hewan serta meninjau kembali Perda-Perda yang menimbulkan biaya tinggi.

Berbagai tantangan bagi pelaku bisnis perunggasan memang menjadi cambuk bagi sektor ini untuk terus bergeliat. Namun bila semua tantangan tersebut dianggap sebagai peluang tentu akan dengan mudah dicari solusi bersama agar sektor perunggasan terus jalan dan tumbuh melewati tahun 2008. (wan)

Industri Obat Unggas 2008 Tumbuh 7,1%

(( Berdasar data-data ekonomi, keuangan dan prediksi industri yang dikumpulkan, serta angka-angka asumsi dibuat, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2008 industri obat unggas tumbuh 7,1 persen. ))

Pada tahun 2008, Industri Obat Unggas, sebagai industri hilir, diprediksikan akan tetap bertumbuh sebesar 7,1%. Demikian kata Freddie Hadiwibowo DMS, dari PT SHS Internasional selaku Anggota Dewan Pakar Asosiasi Obat Hewan Indonesia dalam seminar tentang Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta 7 November 2007.
Freddie Hadiwibowo mengungkapkan bahwa berdasar Wood Mackenzie, 2007, Pasar Obat Hewan Dunia dalam tahun 2006 masih tumbuh sebesar 7,7% dari tahun sebelumnya.
“Sampai dengan bulan Juni 2007, pertumbuhan penjualan secara global dari Perusahaan Multinasional dalam Industri Obat Hewan adalah rata-rata 11,8%,” kata Freddie menyitir Wood Mackenzie tersebut.
Adapun berdasar Bank Indonesia & Business Monitor International, Q3 2007, Freddie mengungkap bahwa dalam tahun 2008, indikator ekonomi memprediksi PDB Nasional masih akan tumbuh sebesar 6,1%, inflasi diperkirakan agak menurun menjadi 5,3%.
Di tahun 2008, Industri perunggasan di Indonesia diprediksikan akan bertumbuh sebesar 6,5 – 7,0 %. Menurut Freddie, seluruh prediksi tersebut di atas akan terealisir apabila: Harga minyak masih dalam kisaran 80 - 90 US$/barel.
Lalu, tidak ada gangguan keamanan yang berarti selama masa persiapan Pemilu dalam tahun 2008. Serta, adanya deregulasi dan debirokratisasi Pemerintah untuk bidang industri perunggasan dan obat hewan.
Freddie Hadiwibowo DMS membuat kesimpulan tersebut berdasar data-data ekonomi, keuangan dan prediksi industri yang ia kumpulkan, serta angka-angka asumsi yang ia buat.

Peran Strategis Peternakan
Menurut Anggota Dewan Pakar ASOHI ini, sampai kapanpun, terutama untuk Indonesia, agribisnis peternakan dan pertanian akan selalu memiliki peran yang strategis dalam pembangunan nasional.
Menurutnya, World Development Report (WDR) mengungkap bahwa pada periode 1995-2003, pertanian menyumbang rata-rata 7 persen terhadap pertumbuhan PDB di negara-negara berkembang, seperti China, India, Indonesia dan Thailand. Padahal sektor tersebut mencakup sekitar 13 persen perekonomian dan mempekerjakan lebih dari separuh tenaga kerja yang ada.
Bank Dunia memperhitungkan, target penurunan tingkat kemiskinan dan kelaparan yang barah pada tahun 2015 takkan tercapai jika sektor pertanian dan pedesaan terabaikan. Sehingga, mereka menghimbau dan menekankan vitalnya agar Pemerintah di negara-neraga berkembang mepreoritaskan investasi di sektor pertanian untuk mengatasi kemiskinan, termasuk Indonesia.
Perhitungan itu disampaikan dalam Laporan Pembangunan Dunia (World Development Bank/WDR) yang terbaru bertajuk “Agricuture For Development” (“Pertanian Untuk Pembangunan”) yang diluncurkan di Washington DC tanggal 20 Oktober 2007.
Freddie pun mengajak kita kembali ke sektor Agribisnis Peternakan, di mana Indonesia masih jauh dari kecukupan protein hewani, konsumsi daging per kapita per tahun baru mencapai 8,5 kg (Data USDA-GAIN Report Oktober 2007).
“Dari angka tersebut daging ayam hanya 4,5 kg/kapita/tahun. Konsumsi telur pun hanya 67 butir/kapita/tahun,” katanya.
Menurut Freddie, angka konsumsi tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN, disertai dengan program Swa-sembada daging sapi 2010 yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya.
Kalau dilihat dari sisi positif, tegas Freddie, “Sektor Agribisnis masih merupakan suatu sektor yang cukup menjanjikan dan memang harus lebih dikembangkan di tahun-tahun mendatang.”

Analisa Kualitatif
Untuk memprediksi perkembangan perunggasan dalam negeri secara umum dan khususnya industri obat unggas di tahun 2008, Freddie Hadiwibowo DMS mengatakan bahwa kita perlu melakukan analisa dan prediksi dari dua aspek, aspek kualitatif dan aspek kuantitatif.
“Dalam aspek kualitatif sendiri sebetulnya ada beberapa aspek yang bisa dilakukan,” kata Freddie.
Namun, lanjutnya, yang paling dominan adalah aspek ekonomis dan juga aspek polkam atau politik dan keamanan, karena di sektor industri manapun aspek polkam akan selalu merupakan faktor yang sedikit banyak akan mempengaruhi perkembangan industri itu sendiri.

Lingkungan Strategis Global
Diungkap oleh Direktur PT SHS Internasional Freddie Hadiwibowo DMS, negara negara produsen unggas yang potensial seperti Brazil dan China, dan beberapa negara di Eropa, mereka juga sedang direpotkan oleh penyakit Avia Influenza.
Karenanya, katanya, produk- produk unggas dari negara-negara bersangkutan tidak boleh masuk ke Indonesia. Selain itu masalah kehalalan tetap merupakan isu utama yang membantu menghambat masuknya produk unggas ke Indonesia, termasuk dari USA.
Di sisi lain, lanjutnya, produk pertanian yang menunjang industri perunggasan di Indonesia, yaitu bahan baku pakan seperti jagung dan bungkel kedele dari negara-negara pemasok seperti USA, Argentina, Brazil, Peru, Chili dan lain-lain, masih tetap cukup dan aman untuk diimpor ke Indonesia.
“Demikian pula halnya dengan Grand Parent Stock dan Parent Stock,” tegas Freddie. Diharapkan pada tahun 2008, negara-negara bersangkutan tetap stabil dari segi politik dan keamanan, sehingga tidak mengganggu kegiatan impor/ekspor bahan baku pakan dan Grand Parent Stock/Parent Stock.
Adapun, menurut Freddie, harga minyak global yang bergejolak hingga mencapai US$ 90 per barel sampai saat ini masih bisa teratasi meskipun dalam APBN tahun 2007 harga minyak hanya diperhitungkan US$ 65 per barel.
Namun, kenaikan sampai mencapai US$ 100 per barel tahun 2008 tentu akan berdampak cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Indonesia.
Karena, paparnya, keuntungan tambahan yang kita peroleh tidak cukup untuk menutupi defisit yang terjadi akibat naiknya harga harga komoditi secara global, yang kemungkinan disertai tidak tercapainya target lifting minyak yang dicanangkan akan mencapai 1,034 juta barel per hari (mbpd).

Lingkungan Strategis Regional
Di hadapan peserta Seminar Nasional yang datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, pada dasarnya Lingkungan Strategis Regional hampir sama dengan Lingkungan Strategis Global, baik dari segi penyakit Avian Influenza dan pasokan bahan baku pakan dan parent stock, maupun pengaruh kenaikan harga minyak.
Ia memaparkan bahwa, hanya isu politik dan keamanan yang masih ada gojolak dibeberapa negara Timur Tengah dan beberapa negara ASEAN, termasuk terjadinya gangguan keamanan sebagai akibat dari gerakan separatis, yang berpengaruh terhadap keamanan perbatasan.
“Selain itu hal tersebut juga menyebabkan maraknya penyelundupan yang sulit diawasi, termasuk penyelundupan hasil produksi ternak/unggas,” ungkap Freddie.

Lingkungan Strategis Nasional
Adapun berdasar Laporan Survei Persepsi Pasar dari Bank Indonesia untuk Triwulan III 2007, pertumbuhan ekonomi sampai dengan Twiwulan Pertama tahun 2007 diperkirakan dapat mencapai 5,1-6,0%. Demikian orang penting di ASOHI ini.
Menurutnya, pemerintah juga masih optimis bahwa pertumbuhan ekonomi 6,8% tahun 2007 bisa tercapai karena masih cukup tingginya tingkat konsumsi masyarakat dan iklim investasi yang semakin kondusif.
Sehingga, “Kita juga dapat mengharapkan sektor Agibisnis Peternakan juga akan tumbuh sebesar 6,0-7,0% seperti yang kita prediksikan pada akhir tahun 2006,” tukas Freddie.
Diungkap oleh Freddie Hadiwibowo, peran daging ayam sebagai substitusi daging ruminansia terutama daging sapi akan terus berlanjut, bahkan peluangnya menjadi semakin besar. Hal tersebut didasarkan pada pasokan daging sapi yang semakin berkurang, untuk imporpun selain jumlahnya terbatas karena negara pemasok yang terbatas karena faktor penyakit, juga harganya relatif tinggi.
“Pada tahun 2008, diperkirakan harga daging sapi akan mencapai diatas Rp 50.000,- per kg,’ katanya. Selama 5 tahun terakhir, tren perkembangan perunggasan terbukti terus meningkat meskipun besarnya setiap tahunnya masih fluktuatif.
Namun, dari data produksi tahun tahun sebelumnya sampai dengan tahun berjalan tidak terjadi penurunan, termasuk prediksi tahun 2008 baik oleh GPPU maupun GPMT, dan juga PINSAR.
“Isu Flu Burung walaupun masih ada, namun karena tidak dikaitkan lagi dengan isu pemusnahan unggas, hal tersebut akan berdampak bahwa konsumen unggas tidak lagi dibayang-bayangi kehantuan terhadap infeksi Flu Burung akibat mengkonsumsi produk unggas,” lanjut Freddie.
Adapun menurutnya, selama kran impor daging ayam terutama paha ayam/CLQ masih tertutup, maka kebutuhan dalam negeri mau tidak mau harus dipenuhi oleh pasokan dari dalam negeri sendiri. Hal tersebut secara langsung juga akan mempertahankan produksi perunggasan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan dagin ayam yang memang masih relatif rendah.
“Pada tahun 2008, isu politik akan menghangat dengan mendekatnya Pemilu tahun 2009. Namun diharapkan gejolak politik ini hanya terjadi pada tingkat elite politik dan tidak merambat ke bidang ekonomi,” harap Freddie.
Namun yang jelas, menurutnya, bidang keamanan juga akan terganggu dengan menghangatnya isu politik seperti demonstrasi demonstrasi yang mungkin diantaranya ada yang direkayasa.
“Mudah-mudahan isu politik dan keamanan ini tidak menjadikan negara menjadi chaos. Kalau hal tersebut bisa dijaga dan dicegah, maka perekonomian negeri kita akan tetap laju dan dunia perunggasan juga akan terus berkembang. Semoga!” tegas Freddie. (ASOHI/ YR)



Pakan Ternak Tumbuh 7% Pertahun Capai 8,13 Juta Ton

(( Tahun 2008 konsumsi pakan berkisar 8,13 juta ton dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan peternakan 7%. ))

Untuk mengimbangi kenaikan produksi unggas, maka konsumsi pakan ternak nasional pada 2008 diperkirakan juga akan naik mencapai 8,13 juta ton. Adapun kebutuhan pakan ternak meningkat rata-rata 7% per tahun sejalan dengan peningkatan usaha sektor terkait.
Demikian Ir Anang Hermanta dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak dalam Seminar tentang Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta, 7 November 2007 melengkapi pernyataannya bahwa perkiraan sampai akhir 2007 konsumsi pakan nasional akan mencapai 7,6 juta ton.
Hal itu menurut Anang menyusul kondisi terkait yang makin surut akibat dampak kenaikan harga minyak dunia dan iklim usaha di dalam negeri yang belum kondusif.
Untuk memenuhi produksi pakan ternak itu, lanjutnya, industri pakan ternak membutuhkan sekitar 4,07 juta ton jagung, baik impor maupun lokal, sebagai bahan baku utama yang mencapai 50% kebutuhan bahan baku pakan.
Selain jagung, bahan baku lain juga sebagian masih tergantung impor, a.l. bungkil kedelai 1,62 juta ton, tepung tulang & daging (meat bone meal/MBM) serta tepung daging unggas (poultry meat meal/PMM) 400 ribu ton, dan premix 50 ribu ton.
“Dengan kondisi seperti sekarang, apalagi kenaikan harga minyak dunia, kenaikan harga pakan terjadi di seluruh dunia karena bahan baku itu ikut naik. Selain memang barangnya yang naik, biaya angkut juga naik.”
Karena itu, kata Anang, produsen makanan ternak terus meminta pemerintah memberikan insentif sehingga kenaikan harga pakan tidak terlalu tinggi.

Harga Bahan Baku
Saat ini, data GPMT menunjukkan harga bahan baku makanan ternak naik rata-rata lebih dari 30%. Akibatnya sejak Juli harga pakan naik lebih dari Rp300 per kilogram menjadi rata-rata Rp3.675 untuk pakan ayam pedaging (broiler).
Sementara itu, harga pakan ayam petelur naik dari Rp2.550 per kilogram pada Juli 2007 menjadi Rp2.950 per kilogram.
“Harga jagung impor sekarang sudah US$306 per ton dari harga Juli 2007 sekitar US$220 per ton. Sama juga harga bungkil, MBM, dan PMM yang juga naik. Kalau tidak ada upaya pemerintah, sektor peternakan bisa hancur. Padahal kita selalu mengharapkan ada kenaikan pertumbuhan usaha paling tidak 7%.”
Tanpa upaya nyata, kata Anang Hermanta, dampak di sektor perunggasan akan tampak nyata pada harga unggas yang bakal meningkat di atas Rp20.000 per kilogram dari harga rata-rata saat ini sekitar Rp16.000 per kilogram.

Didominasi Pakan Unggas
Sebesar 83 % pakan ternak dibutuhkan untuk unggas. Sisanya, 6 % pakan untuk babi, 3 % pakan sapi perah, 7 % pakan akuakultur, dan 1 % pakan ternak lainnya. Adapun biaya utukpakan ternak ini mencapai 70% dari biaya produksi hasil ternak seperti daging dan telur ayam.
Menurut Anang Hermanta, pakan ternak memang tidak bisa dipisahkan dari rangkaian mata rantai usaha peternakan. Bila Peternakan berkembang, permintaan pakan meningkat, konsumsi bahan baku pakan juga meningkat.
“Pakan ternak berperan strategis,” katanya. Hal ini terkait dengan 70% dari biaya produksi hasil ternak seperti daging dan telur ayam tersebut.
Pakan ternak sendiri, menurut Anang Hermanta terkait harga bahan baku global. Secara nilai rupiah, lebih dari 60% tergantung dari bahan baku impor seperti: jagung, bungkil kedele, meat dan bone meal, poultry meat meal, corn gluten meal, rape seed meal, dll.
Menurut eksekutif PT Sinta Prima Feedmill ini, kualitas pakan sangat menentukan keberhasilan usaha peternakan. Untuk itu harus didukung dengan ketersediaan bahan baku yang berkualitas.
Keberhasilan penyediaan pakan ternak ini menurutnya terkait dengan kebijakan pemerintah. Ir Anang berharap, pemerintah sanggup membebaskan bea masuk 5% atas jagung impor. Lalu, meningkatkan produksi jagung dalam negeri. Dan, membuka impor US Meat and Bone Meal secara terbuka.
Bahan baku pakan kenapa melonjak dan bahkan lonjakannya drastic hingga sulit diikuti oleh kenaikan harga ayam dan telur. Penyebab naiknya harga ini diantaranya adalah kekeringan di Australia, gangguan cuaca di beberapa negara lain, penggunaan jagung dan biji-bijian lain untuk biofuel telah mendongkrak semua grain & bahan baku pakan ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu Kenaikan harga minyak dunia yang telah mencapai lebih dari US$ 90/barel menimbulkan persaingan baru (grain for food, feed & fuel).
Hal tersebut berdampak pada harga bahan baku global. Dari catatan GPMT periode Juli-Nop 2007 harga bahan baku seprti jagung naik dari 220 US$/MT menjadi 306 US$/MT, SBM naik dari 320 US$/MT menjadi 475 US$/MT, MBM naik dari 410 menjadi 575 US$/MT, CGM naik dari 530 US$/MT menjadi 675 US$/MT, dan PMM 500 US$/MT menjadi 740 US$/MT. Bahkan biaya pengapalan dari USA pun ikut naik dari 60 US$/ton menjadi 145 US$/ton.
Sudah barang tentu perunggasan nasional terkena imbasnya, harga pakan rata-rata naik sebesar Rp 450/kg sejak 3 bulan terakhir dan masih berpotensi naik lagi Rp 500/kg. Harga DOC anjlok menjadi Rp 1.000-1.500/ekor. Kalkulasi harga ayam dengan harga DOC di atas dan harga pakan saat ini Rp 3.700/kg maka BEP broiler ex farm sekitar Rp 8.700/kg, kenyataan harga jual karkas eceran rumah tangga sekitar Rp 16.000/kg. Jika pakan naik jadi Rp 4.200/kg dan DOC Rp 2.500, maka BEP ex farm mencapai Rp 10.500/kg yang bisa memicu harga jual karkas eceran rumah tangga mencapai di atas Rp 20.000/kg. Mungkinkah ini terjadi karena kita tetap harus mewaspadai lemahnya daya beli masyarakat.
Bila boleh membandingkan, kenaikan harga pakan terjadi di seluruh dunia. Bedanya kalau di Indonesia, BEP naik harga jual ayam tetap rendah sedangkan di negara lain harga ayam dan DOC ikut naik secara proporsional karena daya beli kuat dan saluran distribusi yang efektif. Sebagai contoh harga broiler di Malaysia 1,20 US$/kg dengan harga DOC 0,50 US$/ekor.

Permasalahan Bahan Baku Pakan
Ir Anang Hermanta pun menguraikan permasalahan bahan baku pakan secara lebih lengkap. Permasalahan itu adalah Bea Masuk Jagung Impor sebesar 5%. Jagung impor dikenakan BM 5% sesuai Peraturan Menkeu No: 591/2004. Tujuannya untuk membantu petani jagung meningkatkan produksi jagung nasional.
“Kenyataannya, produksi jagung dalam negeri masih tetap kurang meskipun sudah diterapkan BM 5%,” kata Anang seraya berpendapat bahwa hal ini menunjukkan ada penyebab lain yang menghambat.
Anang mengatakan bahwa harga jagung lokal selalu jauh diatas biaya pokok produksi. Di sisi lain peternak mendapat tambahan beban biaya pakan. Maka, “Diusulkan pembebasan BM 5% terhadap jagung impor sampai produksi jagung nasional mencukupi tanpa impor,” tegasnya.
Permasalahan Bahan Baku Pakan yang lain adalah Meat and Bone Meal asal USA. Anang mengungkap bahwa sejak Agustus 2006 impor MBM asal USA dibuka terbatas bagi satu produsen, Baker Comodity Inc., USA. Tujuan pembukaan impor MBM asal USA untuk menambah alternatif impor selain dari Australia & New Zealand, sehingga lebih bersaing menurunkan harga.
Namun, karena hanya satu produsen asal USA, maka harga justru tetap tinggi mengikuti harga MBM asal Australia & New`Zealand. Oleh karena itu, “GPMT mendesak pemerintah segera membuka impor MBM asal USA secara terbuka dari banyak produsen dan bebas melakukan impor langsung kepada produsen,” tutur Anang.
Pada saat itulah, produsen lain yang menunggu ijin masuk antara lain: Conagra, Excel, Darling. Proses pembukaan ijin impor ini menurut GPMT sangat lamban.
Ada pun yang juga menjadi permasalahan bahan baku pakan, menurut GPMT, adalah penanganan kasus penyelundupan MBM yang sangat lemah. Ditemukan kasus penyelundupan MBM asal Inggris pada tanggal 23 Agustus 2007 sebanyak 112 peti kemas berisi 2,056 ton. Pelakunya PT Tahta Muria Wahana (TMW) yang MBM-nya diimpor dari Gulf English Trading asal Virgin Island, Inggris.
Kasus serupa terjadi di Tanjung Perak, Surabaya tahun 2006. Namun sangat disayangkan, “Pelaku tidak jera karena sangsi tidak tegas,” sesal Anang.
Menurutnya, pengaruh hal ini bagi pabrik pakan anggota GPMT, adalah menimbulkan kesulitan karena semua ijin pemasukan MBM dan bahan baku impor lain yang legal diperketat dan sangat menghambat. “Ironisnya penyelundup tidak ditindak, importir legal “dipersulit” dan menimbulkan biaya tinggi,” keluh Ir Anang Hermanta.
Selain hal tersebut, Anang menambahkan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam Permentan No. 61/2007 yang mengijinkan masuknya MDM ke Indonesia melemahkan perjuangan menolak masuknya paha ayam atau Chicken Leg Quarter (CLQ).
Selama ini dasar yang digunakan oleh Pemerintah untuk menolak CLQ masuk adalah dengan syarat ASUH (Aman, Sehat Utuh dan Halal). CLQ berupa potongan paha ayam sehingga tidak memenuhi syarat “utuh”, maka diragukan kehalalannya.
Jika CLQ yang berupa potongan paha ayam atau sayap tidak memenuhi syarat ASUH, tentunya MDM yang berbentuk bubur daging ayam lebih diragukan kehalalannya. Namun bilamana MDM yang tidak memenuhi syarat ASUH tersebut diijinkan masuk maka akan melemahkan argumentasi penolakan masuknya CLQ dengan dalih tidak “utuh” atau tidak memenuhi syarat ASUH.

Kendala yang Harus Diantisipasi
Kendala yang harus diantisipasi adalah inflasi meningkat tajam di tahun 2008 akibat kenaikan BBM, yang akan berdampak pada penurunan daya beli. Harga pakan akan naik tajam sedangkan harga daging dan telur ayam tidak mengikuti kenaikkan biaya pokok produksinya.
Kendala berikutnya, belum tuntasnya penanganan Flu Burung di Indonesia. Juga, tambah Anang, perlu upaya meningkatkan produksi jagung dalam negeri.
Sementara itu, RUU Peternakan dan Keswan yang masih cenderung menonjolkan pada ancaman hukuman bagi pelaku usaha, berpotensi menurunkan minat investor, karena banyak sanksi-sanksi yang sifatnya kurang mendidik atau berlebihan.
“UU Peternakan dan Keswan harus menciptakan daya tarik dan rasa aman-nyaman bagi investor untuk masuk ke bisnis peternakan nasional,” harap GPMT.

Harapan GPMT
Oleh karena itu, GPMT berharap semua pelaku perunggasan perlu menjaga keseimbangan supply-demand DOC dan daging ayam broiler.
Selanjutnya, seluruh stakeholder perunggasan dan pemerintah segera mewaspadai dan mengambil langkah nyata untuk menghadapai situasi yang sangat sulit saat ini.
Langkah nyata sesuai harapan GMT, diungkap Anang adalah, “Pangkas biaya-biaya yang berlebihan.”
Lalu, “Tekan high cost economy berkaitan dengan peraturan-peraturan yang eksesif, perda-perda tumpang tindih, bea masuk, biaya pengawasan mutu, biaya karantina antar area, dan lain-lain.”
Kemudian, “Dekatkan harga ex farm dengan harga eceran rumah tangga, pangkas saluran distribusi.”
Akhirnya, tegas Ir Anang Hermanta, “Perlancar importasi bhn baku pakan yang bisa menyebabkan tambahan biaya demurage, OB san lain-lain akibat lambatnya pengurusan SPP impor, proses karantina dan bea cukai tanpa mengorbankan keamanan pangan nasional.” (YR/wan)

Broiler Naik 8,7 Persen dan Layer Meningkat 7,7 Persen

(( Diperkirakan terjadi peningkatan produksi broiler 8,7% menjadi 1,25 juta ekor untuk menghasilkan 1,82 juta ton daging ayam. Dan, terjadi peningkatan populasi layer 7,7% menjadi 104,8 juta ekor untuk menghasilkan 1,43 juta ton telur. ))

Prospek sektor perunggasan nasional 2008 diproyeksi lebih cerah dibandingkan dengan tahun 2007. Diperkirakan terjadi peningkatan produksi broiler 8,7% menjadi 1,25 juta ekor untuk menghasilkan 1,82 juta ton daging ayam. Dan, terjadi peningkatan populasi layer 7,7% menjadi 104,8 juta ekor untuk menghasilkan 1,43 juta ton telur.
Demikian Ketua Umum Pusat Informasi Pasar Unggas Nasional (Pinsar) Drh Hartono dalam Seminar Nasional Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta November 2007.
Menurut Hartono, pelaku bisnis terkait masih optimistis permintaan produk unggas di dalam negeri tidak akan surut kendati usaha ini masih terancam imbas kenaikan harga minyak dunia dan penurunan daya beli konsumen. Hal ini karena produk unggas tetap akan menjadi komoditas termurah dibandingkan bahan makanan lain, seperti ikan dan daging meski kondisinya juga cukup sulit.
“Dengan harga BBM yang makin mahal, ikan juga akan sulit di dapat karena kapal tidak melaut. Daging sapi juga pasti akan lebih mahal. Ayam dan telur yang masih akan tetap dicari,” ujar Drh Hartono.
Ketua Pinsar ini memperkirakan harga karkas ayam akan mencapai Rp 22.000 per kilogram atau lebih dari 25% dibandingkan harga saat ini.
“Tapi, meskipun harga naik, ayam dan telur masih dapat bersaing dengan kompetitornya seperti daging sapi dan ikan yang juga pasti akan jauh lebih mahal. Ayam dan telur ini tetap akan menjadi sumber protein yang termurah.”

Dugaan Yang Selama Ini Dipercaya
Dalam rangkaian pendapatnya, Drh Hartono mengungkap dugaan yang selama ini dipercaya bahwa pertumbuhan ekonomi nasional akan mendorong pertumbuhan bisnis unggas dalam angka yang relatif sama.
Oleh karena itu, katanya, selama setidaknya tiga tahun terakhir, pertumbuhan bisnis unggas diperkirakan diatas 5% per tahunnya. Ini berarti setidaknya telah terjadi pertumbuhan bisnis unggas sebesar 15% secara kumulatif dalam tiga tahun terakhir.
Maka, lanjutnya, ketika pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2008 mendatang sebesar 6.8%. Pertumbuhan bisnis unggas pun diproyeksikan pada angka yang relatif sama.

Kecurigaan
Namun Drh Hartono juga mengungkap kecurigaan, “Apakah benar bahwa bisnis unggas telah mengalami pertumbuhan sebagaimana anggapan tersebut?” tanya Ketua Pinsar ini.
“Berdasar pada data yang seperti apakah dugaan tersebut dibangun?” lanjutnya.
“Fakta-fakta apa sajakah yang dapat dipakai sebagai landasan dari dugaan tersebut?” tanya Hartono lagi.
Serta, “Bagaimanakah memperkirakan prospek bisnis unggas untuk tahun 2008 mendatang?” pungkas pertanyaan Drh Hartono.

Fakta Perekonomian Nasional
Ketua Pinsar ini pun mengungkapkan sejak kenaikan BBM pada oktober 2005, penurunan daya beli masyarakat terjadi sangat signifikan yang hingga tahun 2007 ini masih belum mengalami pemulihan secara berarti.
Angka pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini diumumkan oleh pemerintah, menurut Hartono tidak dapat serta-merta berpengaruh terhadap perekonomian nasional oleh sebab kualitas pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan berkurang kualitasnya.
Oleh karena itu menurut Hartono, diperkirakan daya serap tenaga kerja berkurang, sementara angka pengangguran serta kemiskinan menjadi bertambah. Pertumbuhan ekonomi nasional dalam tiga tahun terakhir ini juga kurang mencerminkan bergeraknya sektor riil yang merangkak pelan.

Realitas Data Produksi Unggas
Drh Hartono juga mengungkapkan realitas data produksi unggas bahwa sementara faktor flu burung semakin memperumit perkiraan data yang sesungguhnya. Data produksi pakan ternak yang diperkirakan paling mendekati realitas dilapangan melalui angka impor SBM, juga menemui masalah ketika terjadi kelangkaan MBM serta komponen bahan baku pakan ternak lainnya.
“Satu-satunya indikator yang dapat dipakai secara memuaskan adalah harga jual panen ex-farm,” kata Ketua Pinsar ini.
Gambaran pergerakan harga broiler dan telur di pasar unggas untuk tahun 2007. Rata-rata harga broiler nasional Rp. 8.898/kg, rata-rata harga telur nasional RP. 8.186/kg, sementara rata-rata persepsi pasar broiler 0,973 dan sementara rata-rata persepsi pasar telur 0,978.
Hasil catatan Pinsar menggambarkan persepsi pasar menunjukkan angka sepi saat berada di poin 0,90; persepsi pasar menunjukkan angka sedang saat berada di poin 1,00 dan persepsi pasar menunjukkan angka ramai saat berada di poin 1,10
Untuk itulah, Hartono yang dokter hwan alumnus FKH IPB menyimpulkan adalah sulit memperkirakan adanya pertumbuhan atau pun kontraksi pasar nasional melalui data harga jual belaka. Tetapi, indikator persepsi pasar nasional lebih cenderung menunjukkan kelesuan pasar nasional secara keseluruhan daripada sebaliknya.
Adapun, terjadinya kenaikan rata-rata harga jual diiringi dengan penurunan persepsi pasar, menunjukkan adanya penurunan produksi di tahun 2007 dibanding dengan tahun 2006.
Dengan memperhatikan indikator persepsi pasar nasional serta masih lambannya ekonomi sektor riil, Pinsar Unggas Nasional pada akhir 2006 memperkirakan sangat sulit mengharapkan adanya pertumbuhan bisnis unggas pada tahun 2007. Hal yang sama sepertinya akan terulang untuk tahun 2008 mendatang, terlebih dengan adanya ancaman kenaikan harga minyak dunia yang sulit dihindarkan.
Barangkali terdapat perbedaan pandangan Pinsar Unggas Nasional yang diketuai Drh Hartono ini dibanding narasumber lain dalam seminar perunggasan nasional tersebut.
“Catatan suram ini bukan bermaksud melemahkan semangat pelaku bisnis unggas, sebaliknya justru ingin menggambarkan betapa besar dan kerasnya tantangan kerja yang harus dihadapi segenap pelaku bisnis unggas pada tahun 2008 mendatang,” pungkas Drh Hartono. (wan/YR)

HOMO ECONOMICUS

Ruang Redaksi Majalah Infovet Edisi 161 Desember 2007

Dengan penuh kepedulian Tim Infovet meliput Seminar Nasional Prospek Perunggasan 2008 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia 7 November 2007 di Hotel Peninsula Jakarta.

ASOHI mempercayakan penyelenggaraan acara ini pada Divisi Event Organizer PT Gallus Indonesia Utama. Infovet juga salah satu divisi pada PT Gallus ini, bersama-sama Divisi Majalah Satwa Kesayangan, Divisi Penerbit Buku Gita Pustaka, dan Divisi G Multimedia. PT Gallus sendiri merupakan badan usaha yang dimiliki oleh ASOHI.

Tergambar dengan jelas, antara Infovet, EO, PT Gallus dan ASOHI merupakan satu keluarga besar. Di sini berlaku prinsip manajemen, di mana sesungguhnya setiap organisasi dan pengorganisasian adalah sebuah manajemen. Korporasi sebagai istilah lain dari perusahaan sendiri, berasal dari bahasa Latin korpus, yang artinya tubuh.

Tubuh mempunyai anggota, organ-organ, berupa tangan, kaki dan lain-lain, begitulah PT Gallus yang dimiliki oleh ASOHI ini juga punya divisi-divisi termasuk Majalah kesayangan Anda ini.

Untuk menjalankan organisasi dibutuhkan manajemen. Ketika membicarakan manajemen, berarti membicarakan organisasi. Pembicaraan tentang manajemen sudah berlaku sangat lama dalam sejarah manusia. Bahkan ketika tokoh-tokoh dunia Machiavelli, Thomas Hobbes dan Adam Smith berbicara tentang organisasi mereka sudah berbicara tentang manajemen.

Pada saat menjalankan roda organisasi perusahaan dengan manajemen itu, ada suatu nilai yang dikejar setiap perusahaan, yaitu nilai ekonomi. Apakah yang mendasari nilai ekonomi ini?

Adam Smith (1723-1790) mempunyai konsep dalam perdagangan manusia digerakkan oleh kepentingan diri sendiri. Namun ilmuwan-ilmuwan selanjutnya menciutkan konsep ini menjadi manusia adalah makhluk yang dipenuhi oleh kepentingan diri sendiri, menyulut konsep Homo economicus.

Selanjutnya, konsep homo economiscus secara ekstrim mendominasi pelabelan citra manusia bahwa yang menggerakkan semua banyak bidang kehidupan selalu diukur dari kepentingan ekonomi semata. Padahal, semula, Adam Smith menyatakan sifat homo ecomomicus ini hanya bagian dari sifat manusia dalam konteks perdagangan, bukan citra diri manusia secara ekstrim.

Sementara itu, masih banyak cita manusia yang lain, bukan hanya makhluk ekonomi, namun juga makhluk sosial, makhluk religius, makhluk budaya, makhluk sejarah dan lain-lain. Sebagai satu kesatuan diri manusia, manusia tinggal mewujudkan keseluruhan sifatnya secara intuitif menghadapi semua persoalan kehidupan, bukan hanya dari sisi ekonomi sebagai kedirian yang ekstrim sebagai homo economicus.

Dalam konteks perusahaan PT Gallus di mana Infovet sebagai satu organ, setidaknya konsep-konsep para tokoh ini dapat terefleksikan. Sentuhan-sentuhan manajemen roda ekonomi dari Infovet terasa diwarnai berbagai sisi kehidupan manusia, baik sisi ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan kedokteran hewan dan peternakan, pendidikan dan lain-lain.

Katakanlah, Infovet mencoba menyeimbangkan berbagai sisi dalam diri manusia, yang tercermin dari sajian-sajian untuk pembaca pada setiap edisi. Harapan yang sama juga berlaku untuk kita semua, terutama bangsa Indonesia dalam menghadapi persoalan-persoalan peternakan dan kesehatan hewan.

Sulit untuk dipungkiri pendekatan kita dalam menghadapi problem-problem peternakan dan kesehatan hewan, sejauh ini terasakan lebih didominasi paradigma ekonomi dan pembangunan, guna meningkatkan pendapatan negara maupun perusahaan.
Gambaran sejujurnya, masih banyak peredaran obat hewan ilegal yang dilaporkan dalam Infovet edisi November 2007. Masih ada upaya-upaya untuk mengatur peradagangan sarana produksi peternakan baik bibit, pakan, obat, peralatan dengan bermain-main di wilayah hukum yang bisa dikondisikan oleh pengaruh lobi-lobi. Bahkan juga menjalar pada impor produk-produk peternakan seperti MBM dan MDM yang beresiko penyakit sapi gila.

Citra Homo economicus yang ekstrim mestinya menyadari, bahwa penemu sifat ekonomi ini (Adam Smith) hanya menempatkan kepentingan ekonomi ini sebagai bagian dari diri manusia, bukan yang utama. Sedangkan Adam Smith sendiri menemukan konsep ini dengan bertumpu pada etika moral, sebagai suatu mata rantai dari pengenalan manusia sejak abad-abad sebelumnya sebagai Homo Sapiens, makhluk berjalan berkaki dua yang berpikir.

Di sini kita disadarkan bahwa dalam bisnis pun kita mesti mengakomodasi nilai-nilai dalam diri manusia secara utuh bukan hanya nilai ekonomi. Akomodasi itu pun dapat terlaksana dengan suatu manajemen, sehingga kita menyongsong tahun baru 2008 dengan sikap positif dan lebih maju. (Yonathan Rahardjo)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer