Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEMBUAT OBAT HEWAN YANG BAIK

Untuk mengatur seluruh proses produksi dan kontrol kualitas obat hewan secara baik dan benar sehingga dihasilkan suatu produk akhir obat hewan yang aman dan berkualitas diperlukan: Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).

Demikian Drh Sumadi, MSi Tim Inspeksi dan Penilaian Penerapan CPOHB Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian pada Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan Hotel Menara Peninsula Jakarta 5-6 September 2006.

Dasar dari hal tersebut adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 1992 Tentang Obat Hewan, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 466 Tahun 1999 tentang Pedoman CPOHB, Keputusan DirJenNak Nomor 247 Departemen Pertanian Tahun 1999 Tentang Petunjuk Operasional Penerapan CPOHB dan Farmakope Obat Hewan Indonesia.

Disampaikan Drh Sumadi, pengawasan seluruh proses produksi (CPOHB) menjamin obat hewan bermutu tinggi. Mutu obat hewan tergantung pada bahan awal, cara produksi, cara pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia serta terkendali cara produksi dan pemantauannya.

Adapun, CPOHB bertujuan agar sifat dan mutu obat hewan yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan atau standar mutu yang ditetapkan.

Drh Sumadi juga menjelaskan bahan awal dari obat hewan mempunyai ketentuan penandaan Master Seed Virus/Bakteri harus jelas. Adapun, setiap kiriman bahan awal harus ditimbang dan diperiksa secara visual (kondisi fisik, kemasan, kebocoran dan kerusakan). Penyimpanan bahan awal harus sesuai dengan aturan (kondisi/suhu).

Selanjutnya, pengeluaran bahan awal harus ditimbang dan hanya boleh petugas yang berwenang. Pemasukan, pengeluaran dan sisa harus tercatat. Harus ada juga: Sertifikat Analisa.

Lokasi dan bangunan guna pembuatan obat hewan pun diatur. Lokasi bangunan harus dapat mencegah pencemaran udara, debu dan air. Gedung dibangun dan dipelihara agar terlindung dari pengaruh cuaca, banjir, rembesan air dan bersarangnya binatang pengganggu, dan berbagai persyaratan lainnya.

Soal bangunan, kriterianya antara lain untuk administrasi, gudang bahan awal, ruang Produksi, Ruang Pengujian Mutu, Ruang Pencucian dan Sterilisasi Peralatan Gelas, Gudang Produk Jadi, Stasiun LPG, Generator Set, Pengolahan Air Bersih, Pengolahan Limbah /Waste Water Treatment, Kandang hewan Percobaan.

Ada pula pengaturan ruangan dengan rancang bangun dan penataan ruangan mencegah terjadinya campur baur produk, memisahkan pengolahan produk biologik dan farmasetik, memisahkan ruangan untuk penyimpanan bahan awal, bahan dan alat kebersihan, produksi, pengujian mutu dan gudang produk jadi dan lain sebagainya.

Adapun peralatan antara lain peralatan utama dengan jenis, spesifikasi, jumlah, pemasangan, penempatan, pemeliharaan, kalibrasi. Soal personalia jumlahnya sesuai kebutuhan dengan kualifikasi pendidikan formal, pelatihan training (produksi, CPOHB), workshop, kesehatan program pemeriksaan kesehatan dan loyalitas (sikap, dedikasi dan kesadaran).

Sanitasi dan higiene antara lain meliputi personalia (program pemeriksaan kesehatan karyawan), bangunan (Bahan, bentuk) (mudah dibersihkan dan desinfeksi), peralatan (mudah dibersihkan dan desinfeksi dan disterilkan), bahan produksi (terutama Seed Vaksin jangan sampai terlepas keluar lingkungan pabrik) dan lain-lain.

Sistim produksi dirancang untuk menjamin obat hewan diproduksi dengan mutu dan jumlah yang benar sesuai dengan SOP. Jenis Produk antara lain Produk Biologik, Vaksin Bakteri aktif, inaktif, Antigen dan Antisera. Vaksin Virus antara lain Vaksin Virus aktif, inaktif, dan Antigen Antisera. Produk Farmasetik dan Premiks antara lain Steril dan Infuse, serta Non Steril (Oral, Topikal, salep dan lain-lain)

Selanjutnya banyak lagi persyaratan diperlukan untuk pembuatan obat hewan yang baik seperti tugas Lain produksi, , proses produksi, pengawasan umum, inspeksi internal, tindak lanjut bahkan juga penanganan hasil pengamatan, keluhan dan penarikkan kembali obat hewan yang beredar serta dokumentasi serta alur penerbitan sertifikat CPOHB.

Kiranya sekilas Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik ini bermanfaat bagi semua pembaca untuk semakin yakin bagaimana obat untuk kesehatan ternak itu betul-betul obat yang dibuat secara standar terbaik. (YR)

MENGUJI MUTU OBAT HEWAN

Anggaran Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP ) tahun 2007 adalah sebesar Rp 9,1 M. Tahun 2006 sebesar Rp 19,1 M (Pergantian alat 9M). Tahun 2005 sebesar Rp 6,8 M. Tahun 2004 sebesar Rp 5,0 M. Dan, tahun 2003 adalah sebesar Rp 4,5 M.

Berapa rencana anggaran tahun 2008? Rp 11,9 M (sekali lagi: Rencana). Demikian diungkap Drh H Agus Heriyanto MPhil Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor, belum lama ini.

Drh Agus Heriyanto pun menguraikan rencana kerja 2007–2009 Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor? Di antaranya pemantapan pengujian mutu berupa audit internal dan akreditasi ISO-17025 2005 dan perbaikan sarana /prasarana pengujian.

Lalu, pengembangan dan penataan SDM melalui pelatihan dan pendidikan dan pengembangan teknik pengujian dan pelayanan berupa kerjasama kelembagaan antar instansi, swasta dan luar negeri.

Kemudian, pengembangan lababoratorium biotek pengujian untuk penyakit eksotik dan lintas batas serta dan pengembangan kerjasama nassional dan internasional obat hewan.

Kepentingan pembaca untuk mengetahui hal tersebut adalah mengingat Laboratorium Pengujian Mutu Dan Sertifikasi Obat Hewan di Gunungsindur Bogor merupakan lembaga pemerintah (baca: negara) yang dibentuk dalam rangka pengawasan mutu obat hewan berdasar berdasar SK Mentan NO 328/KPTS/TH.260/4/1985. Sekaligus untuk mengetahui secara pasti bahwa obat hewan yang beredar merupakan obat yang terjamin mutunya karena memang dibuat dan diuji secara ketat.

Berdasar perundangan tersebut, obat hewan yang akan diedarkan harus telah lulus pengujian mutu yang dilakukan dalam rangka pengujian. Lalu, obat hewan yang telah terdaftar dapat diuji kembali mutunya setiap waktu.

Di situ ada tata syarat dan tata cara pengujian dalam rangka pendaftaran obat hewan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

Pengujian mutu obat hewan ini dilakukan berdasarkan standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Adapun pengujian mutu obat hewan dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Menteri yaitu BBPMSOH.

Tentang biaya yang diperlukan untuk pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan dibebankan kepada pemilik obat hewan dan besarnya ditetapkan oleh menteri. Tata cara pemungutan dan besarnya biaya pendaftaran ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Biaya pendaftaran merupakan pendapatan negara dan harus disetor ke kas negara

SK Mentan tersebut merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah RI No 78 Th 1992 Tentang Obat Hewan Bab IV. Pendaftaran dan Pengujian Mutu Obat Hewan Pasal 12.

Juga pelaksanaan dari PP No 15 Tahun 1977 dan PP No 7 Tahun 2004, Menteri mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tindakan-tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit hewan

Lalu hukum yang lebih tinggi adalah Undang-Undang Negara Republik Indonesia, tepatnya UU No 6/1967 di mana dinyatakan pengobatan penyakit hewan meliputi usaha-usaha pengawasan dan pemeriksaan hewan, penyediaan obat obatan dan imun-sera oleh pemerintah dan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, serta urusan-urusan pemakaian obat obatan dan imun-sera.

Adapun, menurut Undang-Undang, pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi pembuatan, persediaan, peredaran serta pemakaiannya. Serta, mengadakan penyelidikan penyelidikan ilmiah bahan bahan obat obatan hewani.

Tugas pokok BBPMSOH adalah melaksanakan pengujian mutu, sertifikasi, pengkajian dan pemantauan obat hewan.

Sedangkan fungsinya adalah: menguji mutu obat hewan, sertifikasi, mengkaji obat hewan, memantau obat hewan yang beredar, mengamankan hasil pengujian mutu obat hewan, mengembangkan teknik dan metode pengujian mutu, memberi pelayanan teknik kegiatan pengujian mutu dan pengkajian obat hewan, serta mengelola limbah pengujian mutu obat hewan.

Jenis pengujian obat hewan yang dilakukan di BBPMSOH adalah pengujian biologik, pengujian farmasetik, pengujian peremix, pengujian obat alami dan obat ikan, vaksin viral, vaksin bakterial, antigen, antisera, serta antibiotika, vitamin, hormon, antipiretik, anastetika, kemoterapeutik, antihistamin, feed suplemen dan feed additive.

Untuk menguji sediaan biologik, dilakukan uji umum berupa fisik, kemurnian, kevakuman, sterilitas, kontaminasi (Mycoplasma, Salmonella, jamur), dan kadar air. Adapun uji khusus meliputi keamanan, inaktivasi, potensi, identitas, kandungan virus, kandungan bakteri/spora dan toksisitas abnormal.

Sementara itu, pengujian sediaan farmasetik dan premiks secara umum meliputi pengujian fisik, pH, kadar air, toksisitas abnormal, sterilitas, pirogenitas. Adapun secara khusus meliputi identitas, hayati (antibiotika) dan kadar (obat umum).

Adapun pengujian sampel obat hewan dalam rangka sertifikasi, pengujian sampel berasal dari daerah (dinas). Atau, pengujian sample berasal dari kegiatan pemantauan pengujian sampel berasal dari kegiatan pengkajian sertifikasi obat hewan yang diterbitkan tahun 2006 dan kegiatan pengujian vaksin bakteri untuk unggas tahun 2006.

Drh H Agus Heriyanto MPhil mengakui ada beberapa masalah yang diidentifikasi, namun tetap ada faktor kunci keberhasilan BBPMSOH. Yaitu, perluasan tugas pokok dan fungsi balai, upaya peningkatan SDM, birokrasi dan rantai perijinan diperpendek serta sederhana, meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan, meningkatkan mutu kegiatan teknis sesuai standar internasional (SNI 19-17025-2005), meningkatkan sosialisasi tentang sertifikasi dan mutu obat hewan, memantapkan Perencanaan dan Program Kerja

Untuk itu, langkah upaya pengembangan dalam jangka pendek meliputi peremajaan alat-alat pengujian, pelatihan tenaga penguji teknis dan non teknis, memperbaiki sistem mutu dan lababoratorium bioteknologi, membangun jejaring dengan Unit Pelayanan Teknis dan instansi lain.

Sedangkan, dalam jangka panjang, Drh Agus menyatakan Balai Besar diproyeksikan sebagai pusat pengujian dan pengawas obat hewan. Adakah semua kalangan peternakan dan kesehatan hewan merasakan manfaatnya? Rasanya, tentu. Dan semoga semakin ditingkatkan! (ASOHI/ YR)




OBAT HEWAN DAN KARANTINA

Masuknya telur ilegal dari Malaysia ke Pulau Batam sangat mengkuatirkan para peternak di Sumatera Utara mengingat pada priode Mei-Juni negara tetangga Malaysia kembali mengalami Out Break sehingga dikuatirkan membawa dampak yang sangat serius bagi provinsi Sumatera Utara. Masyarakat peternakan dan kesehatan hewan Sumut pun melaksanakan kunjungan ke Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) bekerja sama dengan Karantina (Desember 2006) setempat.
Sementara itu disampaikan oleh Ismaeni Pengurus ASOHI Daerah Sumatera Selatan belum lama ini, dalam menghadapi penularan virus Avian Influenza pada unggas, masyarakat peternakan dan kesehatan hewan di antaranya ASOHI Sumsel bekerjasama dengan Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Selatan melakukan sosialisasi penanganan AI. Dilakukan kunjungan ke peternakan rakyat disertai penyuluhan/informasi bagaimana beternak yang baik.
Informasi yang disampaikan lebih fokus kepada management kesehatan ternak unggas, termasuk himbauan kepada peternak unggas agar memberikan laporan secara rutin mengenai kondisi kesehatan ternak. Penularan AI tersebut pun sangat terkait dengan lalu lintas ternak dan karantinanya.
Seminar “Lalulintas Ternak dan Sediaan Biologik” pun diselenggarakan pada 2006 oleh Balai Karantina Hewan dengan mengundang ASOHI Sumsel sebagai pembicara. Adapun vaksinasi ND pun dilakukan untuk peternak rakyat (buras) di desa Talang Ilir Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Kegiatan dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan diakhiri dengan pelaksanaan vaksinasi ayam buras milik peternak rakyat.

Tindakan Karantina
Begitulah, tindakan karantina sangat penting terkait lalu lintas biologik produk terkait hewan. Drh Agus Sunanto dari Pusat Karantina Hewan Badan Karantina Pertanian pun menyampaikan dasar-dasar hukum dari tindakan karantina hewan di Indonesia pada Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan yang diselenggarakan ASOHI di Jakarta 5-6 September 2007.
Dasar Hukum itu antara lain Undang-undang RI Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Karantina Ikan, Karantina Tumbuhan, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan, PP 49/ 2002 juncto PP 7/ 2003 tentang perubahan atas tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Lalu, Permentan No. 62/Permentan/ 0T.140/12/2006 tentang pengawasan dan tindakan karantina terhadap pemasukan bahan patogen dan atau obat hewan golongan sediaan biologik dan ketentuan lain terkait lalu lintas hewan.
Indonesia sendiri mempunyai Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan antara lain 2 Balai Besar Karantina Hewan (Soekarno Hatta dan Tanjung Perak, 8 BKH Kelas I, 4 BKH Kelas Ii, 5 Stasiun Kelas I, 20 Stasiun Kelas Ii, 1 Karantina Hewan Otorita Batam, 265 Wilker di Seluruh Indonesia, dan 595 Exit/Entri Point Di Indonesia
Menurut perundangan tersebut, untuk pengawasan, bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha. Pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik hanya dapat dilakukan apabila penyakitnya telah ada di Indonesia.
Badan usaha yang akan memasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri harus memiliki Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) yang diterbitkan oleh Menteri.
Untuk pemasukan bahan biologik selain memiliki SPP juga harus memiliki nomor pendaftaran obat hewan. Badan usaha yang akan memasukan bahan biologik untuk kepentingan penelitian, pengujian diagnostik atau pendidikan terlebih dahulu harus mendapat izin dari Menteri.
Tindakan Karantina yang diberlakukan adalah, Bahan patogen dan/atau bahan biologik yang dimasukkan harus dilengkapi surat keterangan asal yang diterbitkan oleh produsen, tempat pengumpulan atau pengolahan dari negara asalnya; dilengkapi SPP; melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina ditempat pemasukan; dilakukan metode pengamanan untuk menjamin bahan patogen dan/atau bahan biologik tidak menyebarkan HPHK serta mencegah terjadinya kerusakan, kebocoran dan kontaminasi.
Tempat-tempat pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri yaitu: Bandar Udara Soekarno-Hatta Cengkareng, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Bandar Udara Juanda, Pelabuhan Tajung Perak, Surabaya.
Setiap pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dilakukan tindakan karantina berupa pemeriksaan yaitu pemeriksaan keabsahan, kebenaran dan kecocokan antara dokumen yang menyertainya dengan kemasan bahan patogen dan/atau bahan biologik yang tercantum dalam Air Way Bill atau Bill of Lading.
Hasil pemeriksaan yang telah memenuhi syarat dan tidak meragukan, diterbitkan sertifikat pelepasan karantina oleh petugas karantina setempat. Apabila hasil pemeriksaan ditemukan adanya ketidaksesuaian atau diragukan kebenaran dan keabsahannya atau terdapat kerusakan kemasan, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik isi kemasan koli atau palet secara sampling.
Apabila hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan penyimpangan, diterbitkan sertifikat pelepasan. Apabila hasil pemeriksaan fisik ditemukan penyimpangan, dilakukan penolakan atau pemusnahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila hasil pemeriksaan dokumen ditemukan adanya ketidaksesuaian atau diragukan kebenaran dan keabsahannya atau penyimpangan petugas karantina paling lambat dalam jangka waktu 2 x 24 jam harus melaporkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan setempat.
Untuk memperoleh sertifikat pelepasan atau surat keterangan pengeluaran pemilik/kuasa pemilik wajib membayar jasa tindakan karantina berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Pertanian, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2004.
Pemasukan obat hewan dalam bentuk sediaan farmasetik dan premiks sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan tidak dikenakan tindakan karantina, karena tidak termasuk sebagai media pembawa HPHK

ASOHI dan Karantina
Tindakan Karantina terhadap obat hewan hanya dilakukan pada Sediaan Biologik. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No 62 tahun 2006 yang merupakan hasil diskusi yang berkesinambungan antara ASOHI dengan Pusat Karantina Hewan dan Direktur Kesehatan Hewan.
Untuk mengawal pelaksanaan Permentan ini ASOHI membentuk team karantina ASOHI yang dipimpin oleh Ir Teddy Candinegara. Team karantina ASOHI melakukan sosialisasi pada anggota melalui Program Temu Anggota ASOHI. Kerja team terus berlanjut bersama Pusat Karantina Hewan untuk menyiapkan rancangan Petunjuk Pelaksanaan teknis yang sejiwa dengan Permentan tersebut.
Kegiatan penting mengenai tindakan karantina di antaranya yang dilakukan oleh ASOHI antara lain Sosialisasi Permentan Tindak Karantina, 18 Desember 2006. Pertemuan ini diadakan dalam sosialisasi permentan tersebut kepada pihak yang berkepentingan khususnya ASOHI. Pertemuan menghasilkan kesepakatan bahwa ASOHI dan karantina akan membentuk tim pamantau berlakunya Permentan ini agar berjalan lancar sesuai dengan aturan yang berlaku.
Yang lainnya antara lain Pembentukan Tim Pemantau Pelaksanaan Permentan, Pertemuan Forum Komunikasi Pengguna Jasa Karantina Hewan, Surat ASOHI Perihal Implementasi Permentan, 10 April 2007.
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 62/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pengawasan dan Tindakan Karantina terhadap Pemasukan Bahan Patogen dan/atau Obat Hewan Golongan Sediaan Biologik serta Penyusunan Juklak Tindakan Karantina Hewan terhadap Sediaan Biologik dan Bahan Patologik, 23 Juni 2007 diselenggarakan rapat penyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) tindakan karantina terhadap sediaan biologik dan bahan patogen
Ketua Tim Karantina ASOHI Ir. Teddy Candinegara hadir pada acara yang dihadiri Kepala Pusat Karantina Hewan, Kepala Balai Besar Karantina Hewan, BBPMSOH, Eselon III Karantina Hewan, UPT Karantina Hewan dan Undangan lain. (ASOHI/YR)

OBAT HEWAN DAN OTONOMI DAERAH

Banyak permasalahan obat hewan (OH) terkait dengan otonomi daerah yang dipertanyakan kalangan obat hewan dari berbagai daerah di seluruh tanah air. Suharyanto SH dari Biro Hukum Dan Humas Departemen Pertanian pun menguraikan terkait hal ini dalam Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan Hotel Menara Peninsula Jakarta 5-6 September 2006.
Hukum positif tentang Otonomi Daerah adalah Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Diuraikan Suharyanto SH, Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berisi tentang Otonomi Daerah, Daerah Otonom (daerah), Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas pembantuan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagai bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan diluar urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, terdiri atas 31 urusan pemerintahan diantaranya Pertanian dan ketahanan pangan.
Obat-obat yang khusus untuk pemakaian kedokteran hewan (ad asum veterinarium) diatur oleh Departemen Pertanian.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 Pasal 23 menyebutkan “Pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi pembuatan, persediaan, peredaran, serta pemakaiannya, mengadakan penyelidikan-penyeledikan ilmiah bahan-bahan obat-obatan hewani”
Berdasar Undang-Undang tersebut maka ada pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota mempunyai wewenang terpisah sebagai berikut:

Pemerintah (Pusat)
Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Pertanian mempunyai wewenang dalam: Penetapan kebijakan OH; Penerbitan sertifikat CPOHB; Penetapan Standar mutu OH; Pengawasan produksi dan peredaran OH di tingkat produsen dan importir; Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan OH: Pengujian mutu dan sertifikasi OH; Pendaftaran OH; dan Pemberian Izin Usaha OH sebagai produsen dan importir;

Pemerintahan Daerah Provinsi
Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang dalam Penerapan kebijakan OH wilayah provinsi; Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan OH wilayah provinsi; Penerapan dan pengawasan standar mutu OH wilayah provinsi; Pembinaan dan pengawasan peredaran OH di tingkat distributor; Pemberian Izin Usaha Obat Hewan sebagai distributor wilayah Provinsi;

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Adapun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai wewenang dalam penerapan kebijakan OH wilayah kab/kota; Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan OH wilayah kab/kotai; Penerapan standar mutu OH wilayah kab/kota; Pengawasan peredaran dan penggunnaan OH.
Lalu, Pengawasan peredaran dan penggunaan OH tingkat depo, toko, kios dan pengecer OH wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pemakaian OH di tingkat peternak; Bimbingan peredaran OH tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Juga, Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran OH wilayah kabupaten/kota; Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota; Bimbingan penyimpanan dan pemakaian OH.
Selanjutnya, Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang OH wilayah kabupaten/kota; Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk OH wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu OH (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota.
Kemudian, Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pendaftaran OH tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota; Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang OH (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.
Dan, Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pest shop wulayah kab/kota.

Pembuatan OH Sampai Pengawasan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan, terdiri dari 8 Bab dengan 23 pasal, mengatur pembuatan, penyediaan, peredaran, pendaftaran, pengujian mutu, perizinan dan pengawasan obat hewan.
Berdasar perundangan itu, wewenang pengawas obat hewan adalah menghentikan sementara kegiatan pembuatan obat hewan; melarang peredaran obat hewan; menarik obat hewan dari peredaran; dan menghentikan pemakaian obat hewan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Guna tindak lanjut pengawasan, bila ditemukan penyimpangan dalam perizinan, pengawas memberikan teguran tertulis 2 kali berturut-turut selang waktu 2 bulan dengan tembusan kepada Direjen Bina Produksi Peternakan, Kadisnak Propinsi dan Kadisnak Kabupaten/Kota, dan apabila tidak dipenuhi pengawas obat hewan melaporkan kepada pemberi izin untuk memenuhi ketentuan perizinan, mencabut izin atau menutup usahanya.
Bila ditemukan penyimpangan cara pembuatan hewan, sarana dan tempat penyimpanan, pemakaian dan atau mutu, maka Pengawas obat hewan dapat menghentikan sementara pembuatan, penyediaan, peredaran dan pemakaian obat hewan, paling lama 15 hari, dan melaporkan kepada Dirjen Peternakan dengan tembusan Kadisnak Kabu/Kota, Propinsi.
Jika dalam waktu 15 hari, Dirjen Peternakan belum mengambil keputusan, Pengawas Obat Hewan dapat memperpanjang penghentian sementara paling lama 15 hari.
Dirjen Nak paling lama dalam waktu 30 hari sejak diterimanya laporan harus telah mengambil keputusan, berupa pencabutan penghentian sementara dan menyatakan kegiatan pembuatan, penyediaan, peredaran dan pemakaian obat hewan dapat dilanjutkan. Atau, menghentikan kegiatan pembuatan, penyediaan, malarang dan memerintahkan penarikan dari peredaran serta melarang dan menghentikan pemakaian obat hewan yang dilaporkan.

Perlindungan Konsumen
Suharyanto SH pun menguraikan, terkait dengan otonomi daerah, dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur konsumen, dan pelaku usaha yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.
Tugas dan Wewenang BPSK, meliputi: melaksanakan penanganan dan penyelesaian konsumen dengan cara mediasi atau arbritrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausul baku;
Peraturan perundang-undangan di bidang obat hewan sangat terkait dengan pertauran perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen, karena obat hewan termasuk pengertian barang,
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berwenang menjatuhkan sanksi admnistratif terhadap berbagai pelaku usaha dengan kriteria sebagai berikut:
Yang tidak memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dalam jangka waktu 7 hari setelah tanggal transaksi,
Lalu, pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut, tidak menyediakan suku cadang, dan tidak memenuhi jaminan atau garansi yang diepakati atau diperjanjikan, berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
Juga, pelaku usaha yang memproduksi barang atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan seperti pada label, tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi, proses pengolahan, gaya, metode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
Di samping sanksi pidana dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.
Bagiamana prakteknya? Apapun yang terjadi di lapangan, kita punya dasar untuk berbuat sesuai koridor hukum. Itulah bekal kita untuk tetap optimis menyikapi permasalahan obat hewan di lapangan. Kiranya begitu, bukan? (YR)

OBAT, VAKSIN DAN PUSLIT FLU BURUNG UNAIR

Seampuh apapun suatu obat, bagaimanapun tindakan pengobatan bukanlah hal utama yang harus menjadi perhatian dalam kesatuan manajemen kesehatan hewan.

Pengobatan memang penting , namun sebatas sebagai tindakan setelah suatu penyakit menyerang. Atau, pada suatu peternakan telah begitu jelek kondisi biosecurity-nya, sehingga diasumsikan bibit penyakit sudah ada dan masuk dalam tubuh ternak.

Sedangkan sebagai suatu kesatuan manajemen kesehatan hewan, yang paling utama dan pertama harus diperhatikan adalah biosecurity sebagai tindakan pencegahan. Sementara vaksinasi sebagai pencegahan secara biologis pun hanya dapat membantu dari dalam tubuh ternak.

Itulah mengapa dalam Rapat Koordinasi Nasional II ASOHI di Jakarta belum lama ini, dr drh Mangkoe Sitepu mengatakan, “Ternak sudah divaksin, mengapa bisa tetap sakit? Sebab, vaksin itu mencegah penyakit, bukan mengobati.”

Adapun terkait penyakit flu burung yang masih jadi isu utama sejauh ini, vaksin flu burung yang selama ini digunakan sebagai pencegahan pun belum dapat diandalkan seratus persen. Jika para peneliti mampu menemukan model penularan, model pencegahan terhadap virus mematikan tersebut juga dapat disusun.

Demikian Dr Drh Choirul Anwar Nidom MS dari Universitas Airlangga yang mendasari langkah strategis Unair Surabaya ini bersiap menjadi pusat penelitian flu burung tingkat internasional.

Proyek itu merupakan salah satu tindak lanjut kesepahaman antara Unair dengan Kobe University, Jepang, pada Mei lalu. Unair akan menerima bantuan dari pemerintah Jepang senilai Rp 100 miliar untuk pembangunan fasilitas penelitian. Salah satunya berupa peralatan laboratorium Biosafety Level-3 (BSL-3) senilai Rp 15 miliar.

“Sekarang, kami sedang menyiapkan peresmian yang dijadwalkan pada akhir bulan depan. Peralatannya dikirim langsung dari Jepang,” kata Dr Choirul Anwar Nidom selaku Ketua Proyek kerja sama dari Unair belum lama ini.

Selain BSL-3, Unair akan mendapat mesin pengurai data DNA virus flu burung dan mesin penentu jumlah virus yang menginfeksi korban. Piranti itu, akan memberikan tingkat keamanan bagi para peneliti maupun lingkungannya. Selain bantuan alat, para peneliti Jepang dari Kobe University dan Tokyo University akan membantu para peneliti Unair.

Dua peneliti dari Negeri Sakura tersebut sudah datang ke Unair untuk mempersiapkan penelitian. Kedua belah pihak berharap, pusat penelitian itu mampu menemukan model penularan flu burung.

Pusat penelitian yang terfokus pada flu burung itu merupakan yang pertama di Indonesia. Unair berniat membagikan pengetahuan tersebut kepada mereka yang membutuhkan. “Siapa pun boleh menjadikan pusat penelitian ini sebagai rujukan. Tapi, kami akan berkonsentrasi pada south to south collaboration dahulu,” kata Nidom.

Negara-negara selatan yang dimaksud Nidom adalah negara-negara Afrika hingga Amerika Latin. Unair bersama Jepang akan berkonsentrasi memecahkan masalah atau penelitian mengenai flu burung di negara-negara tersebut. (YR/ berbagai sumber)

Pintar-Pintar Pilih Antibiotik

Terkait dengan tema fokus Infovet yang membahas bagaimana cara meningkatkan produktivitas dengan penggunaan obat hewan yang tepat. Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita menuturkan bahwa untuk mencapai peningkatan produktivitas erat kaitannya dengan tiga hal yaitu potensi genetik yang baik didukung dengan pakan yang berkualitas dan praktik manajemen yang baik.
Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan. Bila ketiga hal ini sudah dimiliki peternak selanjutnya perlu didukung oleh program pencegahan dan pengobatan yang tepat.
Perihal penggunaan antibiotik, Hadi membaginya berdasarkan tiga tujuan penggunaan yaitu sebagai pencegahan penyakit, pengobatan dan merangsang pertumbuhan. Namun dalam aplikasinya dilapangan pemakaian antibiotik di peternakan ayam terkadang berlebihan tanpa mengindahkan waktu henti obat. Hal inilah yang menyebabkan tingkat residu antibiotik untuk produk unggas di beberapa wilayah Indonesia terpantau cukup tinggi.
Ia mengungkapkan, saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya “Antibiotik Dewa” yaitu antibiotik yang mampu mengobati berbagai infeksi bakteri dengan spektrum luasnya. Hadi sendiri tidak setuju dengan penggunaan antibiotik jenis ini. Menurutnya yang paling tepat adalah penggunaan antibiotik berspektrum sempit tetapi tepat diagnosa.
Lebih jauh, kata Hadi, antibiotik berspektrum luas ini memiliki beberapa kelemahan yakni apabila terjadi resistensi dari penggunaan antibiotik ini sudah tentu menyebabkan resistensi yang luas. Belum lagi dibandingkan dengan harganya yang jauh lebih mahal.
“Dalam penggunaan antibiotik perlu mempertimbangkan efektivitas obat, ketepatan diagnosa dan resistensi bakterinya. Contoh antibiotik berspektrum luas adalah enrofloxacin, ciprofloxacin, norfloxacin yang merupakan antibiotik golongan quinolon,” jelas Hadi.
Kemampuan untuk mengidentifikasi dan diagnosa secara cepat dan tepat terhadap penyakit serta penanggulangan dan pengobatan yang tepat diperlukan untuk mencegah wabah serta ancaman penyakit. Sehingga efektifitas pengobatan dan penanggulangan yang akan dilakukan dapat dipastikan memberikan kesembuhan atau hasil yang optimal.
Namun, Hadi juga tidak menyangkal bahwasanya banyak perusahaan obat apabila setelah penyakit didiagnosa dan dilanjutkan dengan program pengobatan, peternak cenderung diarahkan pada penggunaan satu jenis produk tertentu yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Apalagi dengan iming-iming hadiah langsung yang membuat banyak peternak tergiur. Pada akhirnya peternak membayar lebih mahal dari obat yang seharusnya lebih murah dan lebih cocok untuk pengobatan penyakit tersebut.
Lebih lanjut yang menentukan tujuan penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan adalah dosisnya. Sementara antibiotik yang kerap digunakan sebagai pemacu pertumbuhan diantaranya adalah teramycin, virginiamycin, maduramycin. Ketiga antibiotik tersebut dapat diberikan dalam jangka waktu lama didalam pakan ternak karena tidak menimbulkan resistensi. Karena sifatnya yang bakteriostatik, memberikan kesehatan saluran cerna yang lebih baik sehingga penyerapan zat gizi sempurna.
Hadi mengungkapkan untuk membersihkan tubuh unggas (cleaning total) dari infeksi bakteri patogen biasanya ia menyarankan peternak untuk menggunakan Spiramycin untuk saluran pernapasannya dan Colistin untuk saluran pencernaannya. Kedua jenis antibiotik ini diberikan di dalam pakan. Colistin memiliki kelebihan mampu berada dalam saluran pencernaan dalam waktu yang lama dan tidak diserap oleh usus dan kerjanya hanya dipermukaan usus saja. Sementara Spiramycin berkerja sistemik dan mudah dibuang dan tidak ebrsifat toksik.
Diakhir wawancara Hadi Wibowo menggarisbawahi bahwa untuk meningkatkan produktivitas diperlukan kontrol maksimal terhadap populasi bakteri di saluran pencernaan dan pernapasan. Salah satunya caranya dengan penggunaan antibiotik yang tepat. (Infovet)

Flu Burung, Hewan Besar dan Obat Hewan

RIAU


Dunia peternakan khususnya dunia perunggasan di Propinsi Riau pada tahun 2006 sampai awal 2007 mengalami hal yang sama dengan propinsi lain di Indonesia yaitu adanya kasus Avian Influenza. AI di propinsi Riau sangat meresahkan semua lapisan masyarakat sehingga menyebabkan harga daging ayam dan telur turun drastis.
“Hal ini menyebabkan bisnis perunggasan sedikit menjadi lesu, tetapi kelesuan ini tidak menyebabkan perusahaan peternakan yang melakukan pola kemitraan menjadi mundur. Perusahaan kemitraan baik nasional maupun kemitraan lokal tetap bertahan, tetapi mengurangi jumlah populasinya,” kata Pengurus ASOHI Daerah Riau yang dipimpin Drh Zalpidal, belum lama ini.
Menurut Pengurus ASOHI Daerah Riau itu, situasi suram bisnis perunggasan hanya berlangsung sampai dengan bulan Maret 2007. Mulai April 2007 bisnis perunggasan bergairah kembali, karena sejak April 2007 harga Pronak mengalami perobahan yang menguntungkan, sehingga dunia perunggasan lebih bergairah kembali.
“Berkembangnya bisnis perunggasan yang disebabkan membaiknya harga pronak ternyata tetap menghadapi beberapa kendala, antara lain naiknya harga pakan dan DOC serta akhir-akhir ini juga terjadi kelangkaan DOC,” kata mereka.

Peternakan Hewan Besar
Adapun Peternakan hewan besar berkembang dengan baik, karena Pemerintah Propinsi Riau mempunyai Program pengembangan sapi potong untuk menjadikan Propinsi Riau menjadi salah satu daerah penghasil daging sapi di masa yang akan datang.
Program pemerintah ini juga diikuti oleh perubahan swasta yang ingin mengembangkan industri sapi potong di Riau. Hal ini terlihat dengan berdirinya perusahaan peternakan sapi potong di propinsi Riau antara lain PT Riau Farm dan PT Tri Bakti Sarimas. Sasaran dari perusahaan ini adalah selain untuk kebutuhan lokal juga untuk ekspor.

Bisnis Obat Hewan
Berdasarkan perkembangan dan pertumbuhan dunia peternakan tersebut baik perunggasan maupun ternak hewan besar maka bisnis obat hewan di propinsi Riau juga mengalami peningkatan. Bisnis obat hewan ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat propinsi Riau secara geografis terletak di tengah Pulau Sumatera dan juga mempunyai jarak tempuh yang relatif singkat dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura.
Masyarakat obat hewan yang tergabung dalam ASOHI Daerah Riau pun bekerjasama dengan Dinas Peternakan melaksanakan Temu Usaha Obat Hewan dan Pengawasan Obat Hewan se Propinsi Riau. Pemantauan terhadap adanya obat hewan ilegal selalu dilakukan. “Sampai saat ini kita bersyukur obat hewan ilegal tidak ada beredar di Propinsi Riau,” kata pengurus ASOHI Daerah Riau.
“Program pemerintah daerah yang sangat mendukung dunia peternakan agar Riau menjadi daerah penghasil daging dan telur di masa yang akan datang merupakan suatu harapan bagi ASOHI untuk berkembangnya bisnis obat hewan di propinsi Riau. Hal ini akan tetap memicu adanya pihak yang ingin memasukkan obat hewan ke Riau secara ilegal dengan harga yang murah,” Pengurus ASOHI Daerah Riau menuturkan kemungkinan-kemungkinan yang tetap bisa terjadi di masa mendatang.
Bagi masyarakat obat hewan yang tergabung dalam ASOHI Riau, secara internal petunjuk baku dari ASOHI Pusat tentang cara menangani jika ditemukan adanya obat hewan ilegal dan aturan-aturan tentang perizinn Depo obat hewan sangat bermanfaat.
Perkembangan dan pertumbuhan bisnis peternakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk tumbuh dan berkembangnya bisnis obat hewan. Oleh sebab ini, maka ASOHI senantiasa harus berupaya dan berperan aktif mengatasi kendala yang jadi penghambat perkambangan bisnis peternakan tersebut.
Masyarakat peternakan dan kesehatan Riau pun telah melakukan audensi dengan Dinas Peternakan. Mereka memberikan masukan kepada Dinas Peternakan Propinsi untuk persiapan adanya Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Daerah Peternakan. (YR/berbagai sumber)

Pasar Membaik, Flu Burung, Obat dan Retribusi

SULAWESI TENGAH


Menjelang masuk semester II 2006 tepatnya pada bulan Mei 2006, situasi peternakan ayam ras Sulawesi Tengah mulai menunjukkan gairah lagi setelah selama 2 tahun tidak ada suplai DOC akibat kebijakan Pemerintah Daerah yang melarang memasukkan DOC dari Hatchery yang berada di wilayah tertular AI.
Populasi mendekati kembali ke semula, layer sekitar 500.000 ekor (semula 600.000 ekor), broiler 250.000 ekor per bulan (semula 300.000 ekor).
Namun, “Situasi itu tidak berlangsung lama, karena memasuki bulan Agustus 2006, kota Palu tepatnya di kecamatan Palu Barat, dinyatakan terjangkit virus AI yang terjadi pada beberapa ekor ayam kampung (buras),” kata ASOHI Daerah Sulawesi Tengah yang diketuai Drh Fajar Santosa belum lama ini.
Kejadian tersebut tentu saja langsung mempengaruhi bisnis, penjualan ayam potong maupun telur lesu dan berlangsung sekitar 2 bulan.
“Kami bersyukur, serangan virus AI tidak berlangsung lama, berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa melalui kerja sama segenap unsur masyarakat peternak ayam ras yang tergabung dalam wadah Asosiasi Pengusaha Perunggasan Sulawesi Tengah, termasuk di dalamnya pengurus dan anggota ASOHI provinsi Sulawesi Tengah dan didukung oleh instansi terkait,” papar Pengurus ASOHI Daerah Sulawesi Tengah.
Pada akhir tahun 2006 sampai dengan semester 1 tahun 2007 situasi pasar sudah kondusif, harga-harga pronak bagus, ada keseimbangan dengan harga-harga sapronak. Meskipun, harga jagung sempat melonjak sampai dengan harga lebih dari Rp 2000.
Namun memasuki semester dua tahun 2007, mulai bulan Juli ada penyesuaian harga dari sektor pakan maupun obat-obatan, bahkan untuk pakan bulan Agustus ada penyesuaian lagi.
Hal ini tentu saja akan mempengaruhi lagi benefit yang diterima para peternak yang pada akhirnya kalau tidak diimbangi dengan harga pronak akan berakibat pada perkembangan usaha.

Flu Burung
Begitulah, permasalahan utama yang Sulawesi Tengah rasakan: “Selama periode tahun 2004 – 2007 adalah Pemberitaan Issue-issue Flu Burung di media massa. Dampak pemberitaan yang tidak proposional langsung mempengaruhi bisnis dan kebijakan pemerintah yang menghambat perkembangan usaha,” kata Pengurus ASOHI Sulawesi Tengah itu.
Untuk itu ASOHI Sulawesi tengah senantiasa menjalin hubungan yang harmonis dan konsisten dengan Asosiasi Pengusaha Perunggasan se Sulawesi Tengah, baik dibidang informasi bisnis maupun manajemen peternakan (khususnya dalam mencegah dan mengendalikan wabah AI), dengan instansi terkait seperti Dinas Peternakan dan Karantina Hewan.
Mereka pun merasa perlu menindak lanjuti kerja sama dengan instansi terkait maupun dengan Asosiasi Pengusaha Perunggasan se Sulawesi Tengah dalam berbagai bidang, khususnya dalam pengendalian AI di kota Palu dengan target bebas pada tahun 2008.
Bagi mereka, penanganan kasus Flu Burung menuntut keseriusan dan tindakan yang berkelanjutan (konsisten) dari semua pihak yang berkepentingan, terutama instansi terkait, baik dari jajaran Departemen Pertanian yang membawahi Dinas Peternakan maupun Departemen Kesehatan.

Situasi Bisnis Obat
Sampai saat ini obat yang beredar di wilayah Sulawesi Tengah adalah produk-produk dari PT Medion, PT UTD (Univetama Dinamika), PT Romindo Primavetcom, PT Usfa, PT Eka Farma, PT Sanbe, PT Vetindo, PT IMA (Indovetraco Makmur Abadi).
Pada umumnya peternak khususnya ayam ras (layer maupun broiler) sudah sangat sadar dalam penggunaan obat, vaksin guna menjaga kesehatan maupun produktivitasnya.
Obat-obatan untuk hewan besar pun penggunaannya mulai disadari para peternak, penyediaan melalui Dinas atau depo-depo obat hewan / Pet Shop.
Bersama Dinas Peternakan Kota Palu membahas Perda Bidang Peternakan, termasuk didalamnya masalah Peredaran Obat Hewan. “Dengan telah diedarkannya Perda Bidang Peternakan, maka ASOHI Daerah Sulawesi Tengah akan konsisten mengawal Perda tersebut, terumata berkaitan dengan Perijinan Depo-depo Obat Hewan maupun Pemegang tender pengadaan Obat Hewan,” janji Pengurus ASOHI Sulteng.
Secara internal, anggota ASOHI Sulteng senantiasa memantau dan saling menginformasikan antar anggota jika ditemukan obat/vaksin dan sediaan farmasetik lainnya yang tidak terdaftar pada Dirjen Peternakan.
Diungkap, “Rekanan pengadaan obat untuk kebutuhan Dinas belum tertata dengan baik. Pada umumnya hanya penunjukkan langsung pada perseorangan yang tentu saja tidak memiliki Ijin peredaran obat hewan,” kata mereka.
Sarannya, “Perlu dilakukan pressure yang berkelanjutan dari ASOHI Pusat kepada Dinas Peternakan Provinsi agar menertibkan para pelaku rekanan pengadaan obat yang tidak berijin,” katanya.

Retribusi
Yang menjadi beban lainnya, pungutan atau retribusi yang dikenakan kepada peternak oleh semua instansi yang membidangi sektor peternakan baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, dan karantina hewan (dari daerah penerima maupun dari pengirim).
Solusi dan saran Pengurus ASOHI Sulteng: “Pungutan atas dasar Perda sebaiknya ditiadakan, karena pada dasarnya pengusaha sudah menjalankan kewajibannya yaitu membayar Pajak.” (ASOHI/ YR)

Obat Hewan, Otoda dan RPH Unggas

SUMATERA BARAT

Propinsi Sumatera Barat berpotensi sekali dalam mengembangkan Ternak besar seperti (sapi dan kerbau) dan ternak unggas terutama ayam petelur dan ayam potong. Sapi yang sangat pesat perkembangannya adalah sapi potong jenis Simental, sedangkan sapi perah hanya diminati oleh masyarakat di sekitar Kota Padang Panjang.
Adapun unggas terpusat di Kabupaten lima puluh kota baik petelur maupun pedaging. Kebutuhan propinsi tetangga seperti Riau, Riau Kepulauan, dan Jambi, Bengkulu terhadap Telur dan daging ayam dipasok dari Kabupaten Lima Puluh Kota.
Demikian tutur Ketua Bidang Organisasi ASOHI Daerah Sumatera Barat Drh Dodi Mulyadi, belum lama ini. Seraya, menambahkan sejalan dengan kemajuan peternakan maka secara paralel akan meningkatkan kebutuhan atas obat-obat hewan.
Dituturkan Dodi Mulyadi, bisnis obat hewan di Sumbar banyak didominasi oleh obat unggas. Karena, ayam telah berkembang sangat pesat sekali di tengah-tengah usaha swasta bibit, pakan dan obat-obatan.
Tidak kurang 8 distributor obat hewan yang beroperasi di Sumatera Barat. Adapun, obat hewan untuk ternak besar 90 persen adalah kebutuhan instansi pemerintah melalui anggaran APBN dan APBD baik propinsi maupun Kabupaten dan Kota se Sumatera Barat.

118 Perusahaan Obat Hewan
Dodi menguraikan, 118 perusahaan (Distributor, Depo dan Toko) mempunyai Izin usaha obat hewan dari Dinas Peternakan Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Barat.
Untuk pengawasan obat hewan, secara wewenang pengawasan dan penindakan ada pada Dinas Instansi Pemerintah. Sehingga, ASOHI akan menginformasikan kepada pemerintah jika terjadi pelanggaran aturan peredaran obat hewan dan obat hewan ilegal.
Di sisi internal, ASOHI memberikan pembinaan kepada pengusaha obat hewan. Dengan jalan: menyampaikan daftar obat hewan yang telah terdaftar dan teregistrasi kepada Dinas yang membidangi Peternakan. Juga, dalam menyusun kebutuhan daerah dan menyampaikan distributor yang telah menjadi anggota ASOHI Sumatera Barat.
Adapun, otonomi daerah menjadikan masing-masing daerah membuat kebijakan yang sering tidak memperhatikan aturan perundang-undangan teknis, seperti tender pengadaan obat hewan. Untuk itu, “Harus ada penegasan dari Menteri Pertanian kepada pemda dan dinas di daerah dalam memberlakukan peraturan mengenai obat hewan,” kata Pengurus ASOHI Daerah Sumatera Barat itu.
Flu Burung dan RPU
Untuk menunjang kembang tumbuhnya bidang peternakan dan kesehatan hewan, diselenggarakan seminar dan rapat-rapat dan berbagai kerjasama dengan Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota se Sumatera Barat. Seminar dan rapat yang paling intens, adalah tentang Penanggulangan Flu Burung.
Dalam upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit Avian Influenza di Sumatera Barat pun telah dilakukan secara intensif terhadap sumber penularannya guna memutus mata rantai penyebaran penyakit Flu Burung antar unggas maupun dari unggas ke manusia.
Oleh sebab itu, “Harus dilakukan penataan tempat penampungan unggas dan pemotongan unggas,” kata sumber di Dinas Peternakan Daerah Propinsi Sumatera Barat.
Untuk maksud tersebut perlu ditempuh langkah-langkah pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap pola pemeliharaan unggas di pemukiman dan penanganan pasca panen yang berkaitan dengan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Khususnya, penataan tempat penampungan unggas dan tempat pemotongan unggas serta Rumah Pemotongan Unggas.
Berdasarkan pertimbangan itu, Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan Instruksi Nomor: 02/INST/GSB/2007 Instruksi Gubernur tentang Keharusan Memiliki Rumah Pemotongan Unggas sampai dengan Tahun 2010 dan Penataan Perunggasan di Kabupaten/Kota se Sumatera Barat.
Guna kepedulian sosial, masyarakat obat hewan pun melaksanakan bakti sosial dalam membantu korban gemba bumi pada bulan Maret 2007 di Sumatera Barat. Sumbangan dikumpulkan secara spontan dari Pengusaha obat hewan dan Peternak serta Poultri Shop yang ada di Padang, Payakumbuh, Padang Pariaman dan Bukittinggi. (ASOHI/ YR)

Lawan Flu Burung, Telur dan Obat Ilegal

SUMATERA UTARA

Munculnya kembali wabah Flu Burung khususnya di Propinsi Sumatera Utara terutama pada Ayam Buras dan Burung Puyuh pada bulan Oktober 2006 sampai dengan Desember 2007 dibeberapa Kabupaten, mengakibatkan harga DOC (Broiler, Layer) serta harga ayam besar (Broiler) turun hingga titik terendah.
Akibatnya, para peternak enggan untuk memulai kembali masuk ayam/pemeliharaan. Hal ini berlangsung hingga awal bulan Mei 2007. Harga telur juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda sehingga mengakibatkan harga telur turun drastis.
Peta peternakan dan kesehatan hewan di Sumatera tersebut mendorong Forum Perunggasan Sumatera Utara (FORGAS) yang di dalamnya termasuk ASOHI Sumut sebagai anggota bekerja sama dengan Dinas/Instansi baik dari Dinas Peternakan maupun Karantina melaksanakan: Sosialisasi dan Pengawasan secara langsung lalu lintas ternak khususnya yang berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera Utara seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Demikian disampaikan Ketua ASOHI Daerah Sumut Drh Anang Satoto belum lama ini.
Dengan berbagai sosialisasi yang diadakan termasuk seminar-seminar diberbagai kesempatan, maka kesadaran masyarakat peternak untuk melakukan vaksinasi AI serta peningkatan Bioscurity yang sebelumnya hanya dilakukan di layer komersil maka saat ini kesadaran tersebut sudah pula dilakukan di peternak broiler.
Adapun harga jual komoditi ternak seperti ayam besar dan telur konsumsi mengakibatkan bisnis obat hewan juga mengalami penurunan/lesu, karena banyak peternak yang menunda untuk masuk DOC. “Akan tetapi hingga kini kondisi serta situasi saat ini sudah mulai membaik kembali,” ungkap Drh Anang.

Malaysia Berulah di Bidang Peternakan
Serbuan Negara tetangga Malaysia yang telah berlaku tidak bersahabat dalam berbagai bidang terhadap warga Negara Indonesia yang berada di Malaysia, perampasan pulau Sipadan dan Ligitan, perampasan hak kekayaan intelektual atas batik Indonesia, pemakaian lagu Rasa sayange untuk Jingle Pariwisata Malaysia, dll, pun ternyata berlaku juga di bidang peternakan dengan masuknya telur ilegal yang masuk dari Malaysia ke P. Batam. Hal ini pun mendorong masyarakat peternakan dan kesehatan hewan Sumut pun melaksanakan kunjungan ke Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) bekerja sama dengan Karantina (Desember 2006) setempat karena kasus telur ilegal itu.
Dituturkan Anang Satoto, Forgas melakukan kunjungan dan pemantauan disebabkan adanya Telur Legal dari Malaysia yang masuk kembali ke P. Batam, tanpa melalui proses pemasukan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Kondisi ini sangat mengkuatirkan para peternak di Sumatera Utara mengingat pada priode Mei-Juni negara tetangga Malaysia kembali mengalami Out Break sehingga dikuatirkan membawa dampak yang sangat serius bagi provinsi Sumatera Utara.

Pengawasan Obat Hewan
Terkait dengan upaya mengendalikan peredaran obat ilegal, masyarakat peternakan setempat pun meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam hal pengawasan obat hewan. ASOHI Daerah Sumut bekerja sama dengan Dinas Peternakan serta Karantina setempat. Di sisi internal, “ASOHI Sumut meningkatkan peran aktif para anggotanya dalam pengawasan dan peredaran obat illegal,” tutur Drh Anang.
(YR)

Tingkatkan Produktivitas dengan Obat Hewan yang Tepat

Ternak sehat adalah ternak yang produktif. Kesehatan ternak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen suatu peternakan. Kesehatan ternak mutlak harus ada.

Demikian dikatakan drh Muhammad Firdaus MSi Kasi Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru kepada kru Infovet Riau. Menurutnya, Pemberian obat atau pengobatan sangat menunjang untuk mendapatkan ternak sehat yang produktif, meskipun kesehatan lingkungan di sekeliling ternak juga tidak boleh diabaikan.

Sakit dan obat, dua kata ini tidak dapat dipisahkan. Jika ternak sakit yang dicari tentu saja obat untuk menyembuhkannya. Namun, peternak harus hati-hati karena obat yang diberikanpun tidak selalu memberikan kondisi yang baik bagi ternak, apalagi bila pemberiaanya tidak tepat baik dosis yang diberikan maupun cara pemberiannya.

“Penggunaan obat bagaikan pisau bermata dua, jika digunakan secara tepat, obat dapat mencegah dan menyembuhkan penyakit. Namun sebaliknya, jika tidak digunakan dengan tepat, alih-alih menyembuhkan, obat malah menjadi tidak berguna bahkan bisa merugikan ternak”, ujar alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini.

Berdasarkan ini, peternak perlu mengetahui terlebih dahulu bahwa selain memiliki efek terapi, obat juga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan karena kandungan bahan kimianya.

Adalah drh Rondang Nayati MM Kasubdin Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau menyatakan, pemakaian obat untuk ternak harus hati-hati karena produksi dari ternak tersebut berupa daging telur dan susu merupakan bahan pangan yang dikonsumsi manusia.

Bahan pangan asal hewan tersebut harus aman dari kontaminasi segala macam preparat obat, sehingga bagi manusia yang mengkonsumsinya tidak menimbulkan efek pada kurun waktu yang lama.

“Yang dikuatirkan itu adalah akumulasi obat-obat yang didapat dari produk ternak yang dikonsumsi manusia, artinya pada kondisi tertentu, tubuh manusia tak lagi respon dengan jenis obat tertentu,” jelas Rondang.

Untuk itu, istri mantan Kepala Dinas Peternakan Provinsi Riau ini menegaskan bahwa keberhasilan proses pengobatan dipengaruhi oleh pemilihan dan penggunaan obat yang tepat dan benar. Lalu bagaimana caranya?

Menurut Rondang, banyak hal yang perlu diperhatikan peternak sebelum mengambil tindakan dengan obat sebagai media penghalang dan pembunuh kuman dalam tubuh ternak, antara lain:

(1) Kenali jenis obat dari logonya.

Umumnya, obat ternak yang beredar di pasaran adalah obat modern dan masih jarang obat-obat alami yang diproduksi dengan bahan baku yang bersumber dari alam.

Obat modern dapat dikelompokkan menjadi obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat keras. Obat bebas dan obat bebas terbatas biasanya dijual bebas yang bisa didapatkan peternak di poultry shop - poultry shop dengan harga yang terjangkau.

Obat bebas tersebut seperti vitamin yang dapat dibeli tanpa harus berkonsultasi dengan dokter hewan terlebih dahulu. Lalu bagaimana dengan obat keras? Menurut drh Rondang Nayati MM obat keras tidak dijual secara bebas di pasaran, dengan kata lain, obat keras harus dibeli dengan resep dokter hewan.

Obat jenis ini hanya dapat didistribusikan di sarana berwenang yang selalu dipantau oleh dokter hewan yang berwenang pula. Biasanya obat keras ini tersedia di apotik, Rumah Sakit Hewan, dan Klinik Hewan Swasta. Lalu mengapa harus ada batasan dalam penggunaan obat keras tersebut?

Dilanjutkan Rondang, potensi resiko obat keras lebih tinggi dibanding obat bebas dan obat bebas terbatas. Potensi resiko ini bukan saja pada ternak tapi efek jangka panjang obat ini pada manusia sebagai konsumen langsung produk ternak dimaksud. Yang kita kuatirkan adalah akumulasi obat keras tersebut dalam tubuh manusia yang perlu diwaspadai,” tegas Rodang.

Maka yang perlu diperhatikan adalah adanya keterlibatan dan kerjasama yang solid antara peternak pemakai dengan pihak produsen dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan di level atas. Kerjasama dimaksud seperti melakukan pemantauan terhadap keamanan suatu produk obat hewan yang beredar di pasaran.

(2) Periksa nomor registrasi.

Kemasan obat harus mencantumkan nomor registrasi (izin edar) dan tanggal kadaluwarsa obat. Obat yang tidak mencantumkan nomor registrasi digolongkan pada obat yang belum terdaftar dan ini dilarang mengunakan karena alasan faktor keamanan bagi hewan dan konsumen produk ternak.

Mutlaknya pencantuman label registrasi ini adalah untuk melihat aspek efikasi (kemanjuran), keamanan, dan mutu dari obat tersebut. Nomor registrasi obat dapat dipalsukan, apalagi dengan kecanggihan teknologi cetak saat ini. Namun, bila kasus ini ditemukan, maka dapat ditelusuri dengan cara melihat kesesuaian kode nomor dengan fisik produk serta data pada Departemen Pertanian.

Kemudian, obat yang sudah kadaluwarsa tidak layak lagi dikonsumsi oleh ternak karena ini dapat mengancam keselamatan ternak, mengacaukan diagnosa penyakit, menimbulkan atau meningkatkan kasus resistensi (khusus untuk antibiotika), meningkatkan biaya pengobatan, dan mutu obat tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya Rondang juga mengingatkan pada user obat hewan untuk melihat nomor batch yang tercantum pada kemasan obat. Nomor batch ini merupakan kodefikasi yang diberikan oleh industri farmasi sebagai produsen obat hewan tersebut, dengan tujuan untuk memudahkan penelusuran balik kepada sumber bila terjadi suatu masalah pada produk obat yang beredar di pasaran, baik masalah keamanannya ataupun masalah mutunya.

(3) perhatikan komposisi obat.

“Sebaiknya sesuaikan obat yang diminum dengan kondisi tubuh dan penyakit yang diderita ternak”, anjur Rondang. Setiap obat memiliki zat aktif berupa senyawa kimia. Zat aktif yang terkandung dalam obat disesuaikan dengan jenis gejala penyakit yang ingin disembuhkan.

Berdasarkan fungsinya, zat aktif obat dikelompokkan menjadi analgetik (menghilangkan rasa nyeri), antipiretik (menurunkan suhu tubuh), antihiseptik (zat kimia yang dapat membunuh kuman atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme misalnya fenol, alkohol dan iodin), antihistamin (mencegah kerja histamin yaitu zat yang diproduksi oleh tubuh yang keluar sebagai reaksi terhadap rangsangan tertentu), antitusif ( zat yang berfungsi menekan batuk), ekspektoran (mengencerkan dahak sehingga mudah dikeluarkan) dan lainnya.

Yang terpenting menurut Rondang adalah peternak harus mempelajari terlebih dahulu indikasi yang menunjukkan manfaat dari obat yang digunakan untuk mengobati suatu penyakit.

Kemudian posologi menjelaskan cara maupun frekuensi pemberian obat ataupun ketentuan lain dalam mengkonsumsi suatu obat, misalnya penggunaan obat dengan zat aktif yang berdampak pada organ tubuh penderita yang memiliki penyakit lain.

(4) baca aturan pakai dan cara penyimpanannya.

Ini harus menjadi perhatian peternak, bila tidak maka penggunaan obat untuk ternak akan sia-sia. Berdasarkan ini, mantan Kepala Balai Laboratorium dan Kesehatan Hewan (BLKH) Dinas Peternakan Provinsi Riau ini memberikan tips pada peternak sebelum menggunakan obat untuk ternaknya.

Antara lain, berikan obat pada ternak sesuai dengan petunjuk atau aturan yang terdapat dalam kemasan obat, berikan obat pada ternak dengan menggunakan air bening, perhatikan dan patuhi cara penyimpanan yang tertera dalam kemasan, jika penggunaan obat dirasa tidak memberikan manfaat bagi ternak, segera konsultasikan dengan dokter hewan yang berwenang.

Jangan menggunakan obat secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, dan terakhir jangan mencampur berbagai obat hewan dalam satu wadah, hal ini untuk mencegah kekeliruan bila terjadi masalah dalam pengobatan. (Daman Suska)

Antibiotik Bukan Obat Ajaib?

Antibiotik sering dianggap sebagai obat ajaib karena kemampuannya menyembuhkan penyakit dengan cepat. Antibiotik mempunyai dosis tertentu untuk menyembuhkan penyakit yang harus disesuaikan dengan kondisi tubuh ternak.

Jika antibiotik terlalu keras, berlebihan dosisnya, dapat menimbulkan alergi, sehingga penggunaan antibiotik harus memperhatikan aturan. Karena tidak sesuai prosedur itulah maka antibiotik untuk ternak penuh resiko yang dapat mengancam hidup ternak dan konsumen yang mengkonsumsi produk ternak tersebut.

selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 160 November 2007
Demikian diungkapkan narasumber Infovet akademisi Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau. Menurutnya, sebagai batasan antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba untuk menghambat pertumbuhan dan membasmi mikroba jenis lain. Awalnya antibiotik hanya ada beberapa saja, namun dewasa ini sudah ditemukan berbagai jenis antibiotik yang mampu mengatasi penyakit infeksi pada ternak.

Lebih lanjut dijelaskan, antibiotik bekerja untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, bukan virus. Penggunaan antibiotik untuk ternak tidak boleh sembarangan karena akan mendatangkan bahaya bagi tubuh.

Kemudian, bila pengobatan dengan antibiotik, maka perlu diperhatikan dua hal yang menjadi pertimbangan dasar antara lain (1) penyebab infeksi dan (2) faktor pasien.

Untuk penyebab infeksi, dilihat pada pemberian antibiotik yang paling ideal adalah melakukan pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman, sedang pada faktor pasien perlu memperhatikan fungsi ginjal, hati, riwayat alergi pasien, daya tahan tubuh terhadap infeksi, daya tahan obat, beratnya infeksi, umur ternak, serta memperhatikan kondisi ternak betina, buntingkah atau sedang menyusui.

Dengan cara ini, maka dapat mempermudah pemberian antibiotik sehingga penyakit dapat cepat disembuhkan.

Dimulai Dari Peternak

Pengenalan antibiotik dan jenis obat lainnya harus dimulai dari peternak, hal ini mengingat jumlah tenaga medis veteriner yang sangat tidak mencukupi untuk jutaan peternak di negara ini.

Demikian dikatakan drh Munasril Wahid Kepala Balai Laboratorium dan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau. Menurutnya, perimbangan jumlah peternak sebagai pengguna jasa dokter hewan tidak berimbang dengan ketersediaan tenaga dokter hewan di lapangan.

Padahal kondisi ini telah pula dibantu oleh para Technical Service produsen obat hewan dan para dokter hewan praktisi, namun ketimpangan-ketimpangan dalam penanggulangan termasuk pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit hewan di lapangan masih saja dijumpai.

Untuk itu alumni FKH IPB Bogor ini menganjurkan pembelajaran kepada peternak mutlak dilakukan, hal ini bertujuan untuk agar peternak cerdas dalam menangani kasus yang terjadi tanpa harus menanti kedatangan tenaga medis ke lokasi peternakannya.

Namun, Wahid tetap memberikan batasan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu, yakni saat peternak tidak mampu mengatasi permasalahan yang muncul terkait kasus penyakit di lapangan, maka Wahid menganjurkan peternak tetap harus berkonsultasi dengan tenaga medis agar tidak salah dalam melakukan penggunaan obat hewan untuk pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit ternak.

Saat ini, banyak peternak yang berkonsultasi pada penjual obat ketimbang dokter hewan, hal ini mengingat biaya yang dikeluarkan bila berkonsultasi dengan dokter hewan cukup tinggi. Kondisi ini diungkapkan Inal peternak Ayam Arab di desa Koto Baru Kecamatan Kotobaru Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat pada kru Infovet saat mudik lebaran tahun ini.

Menurutnya tenaga medis dan paramedis veteriner ataupun Penyuluh Pertanian Lapangan keberadaannya antara ada dan tiada. Padahal desa-desa dalam lingkup Kecamatan Koto Baru ini sangat potensial dijadikan sebagai based pengembangan areal peternakan.

“Keberhasilan saya memelihara Ayam Arab ini hanya belajar dari pengalaman. Dalam penggunaan obat misalnya, saya tetap berpedoman pada aturan-aturan yang tertera di bungkusan obat. Kemudian saya orangnya lebih suka bereksperimen, mencoba dan mencoba, bila gagal maka saya akan memperbaiki agar kegagalan tersebut bisa dianulir dan bila berhasil maka keberhasilan tersebut yang saya jadikan langkah awal menuju keberhasilan yang lebih baik lagi,” papar Inal dengan penuh percaya diri.

Hal senada juga diungkapkan Andi peternak Sapi Simmental. Menurutnya, ketidakjelasan keberadaan petugas peternakan di wilayahnya menuntutnya harus belajar dari pengalaman yang telah berlalu.

Satu hal yang menjadi kunci sukses Andi memelihara dua puluh ekor Sapi Simmental dengan sistem ekstensif ini adalah ketekunannya dalam menerapkan semua aspek cara beternak yang baik. Termasuk: manajemen penyakit yakni mengupayakan kondisi lingkungan agar tetap bersih sehingga ternak dapat terbebas dari penyakit. (Daman Suska).

Fokus 2005

“FLU BURUNG: KITA TIDAK PERLU TAKUT!”

(( Kecil kemungkinan terinfeksi dari daging dan telur selama kita tidak mengkonsumsi daging atau telur burung dalam kondisi mentah. Peluang terjadinya infeksi pada peternak sendiri sebenarnya juga bisa ditekan sekecil mungkin melalui pemusnahan segera burung yang terinfeksi, sterilisasi kandang dengan disinfektan seperti formalin dan iodine, pembatasan orang orang yang masuk kandang, dan lain-lain. ))

WABAH flu burung (avian flu) kembali mewabah di Indonesia. Wabah besar penyakit yang disebabkan oleh virus avian influenza (AI) ini, sebelumnya terjadi di kawasan Asia pada akhir 2003 sampai awal 2004 dan telah mengakibatkan matinya jutaan ternak unggas di kawasan ini. Selain itu juga dilaporkan adanya 35 kasus pada manusia, di mana 23 di antaranya meninggal. Hasil analisa menunjukkan bahwa virus yang menjadi penyebabnya adalah jenis H5N1. Munculnya kembali H5N1 ini telah meresahkan masyarakat karena ini membuktikan bahwa virus masih bersirkulasi di sekitar kita.
Demikian Dr Andi Utama dari Puslit Biotelnologi-LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada Diskusi Panel “Flu Burung: Kita Tidak Perlu Takut!” yang diselenggarakan di PDII LIPI di Jakarta, Kamis 14 April 2005. Dalam pemaparannya Dr Andi mengambil judul: Mengenal Lebih Jauh Virus Flu Burung.

Virus Influenza dan AI
Diuraikan Dr Andi, Virus influenza diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu A, B, dan C. Diantara ke-3 tipe ini, yang sering menimbulkan wabah, baik pada burung maupun manusia adalah tipe A. Tipe ini dibagi lagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan protein hemagglutinin (H) dan neuraminidase (N), dua protein yang muncul di permukaan virus (spike protein), sehingga penamaannya menjadi HxNx (contohnya, H5N1).
“Adapun protein H terdiri dari 15 subtipe (H 1 - H 15), sedangkan protein N terdiri dari 9 subtipe (N 1 - N9). Protein H berfungsi sebagai antigen yang mengindus antibodi. Selain itu, protein ini juga menentukan tingkat patogen virus influenza. Seperti contoh, virus tipe H5 dan H7, mempunyai tingkat patogen yang tinggi terhadap ayam temak. Protein N, selain berfungsi sebagai antigen dan juga berfungsi untuk pelepasan virus dari dalam sel (budding), serta penentu tingkat patogen,” urai Andi.
Selanjutnya ia mengatakan, Virus AI adalah virus infuenza yang lebih khusus menginfeksi burung, tidak manusia dan hewan lainnya. Hal ini dimungkinkan karena virus influenza biasanya host-specific, artinya virus jenis tertentu hanya spesifik terhadap inang (host) tertentu. Seperti contoh H5N 1 dan H9N2 adalah virus AI, sementara H 1 N 1 adalah virus influenza manusia.
“Host-specific ini ditentukan oleh struktur reseptor yang berbeda antara keduanya. Walaupun demikian, terkadang virus AI juga bisa menginfeksi beberapa makhluk hidup lainnya seperti babi, kuda, ikan paus, dan lain-lain,” papar Andi, seraya melanjutkan. Bahkan seperti halnya H5N 1 dan H9N2, virus AI tiba-tiba bisa menginfeksi manusia. Perubahan ini terjadi karena virus influenza selalu berevolusi, yaitu merubah diri melalui antigenic drift dan antigenic shift.

Antigenic Drift dan Antigenic Shift
Alumnus universitas terkemuka di Jepang ini memapaparkan Virus influenza yang memiliki RNA sebagai genomnya, adalah virus yang mudah berubah. Virus influenza sering mengalami mutasi secara terus menerus pada antigennya. Mutasi ini dinamakan antigenic drift. Lebih dari itu virus influenza bisa melakukan perubahan pada protein, terutama protein H dan N, sehingga melahirkan virus subtipe baru.
“Seperti contoh,” katanya, “Subtipe H5N1 bisa menjadi subtipe H5N2 atau H4Nl. Proses ini dinamakan antigenic shift. Baik antigenic drift maupun antigenic shift ini melahirkan virus dengan karakter baru, sehingga bisa menginfeksi berbagai makhluk hidup dan bisa melarikan diri dari sistim kekebalan tubuh.
Dengan cara ini, virus Al yang tadinya hanya bisa menginfeksi burung berubah menjadi virus yang mampu menginfeksi manusia.”
Walaupun demikian, menurut Andi sampai saat ini belum diketahui mekanismenya. Salah satu hipotesa saat ini adalah virus Al tidak bisa langsung menginfeksi manusia, tetapi terlebih dahulu beradaptasi pada babi atau kuda yang berfungsi sebagai inang intermediet (intermediate host). Hal ini berdasarkan fakta bahwa baik virus yang menginfeksi manusia maupun yang menginfeksi burung, keduanya bisa menginfeksi babi dan kuda ini. Diduga bahwa antigenic shift terjadi dalam tubuh babi. Selain itu juga ada bukti bahwa transmisi virus influenza dari babi ke manusia atau sebaliknya bisa terjadi.
Menurut ilmuwan yang masih belia ini, tingginya peluang terjadinya antigenic shift ini juga disebabkan oleh struktur genom virus influenza itu sendiri, yang terdiri dari 8 segmen gen yang terpisah. Jika seseorang atau hewan terinfeksi oleh virus dengan tipe yang berbeda, akan terbuka peluang untuk terjadinya penukaran segmen gen terebut. Misalnya, jika babi terinfeksi oleh virus influenza manusia dan virus Al pada waktu yang bersamaan, akan ada kemungkinan terjadinya penukaran segmen gen sehingga tercipta virus jenis baru, misalnya sebagian besar gennya dari virus influenza manusia, sementara H dan N-nya berasal dari Al.

Obat Anti-Influenza
Dalam diskusi panel yang dihadiri berbagai kalangan di tempat strategis di ibukota Indonesia Raya itu, Dr Andi menjelaskan, obat merupakan alternatif penanggulangan infeksi influenza pada manusia. Saat ini ada dua jenis obat antivirus. Pertama adalah ion channel (M2) blocker, seperti amantadine dan rimantadine. Obat ini memblok aktivitas ion channel dari influenza virus A, tidak influenza virus B.
“Akibatnya, aliran ion hidrogen akan terblokir sehingga virus tidak bisa melakukan proses perkembangbiakan. Obat yang kedua adalah neurimidase (NA) inhibitor, seperti zanamivir dan oseltamivir. Karena protein NA berfungsi pada proses pelepasan virus setelah berkembangbiak di dalam sel, NA inhibitor ini membuat virus tidak bisa keluar dari sel. Akibatnya, virus akan teragregasi di permukaan sel dan tidak bisa pindah ke sel lain,” urai Andi Utama.
Sayang sekali, sesalnya, obat ion channel blocker memicu munculnya virus yang resisten. Bahkan virus ini patogen dan bisa menular kepada orang yang dekat dengan pasien. Munculnya virus yang resisten ini disebabkan karena terjadinya mutasi pada protein M2. Sementara itu, obat NA inhibitor efektif terhadap virus influenza A dan B. Obat ini hampir tidak memicu munculnya virus yang resisten. Kalaupun muncul virus yang resisten jumlahnya tidak lebih dari 1%. Hanya saja zanamivir dan oseltamivir ini lebih mahal dibandingkan dengan amantadine dan rimantadine.
“Obat antivirus seperti ini sangat bermanfaat untuk penanganan jangka pendek, terutama pada saat munculnya virus baru. Hal ini disebabkan karena obat antivirus tidak spesifik, sehingga diharapkan bisa efektif. Beberapa studi awal juga menunjukan bahwa zanamivir dan oseltamivir bisa memproteksi mencit dari serangan virus H5Nl. Walaupun amantadine dan rimantadine tidak menunjukan efek yang positif, terapi dengan menggunakan kombinasi antara ion channel blocker dan NA inhibitor diharapkan akan lebih efektif,” tegas ilmuwan muda ini.

Vaksin
Lebih lanjut ilmuwan brilian itu mengutarakan, jika obat berfungsi untuk penanggulangan jangka pendek, untuk penanggulangan jangka panjang diperlukan vaksin. Hal ini disebabkan karena vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap serangan flu burung, baik terhadap burung maupun manusia. Namun selama ini pengembangan vaksin H5Nl menemukan beberapa kendala.
Kendala pertama, ujarnya, disebabkan karena H5N1 adalah virus yang sangat virulen, produksi vaksin memerlukan fasilitas dengan tingkat sekuriti yang tinggi. Kendala yang kedua adalah sulitnya untuk mendapatkannya dalam jumlah yang banyak. Hal ini disebabkan karena virus H5N1 sangat virulen, pengembangbiakannya pada telur untuk produksi-vaksin juga memberikan dampak negatif terhadap telur. Tetapi teknologi reverse-genetic memberikan solusi terhadap masalah ini. Teknologi ini memungkinkan kita untuk bisa memodifikasi gen yang kita inginkan. Seperti contoh, kita bisa memutasikan gen yang menentukan virulensi sehinga didapatkan H5N1 yang non-virulen, yang bisa digunakan untuk produksi vaksin.
Berikutnya Dr Andi menyambung, Jika vaksin dari satu subtipe (katakana H5N1) tidak tersedia, vaksin dari virus yang satu tipe masih bisa digunakan. Hal ini karena vaksin dari satu tipe. Misalnya H5Nx terbukti efektif, walaupun tidak sempuma. Vaksin dari H5N2 misalnya, terbukti efektif terhadap serangan H5N 1 pada burung. Namun, vaksin dari virus yang berbeda ini hanya bisa menekan timbulnya gejala penyakit, tidak menghilangkan virus yang dimaksud dari dalam tubuh. Karena itu vaksin yang benar-benar efektif adalah vaksin yang sesuai dengan virus yang menyerang.

Tidak Perlu Takut
Dalam diskusi yang seru dengan berbagai pertanyaan hadirin dari berbagai instansi itu, Dr Andi mengungkapkan, selama wabah flu burung ini masyarakat enggan mengkonsumsi daging dan telur ayam, karena takut akan terinfeksi. Perlu diketahui bahwa virus H5N1 mati dengan pemanasan 56. selama 3 jam atau 60. selama 30 menit. Artinya, kecil kemungkinan terinfeksi dari daging dan telur selama kita tidak mengkonsumsi daging atau telur burung dalam kondisi mentah. Virus influenza relatif stabil pada suhu rendah, sehingga wabah influenza di negara yang bermusim biasanya terjadi pada musim dingin. Sementara negara kita adalah negara tropis, sehingga virus influenza termasuk H5N 1 tidak akan bisa bertahan lama di lingkungan. Hal ini juga akan memperkecil penyebaran virus ini dibandingkan dengan negara yang bersuhu dingin.
Fakta lain, tegasnya, adalah infeksi virus ini hanya terbatas pada peternak, yang mempunyai kontak langsung dengan ternak, tidak pada masyarakat banyak. Kita perlu khawatir terhadap penyebaran wabah virus ini ke komunitas yang lebih luas jika virus Al H5N1 ini bisa menular dari manusia ke manusia (human-to-human transmission), seperti halnya virus influenza manusia. Tapi sampai saat ini belum ada bukti yang menujukan terjadinya hal itu, sehingga tidak terjadi wabah pada suatu komunitas.
Akhirnya, Andi mengungkap, peluang terjadinya infeksi pada peternak sendiri sebenarnya juga bisa ditekan sekecil mungkin melalui pemusnahan segera burung yang terinfeksi, sterilisasi kandang dengan disinfektan seperti formalin dan iodine, pembatasan orang orang yang masuk kandang, dan lain-lain. Tindakan ini lebih dikenal dengan biosecurity. Selain itu, vaksinasi ternak juga dilaksanakan untuk pencegahan penyebaran wabah flu burung ini. (Infovet)
Infovet Mei 2005

AI, SIAPA TAKUT?

((Yang harus dilakukan adalah jelas, tempatkan semua pada porsinya masing-masing. Biosecurity harus tetap jalan terus, maka dalam Fokus kali ini dibahas masalah penanganan peternakan yang bisa dijadikan teladan. Vaksinasi harus tetap jalan. Pemusnahan secara terbatas juga harus tetap jalan. Penelitian terhadap virus dan karaker virus AI harus tetap dilakoni. Pemerintah, swasta, pengusaha, peneliti, peternak, media massa dan masyarakat tidak bisa tidak haruslah mengembalikan posisi dan perannya pada porsinya masing-masing. Saling mengoreksi adalah keharusan, namun masing-masing tetap pada jalurnya masing-masing, menjaga independensi setiap kerja dan kebijakannya. ))

Dalam waktu-waktu genting, seperti jarum-jarum jam yang tak henti berdetak dan memutar secara pasti, terjadi peristiwa-peristiwa yang sebetulnya bisa dibilang biasa saja kalau menyikapinya secara arif. Tapi menjadi begitu menggelisahkan bila kita kurang berpikir dingin dan tidak mempunyai pandangan bahwa sebetulnya kasus Avian Influenza gelombang ke dua adalah suatu hal yang pasti akan terjadi. Sehingga selayaknya bangsa Indonesia tidak akan kebakaran jenggot menghadapinya, belajar dari pengalaman wabah Avian Influenza gelombang satu yang seolah meruntuhkan langit peternakan bumi tercinta, namun kita berhasil mengatasinya juga.

Belum lama ini Menteri Pertanian mengumumkan bahwa daerah jawa barat dan sulawesi selatan tertutup pintu keluar untuk transportasi ternak ayam dan produknya, lantaran di daerah itu dianggap merebak wabah Flu Burung yang membahayakan ternak dan manusia. Kontan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan menghadapi dilema, satu sisi atasannya langsung yang menyatakan, sementara sebetulnya bidang itu kewenangannya untuk membuat kebijakan sebelum dinyatakan ke publik setelah koordinasi dengan Mentan. Sedang Dirjennak sendiri, terhadap kasus Flu Burung gelombang ke dua ini pada dasarnya sikapnya berbeda dengan kebijakan Mentan.
Masyarakat peternakan umumnya juga menyesalkan pengumuman Mentan itu, Dirjen sesuai dengan otoritas dan tanggungjawabnya untuk membangun peternakan Indonesia tampak dari kebijakan-kebijakannya upayanya agar kepentingan peternakan haruslah diselamatkan. Hal yang sangat bisa dimengerti lantaran putaran uang yang begitu besar di bidang peternakan dalam pembangunan peernakan ini, menyangkut hajat hidup banyak sekali masyarakat peternakan dari hulu ke hilir bahkan sampai pada masa-masa pasca produksi setelah produk-produk itu siap saji dan disantap masayarakat untuk kehidupan dan kesehatan.

Berkembang berbagai komentar dan sikap bahwa sebetulnya menutup pintu keluar masuk transportasi antar wilayah bukanlah tindakan yang tepat, karena belum tentu kasus Avian Influenza itu serjadi secara serempak, disinyalir kasus tahun ini berbeda dengan tahun 2003-2004 yang sudah menjadi wabah yang menakutkan. Kasus AI sekarang lebih terkendali, petanya tampak lebih tenang, karena tindakan-tindakan peternak, praktisi kesehatan hewan, pemerintah, dalam mengatasi kasus dengan biosecurity, vaksinasi dan pemusnahan secara terbatas dengan segala kekurangannya cukup memberikan pengaruh positif.

Yang menjadi permasalahan dan dipermasalahkan pada dasarnya adalah tindakan-tindakan penanggulangan yang praktis masih bolong sana-sini, dan dipertanyakan efektivitasnya. Soal kompensasi dana pemusnahan wabah tahun lalu yang masih dipenuhi tanda tanya. Soal tipikal pemusnahan ayam yang terserang yang paling cocok bagi kondisi peternakan Indonesia, pemusnahan total ataukah pemusnahan terbatas sesuai kebijakan pemerintah dalam tahap-tahap penanggulangan yang digariskan tahun lalu. Soal vaksinasi yang tampaknya saat ini sudah kelihatan manfaatnya, tapi peternak masih saja dihantui kenyataan pada peternakan-peternakan tertentu wabah Avian Influnza masih juga merampas ayam-ayamnya. Ditambah soal eforia kebebasan dan kekuasaan daerah-daerah yang merayakan tendesi sifat raja kecil di daerah masing-masing yang mencetak kebijakan-kebijakan penanganan kasus Avia Influenza teritorial yang saling bertabrakan dengan kebijakan teritori lain bahkan kebijakan pemerintah pusat.

Disusul bola panas lagi ketika penyakit Flu Burung memasuki ranah kehidupan manusia, yang justru hal inilah yang membuat penyakit ini menjadi begitu mengkhawatirkan keberadaannya. Karakterisasi virus menurut beberapa praktisi belum dilakukan secara sempurna, bahkan uji karakterisasi yang sesungguhnya pun belum berhasil dilakukan oleh lembaga yang punya otoritas di bidang penelitian veteriner. Pengujian untuk menentukan jenis virus baru pada tahap terbatas. Sementara kegelisahan berubahnya virus atau munculnya virus dari subtipe baru selalu dikhawatirkan menjadi lebih ganas.

Penularan virus ke manusia senantiasa menjadi hantu kematian. Hiburan paling segar adalah sejauh ini dinyatakan pemerintah tidak ada seorang pun manusia Indonesia yang terserang penyakit virus ganas ini. Hiburan kedua adalah tindakan-tindakan penanggulangan seperti yang diurai terdahulu. Hiburan ketiga adalah setiap daging ayam yang dikonsumsi dengan pengolahan yang benar terlebih dulu, dijamin seratus persen aman! Penularan memang lebih memlalui sekret pernapasan dan pencernaan burung/ayam yang terserang, bukan melalui cara konsumsi dengan pengolahan sehat seperti itu.

Semenjak diketahui bahwa penularan ke manusia hanyalah bisa melalui ternak lain, babi, yang di dalam perkembangan virus dalam tubuhnya bisa merubah sifat virus yang semula hanya bisa menyerang unggas menjadi bisa menyerang mamalia, terutama manusia, sangat dimaklumi bahwa itulah hiburan paling segar di Indonesia, karena sampai suatu titik masa kabar virus Flu Burung menyerang babi belumlah pernah dijumpai. Sampai hari Jumat tanggal 8 bulan April 2005, seorang proklamator wabah Avian Influenza di Indonesia 2004 kembali memproklamasikan temuannya yang terkini: seratus ekor babi sudah kedapatan di dalam tubuhnya virus Avian Influenza H5N1, virus ganas AI yang dikenal di Indonesia seperti halnya China.

Laksana bom yang meledak lagi. Pemerintah dan sebagian masyarakat peternakan yang mengibarkan bendera kepentingan peternakan adalah nomor satu kembali mengibarkan panji-panji, pernyataan flu burung sudah menyerang babi tidaklah benar, kata lainnya belum ada babi yang terserang kasus Avian Influenza. Dengan sendirinya terjadilah pertentangan pendapat yang begitu keras terhadap pernyataan yang dimuat di surat kabar nasional yang juga pertama kali membongkar gundukan misteri Flu Burung gelombang satu pada 25 Januari 2004.

Berbagai pertanyaan yang menyangsikan kesahihan pernyataan AI pada babi bermunculan di sana-sini. Antara muatan kajian ilmiah, kepentingan ekonomi, bisnis, dan kekuasaan saling bertabrakan, saling tawur. Bahkan antar pejabat pemerintah yang secara jenjang kebijaksanaan sama-sama punya otoritas di bidang kesehatan hewan dan peternakan pun terjadi perpecahan pendapat, yang mengarah kepada perseteruan idealisme peternakan.

Padahal secara nalar semua sudah jelas, terdapatnya virus Avian Influenza pada tubuh babi sangatlah mungkin, tapi perlu diingat derajad kasusnya, apakah sudah menyebabkan penyakit atau belum, ataukah hanya sekedar nangkring di tubuh ternak itu. Apapun patut diwaspadai dan tinggal menunggu waktu perkembangannya. Kalaupun pernyataan itu ditolak, harus jelas alasan-alasan ilmiah penolakannya. Kalau tidak ada, maka apa arti penelitian itu. Kalau ya, kembali kepada muara hubungan masyarakat yang secara bijak bisa menjelaskan kepada masyarakat peternakan dan masyarakat umum, tanpa harus menutup-nutupi kenyataan yang ada, karena apapun yang ditutupi pastilah suatu saat tersingkap juga, atau baunya tercium juga, karena kebenaran tidaklah pernah berdusta.

Apakah menghadapi carut-marut ini kita harus bertanya rumput yang bergoyang? Tidak. Yang harus dilakukan adalah jelas, tempatkan semua pada porsinya masing-masing. Biosecurity harus tetap jalan terus, maka dalam Fokus kali ini dibahas masalah penanganan peternakan yang bisa dijadikan teladan. Vaksinasi harus tetap jalan. Pemusnahan secara terbatas juga harus tetap jalan. Penelitian terhadap virus dan karaker virus AI harus tetap dilakoni. Pemerintah, swasta, pengusaha, peneliti, peternak, media massa dan masyarakat tidak bisa tidak haruslah mengembalikan posisi dan perannya pada porsinya masing-masing. Saling mengoreksi adalah keharusan, namun masing-masing tetap pada jalurnya masing-masing, menjaga independensi setiap kerja dan kebijakannya.

Hubungan masyarakat adalah tindakan yang pasti dibutuhkan. Pengumuman adalah bukti kejujuran kepada masyarakat, asal dilambari tindakan-tindakan yang pada tempatnya tidaklah perlu dibesar-besarkan kekhawatiran terhadap nasib peternakan. Peternakan adalah bidang yang besar, menjadi besar pun tidak perlu terlalu menjadikannya lebih besar lebih daripada kewajarannya dan mencipta ketimpangan pada kehidupan yang lebih besar. Menjaga keseimbangan, siapa takut?

Mencegah lebih baik dari mengobati, namun bukankah kita sendiri yang membuat Indonesia yang bebas AI menjadi diakrabi? Kalau ini sudah terjadi, apapun bisa terjadi, haruskah ditutup-tutupi? Bahkan penyakit AIDS pun kini sudah mulai ada perlawanannya, apalagi AI. Dengan segala resiko dan konsekuensinya, mari kita hadapi AI. Namun kita tahu pasti, sekuat hati jangan diulang lagi setiap kebodohan yang sudah terjadi. (Yonathan Rahardjo)
Majalah Infovet Mei 2005

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer