Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEMBUAT OBAT HEWAN YANG BAIK

Untuk mengatur seluruh proses produksi dan kontrol kualitas obat hewan secara baik dan benar sehingga dihasilkan suatu produk akhir obat hewan yang aman dan berkualitas diperlukan: Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).

Demikian Drh Sumadi, MSi Tim Inspeksi dan Penilaian Penerapan CPOHB Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian pada Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan Hotel Menara Peninsula Jakarta 5-6 September 2006.

Dasar dari hal tersebut adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 1992 Tentang Obat Hewan, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 466 Tahun 1999 tentang Pedoman CPOHB, Keputusan DirJenNak Nomor 247 Departemen Pertanian Tahun 1999 Tentang Petunjuk Operasional Penerapan CPOHB dan Farmakope Obat Hewan Indonesia.

Disampaikan Drh Sumadi, pengawasan seluruh proses produksi (CPOHB) menjamin obat hewan bermutu tinggi. Mutu obat hewan tergantung pada bahan awal, cara produksi, cara pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia serta terkendali cara produksi dan pemantauannya.

Adapun, CPOHB bertujuan agar sifat dan mutu obat hewan yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan atau standar mutu yang ditetapkan.

Drh Sumadi juga menjelaskan bahan awal dari obat hewan mempunyai ketentuan penandaan Master Seed Virus/Bakteri harus jelas. Adapun, setiap kiriman bahan awal harus ditimbang dan diperiksa secara visual (kondisi fisik, kemasan, kebocoran dan kerusakan). Penyimpanan bahan awal harus sesuai dengan aturan (kondisi/suhu).

Selanjutnya, pengeluaran bahan awal harus ditimbang dan hanya boleh petugas yang berwenang. Pemasukan, pengeluaran dan sisa harus tercatat. Harus ada juga: Sertifikat Analisa.

Lokasi dan bangunan guna pembuatan obat hewan pun diatur. Lokasi bangunan harus dapat mencegah pencemaran udara, debu dan air. Gedung dibangun dan dipelihara agar terlindung dari pengaruh cuaca, banjir, rembesan air dan bersarangnya binatang pengganggu, dan berbagai persyaratan lainnya.

Soal bangunan, kriterianya antara lain untuk administrasi, gudang bahan awal, ruang Produksi, Ruang Pengujian Mutu, Ruang Pencucian dan Sterilisasi Peralatan Gelas, Gudang Produk Jadi, Stasiun LPG, Generator Set, Pengolahan Air Bersih, Pengolahan Limbah /Waste Water Treatment, Kandang hewan Percobaan.

Ada pula pengaturan ruangan dengan rancang bangun dan penataan ruangan mencegah terjadinya campur baur produk, memisahkan pengolahan produk biologik dan farmasetik, memisahkan ruangan untuk penyimpanan bahan awal, bahan dan alat kebersihan, produksi, pengujian mutu dan gudang produk jadi dan lain sebagainya.

Adapun peralatan antara lain peralatan utama dengan jenis, spesifikasi, jumlah, pemasangan, penempatan, pemeliharaan, kalibrasi. Soal personalia jumlahnya sesuai kebutuhan dengan kualifikasi pendidikan formal, pelatihan training (produksi, CPOHB), workshop, kesehatan program pemeriksaan kesehatan dan loyalitas (sikap, dedikasi dan kesadaran).

Sanitasi dan higiene antara lain meliputi personalia (program pemeriksaan kesehatan karyawan), bangunan (Bahan, bentuk) (mudah dibersihkan dan desinfeksi), peralatan (mudah dibersihkan dan desinfeksi dan disterilkan), bahan produksi (terutama Seed Vaksin jangan sampai terlepas keluar lingkungan pabrik) dan lain-lain.

Sistim produksi dirancang untuk menjamin obat hewan diproduksi dengan mutu dan jumlah yang benar sesuai dengan SOP. Jenis Produk antara lain Produk Biologik, Vaksin Bakteri aktif, inaktif, Antigen dan Antisera. Vaksin Virus antara lain Vaksin Virus aktif, inaktif, dan Antigen Antisera. Produk Farmasetik dan Premiks antara lain Steril dan Infuse, serta Non Steril (Oral, Topikal, salep dan lain-lain)

Selanjutnya banyak lagi persyaratan diperlukan untuk pembuatan obat hewan yang baik seperti tugas Lain produksi, , proses produksi, pengawasan umum, inspeksi internal, tindak lanjut bahkan juga penanganan hasil pengamatan, keluhan dan penarikkan kembali obat hewan yang beredar serta dokumentasi serta alur penerbitan sertifikat CPOHB.

Kiranya sekilas Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik ini bermanfaat bagi semua pembaca untuk semakin yakin bagaimana obat untuk kesehatan ternak itu betul-betul obat yang dibuat secara standar terbaik. (YR)

MENGUJI MUTU OBAT HEWAN

Anggaran Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP ) tahun 2007 adalah sebesar Rp 9,1 M. Tahun 2006 sebesar Rp 19,1 M (Pergantian alat 9M). Tahun 2005 sebesar Rp 6,8 M. Tahun 2004 sebesar Rp 5,0 M. Dan, tahun 2003 adalah sebesar Rp 4,5 M.

Berapa rencana anggaran tahun 2008? Rp 11,9 M (sekali lagi: Rencana). Demikian diungkap Drh H Agus Heriyanto MPhil Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor, belum lama ini.

Drh Agus Heriyanto pun menguraikan rencana kerja 2007–2009 Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor? Di antaranya pemantapan pengujian mutu berupa audit internal dan akreditasi ISO-17025 2005 dan perbaikan sarana /prasarana pengujian.

Lalu, pengembangan dan penataan SDM melalui pelatihan dan pendidikan dan pengembangan teknik pengujian dan pelayanan berupa kerjasama kelembagaan antar instansi, swasta dan luar negeri.

Kemudian, pengembangan lababoratorium biotek pengujian untuk penyakit eksotik dan lintas batas serta dan pengembangan kerjasama nassional dan internasional obat hewan.

Kepentingan pembaca untuk mengetahui hal tersebut adalah mengingat Laboratorium Pengujian Mutu Dan Sertifikasi Obat Hewan di Gunungsindur Bogor merupakan lembaga pemerintah (baca: negara) yang dibentuk dalam rangka pengawasan mutu obat hewan berdasar berdasar SK Mentan NO 328/KPTS/TH.260/4/1985. Sekaligus untuk mengetahui secara pasti bahwa obat hewan yang beredar merupakan obat yang terjamin mutunya karena memang dibuat dan diuji secara ketat.

Berdasar perundangan tersebut, obat hewan yang akan diedarkan harus telah lulus pengujian mutu yang dilakukan dalam rangka pengujian. Lalu, obat hewan yang telah terdaftar dapat diuji kembali mutunya setiap waktu.

Di situ ada tata syarat dan tata cara pengujian dalam rangka pendaftaran obat hewan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

Pengujian mutu obat hewan ini dilakukan berdasarkan standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Adapun pengujian mutu obat hewan dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Menteri yaitu BBPMSOH.

Tentang biaya yang diperlukan untuk pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan dibebankan kepada pemilik obat hewan dan besarnya ditetapkan oleh menteri. Tata cara pemungutan dan besarnya biaya pendaftaran ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Biaya pendaftaran merupakan pendapatan negara dan harus disetor ke kas negara

SK Mentan tersebut merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah RI No 78 Th 1992 Tentang Obat Hewan Bab IV. Pendaftaran dan Pengujian Mutu Obat Hewan Pasal 12.

Juga pelaksanaan dari PP No 15 Tahun 1977 dan PP No 7 Tahun 2004, Menteri mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tindakan-tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit hewan

Lalu hukum yang lebih tinggi adalah Undang-Undang Negara Republik Indonesia, tepatnya UU No 6/1967 di mana dinyatakan pengobatan penyakit hewan meliputi usaha-usaha pengawasan dan pemeriksaan hewan, penyediaan obat obatan dan imun-sera oleh pemerintah dan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, serta urusan-urusan pemakaian obat obatan dan imun-sera.

Adapun, menurut Undang-Undang, pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi pembuatan, persediaan, peredaran serta pemakaiannya. Serta, mengadakan penyelidikan penyelidikan ilmiah bahan bahan obat obatan hewani.

Tugas pokok BBPMSOH adalah melaksanakan pengujian mutu, sertifikasi, pengkajian dan pemantauan obat hewan.

Sedangkan fungsinya adalah: menguji mutu obat hewan, sertifikasi, mengkaji obat hewan, memantau obat hewan yang beredar, mengamankan hasil pengujian mutu obat hewan, mengembangkan teknik dan metode pengujian mutu, memberi pelayanan teknik kegiatan pengujian mutu dan pengkajian obat hewan, serta mengelola limbah pengujian mutu obat hewan.

Jenis pengujian obat hewan yang dilakukan di BBPMSOH adalah pengujian biologik, pengujian farmasetik, pengujian peremix, pengujian obat alami dan obat ikan, vaksin viral, vaksin bakterial, antigen, antisera, serta antibiotika, vitamin, hormon, antipiretik, anastetika, kemoterapeutik, antihistamin, feed suplemen dan feed additive.

Untuk menguji sediaan biologik, dilakukan uji umum berupa fisik, kemurnian, kevakuman, sterilitas, kontaminasi (Mycoplasma, Salmonella, jamur), dan kadar air. Adapun uji khusus meliputi keamanan, inaktivasi, potensi, identitas, kandungan virus, kandungan bakteri/spora dan toksisitas abnormal.

Sementara itu, pengujian sediaan farmasetik dan premiks secara umum meliputi pengujian fisik, pH, kadar air, toksisitas abnormal, sterilitas, pirogenitas. Adapun secara khusus meliputi identitas, hayati (antibiotika) dan kadar (obat umum).

Adapun pengujian sampel obat hewan dalam rangka sertifikasi, pengujian sampel berasal dari daerah (dinas). Atau, pengujian sample berasal dari kegiatan pemantauan pengujian sampel berasal dari kegiatan pengkajian sertifikasi obat hewan yang diterbitkan tahun 2006 dan kegiatan pengujian vaksin bakteri untuk unggas tahun 2006.

Drh H Agus Heriyanto MPhil mengakui ada beberapa masalah yang diidentifikasi, namun tetap ada faktor kunci keberhasilan BBPMSOH. Yaitu, perluasan tugas pokok dan fungsi balai, upaya peningkatan SDM, birokrasi dan rantai perijinan diperpendek serta sederhana, meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan, meningkatkan mutu kegiatan teknis sesuai standar internasional (SNI 19-17025-2005), meningkatkan sosialisasi tentang sertifikasi dan mutu obat hewan, memantapkan Perencanaan dan Program Kerja

Untuk itu, langkah upaya pengembangan dalam jangka pendek meliputi peremajaan alat-alat pengujian, pelatihan tenaga penguji teknis dan non teknis, memperbaiki sistem mutu dan lababoratorium bioteknologi, membangun jejaring dengan Unit Pelayanan Teknis dan instansi lain.

Sedangkan, dalam jangka panjang, Drh Agus menyatakan Balai Besar diproyeksikan sebagai pusat pengujian dan pengawas obat hewan. Adakah semua kalangan peternakan dan kesehatan hewan merasakan manfaatnya? Rasanya, tentu. Dan semoga semakin ditingkatkan! (ASOHI/ YR)




OBAT HEWAN DAN KARANTINA

Masuknya telur ilegal dari Malaysia ke Pulau Batam sangat mengkuatirkan para peternak di Sumatera Utara mengingat pada priode Mei-Juni negara tetangga Malaysia kembali mengalami Out Break sehingga dikuatirkan membawa dampak yang sangat serius bagi provinsi Sumatera Utara. Masyarakat peternakan dan kesehatan hewan Sumut pun melaksanakan kunjungan ke Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) bekerja sama dengan Karantina (Desember 2006) setempat.
Sementara itu disampaikan oleh Ismaeni Pengurus ASOHI Daerah Sumatera Selatan belum lama ini, dalam menghadapi penularan virus Avian Influenza pada unggas, masyarakat peternakan dan kesehatan hewan di antaranya ASOHI Sumsel bekerjasama dengan Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Selatan melakukan sosialisasi penanganan AI. Dilakukan kunjungan ke peternakan rakyat disertai penyuluhan/informasi bagaimana beternak yang baik.
Informasi yang disampaikan lebih fokus kepada management kesehatan ternak unggas, termasuk himbauan kepada peternak unggas agar memberikan laporan secara rutin mengenai kondisi kesehatan ternak. Penularan AI tersebut pun sangat terkait dengan lalu lintas ternak dan karantinanya.
Seminar “Lalulintas Ternak dan Sediaan Biologik” pun diselenggarakan pada 2006 oleh Balai Karantina Hewan dengan mengundang ASOHI Sumsel sebagai pembicara. Adapun vaksinasi ND pun dilakukan untuk peternak rakyat (buras) di desa Talang Ilir Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Kegiatan dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan diakhiri dengan pelaksanaan vaksinasi ayam buras milik peternak rakyat.

Tindakan Karantina
Begitulah, tindakan karantina sangat penting terkait lalu lintas biologik produk terkait hewan. Drh Agus Sunanto dari Pusat Karantina Hewan Badan Karantina Pertanian pun menyampaikan dasar-dasar hukum dari tindakan karantina hewan di Indonesia pada Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan yang diselenggarakan ASOHI di Jakarta 5-6 September 2007.
Dasar Hukum itu antara lain Undang-undang RI Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Karantina Ikan, Karantina Tumbuhan, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan, PP 49/ 2002 juncto PP 7/ 2003 tentang perubahan atas tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Lalu, Permentan No. 62/Permentan/ 0T.140/12/2006 tentang pengawasan dan tindakan karantina terhadap pemasukan bahan patogen dan atau obat hewan golongan sediaan biologik dan ketentuan lain terkait lalu lintas hewan.
Indonesia sendiri mempunyai Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan antara lain 2 Balai Besar Karantina Hewan (Soekarno Hatta dan Tanjung Perak, 8 BKH Kelas I, 4 BKH Kelas Ii, 5 Stasiun Kelas I, 20 Stasiun Kelas Ii, 1 Karantina Hewan Otorita Batam, 265 Wilker di Seluruh Indonesia, dan 595 Exit/Entri Point Di Indonesia
Menurut perundangan tersebut, untuk pengawasan, bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha. Pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik hanya dapat dilakukan apabila penyakitnya telah ada di Indonesia.
Badan usaha yang akan memasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri harus memiliki Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) yang diterbitkan oleh Menteri.
Untuk pemasukan bahan biologik selain memiliki SPP juga harus memiliki nomor pendaftaran obat hewan. Badan usaha yang akan memasukan bahan biologik untuk kepentingan penelitian, pengujian diagnostik atau pendidikan terlebih dahulu harus mendapat izin dari Menteri.
Tindakan Karantina yang diberlakukan adalah, Bahan patogen dan/atau bahan biologik yang dimasukkan harus dilengkapi surat keterangan asal yang diterbitkan oleh produsen, tempat pengumpulan atau pengolahan dari negara asalnya; dilengkapi SPP; melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina ditempat pemasukan; dilakukan metode pengamanan untuk menjamin bahan patogen dan/atau bahan biologik tidak menyebarkan HPHK serta mencegah terjadinya kerusakan, kebocoran dan kontaminasi.
Tempat-tempat pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri yaitu: Bandar Udara Soekarno-Hatta Cengkareng, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Bandar Udara Juanda, Pelabuhan Tajung Perak, Surabaya.
Setiap pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dilakukan tindakan karantina berupa pemeriksaan yaitu pemeriksaan keabsahan, kebenaran dan kecocokan antara dokumen yang menyertainya dengan kemasan bahan patogen dan/atau bahan biologik yang tercantum dalam Air Way Bill atau Bill of Lading.
Hasil pemeriksaan yang telah memenuhi syarat dan tidak meragukan, diterbitkan sertifikat pelepasan karantina oleh petugas karantina setempat. Apabila hasil pemeriksaan ditemukan adanya ketidaksesuaian atau diragukan kebenaran dan keabsahannya atau terdapat kerusakan kemasan, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik isi kemasan koli atau palet secara sampling.
Apabila hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan penyimpangan, diterbitkan sertifikat pelepasan. Apabila hasil pemeriksaan fisik ditemukan penyimpangan, dilakukan penolakan atau pemusnahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila hasil pemeriksaan dokumen ditemukan adanya ketidaksesuaian atau diragukan kebenaran dan keabsahannya atau penyimpangan petugas karantina paling lambat dalam jangka waktu 2 x 24 jam harus melaporkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan setempat.
Untuk memperoleh sertifikat pelepasan atau surat keterangan pengeluaran pemilik/kuasa pemilik wajib membayar jasa tindakan karantina berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Pertanian, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2004.
Pemasukan obat hewan dalam bentuk sediaan farmasetik dan premiks sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan tidak dikenakan tindakan karantina, karena tidak termasuk sebagai media pembawa HPHK

ASOHI dan Karantina
Tindakan Karantina terhadap obat hewan hanya dilakukan pada Sediaan Biologik. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No 62 tahun 2006 yang merupakan hasil diskusi yang berkesinambungan antara ASOHI dengan Pusat Karantina Hewan dan Direktur Kesehatan Hewan.
Untuk mengawal pelaksanaan Permentan ini ASOHI membentuk team karantina ASOHI yang dipimpin oleh Ir Teddy Candinegara. Team karantina ASOHI melakukan sosialisasi pada anggota melalui Program Temu Anggota ASOHI. Kerja team terus berlanjut bersama Pusat Karantina Hewan untuk menyiapkan rancangan Petunjuk Pelaksanaan teknis yang sejiwa dengan Permentan tersebut.
Kegiatan penting mengenai tindakan karantina di antaranya yang dilakukan oleh ASOHI antara lain Sosialisasi Permentan Tindak Karantina, 18 Desember 2006. Pertemuan ini diadakan dalam sosialisasi permentan tersebut kepada pihak yang berkepentingan khususnya ASOHI. Pertemuan menghasilkan kesepakatan bahwa ASOHI dan karantina akan membentuk tim pamantau berlakunya Permentan ini agar berjalan lancar sesuai dengan aturan yang berlaku.
Yang lainnya antara lain Pembentukan Tim Pemantau Pelaksanaan Permentan, Pertemuan Forum Komunikasi Pengguna Jasa Karantina Hewan, Surat ASOHI Perihal Implementasi Permentan, 10 April 2007.
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 62/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pengawasan dan Tindakan Karantina terhadap Pemasukan Bahan Patogen dan/atau Obat Hewan Golongan Sediaan Biologik serta Penyusunan Juklak Tindakan Karantina Hewan terhadap Sediaan Biologik dan Bahan Patologik, 23 Juni 2007 diselenggarakan rapat penyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) tindakan karantina terhadap sediaan biologik dan bahan patogen
Ketua Tim Karantina ASOHI Ir. Teddy Candinegara hadir pada acara yang dihadiri Kepala Pusat Karantina Hewan, Kepala Balai Besar Karantina Hewan, BBPMSOH, Eselon III Karantina Hewan, UPT Karantina Hewan dan Undangan lain. (ASOHI/YR)

OBAT HEWAN DAN OTONOMI DAERAH

Banyak permasalahan obat hewan (OH) terkait dengan otonomi daerah yang dipertanyakan kalangan obat hewan dari berbagai daerah di seluruh tanah air. Suharyanto SH dari Biro Hukum Dan Humas Departemen Pertanian pun menguraikan terkait hal ini dalam Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan Hotel Menara Peninsula Jakarta 5-6 September 2006.
Hukum positif tentang Otonomi Daerah adalah Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Diuraikan Suharyanto SH, Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berisi tentang Otonomi Daerah, Daerah Otonom (daerah), Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas pembantuan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagai bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan diluar urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, terdiri atas 31 urusan pemerintahan diantaranya Pertanian dan ketahanan pangan.
Obat-obat yang khusus untuk pemakaian kedokteran hewan (ad asum veterinarium) diatur oleh Departemen Pertanian.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 Pasal 23 menyebutkan “Pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi pembuatan, persediaan, peredaran, serta pemakaiannya, mengadakan penyelidikan-penyeledikan ilmiah bahan-bahan obat-obatan hewani”
Berdasar Undang-Undang tersebut maka ada pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota mempunyai wewenang terpisah sebagai berikut:

Pemerintah (Pusat)
Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Pertanian mempunyai wewenang dalam: Penetapan kebijakan OH; Penerbitan sertifikat CPOHB; Penetapan Standar mutu OH; Pengawasan produksi dan peredaran OH di tingkat produsen dan importir; Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan OH: Pengujian mutu dan sertifikasi OH; Pendaftaran OH; dan Pemberian Izin Usaha OH sebagai produsen dan importir;

Pemerintahan Daerah Provinsi
Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang dalam Penerapan kebijakan OH wilayah provinsi; Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan OH wilayah provinsi; Penerapan dan pengawasan standar mutu OH wilayah provinsi; Pembinaan dan pengawasan peredaran OH di tingkat distributor; Pemberian Izin Usaha Obat Hewan sebagai distributor wilayah Provinsi;

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Adapun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai wewenang dalam penerapan kebijakan OH wilayah kab/kota; Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan OH wilayah kab/kotai; Penerapan standar mutu OH wilayah kab/kota; Pengawasan peredaran dan penggunnaan OH.
Lalu, Pengawasan peredaran dan penggunaan OH tingkat depo, toko, kios dan pengecer OH wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pemakaian OH di tingkat peternak; Bimbingan peredaran OH tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Juga, Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran OH wilayah kabupaten/kota; Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota; Bimbingan penyimpanan dan pemakaian OH.
Selanjutnya, Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang OH wilayah kabupaten/kota; Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk OH wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu OH (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota.
Kemudian, Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pendaftaran OH tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota; Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang OH (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.
Dan, Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pest shop wulayah kab/kota.

Pembuatan OH Sampai Pengawasan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan, terdiri dari 8 Bab dengan 23 pasal, mengatur pembuatan, penyediaan, peredaran, pendaftaran, pengujian mutu, perizinan dan pengawasan obat hewan.
Berdasar perundangan itu, wewenang pengawas obat hewan adalah menghentikan sementara kegiatan pembuatan obat hewan; melarang peredaran obat hewan; menarik obat hewan dari peredaran; dan menghentikan pemakaian obat hewan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Guna tindak lanjut pengawasan, bila ditemukan penyimpangan dalam perizinan, pengawas memberikan teguran tertulis 2 kali berturut-turut selang waktu 2 bulan dengan tembusan kepada Direjen Bina Produksi Peternakan, Kadisnak Propinsi dan Kadisnak Kabupaten/Kota, dan apabila tidak dipenuhi pengawas obat hewan melaporkan kepada pemberi izin untuk memenuhi ketentuan perizinan, mencabut izin atau menutup usahanya.
Bila ditemukan penyimpangan cara pembuatan hewan, sarana dan tempat penyimpanan, pemakaian dan atau mutu, maka Pengawas obat hewan dapat menghentikan sementara pembuatan, penyediaan, peredaran dan pemakaian obat hewan, paling lama 15 hari, dan melaporkan kepada Dirjen Peternakan dengan tembusan Kadisnak Kabu/Kota, Propinsi.
Jika dalam waktu 15 hari, Dirjen Peternakan belum mengambil keputusan, Pengawas Obat Hewan dapat memperpanjang penghentian sementara paling lama 15 hari.
Dirjen Nak paling lama dalam waktu 30 hari sejak diterimanya laporan harus telah mengambil keputusan, berupa pencabutan penghentian sementara dan menyatakan kegiatan pembuatan, penyediaan, peredaran dan pemakaian obat hewan dapat dilanjutkan. Atau, menghentikan kegiatan pembuatan, penyediaan, malarang dan memerintahkan penarikan dari peredaran serta melarang dan menghentikan pemakaian obat hewan yang dilaporkan.

Perlindungan Konsumen
Suharyanto SH pun menguraikan, terkait dengan otonomi daerah, dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur konsumen, dan pelaku usaha yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.
Tugas dan Wewenang BPSK, meliputi: melaksanakan penanganan dan penyelesaian konsumen dengan cara mediasi atau arbritrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausul baku;
Peraturan perundang-undangan di bidang obat hewan sangat terkait dengan pertauran perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen, karena obat hewan termasuk pengertian barang,
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berwenang menjatuhkan sanksi admnistratif terhadap berbagai pelaku usaha dengan kriteria sebagai berikut:
Yang tidak memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dalam jangka waktu 7 hari setelah tanggal transaksi,
Lalu, pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut, tidak menyediakan suku cadang, dan tidak memenuhi jaminan atau garansi yang diepakati atau diperjanjikan, berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
Juga, pelaku usaha yang memproduksi barang atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan seperti pada label, tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi, proses pengolahan, gaya, metode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
Di samping sanksi pidana dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.
Bagiamana prakteknya? Apapun yang terjadi di lapangan, kita punya dasar untuk berbuat sesuai koridor hukum. Itulah bekal kita untuk tetap optimis menyikapi permasalahan obat hewan di lapangan. Kiranya begitu, bukan? (YR)

OBAT, VAKSIN DAN PUSLIT FLU BURUNG UNAIR

Seampuh apapun suatu obat, bagaimanapun tindakan pengobatan bukanlah hal utama yang harus menjadi perhatian dalam kesatuan manajemen kesehatan hewan.

Pengobatan memang penting , namun sebatas sebagai tindakan setelah suatu penyakit menyerang. Atau, pada suatu peternakan telah begitu jelek kondisi biosecurity-nya, sehingga diasumsikan bibit penyakit sudah ada dan masuk dalam tubuh ternak.

Sedangkan sebagai suatu kesatuan manajemen kesehatan hewan, yang paling utama dan pertama harus diperhatikan adalah biosecurity sebagai tindakan pencegahan. Sementara vaksinasi sebagai pencegahan secara biologis pun hanya dapat membantu dari dalam tubuh ternak.

Itulah mengapa dalam Rapat Koordinasi Nasional II ASOHI di Jakarta belum lama ini, dr drh Mangkoe Sitepu mengatakan, “Ternak sudah divaksin, mengapa bisa tetap sakit? Sebab, vaksin itu mencegah penyakit, bukan mengobati.”

Adapun terkait penyakit flu burung yang masih jadi isu utama sejauh ini, vaksin flu burung yang selama ini digunakan sebagai pencegahan pun belum dapat diandalkan seratus persen. Jika para peneliti mampu menemukan model penularan, model pencegahan terhadap virus mematikan tersebut juga dapat disusun.

Demikian Dr Drh Choirul Anwar Nidom MS dari Universitas Airlangga yang mendasari langkah strategis Unair Surabaya ini bersiap menjadi pusat penelitian flu burung tingkat internasional.

Proyek itu merupakan salah satu tindak lanjut kesepahaman antara Unair dengan Kobe University, Jepang, pada Mei lalu. Unair akan menerima bantuan dari pemerintah Jepang senilai Rp 100 miliar untuk pembangunan fasilitas penelitian. Salah satunya berupa peralatan laboratorium Biosafety Level-3 (BSL-3) senilai Rp 15 miliar.

“Sekarang, kami sedang menyiapkan peresmian yang dijadwalkan pada akhir bulan depan. Peralatannya dikirim langsung dari Jepang,” kata Dr Choirul Anwar Nidom selaku Ketua Proyek kerja sama dari Unair belum lama ini.

Selain BSL-3, Unair akan mendapat mesin pengurai data DNA virus flu burung dan mesin penentu jumlah virus yang menginfeksi korban. Piranti itu, akan memberikan tingkat keamanan bagi para peneliti maupun lingkungannya. Selain bantuan alat, para peneliti Jepang dari Kobe University dan Tokyo University akan membantu para peneliti Unair.

Dua peneliti dari Negeri Sakura tersebut sudah datang ke Unair untuk mempersiapkan penelitian. Kedua belah pihak berharap, pusat penelitian itu mampu menemukan model penularan flu burung.

Pusat penelitian yang terfokus pada flu burung itu merupakan yang pertama di Indonesia. Unair berniat membagikan pengetahuan tersebut kepada mereka yang membutuhkan. “Siapa pun boleh menjadikan pusat penelitian ini sebagai rujukan. Tapi, kami akan berkonsentrasi pada south to south collaboration dahulu,” kata Nidom.

Negara-negara selatan yang dimaksud Nidom adalah negara-negara Afrika hingga Amerika Latin. Unair bersama Jepang akan berkonsentrasi memecahkan masalah atau penelitian mengenai flu burung di negara-negara tersebut. (YR/ berbagai sumber)

Pintar-Pintar Pilih Antibiotik

Terkait dengan tema fokus Infovet yang membahas bagaimana cara meningkatkan produktivitas dengan penggunaan obat hewan yang tepat. Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita menuturkan bahwa untuk mencapai peningkatan produktivitas erat kaitannya dengan tiga hal yaitu potensi genetik yang baik didukung dengan pakan yang berkualitas dan praktik manajemen yang baik.
Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan. Bila ketiga hal ini sudah dimiliki peternak selanjutnya perlu didukung oleh program pencegahan dan pengobatan yang tepat.
Perihal penggunaan antibiotik, Hadi membaginya berdasarkan tiga tujuan penggunaan yaitu sebagai pencegahan penyakit, pengobatan dan merangsang pertumbuhan. Namun dalam aplikasinya dilapangan pemakaian antibiotik di peternakan ayam terkadang berlebihan tanpa mengindahkan waktu henti obat. Hal inilah yang menyebabkan tingkat residu antibiotik untuk produk unggas di beberapa wilayah Indonesia terpantau cukup tinggi.
Ia mengungkapkan, saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya “Antibiotik Dewa” yaitu antibiotik yang mampu mengobati berbagai infeksi bakteri dengan spektrum luasnya. Hadi sendiri tidak setuju dengan penggunaan antibiotik jenis ini. Menurutnya yang paling tepat adalah penggunaan antibiotik berspektrum sempit tetapi tepat diagnosa.
Lebih jauh, kata Hadi, antibiotik berspektrum luas ini memiliki beberapa kelemahan yakni apabila terjadi resistensi dari penggunaan antibiotik ini sudah tentu menyebabkan resistensi yang luas. Belum lagi dibandingkan dengan harganya yang jauh lebih mahal.
“Dalam penggunaan antibiotik perlu mempertimbangkan efektivitas obat, ketepatan diagnosa dan resistensi bakterinya. Contoh antibiotik berspektrum luas adalah enrofloxacin, ciprofloxacin, norfloxacin yang merupakan antibiotik golongan quinolon,” jelas Hadi.
Kemampuan untuk mengidentifikasi dan diagnosa secara cepat dan tepat terhadap penyakit serta penanggulangan dan pengobatan yang tepat diperlukan untuk mencegah wabah serta ancaman penyakit. Sehingga efektifitas pengobatan dan penanggulangan yang akan dilakukan dapat dipastikan memberikan kesembuhan atau hasil yang optimal.
Namun, Hadi juga tidak menyangkal bahwasanya banyak perusahaan obat apabila setelah penyakit didiagnosa dan dilanjutkan dengan program pengobatan, peternak cenderung diarahkan pada penggunaan satu jenis produk tertentu yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Apalagi dengan iming-iming hadiah langsung yang membuat banyak peternak tergiur. Pada akhirnya peternak membayar lebih mahal dari obat yang seharusnya lebih murah dan lebih cocok untuk pengobatan penyakit tersebut.
Lebih lanjut yang menentukan tujuan penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan adalah dosisnya. Sementara antibiotik yang kerap digunakan sebagai pemacu pertumbuhan diantaranya adalah teramycin, virginiamycin, maduramycin. Ketiga antibiotik tersebut dapat diberikan dalam jangka waktu lama didalam pakan ternak karena tidak menimbulkan resistensi. Karena sifatnya yang bakteriostatik, memberikan kesehatan saluran cerna yang lebih baik sehingga penyerapan zat gizi sempurna.
Hadi mengungkapkan untuk membersihkan tubuh unggas (cleaning total) dari infeksi bakteri patogen biasanya ia menyarankan peternak untuk menggunakan Spiramycin untuk saluran pernapasannya dan Colistin untuk saluran pencernaannya. Kedua jenis antibiotik ini diberikan di dalam pakan. Colistin memiliki kelebihan mampu berada dalam saluran pencernaan dalam waktu yang lama dan tidak diserap oleh usus dan kerjanya hanya dipermukaan usus saja. Sementara Spiramycin berkerja sistemik dan mudah dibuang dan tidak ebrsifat toksik.
Diakhir wawancara Hadi Wibowo menggarisbawahi bahwa untuk meningkatkan produktivitas diperlukan kontrol maksimal terhadap populasi bakteri di saluran pencernaan dan pernapasan. Salah satunya caranya dengan penggunaan antibiotik yang tepat. (Infovet)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer