Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEMACU PERTUMBUHAN TERNAK SECARA ANGGUN DAN BERMARTABAT

Peraturan pelarangan pemakaian AGP mendorong industri untuk mencari alternatif yang efektif dan aman. Beberapa sediaan yang sudah terbukti efektif adalah probiotik, prebiotik, organic acid, NSP enzymes, immuno modulator dan obat hewan herbal.
Apakah benar produk probiotik benar-benar berpotensi hebat dan secara signifikan meningkatkan dan memperbaiki performans produksi ayam komersial, memang butuh pengujian laboratoris oleh pihak yang kompeten.
Hanya yang jelas produk itu telah menarik minat banyak peternak untuk mengaplikasikannya. Bukti empiris dari para peternak selalu menjadi testimoni atau kesaksian yang semakin mengharu-birukan pemasaran produk “hebat” itu dan meski tidak menggeser produk farmasetik dan berbahan baku dasar kemikalia secara nyata.
Dari kubu yang menyambut positip aplikasi produk itu, mengungkapkan bahwa hasil nyata telah diperoleh para peternak unggas. Justru menekan ongkos produksi dan mendongkrak produktivitas. Sedangkan dari kubu yang tidak sepaham, berdalih bahwa aplikasi probiotik hanya bersifat pemborosan dan sangat merugikan peternak, oleh karena itu sebaiknya pemerintah melalui instansi yang berwenang untuk segera menertibkan.

Bermula dari Antibiotika
Semua bermula dari antibiotika yang banyak digunakan pada hewan secara intensif untuk pengobatan, pencegahan penyakit dan pemacu pertumbuhan. Pemakaian antibiotika pada hewan terbukti memacu timbulnya resistensi antibiotika terhadap foodborne bakteri, sebagai contoh Campylobacter dan Salmonella telah resisten terhadap antibiotika fluoroquinolon dan generasi ke tiga chepalosporin.

Ke Hormon Pertumbuhan
Kemudian muncullah hormon pemacu pertumbuhan yang secara luas dikenal tahun 1950-an hormone (hexoestroi) sebagai growth promotors di USA. Ditujukan untuk meningkatkan berat badan tanpa harus memberi pakan dalam jumlah banyak (overfeeding). Tentu saja dengan efek dan larangan yang muncul mengikutinya.

Untuk Memenuhi Kebutuhan Asal Ternak
Upaya memacu Pertumbuhan Ternak itu sudah tentu karena pangan asal ternak sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya.
Namun demikian, pangan asal ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak merupakan persyaratan mutlak.
Untuk memperoleh produk ternak yang aman dikonsumsi, berbagai faktor yang terkait erat dalam proses pra produksi perlu diperhatikan dengan menerapkan sistem jaminan mutu.
Tim Balai Penelitian Veteriner Bogor mengungkapkan faktor penting menghasilkan produk ternak aman dan bermutu, perlu memperhatikan kontaminasi produk dari lingkungan dan kontaminasi oleh penyakit hewan menular
Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada.
Pakan memegang peranan terpenting dalam sistem keamanan pangan asal ternak karena mutu pakan akan tercermin dalam produk ternak yang dihasilkan. Pakan yang tercemar oleh berbagai senyawa toksik maupun yang mengandung obat hewan akan berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak.
Apabila peternak yang menggunakan ransum tersebut tidak memperhatikan aturan pemakaiannya, diduga kuat produk ternak mengandung residu antibiotik yang dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain berupa resistensi terhadap antibiotik tertentu. Terlebih lagi sepertiga dari pabrik pakan yang diamati juga menambahkan obat koksidiostat selain antibiotik sehingga akan menambah jenis residu pada produk ternak.

Juga Bermanfaat Melawan Ayam Kerdil
Pemberian bahan-bahan yang bersifat memicu pertumbuhan seperti obat herbal, imunomodulator dan probiotik juga baik digunakan untuk menekan efek sindrom kekerdilan ayam.
Di mana, periode awal tahun 2007 ini peternak benar-benar mendapat cobaan berat. Pasalnya, pemberitaan meningkatnya jumlah korban meninggal akibat flu burung telah menurunkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging unggas yang menyebabkan hancurnya harga broiler panen ditingkat peternak. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga peternak masih harus direpotkan oleh wabah penyakit kerdil yang merajalela.

Terus Mencari Keamanan
Begitulah, untuk upaya memenuhi kebutuhan pangan asal ternak, antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan telah banyak digunakan, tetapi pada umumnya antibiotik memberikan dampak resiko jangka panjang yang merugikan baik pada lingkungan maupun manusia yang mengkonsumsinya. Untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya resistensi antibiotik, perlu dikaji pemacu pertumbuhan berbahan baku alamiah yang aman untuk manusia dan lingkungan.
Maka penelitian pun banyak dilakukan. Phytogenik yang merupakan salah satu pemacu pertumbuhan dihasilkan dari ekstrak tumbuhan yang berperan penting dalam memacu pertumbuhan pun diteliti.
Maka diketahui taraf penggunaan dan pengaruh pemberian ransum yang mengadung phytogenik antibiotik pemacu pertumbuhan terhadap bobot badan dipasarkan, pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, konversi ransum, tingkat kematian (mortalitas), income over feed and chick cost ayam broiler.
Alam sendiri dapat menyediakan ratusan prebiotik yang dapat diekstrak dari karbohidrat. Secara komersial, karbohidrat kelas oligosakarida yang merupakan polimer dari fructose Fruktooligosakarida, FOS) dan manosa (mananoligosakarida, MOS) yang banyak diproduksi dalam industri makanan dan kesehatan karena menyimpan fungsi prebiotik.
Saat ini pun, minyak esensial lebih dari hanya sekadar alternatif pengganti antibiotika. Mereka tidak hanya mempengaruhi populasi mikroba, tetapi pada saat yang sama berpengaruh positif terhadap aktivitas enzim pencernaan dan intermediate metabolisme. Produksi ternak tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan penampilan ternak, tetapi juga nutrisi dan kesehatan ternak dan manusia. Saat ini minyak esensial menjadi populer dalam dunia pertanian dan peternakan sebagai pemacu metabolisme dan pencernaan (digestion and metabolism promoters).

Lebih Kenal dengan Hormon
Mengapa terjadi pembahasan tentang hormon sedang hormon sendiri dihasilkan dan banyak digunakan, kita perlu lebih intim dengannya, agar kita sanggup berpikir dan bertindak secara obyektif terhadap semua permasalahan tersebut.
Hormon adalah zat aktif yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang masuk ke dalam peredaran darah untuk mempengaruhi jaringan secara spesifik.
Hormon terbagi dari 6 golongan yaitu: Hormon androgen dan sintetisnya /testoteron, Hormon estrogen dan progesterone, Hormon kortikosteroid, Hormon tropik dan sintetiknya, Obat anabolic, DAN Hormon lainnya

Bijak di Dalam Bijak di Luar
Akhirnya, dari tahun ke tahun, pasokan ternak impor dari luar negeri ke Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah keprihatinan, mengingat tiga penentu kebijakan dalam hal ini yaitu produsen, konsumen dan pemerintah, hingga saat ini belum mencapai kapasitas kerja yang diharapkan.
Sementara masalah kesehatan produk impor tersebut, masih terus dipertanyakan hingga saat ini. Masalah kesehatan pangan impor pernah meruyak beberapa waktu lalu. Masalah sapi gila (mad cow), terinfeksinya beberapa hewan unggas oleh virus avian, dan beberapa kejadian lain cukup membuat kita memilih tidak mengonsumsi beberapa jenis produk pangan tertentu.
Untuk itu, dengan berbagai informasi yang diungkap kali ini, kita akan bijak bersikap tentang upaya meningkatkan pemenuhan kebutuhan baik yang diproduksi dari dalam negeri maupun yang (terpaksa) harus kita impor.
Tentu dengan sikap anggun dan bermartabat untuk kepentingan kesejahteraan dari segala aspek (Tim Infovet)

Amankah, Alternatif Pemacu Pertumbuhan?

Membahas penggunaan bahan pemacu pertumbuhan seakan tak kan pernah ada habisnya. Seperti hasil wawancara Infovet dengan Drh Abadi Sutisna Ketua Dewan Kode Etik Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI).
Menurut Abadi, demikian sapaan akrabnya, definisi growth promotor adalah zat aditif yang ditambahkan kedalam pakan untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas. Selama ini bahan yang biasa digunakan sebagai pemacu pertumbuhan adalah antibiotik, hormon, dan acidifier. Namun dari ketiga bahan tersebut masih ada bahan lain seperti obat herbal, imunomodulator, probiotik dan prebiotik yang fungsinya mirip meskipun cara kerjanya berbeda, yaitu bisa melalui penyehatan saluran pencernaan atau penguatan sistem kekebalan tubuh yang tujuannya untuk meningkatkan kesehatan dan bermuara pada percepatan pertumbuhan dan peningkatan produktivitas.
Menurut Abadi, obat-obatan seperti obat herbal telah lama digunakan peternak namun hanya sedikit yang terdaftar di Departemen Pertanian sehingga efikasi obat tak resmi (baca: tak terdaftar) tersebut diragukan, sebagai contoh obat herbal asal India yang beredar di pasaran Indonesia. Dari pantauan Abadi, obat herbal yang berbahan dasar seperti kunyit, jahe, temulawak memang terbukti memberi khasiat secara empiris karena bahan-bahan tersebut telah lama digunakan dalam pengobatan manusia dan terbukti efikasinya.
Namun, Abadi menegaskan bahwa kebanyakan obat herbal tersebut aksinya meningkatkan nafsu makan yang juga memicu pertumbuhan. “Sementara untuk imunomodulator kerjanya lebih kepada memodulasi sistem kekebalan namun kekebalan yang ditimbulkan bisa jadi naik bisa juga turun sesuai dengan prinsip modulasi yang bergelombang naik dan turun. Namun karena pengertian masyarakat cenderung pada peningkatan sistem kekebalan ya sudah kita terima saja persepsi tersebut. Dengan meningkatnya sistem kekebalan tubuh praktis bila kuman dan bakteri patogen masuk kedalam tubuh bisa ditangkal dan mencegah hewan menjadi sakit,” jelas Rektor Universitas Djuanda Bogor ini.
Sementara untuk jenis alternatif pemacu pertumbuhan yang lain seperti misalnya probiotik, Abadi menjelaskan bahwa probiotik hanya berfungsi untuk menyeleksi pertumbuhan bakteri yang baik dalam saluran pencernaan. Biasanya bahan aktif probiotik hanya berisi bakteri saprofit, bakteri asam, enzim atau elektrolit yang bertugas menyeimbangkan populasi bakteri baik sehingga proses pencernaan optimal.
Lain lagi dengan prebiotik yang fungsinya justru memperbaiki lingkungan pencernaan dengan menyediakan makanan bagi bakteri baik. Tujuannya agar bakteri baik dapat tumbuh dan menekan keberadaan bakteri patogen dalam saluran pencernaan. Muaranya tentu peningkatan pencernaan dan penyerapan pakan. Prebiotik tidak hanya digunakan di peternakan tetapi telah lama juga digunakan pada manusia dan budidaya ikan tambak.
Abadi menekankan, khusus untuk penggunaan antibiotik growth promotor yang diizinkan Pemerintah Indonesia Cq Deptan, tidak memiliki waktu paruh (withdrawal time) karena antibiotik yang dipilih diizinkan digunakan adalah antibiotik yang tidak diserap oleh usus. “Artinya antibiotik ini bekerja hanya membunuh bakteri patogen dan numpang lewat saja di usus. Sehingga AGP ini sama sekali tidak ada risiko terakumulasi di organ tubuh ternak,” ujar Abadi.

Pro dan Kontra
Ada dua blok yang pro dan kontra dengan penggunaan AGP ini, yaitu Amerika yang mengizinkan semua jenis antibiotik digunakan untuk memacu pertumbuhan dan Uni Eropa yang melarang penggunaan antibiotik jenis apapun untuk memacu pertumbuhan. “Posisi pemerintah Indonesia berada ditengah-tengah. Bila kita menganut paham Eropa maka kita akan diajak ke sidang WTO oleh Amerika. Sementara kalau kita menganut paham Amerika konsekuensinya sampai mati pun kita tidak akan bisa mengekspor produk peternakan kita ke Eropa,” jelas Abadi Sutisna.
Abadi Sutisna yang juga anggota Komisi Obat Hewan Departemen Pertanian ini memberikan solusi dengan membolehkan penggunaan antibiotik pada ternak dengan syarat:1) Antibiotik yang digunakan harus aman buat manusia, hewan dan lingkungan; 2) Antibiotik memiliki efikasi yang bagus; dan 3) Antibiotik harus bermutu baik.
Setelah lolos dari ketiga syarat tersebut untuk bisa diizinkan sebagai bahan pemacu pertumbuhan, antibiotik yang dipilih sebagai growth promotor harus juga memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, antibiotik yang digunakan pada ternak adalah yang tidak digunakan pada manusia, khususnya untuk mencegah resistensi bakteri pada manusia. Kedua, sifat antibiotik harus tidak diserap oleh usus. Ketiga, dosis penggunaannya sangat kecil yaitu antara 1-2 ppm atau 1-2 kg per ton pakan. Keempat, sifat antibiotik harus mudah terdegradasi oleh alam.
“Oleh sebab itu hanya 7 jenis antibiotik saja yang boleh digunakan sebagai growth promotor dari sekian banyak antibiotik, sebagai contoh zinc bacitracin, virginiamycin, dll,” ungkap Abadi.
Abadi menjelaskan, “Mau tidak mau kita tetap harus menggunakan antibiotik, karena sistem peternakan kita yang masih setengah tradisional (open house). Jangan bandingkan dengan sistem peternakan di Eropa yang serba closed house, sementara kandang di peternakan kita kondisinya sangat mudah terkontaminasi kuman dari luar. Khusus untuk produksi unggas konsumsi secara massal tetap masih harus menggunakan cara lama, karena kalau mau yang serba steril menyebabkan harga produknya menjadi sangat tidak terjangkau, kecuali untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor luar negeri yang menuntut produk bebas antibiotik.”
Secara umum, pengaruh penghentian penggunaan AGP terhadap produktivitas, sangat tergantung kondisi higienis di areal peternakan. Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan peternak adalah menciptakan standar kondisi higienis yang tinggi pada farmnya, seperti mengimplementasikan sistem all in all out dan membatasi serta mengawasi dengan ketat lalu lintas pekerja dan peralatan, untuk mencegah penyebaran penyakit diantara ternak.
“Kalau mau lebih aman, peternak sebaiknya menyetop pemberian pakan ber-AGP 2-3 hari sebelum panen agar produk daging unggas yang dihasilkan nanti benar-benar bersih dari residu antibiotik,” saran Abadi.
Bahkan dari penelitian Syamsul Bahri dkk (2005) disarankan penggunaan pakan yang mengandung antibiotik harus dihentikan atau diganti dengan pakan bebas antibiotik pada sekitar satu minggu sebelum ternak dipanen, sedangkan untuk sapi perah yang sedang laktasi harus dicegah pemberian pakan yang mengandung obat hewan.
Sementara itu, contoh penggunaan bahan pemacu pertumbuhan pada ternak sapi adalah yang dilakukan Australia terhadap sapi bakalan yang diekspor ke Indonesia. Australia telah lama menggunakan hormon pemacu pertumbuhan pada sapi bakalan ekspornya, namun Pemerintah kita mensyaratkan 100 hari sebelum pengapalan penggunaan hormon pertumbuhan tersebut telah dihentikan. Sehingga cukup waktu untuk menghilangkan residu hormon pertumbuhan dalam tubuh sapi bakalan impor tersebut.

Khasiat Obat Herbal Tak Diragukan
Secara terpisah, Maureen Kalona Kandou dari Vaksindo Satwa Nusantara yang dihubungi Infovet menjelaskan bahwa produk herbal dari ekstrak Curcuma domestica (kunyit), Curcuma xanthorrhizae (temulawak) berdasarkan penelitian tim riset independen memang memiliki keunggulan mampu memperbaiki pencernaan ayam, mencegah defisiensi vitamin, membentuk jaringan tubuh yang sehat dan menjaga daya tahan tubuh ayam tetap tinggi. Apalagi bahan aktif ini telah lama digunakan masyarakat Indonesia sebagai bahan untuk obat-obatan tradisional dan diakui khasiatnya.
Selain itu, bahan aktif Curcuminoid essensial oils dari ekstrak kunyit dan temulawak bekerja mirip antibiotik tetapi tidak menimbulkan resistensi bagi tubuh ayam. Lebih lanjut, Curcuminoid juga dapat memperpanjang kehidupan sel, sebab ekstrak kunyit dan temulawak adalah antioksidan sekaligus pemangsa berbagai jenis radikal bebas,” ungkapnya.
Kelebihan lain dari produk herbal itu diyakini mampu mempengaruhi saluran cerna dengan menimbulkan keseimbangan antara peristaltik usus dengan aktivitas absorbsi nutrisi. Dengan demikian mengurangi resiko kerusakan saluran cerna akibat stres, komponen toksik dalam pakan atau obat-obatan yang sedang dipakai. (wan)

Antibiotik Growth Promotor VS Alternatif Growth Promotor

Antibiotik Growth Promotor (AGP) telah lama digunakan dalam pakan ternak untuk mencegah penyakit dan meningkatkan pertumbuhan. Cara kerja dari antibiotik pemacu pertumbuhan belum seluruhnya terjelaskan. Namun, efek pemacu pertumbuhannya dapat dihubungkan dengan pengaruh pada mikroflora usus, yaitu penambahan antibiotik pemacu pertumbuhan dalam pakan membantu menurunkan jumlah mikroflora usus, menekan bakteri patogen dan menambah ketersediaan energi serta zat gizi untuk ternak dan tercapai efisiensi penggunaan pakan.
Prinsipnya keseimbangan populasi bakteri dalam saluran pencernaan (eubiosis) hanya dapat diraih apabila komposisi antara bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti Clostridia setidaknya 85% berbanding 15%. Dengan komposisi tersebut fungsi “barrier effect“ mikroflora yang menguntungkan dalam tubuh makhluk hidup dengan cara mencegah terbentuknya koloni bakteri patogen (colonisation resistence) bisa teroptimalkan. Ketidakseimbangan populasi antara bakteri yang menguntungkan dan merugikan (dysbiosis) berakibat turunnya produksi ternak.
Salah satu cara memodifikasi keseimbangan bakteri di dalam saluran pencernaan adalah dengan pemberian antibiotik. Antibiotik dipercaya dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri patogen yang berakibat melambungnya populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan. Tingginya mikroflora menguntungkan tersebut dapat merangsang terbentuknya senyawa-senyawa antimikrobial, asam lemak bebas dan zat-zat asam sehingga terciptanya lingkungan kurang nyaman bagi pertumbuhan bakteri patogen.
Namun disayangkan penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikroorganisme patogen tertentu. Hal ini telah terjadi pada peternakan unggas di North Carolina (Amerika Serikat) akibat pemberian antibiotik tertentu, ternak resisten terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk membasmi bakteri Escherichia coli. Pengaruh negatif lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging, telur dan susu dan akan berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya.
Resistensi bakteri inilah yang telah mendorong masyarakat Uni Eropa per Januari 2006 melarang penggunaan berbagai macam antibiotik dimana selama beberapa dekade belakang merupakan substans yang kerap digunakan oleh peternak di berbagai belahan dunia. Tidak dapat dipungkiri sejak digunakannya antibiotik sebagai senyawa pemacu pertumbuhan dalam pakan ternak, telah terjadi peningkatan pendapatan peternak berkat kemampuan senyawa tersebut mengkonversikan nutrisi dalam pakan secara efisien dan efektif. Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuan ada yang pro dan ada yang kontra, terutama antara ilmuwan Eropa dan Amerika.
Sebenarnya pelarangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak bukan merupakan hal yang baru bagi sebagian negara Eropa. Jauh hari sebelumnya beberapa negara tertentu telah membatasi penggunaan zat aditif tersebut dalam pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss tahun 1999. Akan tetapi pelarangan tersebut tidak menyeluruh hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu misalnya avoparcin (Denmark), vancomycin (Jerman), spiramycin, tylosin, virginiamycin dan chinoxalins (Uni Eropa). Hingga kini hanya tersisa empat antibiotik yang masih diizinkan penggunaannya dalam ransum ternak pada masyarakat Eropa yaitu flavophospholipol, avilamycin, monensin-Na dan salinomycin-Na.
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengembangkan alternatif yang sesuai untuk mengatasi dampak yang merugikan dengan pelarangan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan dalam pakan ternak. Substansi lain, dikenal dengan natural growth promotor, telah diidentifikasikan mempunyai khasiat dan aman untuk menggantikan fungsi antibiotik pemacu pertumbuhan. Infovet menyebut substansi tersebut dengan alternatif growth promoter.
Saat ini, banyak tersedia dan beredar alternatif growth promotor di pasar, diantaranya asam organic, imunomodulator, probiotik, prebiotik, enzim untuk pakan, dan fitogenik. Semua produk tersebut memiliki potensi meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dan performan pertumbuhan. Cara kerjanya sangatlah kompleks, pada umumnya mempengaruhi mikroflora usus, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jadi, tujuan utama penggunaan alternatif growth promotor adalah untuk membuat dan memelihara keseimbangan mikroflora saluran pencernaan yang melindungi ternak terhadap invasi kuman patogen.

Alternatif Growth Promotor
Samadi, staf pengajar Fakultas Pertanian Progran Studi Peternakan Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh mengungkapkan, konsep pakan ternak berdasarkan kualitas semata (kebutuhan energi dan protein ternak) mulai ditinjau ulang oleh nutritionist akhir-akhir ini. Tuntutan konsumen akan produk ternak yang sehat, aman dan terbebas dari residu berbahaya telah mengajak ilmuwan untuk mencari alternatif sumber-sumber pakan baru sekaligus zat aditif yang aman. “Feed quality for food safety“ merupakan slogan yang acap di dengungkan dimana-mana pada masyarakat Eropa.
Kerja keras ilmuwan dalam usaha menemukan zat aditif pengganti antibiotik telah membuahkan hasil yang tidak begitu mengecewakan. Beberapa alternatif zat aditif pengganti antibiotik telah ditawarkan bagi peternak untuk memicu produksi dan reproduksi seperti probiotik dan prebiotik, asam-asam organik, minyak esensial (essential oil) dan berbagai jenis enzim. Senyawa-senyawa aditif tersebut terbukti mampu meningkatkan produksi ternak tampa mempunyai efek samping bagi ternak dan konsumen yang mengkonsumsinya.

Probiotik dan Prebiotik
Sebagai pengganti antibiotik nutritionist merekomendasikan peternak menggunakan probiotik sebagai bahan aditif. Probiotik tergolong dalam makanan fungsional, di mana bahan makanan ini mengandung komponen-komponen yang dapat meningkatkan kesehatan ternak dengan cara memanipulasi komposisi bakteri yang ada dalam saluran pencernaan ternak. Berbeda dengan antibiotik, probiotik merupakan mikroorganisme yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan ternak tanpa mengakibatkan terjadinya proses penyerapan komponen probiotik dalam tubuh ternak, sehingga tidak terdapat residu dan tidak terjadinya mutasi pada ternak. Sementara antibiotik merupakan senyawa kimia murni yang mengalami proses penyerapan dalam saluran pencernaan.
Penggunaan probiotik dan prebiotik bukan merupakan hal baru dalam dunia peternakan. Fungsi zat aditif ini tidak jauh berbeda dengan antibiotik yaitu mengatur komposisi mikroflora dalam saluran pencernaan. Bakteri asam laktat seperti Lactobacillus bulgaricus, Lactobacilus acidophilus, Bifidobacteria thermophilum dan jenis fungi seperti Saccharomyces cerevisiae adalah contoh-contoh probiotik yang telah diproduksi secara komersial. Lingkungan menyenangkan untuk pertumbuhan bakteri menguntungkan (penurunan pH dengan memproduksi asam laktat) akan tercipta dengan mensuplai probiotik pada ransum ternak. Probiotik juga dapat mengurangi produksi racun dan menurunkan produksi amonium dalam saluran pencernaan.
Prebiotik adalah oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh hewan monogastrik (ayam dan babi). Senyawa ini digunakan sebagai substrat untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli. Pemberian 0,1 – 0,5% dalam ransum dapat meningkatkan bakteri yang menguntungkan dan menurunkan populasi bakteri yang merugikan.

Imunomodulator
Mekanisme kerja imunomodulator adalah dengan cara meningkatkan fungsi kekebalan tubuh alamiah (activated cellular immunity). Istilah imunomodulator memang masih belum begitu familiar terdengar di telinga kebanyakan peternak. Obat atau bahan yang memiliki efek pada respon imun untuk melakukan immuno modulasi dinamakan dengan Imunomodulator.
Immunomodulator bekerja dengan beberapa cara, yaitu pertama, meningkatkan proses maturity (pematangan) sel-sel yang berperanan dalam imun respon. Kedua, meningkatkan proses proliferasi sel, terutama sel-sel macrophages (mempagosit antigen dan menghancurkan antigen dalam sel) dan lymphocyte (pembentukan antibodi dan membunuh antigen dalam sel), sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat. Dengan demikian jumlah antigen yang dapat diproses meningkat lebih banyak dan titer antibodi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Ketiga, mengaktifkan complement, sehingga eliminasi antigen dalam sel menjadi lebih efektif.
Dengan adanya imunomodulator, maka ternak unggas-unggas dapat terhindar dari penyakit-penyakit fatal seperti ND, AI, Mareks, dll. Dengan kekebalan tubuh yang tinggi, maka segala macam penyakit tidak akan mampu membunuh ternak unggas, bahkan sebaliknya justru meningkatkan produktivitas dan memacu pertumbuhan.


Asam-asam Organik
Asam-asam organik sebenarnya diproduksi secara otomatis dalam tubuh ternak melalui proses fermentasi selanjutnya digunakan sebagai sumber energi. Perkembangan bioteknologi yang begitu pesat mengilhami industri-industri pakan ternak untuk memproduksi asam-asam organik dalam bentuk komersial seperti asam asetat, propionat laktat dan citrat yang dikemas dalam bentuk cair. Penambahan asam-asam organik dalam pakan ternak dapat menigkatkan produktifitas ternak. Peningkatan performa ternak terjadi melalui penciptaan lingkungan yang serasi bagi perkembangan mikroflora menguntungkan. Dengan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri tertentu (melalui penurunan keasaman) dapat mengaktifkan serta merangsang produksi enzim-enzim endogenous dan berakibat meningkatnya absorbsi nutrisi dan konsumsi pakan untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi.

Minyak Esensial (Essential oil)
Saat ini dikenal lebih kurang 2600 jenis minyak esensial yang dihasilkan melalui ekstraksi berbagai jenis tanaman. Jamak diketahui bahwa setiap tanaman mempunyai komponen bioaktif yang spesifik. Di dalam tubuh makhluk hidup senyawa bioaktif tersebut mempunyai aktifitas mikrobial, sebagai antioksidan, bersifat antibiotik dan juga meningkatkan kekebalan tubuh. Beberapa contoh minyak esensial yang terdapat pada tanaman misalnya cinnamaldehyde (cinnamon), eugenol (clove), allicin (garlic) dan menthol (peppermint).
Dari hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan minyak esensial dalam pakan ternak dapat memperbaiki performa ternak melalui meningkatnya nafsu makan ternak, meningginya produksi enzim-enzim pencernaan serta stimulasi antiseptik dan antioksidan dari minyak atsiri tersebut. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman sumber daya alam hayati. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus harapan bagi ilmuwan untuk menggali berbagai potensi yang tersedia untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemakmuran rakyat.

Enzim
Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi pemecahan senyawa-senyawa yang komplek menjadi sederhana. Saat ini telah terindentifikasi lebih kurang 3000 enzim. Walaupun dalam tubuh makhluk hidup enzim dapat diproduksi sendiri sesuai dengan kebutuhan, penambahan enzim pada ransum kadang kala masih dibutuhkan. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti antinutrisi faktor pada bahan pakan (lekctins dan trypsin inhibitor), rendahnya efisiensi kecernaan bahan pakan, dan ketidaktersediaan enzim tertentu dalam tubuh ternak. Xylanase dan ß-glucanase adalah contoh-contoh enzim yang digunakan pada ternak monogastrik untuk meningkatkan daya cerna ternak. Rendahnya kemampuan ternak muda untuk mencerna protein pada kacang kedele (glycin dan ß-conglycin) dapat diatasi dengan penambahan enzim protease.
Phytase sebagai enzim yang mampu meningkatkan penyerapan posphor mendapat perhatian cukup besar para peneliti saat ini. Bahan-bahan basal pakan yang kaya karbohidrat seperti gandum, barley, jagung dan lainnya, mengikat unsur phosphor dalam bentuk asam phytat (myo-inositol hexaxy dihidrogen phosphat) sehingga tidak mampu dicerna oleh ternak. Dengan mensuplai phytase yang berasal dari Aspergillus atau Trichoderma strains dalam ransum ternak dapat meningkatkan ketersediaan phospor, Ca, Zn dan asam amino bagi ternak. Polusi lingkungan melalui Eutropication juga dapat dicegah dengan penambahan phytase dalam pakan ternak.

Penelitian bahan aditif alternatif sebagai pengganti antibiotik terus dilakukan tidak hanya terbatas pada lembaga penelitian, universitas, institut tapi juga merambah ke berbagai industri makanan ternak. Bagi industri pakan ternak masih terbuka peluang bisnis yang cukup besar dengan menciptakan produk-produk zat aditif baru dengan nilai ekonomis tinggi serta mampu bersaing di pasar. Bagi peternak menciptakan kondisi higienis pada farmnya jelas masih sulit namun dengan pemanfaatan bermacam alternatif growth promotor diatas tentu bisa menjadi solusi pilihan. (Wawan Kurniawan)

YANG IMPOR PUN HARUS DIKONTROL

(( Masalah kesehatan produk impor, harus terus dikontrol hingga kapanpun. ))

Dari tahun ke tahun, pasokan ternak impor dari luar negeri ke Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah keprihatinan, mengingat tiga penentu kebijakan dalam hal ini yaitu produsen, konsumen dan pemerintah, hingga saat ini belum mencapai kapasitas kerja yang diharapkan.
Sementara masalah kesehatan produk impor tersebut, masih terus dipertanyakan hingga saat ini. Masalah kesehatan pangan impor pernah meruyak beberapa waktu lalu. Masalah sapi gila (mad cow), terinfeksinya beberapa hewan unggas oleh virus avian, dan beberapa kejadian lain cukup membuat kita memilih tidak mengonsumsi beberapa jenis produk pangan tertentu.
Bahkan pemerintah juga telah melakukan beberapa tindakan seperlunya, seperti mengefektifkan sistem pintu masuk berbagai produk pangan tersebut ke Indonesia. Hingga mengakibatkan makin tingginya kualitas produk pangan hewan yang ingin diimpor ke Indonesia.
Namun, masalahnya ternyata produk pangan hewani di dalam negeri hingga saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Ini terlihat dari catatan yang diterima dari Direktorat Jenderal Peternakan (dan Balai Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2002 lalu. Dari catatan tersebut menunjukkan bahwa dari target konsumsi 6 gram/kapita/hari yang ditargetkan oleh FAO, Indonesia baru mampu mencapai 4,19 gram/kapita/hari.
Hal ini diperkuat oleh hitungan yang dikeluarkan oleh Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI).

Tiga Tiang
Dalam dunia perekonomian terdapat tiga tiang utama yang mempengaruhi pasar. Yaitu produsen, konsumen dan pemerintah. Dalam bagian produsen, kendala kurangnya produksi pangan hewani memang masih menjadi momok hingga saat ini. Dan pemerintah yang mencermati hal ini, sepertinya lebih memilih jalan pintas untuk masalah ini dengan mengimpor berbagai produk pangan hewani dari luar negeri.
Di satu sisi hal ini menimbulkan dampak positif, karena berarti terpenuhinya kebutuhan daging untuk rakyat Indonesia yang semula dianggap kurang. Keuntungan yang kedua adalah keberadaan ternak lokal yang tidak terkuras habis-habisan. ”Selain itu juga peternak lokal bisa belajar untuk mulai berkompetisi dengan peternak global,” ujar Ir Yudi Guntara Noor Ketua Umum ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) dalam suatu kesempatan.
Namun masalahnya bagaimana dengan berbedanya ukuran kesehatan hewan dari berbagai negara pengekspor dengan negara pengimpor. Belum lagi kebijakan ekonomi dan faktor musim yang tiap negara yang berbeda satu sama lain. Yang akan berpengaruh langsung pada kondisi daging yang diimpor. Kalau ini terjadi, lagi-lagi konsumen Indonesia yang kena getahnya.
”Padahal konsumen Indonesia hingga saat ini masih berada pada posisi tawar yang rendah,” kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Dra. Indah Suksmaningsih, menanggapi hal tersebut.
Faktor konsumen yang tidak korektif, sikap produsen dan pemerintah yang cenderung hanya menguntungkan diri sendiri, makin menambah ketidakjelasan faktor keamanan kesehatan produk impor tersebut.

Solusi
Berbagai faktor yang menaungi tiga tiang ekonomi di atas yang seharusnya secepatnya dibenarkan. Selain juga faktor kesepadanan persepsi dari berbagai negara untuk masalah ini, yang seharusnya juga menjadi prioritas utama pemecahan masalah tersebut.
Indah menyarankan agar masalah edukasi pada masyarakat agar lebih digalakkan. ”Agar masyarakat konsumen tidak hanya menuntut hak, tapi juga mengerti tanggung jawab dan kewajibannya.”
Selain itu Indah juga menyarankan agar konsumen lebih berani mengadu jika melihat sesuatu yang terasa tidak aman di makanan mereka. Selain solidaritas sesama konsumen yang juga harus perlu dibangun lebih baik lagi.
Sementara Yudi lebih menekankan pada equal treatment yang mengacu pada kesepakatan WTO sebagai jalan keluar semua masalah ini. ”Equal treatment ini untuk mencegah distorsi yang mungkin timbul,” ucapnya.
Dengan adanya equal treatment ini diharapkan persepsi status kesehatan dari negara pengekspor dan pengimpor menjadi sepadan. Hal equal treatment ini juga mencakup masalah tindakan terhadap hewan potong yang pantas, seperti penggunaan hormon pemacu pertumbuhan.
Sementara itu di pihak lain, kondisi kebijakan pemerintah baik di Indonesia maupun di negara pengimpor juga harus seimbang, baik secara fiskal, finansial dan retribusi. ”Dengan kondisi persyaratan tersebut di atas diharapkan bahwa akan ada suatu perlindungan terhadap peternak dan ternak lokal di Indonesia dalam era globalisasi ini,” katanya. (SH)

WASPADAI PENYAKIT PENCERNAAN DAN PERNAFASAN

Bulan Januari sampai Februari 2007 ini, menurut prediksi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Departemen Perhubungan, kawasan sebagian besar pulau Jawa; sebagian pulau Sumatera bagian barat dan pulau Sulawesi bagian Tengah serta Selatan dan juga pulau Kalimantan sisi Selatan akan memasuki puncak musim hujan. Intensitas dan frekuensi hujan di daerah itu akan berada di atas normal.

Jika demikian adanya, maka peternak ayam harus siap mengantisipasi agar tingginya kelembaban dan kurangnya intensitas sinar matahari tidak membawa dampak negatif bagi produktifitas dan kesehatan ternak itu. Mewaspadai dan bersiaga adalah cara terbaik dan seharusnya dilakukan agar tidak melahirkan problema serius yang semestinya bisa dicegah.

Atas dasar pengalaman para peternak, maka selama ini jika musim yang demikian itu tidak lain mesti akan diikuti out break penyakit-penyakit yang selalu berkaitan dengan gangguajn sistema pencernaan dan pernafasan. Memang pengalaman para peternak itu relatif tidak jauh berbeda dengan prediksi para pakar kesehatan ternak unggas. Para peternak mengungkapkan atas dasar pengalaman empirisnyaj, sedangkan pakar atas dasar sifat dan karakterisitik agen penyakit dan kondisi kesehatan umum unggas pada situasi musim yang demikian itu.

Menurut Ir. Danang Purwantoro, dari PT Biotek Industri salah satu gangguan kesehatan yang nyaris sulit dihindarkan ketika musim hujan adalah Kolibasilosis dan Koksidiosis. Atas dasar pengalaman lapangannya selama ini jika kelembaban udara yang relatif tinggi maka sudah dapat dipastikan akan muncul gangguan kesehatan dari kedua jenis penyakit itu khususnya pada ayam potong.

”Pengalaman empiris saya tentang gangguan kesehatan yang umum sulit dihindarkan pada peternakan ayam potong adalah Kolibasilosis dan Koksidiosis. Sedangkan pada peternakan petelur selain Kolibasilosis adalah CRD dan ND,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Danang sebaiknya para peternak menyiapkan dengan cermat agar kasus penyakit-penyakit itu dapat ditekan sekecil mungkin untuk muncul dan mengganggu kesehatan maupun produktifitasnya.

Tidak lain, menurutnya hanya meningkatkan biosecurity dan sanitasi. Sebab hanya dengan langkah itu dapat ditekan bahkan dicegah mewabahnya penyakit-penyakit itu yang pasti akan menambah masalah. Kebersihan dalam kandang dan lingkungan, menurut pengamatannya di lapangan masih menjadi persoalaan serius di petrnakan ayam Indonesia.

Penyadaran dan edukasi harus terus diberikan akan pentingnya kebersihan itu. Namun jika sebuah farm yang telah menerapkan hal itu,ternyata memang relatif aman dan bebas dari ancaman penyakit itu. Dan biasanya justru permasalahan yang muncul adalah produktifitas yang belum sesuai dengan ukuran ideal. Untuk masalah ini memang termasuk kompleks, maka sedikit demi sedikit proses penyadaran masalah yang lain ini terus digencarkan.

Hasil pengamatannya di lapangan bahwa fenomena tiingkat kebersihan dan tingkat kesadaran relatif lebih baik di peternakan ayam petelur. Menurutnya hal itu erat kaitannya masa pemeliharaan ternak itu yang lebih panjang dan besarnya dana yang diinvestasikan. Oleh karena itu memang wajar jika kondisi seperti itu terjadi.

Sedangkan menurut pengamatan dan pengalaman Drh Zahrul Anam dari PT Sanbe Farma selain apa yang diungkapkan oleh Danang, ia mencermati bahwa pada musim basah, maka kasus gangguan kesehatan yang cukup serius di peternakan ayam petelur adalah karena agen penyakit dari fungi atau jamur.

Gangguan kesehatan dari agen penyakit itu, ternyata dari waktu ke waktu bukan berkurang namun semakin layak untuk diperhatikan oleh para peternak ayam petelur. Hal itu bisa terjadi, menurutnya oleh karena gudang penyimpanan pakan yang kurang baik.

Namun juga bisa terjadi, oleh karena sistem alat pengangkutan yang masih menyamaratakan pengangkutan pakan dengan barang lainnya. Mestinya alat angkut pakan memang harus sudah diperbaiki dan ditingkatkan keamanan dari air hujan. Hal itu terutama jika alat angkut yang ada belum berupaalat angkut khusus.

Dengan alat angkut yang masih konvensional itu, maka potensi pakan menjadi rusak dan tercemar air hujan tidak bisa dihindarkan. Lebih diperparah jika kemudian gudang penyimpanan pakan di pihak peternak yang buruk, tiris bocor atau kurang ventilasi dan sirkulasi udaranya.

Maka potensi besar untuk tumbuh suburnya jamur tidak bisa lagi dihindarkan. Untuk itu, memasuki musim hujan yang secara rutin akan tejadia tidak salah jika kontrol kondisi pergudangan harus dilakukan.

Menurutnya, gangguan kesehatan oleh karena jamur, relatif sangat sulit untuk diatasi. Bahkan yang paling buruk pada ayam petelur, akan menyebabkan merosotnya produktifitas. Jika kondisi yang demikian terjadi bukan saja peternak menderita kerugian ganda, yaitu munculnya penyakit dan anjlognya produksi, akan tetapi juga ongkos untuk pengobatan yang tidak sedikit.

Selain penyakit karena agen penyakit dari jamur, menurutnya pada musim basah seperti ini adalah agen penyakit viral, contohnya adalah ND. Meski biasanya tidak bersifat tunggal alias kompleks dengan dipicu penyakit lain, akan tetapi ND adalah salah satu penyakit yang sering muncul juga pada kondisi musim basah alias musim hujan.

Umumnya munculnya penyakit itu pada situasi yang demikian oleh karena kondisi kesehatan ayam yang terganggu. Untuk itu ,ia menyarankan agar peternak meningkatkan status kesehatan ayamnya dengan meningkatkan pemberian multivitamin.

Dengan pemberian multivitamin yang baik kualitasnya maka akan mempertahankan ayam dalam kondisi yang cukup baik. Selain itu program vaksinasi harus tetap diperhatikan secara cermat sesuai program yang telah dibuat. (iyo)

ADAKAH PERAN KUCING DAN BABI PADA PENYEBARAN AI?

(( Tidak semudah kata orang soal peran kucing, babi dan lalat dalam penyebaran AI. Tetaplah tenang, hati-hati, jaga diri dengan biosecurity dan teruslah belajar. ))

Pemberitaan media massa soal peran kucing, babi dan lalat dalam penyebaran AI/Flu Burung ke manusia, dianggap banyak kalangan dapat membingungkan masyarakat. Sebenarnya hal ini bagaimana? Kepala Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor, Dr Drh Darminto menjelaskan, berdasar penelitian di Thailand.

Kucing

Umumnya, katanya, kucing resisten terhadap infeksi oleh virus influenza A. Tapi, peka terhadap infeksi virus influenza H5N1. Kucing yang diinfeksi secara buatan dengan diberi pakan karkas ayam terinfeksi virus AI H5N1 memperlihatkan gejala sakit: suhu badan tinggi, gejala pernafasan parah dan berakhir dengan kematian.
Kemudian, virus AI H5N1 dari kucing sakit dapat menular ke kucing lain yang sehat dan juga kepada macan (harimau). Di Indonesia banyak dideteksi/diisolasi virus AI dari kucing.

Namun demikian, menurut Darminto, hal ini masih perlu dipelajari lebih lanjut tentang peran kucing dalam epidemiologi AI (H5N1).

Babi

Menurut penelitian di Thailand, lanjut Dr Darminto, babi bisa diinfeksi secara buatan dengan virus AI (H5N1). Hasilnya tidak ada gejala klinis, kecuali peningkatan suhu badan ringan.Virus AI H5N1 ini dapat diisolasi ulang dari swab nasal.

Adapun, virus AI H5N1 dari babi ini tidak menular ke babi lain, atau unggas yang sekandang. Dengan demikian babi ini tidak penting dalam epidemiologi (penyebaran) AI. Khususnya di Indonesia, karena sangat sedikit masyarakat yang memelihara babi. Meskipun demikian, di Indonesia, banyak dideteksi/diisolasi virus AI (H5N1) dari ternak babi di Tangerang, Jawa Tengah dan Bali.

Lalat

Menurut Darminto, virus yang dapat ditularkan oleh serangga dikelompokkan dalam Famili Arboviridae, genus Arbovirus. Contohnya adalah virus penyebab JE, EE, BEF, Blue Tongue, RVF, DHF dan lain-lain.

Virus tersebut mampu menginfeksi serangga dan berkembang biak pada serangga tanpa menimbulkan sakit. Adapun, serangga memiliki Reseptor terhadap virus-virus itu.
Virus AI masuk dalam golongan Orthomyxovirus, tidak disebarkan melalui serangga, termasuk lalat. “Lalat tidak punya reseptor terhadap virus AI,” tegas Darminto.

Dengan demikian virus AI tidak dapat berkembang biak dalam tubuh lalat. Yang didengang-dengungkan orang lalat dapat menyebarkan AI, bukanlah virus tersebut tumbuh dalam hidup lalat alalu menular. Kemungkinan besar, menurut Darminto, hanya bersifat mekanis. Artinya hanya cemaran unggas yang mengandung virus AI yang dipindahkan oleh lalat.

Artinya pula, tidak semudah kata orang soal peran kucing, babi dan lalat dalam penyebaran AI. Jadi, tetap tenang, hati-hati serta jaga dirilah dengan biosecurity. Kita pun wajib terus belajar untuk pengetahuan yang lebih lanjut. (YR)

DOKTER HEWAN FLU BURUNG TIDAK DIPERHATIKAN KESELAMATAN HIDUPNYA

Pelaksanaan pemusnahan unggas di DKI Jakarta melibatkan banyak masyarakat tak terkecuali dokter hewan. Bahkan dokter hewan adalah pelaksana penentu karena merekalah yang dulu pada pemeriksaan titer antibodi virus Avian Influenza pada unggas, sebelum diputuskan untuk dimusnahkan.

Masih jelas dalam ingatan pemeriksaan dan pemusnahan ayam dan burung tahun 2005. Tahun 2007 ini, mereka pun dilibatkan lagi. Namun keikutsertaan dokter hewan menjadi terhambat karena pengalaman buruk di lapangan mereka tidak dibekali peralatan, peralatan kesehatan, obat-obatan makanan yang cukup untuk keselamatan kerja sekaligus kesehatan saat masuk kampung penduduk dan kandang ternak ayam di sektor 4 (pemeliharaan ayam di pemukiman)!

Peralatan, sarung tangan hanya satu, kantung bangkai membawa sendiri, tas kresek bawa sendiri, bahkan jarum suntik untuk menyedot darah hanya satu per orang! Obat-obatan tidak tersedia, suplemen untuk mempertahankan daya tahan tubuh sama sekali tidak diberikan. Bahkan selama tiga hari di lapangan setiap hari hanya mendapat makanan satu kali itu pun hanya nasi bungkus.

Padahal pekerjaan yang dilakukan untuk pemeriksaan darah adalah pekerjaan yang sangat riskan bisa menularkan virus infeksius Flu Burung! Padahal pula, para dokter hewan ini ikut berperan lantaran anjuran pemerintah (lingkup Departemen Pertanian) dan organisasi profesi dokter hewan (PDHI-Perhimpunan Dokter hewan Indonesia)!

Kondisi mengenaskan dokter hewan itu sangat berbeda dengan tim kesehatan manusia di bawah Departemen Kesehatan yang menyediakan obat, peralatan dan suplemen serta konsumsi untuk kesehatan. Bahkan tim dokter umum ini ada dana operasional.

Sungguh prinsip dari kerja profesi dokter hewan dan dokter manusia adalah sama, yaitu: melayani masyarakat, bukan untuk bisnis atau profit ekonomi! Karena jiwa sosial mereka maka seolah-olah tim dokter hewan ini tidak diperhatikan keselamatan kerja dan kesehatannya!

Tidak hanya dokter hewan di lapangan, tapi juga dokter hewan peneliti di lembaga penelitian veteriner yang ada, yang setiap hari memeriksa darah dari ternak dan juga manusia yang terkait dengan penyakit flu burung. Mereka tidak diperhatikan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan dalam menjalankan tugas, yang dilakukan bahkan sampai pada malam hari.

Seorang dokter hewan peneliti bahkan sampai positif mengidap virus H5N1 dalam tubuhnya, sampai demam-demam. Pertolongan obat-obatan dan vitamin suplemen tidak diberikan oleh instansinya. Obat Tamiflu bahkan harus diberikan oleh kolega dokter hewan yang datang dari Surabaya. Padahal dokter hewan peneliti yang bersangkutan bertempat di Bogor.

Dokter hewan peneliti itu harus memeriksa titer dan menguji darahnya sendiri dengan keahlian yang dimiliki. Mereka pun tidak mendapat dana untuk kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja untuk pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa itu.

Dokter hewan lapangan dan dokter hewan peneliti itu adalah korban dari perhatian birokrasi yang tidak siap dalam menjalankan penanggulangan flu burung sampai akar-akarnya. Tak mengherankan pada program pemusnahan kali ini banyak dokter hewan yang urung diri terlibat. Bukankah dana untuk penanggulangan flu burung ini begitu berlimpah? Mengapa pemerintah tidak sanggup memperhatikan kepentingan vital ini?

Cepat perbaiki dan perhatikan, jangan sampai jatuh korban dari kalangan yang masuk sangat riskan dengan penularan ini, juga demi suksesnya program pemberantasan flu burung! (YR)

LEBIH KENAL H5N1 DAN PENULARANNYA

(( Ia bergenus Virus Influenza tipe A. Yang diketahui adalah penularan terjadi secara horizontal Sedangkan penularan secara vertikal: tidak terbukti! ))

Kita kenal penyebab Avian Influenza di Indonesia adalah H5N1. Sebenarnya itu adalah subtipe. Kita perlu mengenal lebih dalam. Untuk gampang mengingat, agen penyebab Avian Influenza itu adalah genus Virus Influenza tipe A.

Selanjutnya kita tinggal menyebut penggolongan berdasar famili yaitu Orthomyxoviridae. Sedang sifat-sifatnya yang lain adalah ss RNA, Negative sense, terdiri dari 8 segmen, bersifat helical, beramplop, dan berdiameter 80-120 nanometer.

Mengapa virus AI subtipe H5N1 sangat penting, itu karena bersifat fatal untuk unggas, manusia dan mamalia lain. Kemudian menimbulkan suatu panzootik AI di Asia, kecuali Pakistan, dan banyak negara di Eropa serta Afrika.

Virus ini berpotensi untuk menular ke manusia di mana sampai sekarang belum ada vaksin influenza H5N1 untuk manusia. Sedangkan obat antiviral berharga mahal dan persediaannya terbatas.

Hal penting lagi soal virus ini adalah kekuatiran akan terjadinya pandemi influenza global sehubungan dengan kemampuan virus AI H5N1 untuk mengalami evolusi, adaptasi, dan reasorsi pada berbagai hospes.

Hal tersebut mempunyai dampak yang besar pada berbagai bidang ekonomik, ketahanan dan keamanan pangan, kesehatan masayarakat, sosial budaya, politik, psikologik.
Virus H5N1 bersifat enzootik pada burung liar dan dapat ditemukan pada unggas air liar yang kelihatannya sehat dan dapat menyebarkan virus AI melalui feses.

Karakteristik biologis virus AI yang mendukung kemampuannya untuk menimbulkan penyakit pada unggas dan manusia adalah komposisi virus AI sangat labil, yaitu mudah mengalami mutasi sementara virulensi dan patogenitasnya sangat bervariasi.

Reseptor virus AI pada berbagai sel hewan antara lain babi, puyuh, ayam mempunyai asam sialat dan galaktosa. Virus ini sangat mudah menular dengan pola penularan sulit diketahui.

Status Terkini

Status terkini virus AI di Indonesia, walaupun sudah terjadi perubahan (dinamika) pada virus AI isolat 2006, perubahan ini belum menimbulkan perubahan pada struktur antigenik virus.

Virus AI tahun 2006 masih tergolong subtipe H5N1, dengan sifat HPAI (Highly Pathogenic AI). Ketika pada Juli 2005 virus AI sudah mampu untuk menginfeksi manusia, masih terus dipertanyakan sebetulnya apanya yang berubah.

Sumber virus avian influenza sendiri adalah ayam sakit, melalui leleran tubuh (hidung, mulut dan mata) serta feses, unggas lain yang tertular virus AI yaitu burung puyuh, itik, angsa, burung peliharaan, burung liar, mungkin hewan lain seperti babi, manusia yang pernah kontak dengan virus AI, peralatan yang tercemar virus AI, dan alat transportasi.

Cara Penularan

Berbagai lokasi yang dapat merupakan sumber virus AI adalah peternakan ayam/unggas komersial, unggas peliharaan di pekarangan rumah (sektor 4), berbagai fasilitas umum pasar ayam/unggas, pasar burung, taman burung, tempat penampungan ayam, tempat pemotongan ayam, dan perkebunan yang menggunakan kotoran ayam sebagai pupuk.

Faktor-faktor yang berperan dalam penularan virus AI antar wilayah adalah lalulintas unggas dan produk asal unggas,transportasi kotoran ayam,mobilitas orang, kenaraan, bahan, peralatan, dan unggas/burung liar yang bermigrasi.

Cara penularan virus AI sendiri sebenarnya tidak diketahui secara pasti, apakah itu unggas liar yang bermigrasi, lalu lintas unggas/produk asal unggas, atau kotoran ayam.

Yang diketahui adalah penularan terjadi secara horizontal yaitu melalui udara yang tercemar virus AI atau kontak dekat lewat pernafasan, atau melalui kotoran/bahan yang tercemar virus AI (lewat mulut).

Adapun penularan secara vertikal disampaikan pakar AI Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD melengkapi uraian di atas: Tidak terbukti! (YR)

Hujan, Jamur, Amoniak dan Pakan Ternak

(( Dua musim yang dimiliki Indonesia yakni musim hujan dan musim panas dengan suhu dan kelembaban nisbi yang optimal memberikan kesempatan yang baik untuk jamur dapat tumbuh hidup dan berkembangbiak. ))

Musim hujan datang menggantikan musim kemarau yang hampir sembilan bulanan menyapa peternak di seantero bumi pertiwi ini. Kemarau panjang di beberapa belahan bumi khatulistiwa ini telah pula memberikan warna baru di percaturan dunia peternakan kita.

Berbagai kendala dan hambatan ditemui peternak, yang bermuara pada penemuan-penemuan baru yang seyogyanya harus dicarikan solusi pemecahannya. Kini, musim kemarau itu telah berlalu.

Seperti biasa, bumi pertiwi diguyur hujan, tak ayal hujan yang berkepanjangan telah pula menyebabkan banjir yang bermuara pada memburuknya kondisi perekonomian rakyat.
Betapa tidak, sejak musim hujan dengan banjirnya yang telah menyerang beberapa kota di Indonesia, beberapa kebutuhan pokok melonjak tinggi harganya, tak terkecuali itu, bahan pangan asal ternakpun harganya melonjak tajam.

Hujan dan Bisnis Perunggasan

Di bisnis peternakan unggas, sebut saja peternakan ayam potong atau ayam petelur, kedatangan musim hujan bukanlah sesuatu hal yang dinanti, malahan ini sedikit menimbulkan kekuatiran apa yang akan terjadi saat musim hujan itu datang.
Namun, bila dilihat dari sisi lain, hujan merupakan anugerah terindah alam. Semestinyalah kita mensyukuri “hujan” bukan untuk ditakuti. Bila bicara banjir sebagai manifestasi hujan, itu merupakan keserakahan manusia.

Lihat saja, bumi yang indah dan subur ini dibuat gundul oleh manusia, sehingga saat hujan datang tanah permukaan tak lagi mampu menahan air, maka terjadilah banjir yang dapat menyengsarakan jutaan nyawa bangsa ini.

Di samping itu, hujan yang berkepanjangan juga meningkatkan kelembaban udara, ini disinyalir sebagai kondisi yang mumpuni berbagai bibit penyakit untuk tumbuh dan berkembang biak. Jamur misalnya, yang sudah sejak lama dikenal peternak sebagai agent penyakit yang dapat menimbulkan kerugian pada usahanya.

Mempedomani apa yang dikatakan Darnetty (2005), jamur yang lebih mendekati kebenaran adalah sebagai organisme eukaryotik, mempunyai inti sejati, tidak mempunyai khlorofil, mempunyai spora struktur somatik atau thalus berupa sel tunggal (uniseluler), dan umumnya berupa filamen atau benang-benang bercabang (multiseluler), berkembangbiak secara aseksual dan seksual.

Sedang dinding sel umumnya terdiri dari khitin dan selulosa atau gabungan keduanya. Kajian jamur yang juga dikenal dengan istilah cendawan ini dikupas tuntas dalam ilmu hayat atau biologi dan diaplikasikan didunia kedokteran umum termasuk dunia kedokteran hewan.

Sejauh ini, jamur masih saja dikelompokan menjadi dua golongan besar yaitu kapang dan ragi atau khamir. Berdasar pada sifatnya, ada yang safrofit, toksik, patogen dan alergen, yang dapat menyerang manusia, hewan dan tanaman maka penyakit yang ditimbulkannya ini disebut mikosis.


Jamur pada Dua Musim

Adalah Drs Zulfikar MSi akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau menyatakan, kondisi iklim Indonesia sebagai negara tropis sangat cocok untuk pertumbuhan jamur.
Dikatakannya, dua musim yang dimiliki Indonesia yakni musim hujan dan musim panas dengan suhu dan kelembaban nisbi yang optimal memberikan kesempatan yang baik untuk jamur dapat tumbuh hidup dan berkembangbiak.

Misal saja jamur Aspergilus dengan dua spesiesnya Aspergilus flavus dan Aspergilus paraciticus dengan highly toxinitynya dapat tumbuh subur pada lingkungan kandang dengan kelembaban tinggi dibarengi temperatur yang relatif tinggi pula dengan kisaran diatas 25 ºC.

Sementara itu, tumbuhnya cendawan pada bahan pakan ternak misalnya, bersifat kontaminasi dengan peran aktif jamur dari golongan safrofit.
Masih menurut alumnus pasca sarjana Unpad Bandung ini menyatakan, jenis kontaminan yang tidak kalah pentingnya untuk mendapatkan perhatian peternak karena sebagian besar dapat menghasilkan zat-zat metabolit yang bersifat racun atau toksin yang
disebut mikotoksin.

Sedang akumulasi mikotoksin dalam tubuh ternak sampai ternak itu memperlihatkan gejala sakit disebut mikotoksikosis.


Jamur dan Pakan Ternak

Di dunia peternakan, keberadaan jamur sering dikaitkan dengan kondisi pakan ternak apakah itu berhubungan langsung dengan pakannya ataupun terkait pada manajemen penyimpanan pakan itu sendiri.

Seperti diketahui bahwa pakan merupakan campuran berbagai macam bahan organik dan anorganik yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukannya untuk pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi.

Artinya hanya pakan yang memenuhi persyaratanlah yang bisa memenuhi tuntutan dimaksud agar ternak dapat menjalankan tugas fungsionalnya sebagai penghasil produk pangan berupa daging dan telur yang notabenenya dibutuhkan oleh manusia untuk asupan protein hewaninya.

Perlakuan terhadap pakan sangat diperlukan, mulai dari pemilihan bahan penyusun pakan, perhitungan nilai nutrisi yang dikandung pakan sampai pada proses penyimpanan perlu diperhatikan dengan baik, hal ini bertujuan agar tidak terjadi kemungkinan buruk yang akan menimpa ternak pasca mengkonsumsi pakan dimaksud.

Sementara itu, dalam dunia kedokteran hewan, jamur patogen dengan toksigeniknya disinyalir dapat pula menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.

Debu dan Amoniak

Dalam sebuah kajian, debu dan amoniak dapat menurunkan performance broiler sampai 25 ppm. Di samping itu debu dan amoniak disinyalir juga dapat mengganggu kehidupan tetangga di sekitar areal peternakan.

Level debu di kandang dapat mencapai lebih dari 10 mg / m2, ini sudah diambang batas
pada level yang bisa diterima manusia. Kelembaban yang tinggi di udara dapat menyebabkan penyerapan amoniak ke dalam partikel debu, sehingga strategi kontrol debu perlu dilakukan untuk mengurangi konsentrasi amoniak.

Namun, pada usaha peternakan dengan permodalan yang pas-pasan, kondisi seperti ini jarang dijumpai, maka pada saat peternak lengah, jamur akan beraksi menggerogoti benteng pertahanan ayam yang diawali dengan mengkontaminasi pakan dengan toksinnya.
Sementara itu, kondisi Indonesia dengan iklim tropisnya, tetap disinyalir sebagai faktor pendukung berjangkitnya aspergilosis di usaha peternakan, terutama yang berhubungan dengan aspek lingkungan dan manajemen, kejadian penyakit immunosupresif yang tinggi terutama penyakit gumboro dan pencemaran pada inkubator yang sulit diatasi.

Kemudian dari segi penularannya, aspergilosis bisa berpindah pada ayam lainnya bila menghisap spora dalam jumlah yang banyak. Disamping itu, aspergilosis juga dapat ditularkan melalui telur saat dalam inkubator.

Penyakit dengan masa inkubasi 4-10 hari ini menunjukan gejala klinik dalam bentuk akut seperti adanya kesulitan bernafas atau dyspnoea, bernafas melalui mulut dengan leher yang dijulurkan ke atas, frekwensi nafas yang meningkat tajam, anoreksia, paralisa namun jarang dilaporkan, kejang-kejang oleh karena toksin Aspergillus sp menginfeksi otak penderita.

Sedang untuk gejala dalam kronis selalu dicirikan anoreksia, bernafas dengan mulut, emasiasi, sianosis yakni perubahan warna kulit di daerah kepala dan jengger menjadi kebiruan, dan berakhir dengan kematian. (Daman Suska)

HUJAN, MIKOTOKSIN DAN FLU BURUNG

Ketika hujan tiba, lebih-lebih pada musim penghujan, dengan kelembaban pada iklim kita yang sangat ekstrim perubahan cuacanya dari waktu ke waktu, sebagai kalangan yang bergelut dengan alam dan peternakan tentu kita sangat mafhum apa yang bakal terjadi.

Bagaimanapun kita adalah makhluk hidup yang harus terus menyeimbangkan diri kondisi internal tubuh kita dengan lingkungan dan segala perubahannya. Tanpa keseimbangan ini, terlebih bila kita bersikap sembrono terhadap segala macam faktor penentu kesehatan, dapat diprediksi masalah penyakit bakal menimpa.

Untuk menyiapkan diri kita siapkan segala ‘perlengkapan senjata’ yang ada. Bahkan analisa berdasar yang sudah terjadi menjadi pegangan untuk membuat prakiraan yang bakal terjadi sehingga segenap perlengkapan senjata itu berlaku secara sempurna.
Peternak sudah sangat terbiasa dengan kemungkinan menjamurnya mikotoksin di musim penghujan, maka Infovet mengangkat hal ini. Sangat berfaedah bagi peternak, itu berdasar pengakuan banyak peternak. Menampilkan berbagai tulisan ini adalah tugas kami.

Namun penyakit bukanlah pemain single kejuaraan badminton, mereka sukanya lebih dari main beregu, yaitu: Main keroyokan! Maka tulisan tentang mengeroyoknya penyakit pernafasan dan pencernaan pun kami nagkat.

Pada saat bersamaan, dunia perunggasan kembali ditimpa musibah Tsunami kedua bagi peternakan unggas, hanya karena kasus kematian manusia di sektor 4 (pemeliharaan ternak di pemukiman penduduk) bertambah memposisikan Indonesia menjadi negara dengan kasus Flu Burung tertinggi di Asia.

Padahal peternakan komersial sungguh-sungguh sudah lega dalam tahun terakhir tidak ada alias negatif kasus AI di peternakan khususnya sektor 1 dan 2 (peternakan komersial besar dengan biosecurity sangat ketat dan peternakan menengah dengan biosecurity cukup ketat). Sedangkan di sektor 3 meski terjadi sedikit, nyaris tak terdengar keluhan.

Apa yang sebetulnya terjadi? Kasus AI dan Flu Burung di sektor 4 membuat peternak di sektor 1, 2, dan 3 mesti ikut introspeksi dan lebih waspada, berperang melawan opini masyarakat luas, melawan kebijakan pemusnahan unggas, sekaligus melawan berbagai penyakit lain dengan pengelolaan peternakan sebaik-baiknya dan bersahabat denagn alam lingkungan agar tidak menyatroni peternakan.

Maka di musim penghujan kali ini, sajian Infovet menjadi sangat kaya, dan kita memberi judul yang sungguhlah akrab dengan kalangan peternakan: HUJAN, MIKOTOKSIN DAN FLU BURUNG. (Yonathan Rahardjo)

Jamur dan Flu Burung

Semua penyakit pada umumnya terkait dengan faktor immunosupresi. Begitu juga dengan infeksi jamur yang bersumber dari pakan. Kondisi musim hujan saat ini meningkatkan kelembaban ruang penyimpanan pakan yang pada gilirannya meningkatkan kadar air dalam pakan ternak. Lingkungan seperti ini yang menjadi media tumbuh suburnya jamur. Jamur yang tumbuh menghasilkan racun (toksin) sebagai sisa hasil metabolismenya.

Jika racun ini masuk dan terakumulasi dalam jumlah banyak dalam saluran pencernaan ayam mengakibatkan kerusakan yang permanen dan bahkan kematian. Racun dari jamur disebut miktoksin dan penyakitnya disebut mikotoksikosis. Terlebih bila dikaitkan dengan sistem kekebalan yang juga menurun, pastinya akan membuka peluang bagi penyakit lain untuk masuk, seperti gagalnya program vaksinasi Avian Influenza, Marek, ND, CRD, dll. Demikian diungkapkan Drh Hadi Wibowo praktis perunggasan di Jakarta saat ditemui Infovet dikediamannya.

Menurut Hadi, Jamur yang terdapat dalam bahan pakan tidak mati dengan antibiotik dan desinfektan, karena letaknya yang jauh didalam pakan, sehingga perlakuan penyemprotan dengan desinfektan dan antibiotik tidak akan mampu menjangkaunya. Nah, yang paling bisa dilakukan adalah dengan menjaga suhu lingkungan penyimpanan agar tetap tinggi dengan kelembaban sedang.

Ia pun mewaspadai akan adanya infeksi penyakit lain akibat infeksi jamur. Sebagai contoh AI, karena Avian Influenza mempunyai gejala klinik dan patologi anatomi yang lengkap, ia kadang bisa mirip dengan ND, Cholera, Coryza, Aspergilosis, dll. Karena sifat virus AI yang menyerang semua sistem.

Waspadai 3 Jenis Jamur

Hadi menjelaskan, penyakit yang disebabkan oleh jamur diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama adalah Aspergilosis yang merupakan penyakit pernapasan akibat infeksi jamur Aspergilus sp. (A.fumigatus, A.niger dan A.glaucus). Aspergilosis juga dikenal dengan nama mycotic pneumonia yang ditandai dengan lesi mengkeju pada paru dan kantung hawa, morbiditas dan mortalitas tinggi, penyebab. F

aktor pendukung timbulnya Apergilosis terutama berhubungan dengan aspek lingkungan dan manajemen, misalnya temperatur dan kelembaban yang sesuai untuk pertumbuhan jamur, liter yang basah dan lembab, ventilasi yang kurang memadai, pakan atau bahan baku lembab dan tercemar jamur, kejadian penyakit imunosupresif yang tinggi (terutama Gumboro), dan pencemaran pada inkubator (mesin tetas) di hatchery yang kerapkali sulit diatasi.

Kedua adalah Kandidiasis yang disebabkan jamur Candida albicans. Jamur ini tersebar luas dialam sehingga digolongkan sebagai patogen oportunistis. Kandidiasis biasanya menyerang saluran pencernaan bagian atas terutama tembolok dan sering berperan sebagai penyakit sekunder. Secara normal jamur ini ada pada saluran pencernaan, dan bila kondisi badan turun, maka C. albicans akan tumbuh pada selaput lendir dan menimbulkan lesi yang ditandai dengan penebalan berwarna keputihan pada mukosa tembolok dan kadang-kadang pada rongga mulut, esofagus, dan proventrikulus.

Penyebab Kandidiasis umumnya adalah tingkat higienis dan sanitasi yang tidak memadai, penggunaan antibiotik yang berlebihan, penurunan kondisi tubuh akibat strers. Dan defisiensi nutrisi.

Ketiga adalah Favus yang merupakan infeksi jamur kronis di bagian eksternal yang juga dikenal dengan Jengger Putih. Favus disebabkan oleh infeksi jamutr Trichophyton sp. penyekit ini menyebabkan lesi dan keropeng pada bagian jengger namun tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan dua penyakit yang disebutkan sebelumnya.

Akibat infeksi penyakit diatas menimbulkan dampak ekonomi yang besar terutama pada broiler karena rusaknya saluran pernapasan dan pencernaan menghambat proses penyerapan nutrisi yang berakibat lambatnya pertumbuhan. Pertumbuhan terhambat hingga 40% bahkan terhenti atau mati jika disertai dengan infeksi penyakit lain. Ditemukan kasus hingga umur pemeliharaan 23 hari, broiler yang terinfeksi jamur hanya mencapai bobot 6-7 ons, broiler normal pada umur yang sama mencapai bobot 1 kg.

Mekanisme menekan pembentukan kekebalan akibat infeksi jamur, dijelaskan Hadi, akibat proses penyerapan nutrisi yang tidak sempurna menyebabkan pertumbuhan terhambat. Begitu juga dengan pembentukan sel-sel yang berperan untuk membentuk antibodi dari antigen. Yaitu terganggunya proses pembentukan makrofag, sel T helper dan sel B yang berperan dalam proses pembentukan antibodi. Jika ketiga sel-sel ini jumlahnya kurang maka program vaksinasi yang kita jalankan bisa dipastikan gagal. Oleh karenanya dibutuhkan faktor penunjang seperti penggunaan imunomodulator selain mencegah infeksi jamur.

Pencegahan dan Pengobatan

Menurut Prof Charles Rangga Tabbu dalam bukunya yang berjudul Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Vol 1, sesungguhnya pengobatan untuk infeksi jamur ini hingga saat ini belum ada, namun untuk menekan infeksi bisa digunakan fungistat seperti mikostatin, Na atau Ca propionat bersama pakan dengan/tanpa larutan 0,05% CuSo4 dalam air minum untuk menghambat pertumbuhan jamur. Pemberian multivitamin, terutama vitamin A akan menekan derajat keparahan penyakit tersebut.

Penting untuk menghilangkan sumber infeksi dengan menyemprot litter dengan desinfektan sekaligus menjaga kualitas litter tetap kering sehingga terhindar dari pencemaran jamur. Suhu ruang penyimpanan pakan diusahakan tetap dengan kelembaban tidak tinggi sehingga tidak kondusif untuk tumbuhnya jamur. (wan)

Jamur Muncul Kapan Saja

(( Kedua praktisi menyarankan kepada para peternak dan pengelola untuk mengawasi secara benar cara penyimpanan, pencampuran dan saat pemberian. ))

Jamur muncul sebagai pengganggu produktifitas pada ayam tidak dipengaruhi oleh musim. Kondisi tatalaksana pakan lebih dominan menjadi penyebabnya. Sedangkan musim memang menjadi salah satu faktor pemicunya saja.

Namun umumnya para peternak mempunyai asumsi bahwa musim basah seperti musim hujan akan menjadi salah satu alasan utama penyakit karena jamur pada ayam muncul. Drh Indra Wijaya dan Ari Toto Lisan mengungkapkan hal itu kepada Infovet secara terpisah.

Indra seorang praktisi lapangan yang telah lebih dari 15 tahun bergelut di dunia perunggasan berpendapat bahwa memang ketika musim hujan probabilitas penyakit unggas yang disebabkan oleh jamur akan menjadi lebih tinggi frekuensinya dibanding musim kering atau kemarau.

Namun demikian, ujar Indra, pada kenyataaannya di lapangan, sangat sering terjadi penyakit-penyakit yang bersifat infeksi sekunder awalnya dipicu oleh adanya infeksi mikotosis. Jika demikian, menurutnya tidak lain karena aspek tatalaksana pakan yang kurang tepat.benar.

Menjelaskan yang disebut dengan tatalaksana pakan pada ayam, sebenarnya banyakpeternak sudah paham benar. Gudang penyimpanan pakan harus memenuhi syarat yaitu jauh dari kelembababan.

Namun demikian, umumnya anak kandanglah yang sering kurang tertib dan taat dalam pengelolaan pakan. Meski sudah mendapat pengarahan berkali-kali dan selalu diingatkan namun terkadang, melalaikan dan menganggap enteng serta bekerja mencari mudahnya saja. Oleh karena itu pengelola atau manager kandang memang harus rajin mengontrolnya.

Atas dasar pengalaman lapangan, aspek inilah yang paling dominan menjadi pemicunya. Sedangkan faktor musim basah, tidak lain harus diantisipasi dengan pengawasan penyimpanan, pencampuran dan saat pemberian. Jika hal ini lalai maka sudah pasti akan menjadi sulit untuk dicarikan jalan keluarnya, sebab penyakit jamur pada ayam, salah satu penyakit yang relatif sulit untu diatasi.

Umumnya penyakit ini memang muncul tidak bersifat tunggal, karena adanya infeksi sekunder yang justru kemudian infeksi sekunder yang termanifestasi lebih jelas pada gejala klinisnya.

Sedangkan Ari Toto juga seorang praktisi yang sudah malang melintang di lapangan, berpendapat bahwa akibat dari infeksi jamur pada ayam akan menyebabkan anjlognya produktifitas secara pelahan tapi pasti. Hal inilah yang menjadi penyebab penyakit ini terkadang sulit dan terlambat dideteksi oleh pengelola.

Indra juga sependapat dengan Ari bahwa kesulitan mendiagnosa penyakit karena jamur karena umumnya manifestasi yang tidak menciri. ”Salah satu ciri khas penyakit pada ayam karena jamur adalah tidak menciri, terlalu banyak diferensial diagnosa, bahkan sering terkacaukan dengan penyakit pencernaan dan pernafasan. Maka penelusuran dengan cermat dan teliti harus dilakukan oleh para praktisi agar tidak salah dalam terapinya,” ujar Indra dan juga Ari.

Jika sampai produktifitas melorot baik pada ayam potong maupun petelur, maka harus disidik dari mulai aspek pakan. Meskipun mungkin ada gejala klinis yang muncul yang mungkin menciri karena infeksi bakterial ataupun viral. Oleh karena itu langkah terapi pada infeksi sekunder dan yang justru muncul memang jalan terbaik.

Setelah penanganan penyakit atas gejala klinis yang muncul bisa diatasi, maka jika ternyata tetap saja produktiftas belum pulih secara signifikan barulah kemudian terapi atas infeksi jamur.

Memang, sering terjadi para praktisi berhenti setelah gejala klinis penyakit hilang, tetapi tidak meneruskan. Umumnya mereka berasumsi pulihnya produktifitas akan terjadi kemudian. Padahal infeksi primer yang menjadi penyebab dan pemicu belum teratasi.

Menurut Ari, jika demikian maka, akan semakin menambah parah kondisi produktifitas ayam. Maka menurut Indra dalam mengatasi infeksi jamur pada ayam memang butuh telaten dan cermat serta hati-hati.

Kedua praktisi menyarankan kepada para peternak dan pengelola untuk mengawasi secara benar cara penyimpanan, pencampuran dan saat pemberian. Hal ini sangat penting karena terlalu sering para peternak menyalahkan jagung, katul yang menjadi bahan pencampurnya pada ayam petelur. Namun sebenarnya pakan dari pabrikan harus juga diwaspadai menjadi biang munculnya penyakit jamur.

Memang benar dan dari kasus yang muncul terbanyak adalah karena kualitas jagung dan katul yang mengandung jamur cukup banyak. Oleh karena itu agar bisa tuntas dan menghasilkan produktifitas yang diharapkan, mewaspadai kualitas komponen pakan adalah penting sekali. (iyo)

KEMBALI KETATKAN 9 STRATEGI PENGENDALIAN AI

Sembilan (9) strategi pengendalian avian influenza yang dilakukan Departemen Pertanian sebetulnya berjasa besar pada pengendalian flu burung. Demikian Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD Dekan FKH UGM.

Kalaupun sekarang dijumpai kasus banyak pada sektor 4 yaitu di pemukiman penduduk, tidak mengurangi makna pengendalian yang sudah dilakukan di sektor 1, 2 dan 3 (peternakan komersial skala besar yang menerapkan biosecurity ketat, komersial skala menengah yang menerapkan biosecurity agak ketat, komersial kecil yang menerapkan biosecurity longgar)

Prof Charles memaparkan, perkembangan terakhir kasus AI pada ayam/unggas selama tahun 2006, hampir tidak pernah ditemukan kasusnya di sektor 1 dan 2 yang menerapkan biosecurity sangat ketat. Kejadiannya juga sangat rendah pada peternakan ayam ras di sektor 3, khususnya peternakan dengan biosecurity longgar dan tidak divaksinasi terhadap AI.

Sementara di sektor 4, lanjutnya, di daerah pemukiman penduduk yang memelihara ayam di kandang-kandang dekat rumah, kasus endemik terjadi pada ayam buras, itik, entog, dan burung puyuh. Sehingga, ternak-ternak ini dapat bertindak sebagai reservoir atau induk semang yang tak menunjukkan gejala penyakit virus AI.

Unggas (ayam buras, broiler, layer, layer afkir, itik, entog, burung puyuh) yang dijual di pasar tradisional dapat bertindak sebagai reservoir AIV.

Sebagian besar kasus flu burung pada manusia dihubungkan dengan unggas yang dipelihara di sektor 4 ini.

Namun demikian kasus di sektor 4 ini memang tidak bisa dipisahkan sama sekali dari kejadian kasus di sektor 1, 2 dan 3. Hal ini terkait dengan faktor-faktor yang berperan dalam penularan virus AI antar wilayah yaitu: lalulintas unggas dan produk asal unggas, transportasi kotoran ayam, mobilitas orang, kendaraan, bahan, peralatan, pasar becek, dan unggas/burung liar yang bermigrasi.

Apalagi, ketika 9 strategi pengendalian AI di peternakan itu berhasil, artinya tidak ada kasus, kemudian peternak menjadi lalai bahkan cenderung ugal-ugalan mengabaikan ketatnya biosecurity dan vaksinasi. Alasannya macam-macam di antaranya harganya sangat mahal.

Dengan munculnya kasus Flu Burung pada manusia dan ternak di sektor 4, yang dirunut tak lepas dari kejadian di sektor 1, 2, dan 3 yang mulai lalai dan ditularkan melalui jalur penularan tadi, maka peternakan di skala 1, 2, 3 mesti diingatkan untuk jangan sekali-sekali melonggarkan program sesuai 9 strategi yang dulu diterapkan secara ketat.

Sembilan (9) strategi pengendalian avian influenza oleh Deptan RI itu adalah:

1. Meningkatkan biosecurity pada semua aspek manajemen
2. Depopulasi secara selektif kelompok ayam/unggas yang terinfeksi virus AI.
3. Stamping out kelompok ayam/unggas pada daerah infeksi baru.
4. Vaksinasi terhadap AI
5. Kontrol lalu lintas unggas, produk asal unggas, dan produk sampingannya.
6. Surveilans dan penelusuran kembali
7. Mengembangkan penyadaran masyarakat
8. Restocking
9. Monitoring dan evaluasi.

Menurut pakar penyakit unggas ini, manfaat 9 strategi ini di sisi hulu adalah menekan pencemaran virus AI di lapangan, yaitu mengendalikan kasus AI pada unggas atau hewan lainnya serta mencegah penularan AIV dari unggas/hewan ke manusia.

Adapun manfaat di sisi hilir adalah mencegah kasus flu burung pada manusia yaitu mencegah terjadinya penularan antar manusaia (Pandemi influenza). (YR)

Penyakit Jamur Terkait Pakan Ternak

(( Beberapa jenis penyakit akibat jamur terjadi. Dari gudang pakanlah malapetaka penyakit dengan jamur tersebut dimulai. ))

Pada peternakan ayam, penyakit aspergilosis dan kandidiasis merupakan penyakit yang umum ditemukan. Demikian Drh Jully Handoko Akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau menyatakan,

Lebih rinci dijelaskan Jully, kapang Aspergilus flavus dan Aspergilus paraciticus menghasilkan metabolit toksik berupa aflatoksin. Kerugian akibat aflatoksin ini bisa dalam bentuk cemaran pada bahan baku dan pakan ternak yang disinyalir dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produk ternak itu sendiri.

Pakan dengan cemaran kapang dari jenis Aspergilus flavus dan jenis lainnya, bila diberikan ke ayam akan menimbulkan penyakit aspergilosis.

Menyoal aspergilosis pada ayam dengan toksinnya yang mengkontaminasi pakan dilaporkan Bahri et al., 1994 bahwa 80% pakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia telah terkontaminasi aflatoksin B1 dengan variasi ukuran antara 10,1 – 54,4 ppb.

Sedang Maryam, 1996 telah mendeteksi keberadaan residu aflatoksin B1 dan M1 pada hati dan daging ayam dengan kadar rata-rata 0,007 ppb dan 12,072 ppb dalam hati ayam, sedang pada daging ayam dengan kadar rata-rata 0,002 ppb dan 7,364 ppb.

Artinya, keberadaan residu aflatoksin ini disinyalir dapat membahayakan konsumen karena diduga toksin dari kapang jenis aspergilus ini dapat menyebabkan kanker pada manusia.

Kembali ke drh Jully Handoko alumni FKH UGM, dampak lain dari keberadaan aflatoksin dalam pakan ayam adalah terjadinya penurunan bobot badan. Sehingga, tujuan akhir dari pemeliharaan ayam pedaging atau broiler berupa pencapaian bobot badan maksimal tidak tercapai.

Di samping itu, pada ayam petelur dapat pula menurunkan produksi telur, dengan demikian kerugian akibat aflatoksin bukanlah sekedar isapan jempol belaka namun benar adanya.

Aspergilosis

Bila dikaji lebih jauh, Aspergilosis merupakan penyakit pernafasan atau brooder pneumonia yang disebabkan oleh cendawan dari genus aspergilus yang dapat menyerang manusia disamping ternak.

Penyakit ini sering dijumpai pada unggas seperti pada ayam dan itik, sedang pada ternak lainnya kasusnya sangat jarang ditemukan. Pada ayam, infeksi akibat aspergilosis dapat ditemukan pada alat pernafasan termasuk kantong udara dengan tingkat penyebaran yang cukup tinggi melalui darah ke bagian lain dari tubuh ayam.

Penyakit ini dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu aspergilosis bentuk akut dan aspergilosis bentuk kronis. Aspergilosis bentuk akut sering ditemukan pada ayam dengan usia muda yang dicirikan tingginya angka morbiditas dan mortalitas.

Sedang ayam dewasa sering terpapar aspergilosis dalam bentuk kronis dengan angka morbiditas dan mortalitas yang rendah, namun secara umum angka kematian ayam yang terpapar aspergilus ini berkisar antara 50-65 %.

Aspergilosis biasanya bersifat sporadis. Secara umum munculnya aspergilosis di areal peternakan diprediksi akibat kelengahan atau kelalaian peternak dalam hal menjaga kebersihan kandang termasuk gudang pakan yang disinyalir sebagai mediator awal kemunculan jamur ini. Kenapa harus gudang pakan?

Menurut Jully, dari gudang pakanlah malapetaka penyakit dengan jamur tersebut dimulai. Dirunutnya dengan rinci, pada peternakan broiler yang fokus usaha ditujukan untuk menghasilkan daging dengan konsekwensi penuh pada pemberian pakan tepat waktu dengan tidak mengindahkan kandungan gizi dan jumlah pakan yang diberikan: Agar tidak terjadi keterlambatan dalam pemberian pakan, peternak biasanya menempatkan pakan pada gudang pakan yang diposisikan tidak jauh dari lokasi kandang.

Kemudian pakan ditumpuk ditempat tersebut dengan tidak mengindahkan kebersihan dan persyaratan penyimpanan pakan yang dianjurkan, sehingga pada kondisi tertentu yakni saat musim tak bersahabat, bertumbuhanlah jamur pada pakan dan ini tidak direspon oleh peternak.

Malahan, memberikan pakan yang telah terkontaminasi jamur tersebut pada peliharaannya. Pada kondisi inilah, penyakit akibat jamur yang mengkontaminasi pakan seperti aspergilosis tak dapat dihindari.

Seyogyanya, pembangunan gudang pakan ini tetap mengacu pada prosedur pembangunan kandang yang dipersyaratkan seperti cukup ventilasi, mendapatkan sinar matahari langsung, tidak ditempat yang lembab, dengan posisi lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah, dan menghindari gudang dari debu.

Aflatoksikosis

Sementara itu, tercemarnya pakan ternak oleh aflatoksin menurut Dewi Febrina SPt MP dapat juga menyebabkan terganggunya fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsur mineral berupa tembaga, besi, kalsium, fosfor, dan beta karoten, serta terjadinya kerusakan pada kromosom, perdarahan dan memar.

“Inilah penyebab awal terhambatnya pertumbuhan ternak, penurunan produksi, melemahnya sistem kekebalan tubuh, dan disisi lain sifat immunosupresif aflatoksin diduga dapat menyebabkan kegagalan vaksinasi, bahkan kejadian ini dapat berakhir pada kematian,” jelas alumni pasca sarjana Unand ini dengan mantap.

Kandidiasis

Penyakit lain yang juga tak kalah pentingnya diketahui peternak adalah kandidiasis yang juga masih dipromotori jamur, bersifat infeksi pada saluran pencernaan terutama tembolok, dan kadang-kadang pada rongga mulut, esofagus dan proventrikulus.

Masa inkubasi tidak tetap artinya selalu bervariasi tergantung pada kondisi daya kebal tubuh ternak dimaksud. Penyakit ini ditemukan pada ayam, terutama peternakan ayam komersial, dengan gejala klinik pada ayam muda seperti gangguan pertumbuhan, pucat, lesu, lesi gatal pada ulkus kulit dan selaput lendir, pneumonitis, dan bulu berdiri.

Penampakan lain yang juga tak kalah pentingnya dalam mengidentifikasi kandidiasis ini adalah kondisi bulu di sekitar kloaka yang kotor, ini disebabkan adanya tempelan feses penderita akibat keradangan pada kloaka. Berbeda dengan aspergilosis, kandidiasis disebabkan oleh Candida albicans, merupakan jamur yeast atau ragi dari famili fungi.

Sifat jamur ini relatif lebih resisten di dalam tanah dan tahan terhadap berbagai desinfektan. Kembali ke drh Muhammad Firdaus MSi alumni pasca sarjana Unri menyatakan, penularan kandidiasis biasanya melalui oral karena ayam sehat mengkonsumsi pakan atau air minum yang sudah tercemar Candida albicans.

Dalam hal ini, kandidiasis tidak ditularkan melalui ayam per ayam, sehingga untuk pencegahan kandidiasis ditingkat peternak agak lebih muda yakni cukup mengetatkan sanitasi lingkungan kandang dan ternaknya serta menjaga agar pakan tetap dalam keadaan baik. (Daman Suska)

Penyimpanan Pakan

(( Hanya dengan pengamanan biologi yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal yang diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung berjangkitnya jamur. ))

Di tingkat peternak, pakan berjamur sering terabaikan dan ini memberikan dampak yang cukup besar bagi usaha peternakan karena pakan berjamur dapat menyebabkan ayam sakit atau setidaknya dapat menurunkan pertambahan berat badan perharinya. Demikian Firdaus peternak ayam broiler desa Simpang Siabu kecamatan Bangkinang kabupaten Kampar Riau.

Menurutnya, bila penyimpanan pakan terkesan asal-asalan saja dengan penumpukan yang melebihi kapasitas dipastikan jamur dengan mudah mengkontaminasi pakan. Lebih lanjut dikatakannya, dalam berusaha peternak tentu mengharapkan untung usaha yang besar meskipun kesannya dengan pengeluaran yang minim, namun segi-segi kebersihan tetaplah dijadikan dasar untuk mencapai itu semua.

Ketika ditanya bagaimana peternak menangani kasus ini, “Hanya dengan pengamanan biologi yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal yang diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung berjangkitnya jamur di usahanya,” jelas peserta kemitraan PT Primatama Karya Persada ini dengan mantap.

Di lain sisi, Drh Muhammad Firdaus MSi Kasi Keswan Dinas Pertanian kota Pekanbaru menyatakan, peternak tetap mengutamakan kualitas pakan, baik yang berhubungan langsung dengan komposisi gizi yang sesuai dengan kebutuhan ayamnya ataupun hal terkait lainnya seperti manajemen penyimpanan pakan tersebut dalam arti menghindari pakan dari kondisi gudang penyimpanan yang lembab dan hal-hal lain yang memungkinkan jamur tumbuh subur.

Disamping itu, upaya penanggulangan cemaran jamur terutama aflatoksin pada pakan dan keracunannya pada ternak yakni dengan menggunakan bahan pengikat kimia seperti arang aktif dan zeolit.

Sementara itu, penggunaan bahan alami seperti kunyit, sambiloto dan bawang putih untuk penanggulangan jamur telah pula diuji coba.

Terakhir penggunaan berbagai jenis mikroba melalui proses degradasi telah dilaporkan dengan hasil dapat menurunkan jumlah aflatoksin yang masuk ke dalam tubuh ternak.
Setidaknya kontrol yang ketat terhadap lingkungan sangat penting pada saat pemilihan jenis untuk mengeliminasi penyakit disebabkan oleh jamur diantaranya sterilisasi, desinfeksi dan sanitasi.

Sementara itu dalam pemilihan desinfektan yang cocok perlu pula peternak memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

(1) Jenis permukaan yang akan dilakukan desinfeksi,
(2) Tingkat kebersihan permukaan,
(3) Jenis organisme yang akan dibuang,
(4) Ketahanan dari bahan yang digunakan dalam pembuatan kandang atau gudang pakan, (5) Durasi waktu perlakuan,
(6) aktifitas residu.

Namun apapun cara yang dilakukan, sebaiknya tetap kembali pada konsep awal yakni mencegah lebih baik dari mengobati. (Daman Suska)

Saatnya Untuk Restrukturisasi dan Kompartementalisasi

Isu seputar flu burung yang sedang menghangat kembali seperti saat ini terus bergulir di masyarakat.dan telah mendorong berbagai tekanan terhadap keberadaan peternakan yang berdekatan dengan pemukiman, khususnya di kota besar. Ditambah lagi dengan semakin meningkatnya kasus flu burung di Jakarta yang hingga berita ini diturunkan tercatat 21 kasus posistif flu burung dengan 19 diantaranya meninggal dunia. Untuk itu diperlukan restrukturisasi peternakan khususnya di wilayah perkotaan seperti Jakarta dan sekitarnya.

Hal itu mencuat dalam pertemuan Pengendalian Avian Influenza dengan Stakeholder, Kamis(18/1) di Aula Dirjen Peternakan Lt 6 Gd. C Departemen Pertanian. Pertemuan itu dihadiri Dr John Weaver (Konsultan FAO) dan Dr Anni Mc Leod (ahli ekonomi FAO).

Restrukturisasi, Ya atau Tidak

Fenny Firman Gunadi Sekjen Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengatakan, mengubah kebiasaan masyarakat itu tidak mudah. Apalagi masyarakat kita telah terbiasa hidup disekitar unggas baik itu, unggas ayam ataupun burung. Maka rencana restrukturisasi yang akan dilakukan pemerintah harus terlebih dahulu memiliki landasan hukum yang kuat. Jangan sampai nanti ketika sudah direstrukturisasi dalam jangka waktu lima tahun ke depan peternakan harus kembali terusir karena terdesak oleh pemukiman. Begitu banyak pula peraturan yang kontradiktif antara peraturan yang dibuat Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sementara Adnan Ahmad dari Dinas Peternakan DKI mengungkapkan, rencana restruktukrisasi ini sudah dibahas sejak satu tahun lalu. Difokuskan pada penertiban pemeliharaan unggas-unggas dipemukiman yang berisiko besar sebagai penular virus flu burung ke manusia. Upaya kali ini dilakukan untuk menepis anggapan karena selama Dinas Pertanian atau Sudin Peternakan hanya dianggap seperti dinas kebakaran yang baru bertindak bila terjadi kasus, namun tidak bertindak untuk mencegah terjadinya kasus.

“Nantinya untuk peternakan akan diberikan tempat khusus yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Begitu juga dengan tempat penampungan dan pemotongan ayam yang tersebar liar dihampir semua wilayah Jakarta. Untuk itu perlu ada peranan swasta dan pemerintah untuk mewujudkan hal ini,” ujar Adnan.

Lebih lanjut, kata Adnan, mengubah persepsi masyarakat tentang daging segar juga diutamakan. Karena selama ini menurut sebagian masyarakat daging ayam segar adalah yang baru dipotong, sedangkan daging beku tidak segar lagi. Hal ini salah karena daging beku berasal dari daging ayam yang baru dipotong yang langsung dibekukan untuk memperpanjang umur simpan tanpa ditambah bahan pengawet apapun.

Restrukturisasi tidak hanya melulu mengatur pelarangan beternak di wilayah perkotaan, tapi juga menyangkut lalu lintas hasil produksi. Seperti diungkapkan Don P Utoyo dari Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) yang dikutip Kisman dari Karantian Pertanian, restrukturisasi harus dilakukan secara keseluruhan mulai dari penerapan biosekuriti, good farming practice, dan penanganan pasca produksi yang terkait dengan perdagangan dan lalu lintas ternak atau daging unggas. Aturan mengenai lalu lintas hasil unggas masuk ke Jakarta harus diatur jelas karena kebutuan daging unggas dari Jakarta yang mencapai 1 juta ton per hari selama ini dipasok dari wilayah sekitar seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Bila langkah restrukturisasi ini berhasil maka tinggal dilanjutkan dengan program kompartementalisasi bagi industri perunggasan. Namun disini dituntut keterbukaan pada program biosekuriti dan surveilans internal dalam menjaga lingkungan sekitarnya agar tetap bebas AI dari pelaku peternakan sektor 1 dan 2 yang bertujuan untuk membuka peluang ekspor Indonesia.

Askam Sudin dari GPMT menekankan, untuk merekstrukturisasi peternakan sektor 3 dan 4 ini membutuhkan waktu dan sosialisasi yang lebih lama dan akan banyak menimbulkan pro dan kontra.

Sudirman dari FMPI menyampaikan, “Saat ini, mulailah kita bekerja dan jangan ada lagi seminar atau workshop membahas hal yang itu-itu saja. Karena isu restrukturisasi maupun kompartementalisasi sudah mencuat sejak tahun lalu. Dan sebagian besar pelaku industri peternakan dan pemerintah telah paham betul konsep akan hal ini. Segera dibentuk tim yang bisa langsung bekerja karena kalau kita terus berwacana tidak akan mendapat hasil apa-apa.”

Hal senada diungkapkan Paulus Setiabudi dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), “Saat ini peternak merugi 7-8 milyar rupiah setiap hari akibat statement pejabat pemerintah yang tidak terkontrol di media massa. Statement mereka menyebabkan ketakutan di masyarakat untuk mengkonsumsi unggas. Sementara di Pembibitan Unggas setiap minggu kerugian mencapai 20-25 milyar. Inilah satu hal yang menyedihkan bagi industri perunggasan. Terlebih ditambah dengan statement pejabat yang sifatnya tidak menenangkan dan menjauhkan masyarakat dari mengkonsumsi daging dan telur unggas yang sehat.”

Paulus menambahkan, kompartementalisasi seperti contohnya di Thailand bisa dilakukan karena ada rantai integrasi dari semua lini. Mulai dari pembibitan, feedmill, obat-obatan, peternak, penanganan panen, hingga processing plant untuk mengolah hasil unggas menjadi food value added product. Mereka telah distandarisasi ISO dan dalam proses produksinya diawasi pemerintah sehingga produk hasilnya nanti benar-benar bisa dipertanggungjawabkan bebas AI dan penyakit lainnya. Itulah sebabnya Thailand mampu bangkit lebih cepat setelah wabah AI tahun 2003 dengan ekspor menerapkan berdasar kompartementalisasi. “Namun bagaimana dengan kita, apakah kita sudah sampai kesana atau baru akan menuju ke sana,” jelas Paulus.

“Restrukturisasi penting untuk merelokasi pasar ayam yang banyak tersebar di Jakarta. Namun untuk pendirian live bird market di luar perkotaan itu sudah menjadi tugas pemerintah, tidak mungkin swasta yang membangunnya,” tambah Paulus.

H Don P Utoyo FMPI menambahkan, sebelumnnya peternakan yang telah berdiri belasan atau bahkan puluhan tahun lalu terletak sangat terpencil dan jauh dari pemukiman.

Namun karena berjalannya waktu dan untuk menuju ke peternakan dibangun infrastruktur seperti sarana jalan, telepon dan listrik kini pemukiman yang bergerak mendekati peternakan. Hingga seperti saat ini jadi Pemerintah harus konsisten mana yang harus digusur, peternakan yang duluan ada disana atau perumahan yang baru ada disana. Hal ini terus menjadi polemik dan pro kontra bila tidak ada aturan yang jelas dan mengikat baik dari pemerintah Pusat dan Daerah terkait dengan penataan tata ruang daerah. (wan)

SEJARAH DAN SIKAP MENGHADAPI PEMBIAKAN KASUS AI DI INDONESIA

(( Sejarah AI – Flu Burung di Indonesia dimulai tahun 2003.Kini, 4 tahun kemudian, kita mesti lebih sigap dan bijak. Apa yang mesti kita lakukan? ))

Pada Agustus 2003 Avian Influenza (HPAI) di Indonesia pertama kali dijumpai pada peternakan ayam komersial. Agen penyebabnya adalah virus influenza tipe A, sub tipe H5N1, yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Bagaimana AI pertama kali masuk ke Indonesia masih diperdebatkan.

Demikian pakar perunggasan Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD seraya menuturkan, letupan AI menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di Jawa, kemudian meluas ke Sumatera Selatan, Bali, dan daerah lain di Indonesia.

Selanjutnya, pada Juli 2005, dijumpai kasus Flu Burung pertama pada manusia.
Pada tahun 2006, AI telah endemik di 30 propinsi (218 kabupaten/kota) dari 33 propinsi di Indonesia. Juga tersdapat kasus baru di Irian Jaya Barat dan Papua. Gejala klinik dan perubahan patologik seringkali tidak menciri untuk HPAI. Untuk itu perlu metode diagnostik yang akurat, cepat, dan praktis.

Perkembangan terakhir kasus AI pada ayam/unggas selama tahun 2006, hampir tidak pernah ditemukan pada peternakan ayam ras di sektor 1 dan 2. Juga sangat rendah pada peternakan ayam ras di sektor 3, khususnya peternakan dengan biosecurity longgar dan tidak divaksinasi terhadap AI.

Sementara itu di sektor 4, AI endemik pada ayam buras, itik, entog, dan burung puyuh sehingga dapat bertindak sebagai reservoir (silent host) virus AI. Sebagian besar kasus flu burung pada manusia dihubungkan dengan unggas yang dipelihara di sektor 4 ini.

Dengan perkembangan terakhir pada tahun 2007 akibat kematian pada manusia bertambah, memaksa kalangan peternakan untuk melaksanakan prioritas penanggulangan AI tahun 2007.

Prioritas itu, dituturkan Charles, adalah:

• sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian peternak, industri, pemegang kebijakan, dan masyarakat umum

• restrukturisasi sistem pemeliharaan unggas, industri/usaha perunggasan, perdagangan, dan system distribusi

• vaksinasi

• monitoring dan surveilans

• perbaikan infrastruktur veteriner dan organisasi veteriner di tingkat pusat sampai
daerah

• riset dan pengembangan

• kerjasama internasional

Sementara dasar pertimbangan pemusnahan unggas non komersial di wilayah padat penduduk dengan kasus flu burung tinggi, adalah berdasar fakta bahwa:

• unggas peliharaan di pekarangan sebagai reservoir AI. Walaupun sebetulnya, sumber penularan AIV pada unggas sektor 4 belum diketahui pasti, masih berdasar asumsi penularan melalui berbagai cara (lihat artikel terkait).

• Kasus flu burung lebih banyak ditemukan pada orang yang erat dengan unggas sektor 4.

• Kasus flu burung tidak berhubungan langsung dengan unggas komersial sektor 1, 2 dan mungkin 3.

Tujuan pemusnahan adalah memutus mata rantai penularan AIV dari unggas ke manusia.
Akhirnya, Prof Charles menyarankan:

• Pemusnahan unggas komersial hendaknya terbatas di daerah padat pemukiman dengan kasus flu burung tinggi.

• Daerah lain perlu sosialisasi sistem pemeliharaan unggas yang benar untuk menekan resiko penularan AIV.

• Strategi penanggulangan harus dilakukan secara terpadu dengan mengacu pada 9 strategi penanggulangan AI. (YR)

GAGAH HADAPI AI JUGA DENGAN VAKSINASI

(( Aspek di hulu dan hilir membuat kita terus berpikir, kita akan tetap tegar menghadapi apapun yang terjadi. Vaksinasi menjadi salah satu senjata andalan. Tentu saja dengan berbagai senjata lain: di antaranya biosecurity ketat yang terbukti sukses membebaskan sektor 1, 2 dan banyak sektor 3 dari kasus AI. ))

Strategi penanggulangan Avian Influenza menurut OIE (Organisasi Kesehatan hewan Dunia) adalah stamping out, tanpa vaksinasi ataupun dengan vaksinasi.

Versi baru kriteria bebas AI menurut OIE adalah jika melakukan stamping out bebas AI dapat dinyatakan setelah 3 bulan dari kasus terakhir.

Jika hanya melakukan vaksinasi tanpa stamping out, bebas AI dapat dinyatakan setelah 1 tahun dari kasus terakhir.

Aspek penting penanggulangan AI pada hewan dan manusia di sisi hulu adalah menekan pencemaran virus AI di lapangan dengan mengendalikan kasus AI pada unggas atau hewan lain. Lalu mencegah penularan AIV dari unggas/hewan ke manusia.

Pada sisi hilir, aspek pentingnya adalah mencegah perluasan kasus flu burung pada manusia dengan tujuan penting mencegah terjadinya penularan antar manusia (pandemi influenza).

Vaksinasi

Masalah yang muncul pada vaksinasi adalah vaksinasi mungkin tidak dapat mencegah timbulnya infeksi AIV. Unggas yang divaksinasi dan kontak dengan virus AI lapang dapat membebaskan sejumlah virus AI (Viral Shedding) jika biosecurity longgar.

Masalah berikutnya, vaksinasi AI akan menekan jumlah AIV yang mencemari lingkungan, dan dapat bertindak sebagai sumber infeksi untuk unggas dan mungkin juga manusia.

Jalan keluar dari masalah tersebut, peternakan yang terinfeksi AIV harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara tepat. Vaksin AI pun harus memenuhi kriteria kualitas tinggi, homolog dengan virus AI lapang yaitu subtipe H atau subtipe H dan N.
Aplikasi vaksinasi pun harus tepat. Dan jangan lupakan, monitoring dan evaluasi terus-menerus.

Manfaat vaksinasi ini adalah menekan kerugian akibat AI menekan mortalitas dan gangguan gangguan produksi. Vaksinasi pun menekan penyebaran virus AI (viral shedding) dan selanjutnya menekan kejadian AI.

Vaksinasi juga meningkatkan ketahanan terhadap tantangan virus AI lapang. Dan jangan lupa,vaksinasi menekan jumlah ayam yang peka terhadap infeksi virus AI.

Adapun faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi terhadap AI adalah vaksinasi harus merupakan bagian dari suatu sistem penanggulangan AI secara terpadu. Vaksinasi ini harus selalu disertai oleh biosecurity ketat.

Selanjutnya perlu monitoring dan evaluasi terus-menerus menyangkut tingkat keamanan vaksin. Baik itu dengan sistem sentinel dan atau uji DIVA maupun uji laboratorik lain.

Monitoring dan evaluasi pun menyangkut tingkat perlindungan vaksin, dan kemungkinan mutasi virus AI asal lapang.

Vaksinasi pun, perlu ada strategi keluar sesuai perkembangan kasus. (YR)

Robohnya Peternakan Kami

Mulai tanggal 1 Februari 2007, di Jakarta khususnya, dunia peternakan di Indonesia mengalami babak baru. Mulai tanggal itu Pemerintah DKI Jakarta melarang warganya memelihara unggas. Jika ada warga yang membangkang terhadap Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 itu, pemda tidak segan-segan akan menyita dan memusnahkan unggas-unggas milik masyarakat itu. Dengan aturan itu kelak 2,8 juta ekor unggas di Jakarta akan musnah dan dimusnahkan.

Peraturan yang dikeluarkan Sutiyoso itu terkait dengan merebaknya kembali virus flu burung. Pemda DKI Jakarta getol memerangi flu burung sebab menurut data dari sebaran flu burung pada tahun Juni 2005 sampai 2007, Jakarta berada di peringkat kedua dalam jumlah korban akibat flu burung, pernah tercatat dari 21 orang yang positif menghidap virus flu burung, 19 diantaranya meninggal dunia. Sementara Jawa Barat berada pada peringkat pertama, dari 25 orang yang positif mengidap virus, 20 di antaranya meninggal.

Peraturan yang dikeluarkan Sutiyoso sejak 17 Januari 2007 itu diharapkan mampu mencegah penularan dan penyebaran virus flu burung. Dalam peraturan menyebutkan pemusnahan bisa dilakukan dengan cara dikonsumsi secara benar, dijual, atau dimusnahkan sendiri dengan ganti rugi sebesar Rp12.500 per ekor. Apabila warga tetap ingin memelihara unggas untuk hobby atau pendidikan maka ia diwajibkan memiliki sertifikat.

Peraturan itu bisa dikeluarkan atas inisitiatif Sutiyoso sendiri, bisa juga karena adanya tekanan dari Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari. Menkes melihat masyarakat enggan memusnahkan unggas-unggas itu sehingga diperlukan perda atau payung hukum. Desakan menteri kesehatan itu lebih-lebih ditujukan ke sembilan propinsi, yakni Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan

Setelah Sutiyoso mengeluarkan peraturan itu, beberapa kepala daerah menyusul langkah-langkah yang telah dilakukan Sutiyoso. Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah beberapa hari lalu telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Larangan Pemeliharaan Unggas di Pemukiman. Di Banten sendiri pernah tercatat dari 12 orang yang positif mengidap virus flu burung 10 diantaranya meninggal dunia.

Gencarnya para kepala daerah mengeluarkan peraturan pelarangan pemeliharaan unggas di pemukiman terkait surat edaran (SE) Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf Nomor 440/93/SJ. SE itu berisi perintah kepada kepala daerah untuk segera melakukan langkah-langkah penanganan flu burung sesuai dengan status daerah masing-masing. Apabila seluruh kepala daerah mengeluarkan peraturan yang sama maka akan ada 120 juta ekor unggas akan dimusnahkan.

Merebaknya kembali virus flu burung kali ini memang membikin repot, tidak heran bila peraturan dan kebijakan baru dibuat kembali agar penularan virus itu bisa dicegah. Merebaknya virus flu burung di Indonesia kali ini sebenarnya bukan yang pertama kalinya yang membikin geger. Apa yang terjadi saat ini sama seperti yang terjadi ketika meninggalnya keluarga Iwan Iswara Rafei bersama kedua anaknya, Nurul dan Sabrina, akibat flu burung. Atas kematian keluarga Iwan itu pemerintah pun melakukan pemusnahkan terhadap ribuan unggas dan ratusan babi.

Kegagalan Pemerintah

Bangsa Indonesia memang tidak pernah belajar pada pengalaman yang sudah-sudah. Pemerintah baru melakukan tindakan reaktif ketika kejadian itu terulang atau terjadi lagi. Tsunami, kecelakaan di darat-laut-udara sebenarnya sudah sering terjadi namun pemerintah selalu gagal mengantisipasi serta mencegah dan anehnya pemerintah melakukan tindakan yang sama atau sudah pernah dilakukan ketika peristiwa itu terulang.

Menghadapi flu burung kali ini mungkin pemerintah sudah kehilangan akal. Berbagai komnas, kebijakan, tindakan, dan peraturan sudah dibuat namun tidak mampu mengatasi penularan flu burung. Presiden SBY saat membuka Pekan Peternakan Unggulan Nasional (PPUN) di Pandaan, Jawa Timur, 2005 yang lalu pun sudah mencanangkan Tumpas Flu Burung. Namun berbagai jalan itu tidak mampu mengatasi wabah flu burung. Peraturan baru yang melarang memelihara unggas di pemukiman sebenarnya bukan langkah yang baru, apa yang dilakukan pemerintah kali ini sebenarnya langkah yang sudah pernah dilakukan yang intinya memusnahkan unggas.

Peraturan itu jika disimak justru akan merugikan dunia peternakan. Memelihara unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dan buruh puyuh) merupakan sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Ketika belum ada SE Mendagri dan Pergub Banten Nomor 1 Tahun 2007, Walikota Cilegon Aat Syafa’at dan Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah menolak pemusnahan unggas di pemukiman. Mereka mengatakan pemusnahan unggas akan menutup usaha peternakan rakyat. Apalagi Pandeglang sedang menurunkan angka kemiskinan melalui pengembangan unggas. Bagi masyarakat memelihara unggas untuk menambah penghasilan hidup. Walau jumlahnya 20 ekor atau di bawahnya namun usaha itu mampu menopang hidup mereka. Setiap hari mereka mampu menjual satu hingga dua ekor ayam. Apabila per ekor dinilai seharga Rp12.500 maka sehari mampu memperoleh uang sebesar Rp25.000, uang itu untuk ukuran rakyat kecil mempunyai nilai yang cukup.

Telur yang dihasilkan pun mampu menambah gizi dan aneka lauk yang dikonsumsi.
Peraturan yang dikeluarkan pemda itu hanya menguntungkan industri peternakan besar atau industri peternakan dengan modal besar. Akibatnya peternakan akan dimonopoli oleh industri-industri besar. Peraturan pemda itu kelak juga akan mengimbas pada pabrik industri pakan, akan banyak industri pakan tutup apabila pemeliharaan unggas dilarang.

Pelarangan memelihara unggas akibat merebaknya flu burung itu nasibnya sama dengan peternakan babi. Karena virus flu burung juga menyerang babi maka beberapa peternakan babi yang keberadaannnya sudah lama dan mapan ditutup keberadaannya. Pelarangan adanya peternakan babi telah merugikan dan membuat hilangnya mata pencaharian peternakan-peternak babi yang berada di Tangerang, Sragen, Wonosobo, Purwokerto, Bogor, dan daerah lainnya. Pada suatu kesempatan Presiden Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Ir Rachmawati mengutarakan, apabila babi dilarang dijual maka akan merugikan peternak. Peternak skala menengah (300 induk babi) jika tidak sekali menjual babi dari kandangnya akan mengalami kerugian sekitar Rp19 juta. Kerugian itu akan mencapai ratusan juta sebab peternakan babi di Jawa jumlahnya mencapai 200 orang.

Namun apakah peraturan pemda yang dikeluarkan itu mampu mencegah penularan virus flu burung? Jawabannya tidak menjamin, sebab sebelum peraturan itu dikeluarkan sudah banyak unggas dan babi yang dimusnahkan, pengawasan lalu lintas unggas pun sudah diketatkan, namun penularan virus flu burung tetap terjadi. Menularnya virus flu burung ke manusia belum tentu disebabkan peternakan unggas semata namun dipengaruhi oleh banyak faktor. Penularan flu burung masing-masing ahli mempunyai teori sendiri-sendiri, bisa akibat dari unggas, babi, anjing, kucing, bahkan manusia. Merebaknya kembali wabah flu burung merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mengatasi penyakit itu sebab berbagai skenario yang disusun selalu jebol dan gagal. Peraturan itu yang pasti akan mematikan peternakan dan usaha rakyat, kalau direlokasi itu merupakan eufisme dari pemusnahan. (Ardi Winangun)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer