Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

HARGA NOMOR SATU, KUALITAS NOMOR SEKIAN?


Di tengah belantara puluhan merk obat hewan yang demikian banyak, maka untuk memilih dan memutuskan suatu pilihan produk yang benar-benar tepat bagi kepentingan produksi ayam potong maupun petelur bukanlah perkara yang mudah. Demikianlah benang merah yang dapat dipetik dari perbincangan ”Diskusi Informal Rutin Kamis Petang” dengan para pemasar obat hewan di kawasan Yogyakarta.
Drh Haji Taufiq Junaedi MMA sebagai dedengkot Diskusi Informal Rutin Kamis Petang itu menyimpulkan bahwa masalah ketepatan menentukan pilihan ada banyak aspek yang melingkarinya. Setidaknya ada aspek Pertama Harga, Ke dua Kualitas, Ke tiga Hubungan personal Peternak/pengelola dengan pihak pemasar dan Ke empat Orientasi peternak/pengelola.
Drh Sulaeman P Rejo melihat bahwa aspek kualitas inheren dengan harga, sehingga jika produk Vitamin, contohnya; dengan harga yang sangat murah dapat dipastikan aspek kualitas menjadi sesuatu yang patut untuk dipertanyakan.
Sebab sekarang ini ketika kompetisi pemasaran obat hewan demikian ketat, maka produsen bisa mematok harga yang sangat murah, sehingga mendekati harga yang kurang rasional.
”Vitamin untuk menggenjot produksi telur kok sangat murah sekali, bahkan dengan harga tepung, maka patut dipertanyakan apakah isi sebenarnya kandungan produk itu. Namun pada kenyataannya para peternak yang berbondong-bondong mencoba produk itu juga tidak sedikit,” keluh Sulaeman.
Barangkali, lanjut Sulaeman tanpa diberi produk vitamin yang termasuk katagori demikian itu ayam tetap berproduksi.
Namun Durrahman seorang peternak ayam potong justru punya pendapat yang berseberangan bahwa memang seharusnya produk vitamin untuk kepentingan produktivitas haruslah murah. Sehingga seseorang jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa produk itu kurang berkualitas apalagi menyatakan tidak berkualitas. Justru seharusnya produsen dituntut untuk membuat produk yang nyata hasilnya atau berkualitas tetapi tetap murah.
Janganlah produsen berdalih sebuah produk kurang berkualitas jika dijual dengan harga murah. Sebab pada dasarnya para peternak hampir semuanya berorientasi pada meraup keuntungan sebesar-besarnya tetapi dengan ongkos produksi yang serendah mungkin.
Betul juga Durrahman, jika sebuah produk obat hewan untuk kepentingan produktivitas di pasar dengan harga yang sangat murah menjadi banyak dipertanyakan, bagaimana dengan peran Lembaga Pemerintah yang bertugas menguji sebuah produk itu sebelum dipasarkan ke publik? Bukankah lembaga itu dibentuk oleh pemerintah salah satunya untuk melindungi publik agar tidak dijadikan korban?
Lain lagi pendapat Sulaeman yang dikuatkan oleh Drh Totok Jatmiko bahwa umumnya produk yang temasuk katagori murah itu biasanya tidak beregister, namun rantai pemasarannya demikian menggurita dan sulit untuk diputuskan.
Totok juga berujar, coba lihatlah di sentra-sentra ayam, seperti ayam petelur seperti di Blitar, Solo, Semarang ataupun ayam potong di Purwokerto dan Yogyakarta yang pola distribusi produk obat hewan illegal demikian kuat, realitas itu menjadi sangat sulit untuk dibenahi dan dicari sebuah kebenaran yang sebenar-benarnya.
Sedangkan Taufiq mencoba memberikan ilustrasi pola distribusi dan kualitas produk obat hewan untuk menggenjot produktivitas. Hubungan personal antara pihak peternak ataupun para pengelola/manajer farm di satu pihak dengan pemasar di pihak lain menjadi kunci kenapa produk yang murah itu begitu kuat di pasar padahal kualitasnya masih bisa diperdebatkan.
Eratnya hubungan yang demikian terjalin cukup lama, maka kepercayaan peternak sangat kuat dan tinggi, meski barangkali mungkin jika pemakaian produk itu dihentikan tidak akan berpengaruh pada penurunan produksi. Menjadi pekerjaan rumah bagi produsen yang tenaga pemasarnya umumnya muka-muka baru agar mampu membuktikan produknya mampu mendongkrak produktivitas, di samping membina hubungan personal yang intensif.
Harus diakui bahwa perilaku para tenaga pemasar saat ini, kurang mampu menjalin hubungan yang intens dengan para peternak. Barangkali beban berat tanggung jawab terhadap omset penjualan menyebabkan hal yang esensial itu kurang dibangun, padahal penjualan sebuah produk tidak bisa digantungkan hanya pada aspek kualitas semata, justru hubungan personal yang harus dikuatkan lebih dahulu.
Kondisi seperti ini memang sangat rumit, oleh karena kompetisi yang demikian ketat, maka perang bonus lebih dikedepankan daripada jalinan hubungan personal.
Totok sependapat dengan Taufiq bahwa jalinan komunikasi kurang kuat karena beban omset penjualan bulanan, di samping gempuran produk ilegal yang umumnya dipasarkan oleh para pemasar senior/muka lama. Terbatasnya waktu dan beban omset penjualan menjadi kendala utamanya.
”Aspek kualitas sudah di tangan, akan tetapi hubungan personal yang kurang kuat menyebabkan produk berkualitas kurang dapat diterima oleh para peternak. Di sisi lain perusahaan terus menekan dan mengejar untuk mendongkrak omset penjualan,” keluhnya.
Jika saja, lanjut Totok, lembaga yang berfungsi mengawasi peredaran obat hewan di pasar dapat lebih optimal menjalankan mekanisme kontrol dan pengawasan maka, sangat mungkin produk berkualitas rendah tidak laku di pasar. (iyo)

Broiler, Layer, Bisnis Obat dan OTT

KALIMANTAN TIMUR

Semenjak akhir Desember 2006 sampai dengan Maret 2007 kondisi perunggasan di Kalimantan Timur sangat tidak bagus, bahkan harga hasil produksi broiler sempat menyentuh harga terendah Rp. 3500/kg hidup.
“Padahal BEP nya sudah mencapai Rp 9000/kg. Perhitungan ini dengan harga DOC Rp 3500 ditambah pakan Rp 3400/kg,” kata Drh Sumarsongko, Ketua ASOHI Daerah Kalimantan Timur belum lama ini.
Sampai Agustus 2007, harga broiler sudah mencapai Rp. 9500. Bahkan pada bulan Juli sempat mencapai harga tertinggi yaitu Rp 11.500/kg hidup. Adapun untuk harga telur relatif stabil berkisar antara Rp 570–625 per butir.
Kalimantan Timur pada Agustus, bisa menghasilkan 55.000 s/d 62.000 ekor broiler per hari yang lebih dari 80% sudah dikuasai oleh grup integrator perusahaan besar.
“Adapun populasi ayam petelur kurang lebih hanya 700.000 ekor,” tutur Sumarsongko.

Kondisi Bisnis Obat Hewan
Dengan adanya situasi perunggasan seperti tersebut itu, Drh Sumarsongko menjelaskan obat hewan yang tidak mempunyai grup integrator mengalami kelesuan yang signifikan.
“Lain halnya dengan perusahaan obat hewan yang mempunyai grup kemitraan besar, untuk melayani intern saja kami rasa sudah lebih dari cukup untuk target omzet mereka,” katanya.
Menurutnya, adanya kondisi ini menimbulkan persaingan bisnis semakin tidak sehat, seperti jor-joran bonus, diskon, CN, bonus gelap, sleeping komisi dan lain-lain. Walaupun, hal tersebut adalah hak masing-masing perusahaan, namun demikian kondisi ini menurut kami sudah merupakan hal yang tidak wajar.
Belum lagi diperparah dengan beredarnya beberapa OTT yang dipakai oleh beberapa grup kemitraan, sehingga semakin mempersulit bagi perusahaan obat hewan yang di luar grup kemitraan.
Adapun dengan adanya perubahan sistem dari jaman Poultry Shop ke jaman Kemitraan/Integrator, maka baik langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi kondisi bisnis obat hewan, mengingat sebelumnya yang banyak berbisnis adalah Poultry Shop. Dengan hilangnya Poultry Shop maka implikasinya terhadap kegiatan pebisnis obat hewan dan pabrikan obat hewan sangat besar sekali.
Kegiatan bidang peternakan dan kesehatan di daerah ini antara lain di Expo Peternakan dan Produk Ikutannya serta sarana Pendukungnya di lapangan Milono Samarinda dalam rangka Bulan Bhakti Peternakan dan Kesehatan Hewan Agustus/September 2006. Pada acara tersebut diadakan juga vaksinasi gratis untuk Rabies dan AI
Kantor Peternakan Kota Samarinda dan Panitia Porwanas pun mengadakan kampanye Aman makan Ayam dan Telur bertempat di Tepian Mahakam dan stadion Madya Samarinda. ASOHI Kaltim bekerjasama dengan Media Kaltim Post, menyediakan ayam goreng gratis pada saat acara jalan santai sehat keluarga sejahtera. Ada pula promosi pakan Samsung Grup di Hotel Grand Victoria Samarinda. Ada pula kontes ternak se Kaltim.

OTT
Beberapa hal yang dijumpai di lapangan bisnis obat hewan antara lain masih ada beredar beberapa obat hewan non registrasi/OTT, beredar vitamin/ obat yang dibilang organik non registrasi.
Untuk itu Pengurus ASOHI Daerah Kaltim menyatakan perlu tindakan yang betul-betul kongkrit bagi perusahaan yang masih mengedarkan OTT/ non registrasi.
“Setiap kemasan obat perlu tercantum indikasi, komposisi, cara pemakaian, nomor registrasi dan masa kadaluarsa. Diperlukan aturan main yang jelas tentang Persaingan yang sehat. Dan, petugas dari kantor Pusat Perusahaan Obat Hewan kalaupun mau menetap dan meninggalkan daerah dengan etika yang baik, sosialisasi dari pusatnya perlu ditingkatkan,” papar Drh Sumarsongko.
Menurutnya, ASOHI sudah waktunya memberikan konsep pembangunan peternakan yang berkesinambungan, padat karya dan tangguh, khususnya yang menyangkut obat hewan, sehingga UMKM hidup kembali. (ASOHI/YR)

KIAT PETERNAK MENGGENJOT PRODUKTIVITAS YANG PAS

Di khazanah akademis dan teoritis, membincangkan produktivitas ayam maka adalah bagaimana memberikan pakan dan cara mengelola ayam yang sesuai dengan kebutuhan ayam itu sendiri. Setidaknya ada lebih dari 36 jenis nutrien bersifat esensial dan harus terkandung dengan konsentrasi dan keseimbangan yang optimal dalam pakan ayam, demikian pustaka atau literatur menyebutkan.
Pakan yang demikian itu dapat mendukung ayam tumbuh dan berproduksi juga ber reproduksi. Jika dikelompokkan nutiren itu meliputi Protein, Karbohidrat, Lemak, Vitamin, Mineral dan Air. Sehingga produktivitas akan diperoleh jika kebutuhan itu terpenuhi dan ayam dikelola dengan baik dan benar.
Memang kelihatannya jika dibuat sebuah kalimat himbauan menjadi sangat sederhana dan mudah dipahami bagi awam. Namun sebaliknya di dunia praksis atau lapangan para peternak atau pengelola memandang persolaannya tidak sesederhana itu. Terlalu kompleks persoalannya. Interaksi antar faktor teknis dan non teknis menjadikan hal itu terus membelit perunggasan domestik.
Bicara kandungan protein dalm pakan saja, tidak akan lepas dari 20 buah asam amino. Juga kemudian mahalnya asam amino jenis tertentu, maka tentu saja langsung terkait dengan kualitas pakan dan juga harga.
Harga pakan kemudian berujung pada ongkos produksi budi daya. Padahal budi daya muaranya adalah mencari selisih antara biaya produksi dan harga jual alias keuntungan.
Banyak peternak menempuh jalan termurah agar produktivitas terjaga tetapi ongkosnya rendah. Di tengah himpitan dan tekanan harga pakan yang terus merangkak naik, maka aneka kiat ditempuh.
Ada yang mencampur dan membuat formula pakan sendiri, ada pula yang tetap menggunakan pakan pabrikan tetapi dengan mengkombinasikan dengan pakan formulanya sendiri.
Ada juga yang dengan upaya lain seperti memberikan zat pemacu pertumbuhan, juga memakai ramuan tradisional dalam rangka memelihara stamina ayam dan menggenjot produktivitas.
Menurut Durrahman ramuan tradisional seperti jamu godhogan di samping mampu menjaga kondisi kesehatan ayam ternyata mampu mendongkrak pertumbuhan ayam potong.
Durrahman tidak tertarik memakai zat pemacu pertumbuhan karena selain harganya yang tidak murah, juga karena lebih sreg dengan jamu godhogan. Hasil beberapa periode pemeliharaan ayam potong yang diberikan minuman jamu godhogan tidak hanya memberikan hasil nyata ayam lebih sehat saja tetapi juga pertumbuhan lebih baik.
Durrahman memang tidak melakukan penelitian namun atas dasar pengalaman empirisnya memelihara ayam potong yang diberi perlakuan air minum jamu godhogan memberikan hasil lebih baik. Ini memang masih bisa diperdebatkan, namun Durrahman bersikukuh dengan dalih dan alasan punya keyakinan dari pengalamannya.
”Orang lain boleh tidak percaya dengan cara saya berternak, karena saya juga tidak berniat menganjurkan, namun hasil yang saya lakukan merupakan bukti nyata,” ujarnya.
Adapun jamu tradisional yang ia gunakan adalah jenis ramuan tradisional yang diambil dari aneka daun-daunan berbagai tumbuhan, biji-bijian dan akar serta batang yang kemudian ia masukkan dalam sebuah drum besar kapasitas 200 liter.
Ditambah air sekitar 150 liter lalu dimasak selama 3-5 jam. Selanjutnya disaring dan kemudian diberikan sebagai air minum ternak selama 10 hari terakhir sebelum panen.
Menurut Durrahman ramuan itu ia peroleh dari nenek moyang yang biasa digunakan sebagai ramuan untuk manusia. Sebenarnya di pasaran sudah tersedia bungkusan atau kemasan jamu godhogan yang siap untuk dimasak.
Sehingga jika peternak mau mencoba, lanjut Durrahman bisa membeli saja tanpa harus mencari bahan baku itu di hutan. Mari kita buktikan kiat Durrahman itu.

Asam Amino Esensial

Berbicara 20 jenis asam amino itu setidaknya ada 10 jenis yang amino essensial. Artinya untuk kebutuhan sebuah pertumbuhan dan produksi serta reproduksi 10 jenis itu sangat mutlak ada.
Drh Haji Taufiq Junaedi MMA yang bergerak dalam disribusi obat hewan di Yogyakarta serta kenyang pahit-getir perunggasan menjelaskan bahwa pada ransum yang berbahan baku jagung dan bungkil kedelai meski sudah mengandung aneka asam amino atau kaya dengan protein saja harus ada tambahan asam amino jenis metionin.
Ini berarti jika sebuah sumber pustaka mensyaratkan produktivitas ayam pada faktor pakan dan kualitas budi daya, maka sebenarnya sangat kompleks sekali mikro faktornya.
Idealnya produk pakan ayam memang sudah mengandung aneka nutrien yang pas untuk sebuah produksi. Namun, hal itu menjadi rumit untuk diwujudkan oleh karena kualitas pakan sendiri dari pabrik harus melalui jalur distribusi dan penyimpanan.
Hal demikianlah salah satu faktor yang menyebabkan tidak terpenuhi syarat-syarat untuk sebuah produksi. Berkurangnya atau hilangnya beberapa nutrien dari pabrik menuju ke kandang tidak bisa dihindarkan.
Oleh karena itu maka akhirnya, para pelaku budidaya tidak akan bisa melepaskan begitu saja dari tambahan nutiren dari pakan produksi pabrikan. Artinya pemberian aneka nutiren termasuk vitamin dan mineral menjadi syarat mutlak jika menginginkan sebuah produktivitas yang ideal optimal.
Realitas lapangan memang ”multi kompleks”. Kata itu menurut Taufiq untuk menunjukkan bahwa sangat amat banyak variabel dan faktor yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, sangat penting sekali akademisi dan para pakar peneliti turun ke lapangan agar para peternak mendapatkan pencerahan dan mampu membantu mengurai problema produktivitas ayam.
Sedangkan yang terkait dengan pemakaian obat hewan dari golongan antibiotika, menurutnya jauh lebih mengkhawatirkan lagi. Berondongan dan gelontoran pemakaian preparat antibiotika di lapangan di Indonesia terutama pada peternakan komersial skala menengah dan kecil.
Hampir tidak bisa dibantah, menurut Taufiq pemakaian preparat itu tidak terkontrol oleh siapapun termasuk lembaga pemerintah yang sebenarnya mempunyai wewenang untuk hal itu. Yang mampu mengontrol tidak lain hanya pasar internasional. Sehingga sangat wajar dan dapat dimaklumi produk perunggasan Indonesia sangat sedikit yang mampu menembus pasar global.
Realitas lapangan peternak menggunakan preparat itu kapan saja ketika ayamnya sakit, tidak pernah mempertimbangkan batas waktu pemberian dan waktu henti obat yang penting ayam dalam jangka pendek selamat. Akhirnya pasti dalam jangka panjang akan muncul masalah resistensi dan tentu tingginya kandungan residu dalam produk unggas.
”Menurut saya aspek pengawasan pemakaian preparat antibiotika dan sulfa di peternakan komersial skala menengah dan kecil sudah menakutkan dan bahkan melewati lampu merah,” jelasnya.
Dengan nada prihatin ia menambahkan, ”Konsumen produk unggas domestik harus dilindungi agar tidak menambah parah problematik negeri ini. Sebab jika didiamkan dan tidak dihentikan kengawuran itu bukan tidak mungkin justru produk unggas domestik, nantinya tidak akan laku di negeri sendiri apalagi diekspor. Jika demikian, maka serbuan produk unggas sudah pasti akan masuk dengan sendirinya. (iyo)

MEMBUAT OBAT HEWAN YANG BAIK

Untuk mengatur seluruh proses produksi dan kontrol kualitas obat hewan secara baik dan benar sehingga dihasilkan suatu produk akhir obat hewan yang aman dan berkualitas diperlukan: Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).

Demikian Drh Sumadi, MSi Tim Inspeksi dan Penilaian Penerapan CPOHB Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian pada Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan Hotel Menara Peninsula Jakarta 5-6 September 2006.

Dasar dari hal tersebut adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 1992 Tentang Obat Hewan, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 466 Tahun 1999 tentang Pedoman CPOHB, Keputusan DirJenNak Nomor 247 Departemen Pertanian Tahun 1999 Tentang Petunjuk Operasional Penerapan CPOHB dan Farmakope Obat Hewan Indonesia.

Disampaikan Drh Sumadi, pengawasan seluruh proses produksi (CPOHB) menjamin obat hewan bermutu tinggi. Mutu obat hewan tergantung pada bahan awal, cara produksi, cara pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia serta terkendali cara produksi dan pemantauannya.

Adapun, CPOHB bertujuan agar sifat dan mutu obat hewan yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan atau standar mutu yang ditetapkan.

Drh Sumadi juga menjelaskan bahan awal dari obat hewan mempunyai ketentuan penandaan Master Seed Virus/Bakteri harus jelas. Adapun, setiap kiriman bahan awal harus ditimbang dan diperiksa secara visual (kondisi fisik, kemasan, kebocoran dan kerusakan). Penyimpanan bahan awal harus sesuai dengan aturan (kondisi/suhu).

Selanjutnya, pengeluaran bahan awal harus ditimbang dan hanya boleh petugas yang berwenang. Pemasukan, pengeluaran dan sisa harus tercatat. Harus ada juga: Sertifikat Analisa.

Lokasi dan bangunan guna pembuatan obat hewan pun diatur. Lokasi bangunan harus dapat mencegah pencemaran udara, debu dan air. Gedung dibangun dan dipelihara agar terlindung dari pengaruh cuaca, banjir, rembesan air dan bersarangnya binatang pengganggu, dan berbagai persyaratan lainnya.

Soal bangunan, kriterianya antara lain untuk administrasi, gudang bahan awal, ruang Produksi, Ruang Pengujian Mutu, Ruang Pencucian dan Sterilisasi Peralatan Gelas, Gudang Produk Jadi, Stasiun LPG, Generator Set, Pengolahan Air Bersih, Pengolahan Limbah /Waste Water Treatment, Kandang hewan Percobaan.

Ada pula pengaturan ruangan dengan rancang bangun dan penataan ruangan mencegah terjadinya campur baur produk, memisahkan pengolahan produk biologik dan farmasetik, memisahkan ruangan untuk penyimpanan bahan awal, bahan dan alat kebersihan, produksi, pengujian mutu dan gudang produk jadi dan lain sebagainya.

Adapun peralatan antara lain peralatan utama dengan jenis, spesifikasi, jumlah, pemasangan, penempatan, pemeliharaan, kalibrasi. Soal personalia jumlahnya sesuai kebutuhan dengan kualifikasi pendidikan formal, pelatihan training (produksi, CPOHB), workshop, kesehatan program pemeriksaan kesehatan dan loyalitas (sikap, dedikasi dan kesadaran).

Sanitasi dan higiene antara lain meliputi personalia (program pemeriksaan kesehatan karyawan), bangunan (Bahan, bentuk) (mudah dibersihkan dan desinfeksi), peralatan (mudah dibersihkan dan desinfeksi dan disterilkan), bahan produksi (terutama Seed Vaksin jangan sampai terlepas keluar lingkungan pabrik) dan lain-lain.

Sistim produksi dirancang untuk menjamin obat hewan diproduksi dengan mutu dan jumlah yang benar sesuai dengan SOP. Jenis Produk antara lain Produk Biologik, Vaksin Bakteri aktif, inaktif, Antigen dan Antisera. Vaksin Virus antara lain Vaksin Virus aktif, inaktif, dan Antigen Antisera. Produk Farmasetik dan Premiks antara lain Steril dan Infuse, serta Non Steril (Oral, Topikal, salep dan lain-lain)

Selanjutnya banyak lagi persyaratan diperlukan untuk pembuatan obat hewan yang baik seperti tugas Lain produksi, , proses produksi, pengawasan umum, inspeksi internal, tindak lanjut bahkan juga penanganan hasil pengamatan, keluhan dan penarikkan kembali obat hewan yang beredar serta dokumentasi serta alur penerbitan sertifikat CPOHB.

Kiranya sekilas Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik ini bermanfaat bagi semua pembaca untuk semakin yakin bagaimana obat untuk kesehatan ternak itu betul-betul obat yang dibuat secara standar terbaik. (YR)

MENGUJI MUTU OBAT HEWAN

Anggaran Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP ) tahun 2007 adalah sebesar Rp 9,1 M. Tahun 2006 sebesar Rp 19,1 M (Pergantian alat 9M). Tahun 2005 sebesar Rp 6,8 M. Tahun 2004 sebesar Rp 5,0 M. Dan, tahun 2003 adalah sebesar Rp 4,5 M.

Berapa rencana anggaran tahun 2008? Rp 11,9 M (sekali lagi: Rencana). Demikian diungkap Drh H Agus Heriyanto MPhil Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor, belum lama ini.

Drh Agus Heriyanto pun menguraikan rencana kerja 2007–2009 Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor? Di antaranya pemantapan pengujian mutu berupa audit internal dan akreditasi ISO-17025 2005 dan perbaikan sarana /prasarana pengujian.

Lalu, pengembangan dan penataan SDM melalui pelatihan dan pendidikan dan pengembangan teknik pengujian dan pelayanan berupa kerjasama kelembagaan antar instansi, swasta dan luar negeri.

Kemudian, pengembangan lababoratorium biotek pengujian untuk penyakit eksotik dan lintas batas serta dan pengembangan kerjasama nassional dan internasional obat hewan.

Kepentingan pembaca untuk mengetahui hal tersebut adalah mengingat Laboratorium Pengujian Mutu Dan Sertifikasi Obat Hewan di Gunungsindur Bogor merupakan lembaga pemerintah (baca: negara) yang dibentuk dalam rangka pengawasan mutu obat hewan berdasar berdasar SK Mentan NO 328/KPTS/TH.260/4/1985. Sekaligus untuk mengetahui secara pasti bahwa obat hewan yang beredar merupakan obat yang terjamin mutunya karena memang dibuat dan diuji secara ketat.

Berdasar perundangan tersebut, obat hewan yang akan diedarkan harus telah lulus pengujian mutu yang dilakukan dalam rangka pengujian. Lalu, obat hewan yang telah terdaftar dapat diuji kembali mutunya setiap waktu.

Di situ ada tata syarat dan tata cara pengujian dalam rangka pendaftaran obat hewan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

Pengujian mutu obat hewan ini dilakukan berdasarkan standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Adapun pengujian mutu obat hewan dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Menteri yaitu BBPMSOH.

Tentang biaya yang diperlukan untuk pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan dibebankan kepada pemilik obat hewan dan besarnya ditetapkan oleh menteri. Tata cara pemungutan dan besarnya biaya pendaftaran ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Biaya pendaftaran merupakan pendapatan negara dan harus disetor ke kas negara

SK Mentan tersebut merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah RI No 78 Th 1992 Tentang Obat Hewan Bab IV. Pendaftaran dan Pengujian Mutu Obat Hewan Pasal 12.

Juga pelaksanaan dari PP No 15 Tahun 1977 dan PP No 7 Tahun 2004, Menteri mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tindakan-tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit hewan

Lalu hukum yang lebih tinggi adalah Undang-Undang Negara Republik Indonesia, tepatnya UU No 6/1967 di mana dinyatakan pengobatan penyakit hewan meliputi usaha-usaha pengawasan dan pemeriksaan hewan, penyediaan obat obatan dan imun-sera oleh pemerintah dan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, serta urusan-urusan pemakaian obat obatan dan imun-sera.

Adapun, menurut Undang-Undang, pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi pembuatan, persediaan, peredaran serta pemakaiannya. Serta, mengadakan penyelidikan penyelidikan ilmiah bahan bahan obat obatan hewani.

Tugas pokok BBPMSOH adalah melaksanakan pengujian mutu, sertifikasi, pengkajian dan pemantauan obat hewan.

Sedangkan fungsinya adalah: menguji mutu obat hewan, sertifikasi, mengkaji obat hewan, memantau obat hewan yang beredar, mengamankan hasil pengujian mutu obat hewan, mengembangkan teknik dan metode pengujian mutu, memberi pelayanan teknik kegiatan pengujian mutu dan pengkajian obat hewan, serta mengelola limbah pengujian mutu obat hewan.

Jenis pengujian obat hewan yang dilakukan di BBPMSOH adalah pengujian biologik, pengujian farmasetik, pengujian peremix, pengujian obat alami dan obat ikan, vaksin viral, vaksin bakterial, antigen, antisera, serta antibiotika, vitamin, hormon, antipiretik, anastetika, kemoterapeutik, antihistamin, feed suplemen dan feed additive.

Untuk menguji sediaan biologik, dilakukan uji umum berupa fisik, kemurnian, kevakuman, sterilitas, kontaminasi (Mycoplasma, Salmonella, jamur), dan kadar air. Adapun uji khusus meliputi keamanan, inaktivasi, potensi, identitas, kandungan virus, kandungan bakteri/spora dan toksisitas abnormal.

Sementara itu, pengujian sediaan farmasetik dan premiks secara umum meliputi pengujian fisik, pH, kadar air, toksisitas abnormal, sterilitas, pirogenitas. Adapun secara khusus meliputi identitas, hayati (antibiotika) dan kadar (obat umum).

Adapun pengujian sampel obat hewan dalam rangka sertifikasi, pengujian sampel berasal dari daerah (dinas). Atau, pengujian sample berasal dari kegiatan pemantauan pengujian sampel berasal dari kegiatan pengkajian sertifikasi obat hewan yang diterbitkan tahun 2006 dan kegiatan pengujian vaksin bakteri untuk unggas tahun 2006.

Drh H Agus Heriyanto MPhil mengakui ada beberapa masalah yang diidentifikasi, namun tetap ada faktor kunci keberhasilan BBPMSOH. Yaitu, perluasan tugas pokok dan fungsi balai, upaya peningkatan SDM, birokrasi dan rantai perijinan diperpendek serta sederhana, meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan, meningkatkan mutu kegiatan teknis sesuai standar internasional (SNI 19-17025-2005), meningkatkan sosialisasi tentang sertifikasi dan mutu obat hewan, memantapkan Perencanaan dan Program Kerja

Untuk itu, langkah upaya pengembangan dalam jangka pendek meliputi peremajaan alat-alat pengujian, pelatihan tenaga penguji teknis dan non teknis, memperbaiki sistem mutu dan lababoratorium bioteknologi, membangun jejaring dengan Unit Pelayanan Teknis dan instansi lain.

Sedangkan, dalam jangka panjang, Drh Agus menyatakan Balai Besar diproyeksikan sebagai pusat pengujian dan pengawas obat hewan. Adakah semua kalangan peternakan dan kesehatan hewan merasakan manfaatnya? Rasanya, tentu. Dan semoga semakin ditingkatkan! (ASOHI/ YR)




OBAT HEWAN DAN KARANTINA

Masuknya telur ilegal dari Malaysia ke Pulau Batam sangat mengkuatirkan para peternak di Sumatera Utara mengingat pada priode Mei-Juni negara tetangga Malaysia kembali mengalami Out Break sehingga dikuatirkan membawa dampak yang sangat serius bagi provinsi Sumatera Utara. Masyarakat peternakan dan kesehatan hewan Sumut pun melaksanakan kunjungan ke Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) bekerja sama dengan Karantina (Desember 2006) setempat.
Sementara itu disampaikan oleh Ismaeni Pengurus ASOHI Daerah Sumatera Selatan belum lama ini, dalam menghadapi penularan virus Avian Influenza pada unggas, masyarakat peternakan dan kesehatan hewan di antaranya ASOHI Sumsel bekerjasama dengan Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Selatan melakukan sosialisasi penanganan AI. Dilakukan kunjungan ke peternakan rakyat disertai penyuluhan/informasi bagaimana beternak yang baik.
Informasi yang disampaikan lebih fokus kepada management kesehatan ternak unggas, termasuk himbauan kepada peternak unggas agar memberikan laporan secara rutin mengenai kondisi kesehatan ternak. Penularan AI tersebut pun sangat terkait dengan lalu lintas ternak dan karantinanya.
Seminar “Lalulintas Ternak dan Sediaan Biologik” pun diselenggarakan pada 2006 oleh Balai Karantina Hewan dengan mengundang ASOHI Sumsel sebagai pembicara. Adapun vaksinasi ND pun dilakukan untuk peternak rakyat (buras) di desa Talang Ilir Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Kegiatan dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan diakhiri dengan pelaksanaan vaksinasi ayam buras milik peternak rakyat.

Tindakan Karantina
Begitulah, tindakan karantina sangat penting terkait lalu lintas biologik produk terkait hewan. Drh Agus Sunanto dari Pusat Karantina Hewan Badan Karantina Pertanian pun menyampaikan dasar-dasar hukum dari tindakan karantina hewan di Indonesia pada Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan yang diselenggarakan ASOHI di Jakarta 5-6 September 2007.
Dasar Hukum itu antara lain Undang-undang RI Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Karantina Ikan, Karantina Tumbuhan, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan, PP 49/ 2002 juncto PP 7/ 2003 tentang perubahan atas tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Lalu, Permentan No. 62/Permentan/ 0T.140/12/2006 tentang pengawasan dan tindakan karantina terhadap pemasukan bahan patogen dan atau obat hewan golongan sediaan biologik dan ketentuan lain terkait lalu lintas hewan.
Indonesia sendiri mempunyai Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan antara lain 2 Balai Besar Karantina Hewan (Soekarno Hatta dan Tanjung Perak, 8 BKH Kelas I, 4 BKH Kelas Ii, 5 Stasiun Kelas I, 20 Stasiun Kelas Ii, 1 Karantina Hewan Otorita Batam, 265 Wilker di Seluruh Indonesia, dan 595 Exit/Entri Point Di Indonesia
Menurut perundangan tersebut, untuk pengawasan, bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha. Pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik hanya dapat dilakukan apabila penyakitnya telah ada di Indonesia.
Badan usaha yang akan memasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri harus memiliki Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) yang diterbitkan oleh Menteri.
Untuk pemasukan bahan biologik selain memiliki SPP juga harus memiliki nomor pendaftaran obat hewan. Badan usaha yang akan memasukan bahan biologik untuk kepentingan penelitian, pengujian diagnostik atau pendidikan terlebih dahulu harus mendapat izin dari Menteri.
Tindakan Karantina yang diberlakukan adalah, Bahan patogen dan/atau bahan biologik yang dimasukkan harus dilengkapi surat keterangan asal yang diterbitkan oleh produsen, tempat pengumpulan atau pengolahan dari negara asalnya; dilengkapi SPP; melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina ditempat pemasukan; dilakukan metode pengamanan untuk menjamin bahan patogen dan/atau bahan biologik tidak menyebarkan HPHK serta mencegah terjadinya kerusakan, kebocoran dan kontaminasi.
Tempat-tempat pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri yaitu: Bandar Udara Soekarno-Hatta Cengkareng, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Bandar Udara Juanda, Pelabuhan Tajung Perak, Surabaya.
Setiap pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dilakukan tindakan karantina berupa pemeriksaan yaitu pemeriksaan keabsahan, kebenaran dan kecocokan antara dokumen yang menyertainya dengan kemasan bahan patogen dan/atau bahan biologik yang tercantum dalam Air Way Bill atau Bill of Lading.
Hasil pemeriksaan yang telah memenuhi syarat dan tidak meragukan, diterbitkan sertifikat pelepasan karantina oleh petugas karantina setempat. Apabila hasil pemeriksaan ditemukan adanya ketidaksesuaian atau diragukan kebenaran dan keabsahannya atau terdapat kerusakan kemasan, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik isi kemasan koli atau palet secara sampling.
Apabila hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan penyimpangan, diterbitkan sertifikat pelepasan. Apabila hasil pemeriksaan fisik ditemukan penyimpangan, dilakukan penolakan atau pemusnahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila hasil pemeriksaan dokumen ditemukan adanya ketidaksesuaian atau diragukan kebenaran dan keabsahannya atau penyimpangan petugas karantina paling lambat dalam jangka waktu 2 x 24 jam harus melaporkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan setempat.
Untuk memperoleh sertifikat pelepasan atau surat keterangan pengeluaran pemilik/kuasa pemilik wajib membayar jasa tindakan karantina berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Pertanian, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2004.
Pemasukan obat hewan dalam bentuk sediaan farmasetik dan premiks sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan tidak dikenakan tindakan karantina, karena tidak termasuk sebagai media pembawa HPHK

ASOHI dan Karantina
Tindakan Karantina terhadap obat hewan hanya dilakukan pada Sediaan Biologik. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No 62 tahun 2006 yang merupakan hasil diskusi yang berkesinambungan antara ASOHI dengan Pusat Karantina Hewan dan Direktur Kesehatan Hewan.
Untuk mengawal pelaksanaan Permentan ini ASOHI membentuk team karantina ASOHI yang dipimpin oleh Ir Teddy Candinegara. Team karantina ASOHI melakukan sosialisasi pada anggota melalui Program Temu Anggota ASOHI. Kerja team terus berlanjut bersama Pusat Karantina Hewan untuk menyiapkan rancangan Petunjuk Pelaksanaan teknis yang sejiwa dengan Permentan tersebut.
Kegiatan penting mengenai tindakan karantina di antaranya yang dilakukan oleh ASOHI antara lain Sosialisasi Permentan Tindak Karantina, 18 Desember 2006. Pertemuan ini diadakan dalam sosialisasi permentan tersebut kepada pihak yang berkepentingan khususnya ASOHI. Pertemuan menghasilkan kesepakatan bahwa ASOHI dan karantina akan membentuk tim pamantau berlakunya Permentan ini agar berjalan lancar sesuai dengan aturan yang berlaku.
Yang lainnya antara lain Pembentukan Tim Pemantau Pelaksanaan Permentan, Pertemuan Forum Komunikasi Pengguna Jasa Karantina Hewan, Surat ASOHI Perihal Implementasi Permentan, 10 April 2007.
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 62/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pengawasan dan Tindakan Karantina terhadap Pemasukan Bahan Patogen dan/atau Obat Hewan Golongan Sediaan Biologik serta Penyusunan Juklak Tindakan Karantina Hewan terhadap Sediaan Biologik dan Bahan Patologik, 23 Juni 2007 diselenggarakan rapat penyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) tindakan karantina terhadap sediaan biologik dan bahan patogen
Ketua Tim Karantina ASOHI Ir. Teddy Candinegara hadir pada acara yang dihadiri Kepala Pusat Karantina Hewan, Kepala Balai Besar Karantina Hewan, BBPMSOH, Eselon III Karantina Hewan, UPT Karantina Hewan dan Undangan lain. (ASOHI/YR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer