Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Kasus Cacingan Pada Ruminansia Sapi, Kambing, Domba dan Rusa

Tuimin peternak sapi Bali dengan sistem gaduhan di Kelurahan Lembah Damai Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru menyatakan, sejauh ini belum ditemukan sapi dengan pertumbuhan yang lambat meskipun makanan yang diberikan cukup kandungan gizi dan jumlahnya.

”Konsep beternak itu sebenarnya adalah pemeliharaan ternak sesuai dengan habitat ternak itu sendiri,” papar Tuimin. Artinya adalah: pemeliharaan ternak dengan sepenuh hati. Ternak juga membutuhkan lingkungan yang sehat, pakan yang cukup dan perhatian penuh dari si pemeliharanya.

Bila kondisi ini diadopsi oleh peternak, “Saya yakin takkan ditemui lagi kasus kematian ternak mati akibat penyakit,” pungkas Bendahara Kelompok Petani Kecil (KPK) Kalui ini.

Sebetulnya, dengan perlakuan yang baik itu, apa saja jenis penyakit cacing yang sebetulnya berpotensi menyerang namun ternyata (mungkin) tidak menyerang sapi peternak itu?

(Balai Informasi Pertanian Lembang (Indonesia) menyatakan tiga jenis cacing yang paling sering menyerang ternak ruminansia adalah: Fasciola gigantica, haemonchus contortus dan Neoascaria vitulorum.

Fasciologis merupakan penyakit yang secara ekonomi menimbulkan banyak kerugian, baik penurunan berat badan dan karkas, produksi susu, gangguan reproduksi sampai pada kematian. Akibatnya pada manusia yang mengkonsumsi hati (mentah) yang berasal dari sapi, domba dan kambing terinfeksi, penelitian terhadap 3000 anak-anak di Egypt, sebanyak 3% terinfeksi dan menunjukkan gejala anemi berat. Syndrom fasciolocis ini di Libanon disebut Halzoun dan di Sudan disebut Marrera.

Akibat penyakit zoonosis ini, tidak kurang 2 juta kasus fasciolocis pada manusia mengalami peningkatan sejak tahun 1980 Dilaporkan, tingginya prevalensi penyakit ini terjadi terutama di daerah spesifik seperti di Bolivia (65-92%), Equador (24-53%), Mesir (2-17%) dan Peru (10%).

Demikian Prof Drh Kurniasih M VSc PhD dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM tahun yang selanjutnya menambahkan, beberapa usaha pencegahan dilakukan antara lain pemusnahan hospes intermedier (siput) dan rotasi penggembalaan.

“Meski begitu, sulit dan tidak efektif jika dilakukan di Indonesia. Karena peternak umumnya hanya memiliki sedikit hewan, 1-5 ekor dan kurangnya lahan rumput untuk penggembalaan,” ungkapnya.

Adapun Drh R Budi Cahyono dari PT Agrotech Veterindo Jaya menyatakan pada kambing kasus cacingan yang paling banyak dijumpai adalah cacing hati. Sementara pada ternak lain adalah cacing gelang. Namun kesemuanya mempunyai sama akibat: pertumbuhan ternak terganggu! Ujung-ujungnya masalah ekonomi.

Penyakit Cacing pada Sapi

Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga menyatakan, Toxocara vitulorum, merupakan cacing askarid. Stadium dewasanya banyak dijumpai pada anak sapi (pedet). Akibat dari penyakit cacingan (toxocariasis), sangat menekan produktivitas ternak, berarti menjadi beban ekonomi bagi peternak secara berkepanjangan jika tidak dilakukan pengendalian.

Menurut mereka menyitir kata Connan, yang dikutip oleh Simon dan Syahrial, pedet yang menderita toxocarosis, akan kehilangan bobot badan sebesar 16 kg pada umur 12 minggu dibanding pedet yang bebas cacingan. Selain itu infeksi toxocariasis juga bersifat zoonotik (menular ke manusia dan sebaliknya).

Upaya pengendaliannya menurut mereka sampai saat ini belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya informasi tentang keadaan toxocariasis pada pedet. Tersedianya obat cacing, umumnya hanya berkhasiat terhadap stadium dewasa, kurang berkhasiat untuk stadium larva dan telur. Ternak sapi, khususnya sapi Madura sangat potensial untuk dikembangkandan peranan ternak ini bagi peternak cukup besar.

Hal ini karena ternak sapi sewaktu-waktu dapat dijual bila diperlukan. Kepemilikan ternak sapi selain menghasilkan daging juga pupuk, serta kulit dan tulangnya mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam bidang industri dan kerajinan.

“Sapi Madura adalah sapi yang termasuk dalam jenis sapi potong, tetapi pertumbuhannya lambat. Sapi yang biasa hidup di lahan kering, ditinjau dari sudut kesehatan ternak, sapi Madura relatif lebih tahan terhadapkondisi lingkungan yang ada, baik kondisi kekurangan pakan maupun infeksi penyakit,” kata peneliti Universitas Airlangga itu.

Walaupun demikian penyakit parasit cacing khususnya cacing saluran pencernaan pernah dilaporkan Disnak Jatim. Menurut Simon dan Syahrial serta Gunawan dan Putra penyakit yang sering dijumpai pada pedet adalah gangguan parasit usus.

Salah satu jenis parasit usus yang sering dilaporkan menyerang pedet muda adalah toxocariasis. Parasit cacing ini menimbulkan kerugian yang cukup besar, bahkan dapat mengakibatkan kematian pada pedet. Toxocariasis merupakan penyakit yang banyak ditemukan di negara tropik dengan kelembaban tinggi.

Menurut beberapa peneliti angka prevalensi toxocariasis pada pedetdi beberapa negara/daerah adalah sebagai berikut: Myanmar sebesar 89%; India 81,6%; Nigeria 98%; Surabaya 43,29%, Garut 54,24%, Malang Selatan 76%.

Setelah melakukan penelitian, Dr Drh Setiawan Koesdarto, Dr Drh Sri Subekti dan Dr Herra Studiawan menyatakan prevalensi telur Toxocara vitulorum pada pedet sapi Madura menunjukkan perbedaan sangat nyata antara musim kemarau dan musim penghujan. Prevalensi tertinggi didapatkan pada musim penghujan, yaitu sebesar 60,8% sedangkan pada musim kemarau sebesar 25,4%.

Setelah mengetahui angka prevalensi toxocariasis pada pedet di wilayah Madura dapat ditindak lanjuti dengan membuat dan melaksanakan program pengendalian dan pencegahan bagi terhadap infeksi terhadap Toxocara vitulorum.


Kasus Cacingan pada Kambing

Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menyatakan penyebab penyakit cacing adalah berbagai jenis cacing bulat alat pencernaan lambung dan usus. Biasanya banyak menyerang kambing muda (di bawah umur 1 tahun).

Sumber di Dinas Peternakan Banjarbaru Kalimantan Selatan itu menyatakan, tanda-tanda ternak kambing yang diserang cacing adalah: kambing kelihatan lesu, lemah dan pucat; bulu kasar dan tidak mengkilat; kurus, pertumbuhan lambat; kadang-kadang mencret.

Pencegahannya antara lain dapat dilakukan dengan menghindarkan kambing dari tempat yang lembab dan digenangi air dimana banyak terdapat larva cacing, serta dengan pemberian obat cacing yang teratur.


Penyakit Cacing pada Domba

Program Warung Informasi dan Teknologi WARINTEK yang bersifat nasional yang ditangani Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia di Bantul Yogyakarta menyampaikan bahwa semua usia domba dapat terserang penyakit cacing.

Penyebabnya adalah cacing Fasciola gigantica (Cacing hati), cacing Neoascaris vitulorum (Cacing gelang), cacing Haemonchus contortus (Cacing lambung), cacing Thelazia rhodesii (Cacing mata).

Sumber pada Departemen Pertanian Republik Indonesia menyatakan untuk pencegahan penyakit: sebelum dikandangkan, domba harus dibebaskan dari parasit internal dengan pemberian obat cacing, dan parasit eksternal dengan dimandikan.


Cacing Pada Rusa

Adapun I Made Dwinata dari Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana telah melakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing nematoda pada rusa yang ditangkarkan di Bali.

Sumber pada Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jumlah menyatakan, sampel penelitian sebanyak 55 ekor rusa. Pemeriksaan feses rusa dilakukan dengan menggunakan metode konsentrasi apung dan untuk mengetahui intensitas infeksi menggunakan metode modifikasi Cornel Mc. Master.

Hasil penelitian Parasitologi Veteriner FKH Unud itu, didapatkan prevalensi infeksi cacing nematoda pada rusa yang ditangkarkan di Bali sebesar 78,18 % dan hanya terinfeksi oleh cacing tipe strongyl.

Hasil analisis menunjukkan perbedaan tempat penangkaran rusa berpengaruh nyata, tetapi jenis kelamin dan jenis rusa tidak berpengaruh nyata terhadap prevalensi infeksi cacing nematoda. Rata-rata total telur per gram (TTPG) tinja pada rusa didapatkan sebesar 144  67 butir.

Memang ada tiga jenis cacing yang paling sering menyerang ternak ruminansia yaitu: Fasciola gigantica, haemonchus contortus dan Neoascaria vitulorum. Namun, jangan sepelekan jenis-jenis cacing yang lainnya, bukan? (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)


Kasus Cacingan Pada Ayam

Soal penyakit cacing pada ayam ini, pada ayam yang paling banyak menyerang adalah cacing pita. Terutama pada ayam petelur, karena ayam ini hidupnya lebih lama dan cacing pun membutuhkan waktu untuk siklus hidupnya. Berbeda dengan ayam pedaging yang masa peliharaannya rata-rata satu kali masa panen cuma 35 hari, sehingga untuk siklus hidup cacing juga sangat pendek apalagi untuk menyerang dan menimbulkan penyakit. Demikian Drh R Budi Cahyono dari PT Agrotech Veterindo Jaya.

Parasit helmin atau cacing memang secara alami ditemukan pada berbagai jenis unggas liar dan unggas peliharaan. Beberapa spesies parasit cacing acap kali ditemukan secara kebetulan pada saat melakukan bedah bangkai pada ayam.

Di lapangan, ada dua jenis parasit cacing internal yang sering dijumpai pada unggas seperti Nematoda atau cacing gilig dari jenis Nemathelminthes dan Cestoda atau cacing pipih dari jenis Platyhelminthes. Dalam pengendaliannya, dibutuhkan identifikasi spesies yang tepat dan pengetahuan tentang siklus hidup kedua cacing tersebut.

Nematoda merupakan kelompok parasit cacing yang terpenting pada unggas, hal ini terkait dengan jumlah spesiesnya dan kerusakkan yang disebabkan cacing tersebut. Kelompok Nematoda mempunyai siklus hidup langsung dan tidak langsung.

Pada siklus hidup langsung, Nematoda tidak membutuhkan inang perantara untuk menginfestasi ayam atau unggas lainnya sedang pada siklus hidup tidak langsung, Nematoda membutuhkan inang perantara untuk kelangsungan hidupnya.

Demikian menurut akademisi Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau, seraya menambahkan, banyak jenis Nematoda yang dapat menyerang ayam peliharaan seperti:

(1) Nematoda yang menyerang saluran pencernaan adalah Capilaria, Gongylonema, Dyspharynx, Tetrameres, Ascaridia, Heterakis, Strongyloides dan Trichostrongylus. Pada bagian ini, yang perlu diwaspadai peternak adalah Capilaria, Ascaridia dan Trichostrongylus yang sering menyerang ayam yang dipelihara dengan sistem ekstensif.

(2) Nematoda yang dijumpai pada saluran pernafasan adalah Syngamus yang dikenal juga dengan istilah cacing merah karena warna cacing ini merah atau cacing garpu karena cacing jantan dan betina dalam kopulasi selalu terlihat seperti hurup “Y”.

(3) Nematoda yang dapat dijumpai pada mata adalah Oxyspirura. Infeksi Oxyspirura pada ayam liar seperti ayam kampung sering dijumpai. Cacing ini dijumpai di bawah selaput niktitan, kantong konjungtiva dan saluran nasolakrimalis mata.

Manifestasi klinis pada ayam yang terinfestasi Oxyspirura adalah oftalmia atau radang mata yang berat, gelisah dan terus menerus menggaruk mata yang terlihat basah dan memerah karena radang.

Kemudian selaput niktitan terlihat membengkak, sedikit menonjol di bawah kelopak mata di bagian sudut mata dan biasanya digerakkan secara terus menerus sebagai usaha untuk mengeluarkan benda asing dari dalam mata.

Pada kondisi parah, kelopak mata terlihat bertaut dan di bawahnya dapat ditemukan material mengeju berwarna putih. Jika tidak diobati, infestasi Oxyspirura dapat menimbulkan kebutaan pada ayam.



Askaridiasis pada Ayam

Perkembangan dunia perunggasan di negara kita, memang sudah banyak menciptakan peluang bisnis. Hal ini disebabkan karena bisnis perunggasan bisa dijangkau masyarakat kalangan bawah, dapat dipelihara oleh masyarakat atau peternak dengan lahan yang cukup kecil, kapital “demand power” yang cukup kuat, menyebabkan ternak ini lebih cepat perkembangannya dibandingkan dengan perkembangan ternak lain. Demikian Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia menyatakan,

Namun, menurut mereka, para peternak tidak sedikit mengalami hambatan dan rintangan selain harga pakan yang terus naik, obat-obatan yang cukup mahal juga adanya berbagai macam penyakit yang sering menyerang ternak. Salah satu penyakit pada ayam yang sering ditemui adalah askaridiasis.

Penyakit ini disebabkan oleh cacing Ascaridia galli yang menyerang usus halus bagian tengah. Cacing ini menyebabkan keradangan dibagian usus yang disebut hemorrhagic. Larva cacing ini berukuran sekitar 7mm dan dapat ditemukan diselaput lendir usus. Parasit ini juga dapat ditemukan dibagian albumen dari telur ayam yang terinfeksi.

Menurut Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia itu, infeksi Ascaridia dapat disebabkan oleh Ascaridia galli, Ascaridia dissmilis, Ascaridia numidae, Ascaridia columbae, Ascaridia compar, dan Ascaridia bonase. Selain berparasit pada ayam, Ascaridia galli juga ditemukan pada itik, kalkun, burung dara, dan angsa. Cacing ini tinggal didalam usus halus, berwarna putih, bulat, tidak bersegmen dan panjangnya sekitar 6-13 cm.

Ascaridia galli merupakan suatu parasit cacing yang paling sering ditemukan pada unggas peliharaan dan menimbulkan kerugian ekonomik yang cukup tinggi. Cacing tersebut biasanya menimbulkan kerusakan yang parah selam bermigrasi pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva.

“Migrasi terjadi di dalam lapisan mukosa usus dan menyebabkan pendarahan (enteritis hemoragi). Jika lesi tersebut bersifat parah, maka kinerja ayam akan menurun secara dramatis. Ayam yang terinfeksi akan mengalami gangguan proses digesti dan penyerapan nutrien sehingga dapat menghambat pertumbuhan,” tambah mereka.

Selanjutnya, cacing Ascaridia bersifat spesifik untuk suatu spesies tertentu dan tidak ada/hanya sedikit kemungkinan terjadi infeksi silang antara jenis unggas yang satu dengan yang lainnya. Ascaridia galli berparasit pada ayam, kalkun, burung dara, itik, dan angsa.

Kaya situ situ, siklus hidup Ascaridia galli tidak butuh hospes perantara. Penularan cacing tersebut biasanya melalui pakan, air minum, litter, atau bahan lain yang tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif. Ayam muda lebih sensitif terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh Ascaridia galii.

Lalu, pada umur 2-3 bulan, ayam akan membentuk kekebalan berperantara seluler terhadap cacing tersebut. Sejumlah kecil cacing Ascaridia galli yang berparasit pada ayam dewasa biasanya dapat ditolerer oleh tanpa adanya kerusakan tertentu pada usus. Infestasi 10 ekor cacing pada ayam dewasa dianggap tidak berbahaya, namun lebih dari 75 ekor akan menimbulkan masalah tertentu.

Adapun, infeksi Ascaridia galli dapat menimbulkan penurunan berat badan yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing yang terdapat didalam tubuh. Status nutrisi dari hospes juga penting karena penurunan berat badan lebih tinggi dari pada ayam yang diberi pakan dengan kadar protein tinggi dari pada ayam yang diberi pakan dengan protein lebih rendah.

Pada infeksi berat dapat terjadi penyumbatan pada usus. Ayam yang terinfeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan, dan peningkatan mortilitas.

“Infeksi Ascaridia galli tidak mempengaruhi terhadap kadar protein darah, packed cell-volume (PCV) atau kadar hemoglobin. Penyakit tersebut mempunyai efek sinergistik dengan penyakit lain, misalnya koksidiosis dan Infectious bronchitis (IB). Cacing tersebut juga dapat membawa reovirus dan menularkan virus tersebut,” kata mereka.

Kadang-kadang, Ascaridia galli juga dapat ditemukan dalam telur ayam, hal ini dapat dihubungkan dengan kemampuan cacing untuk bermigrasi kedalam oviduk melalui kloaka, sehingga cacing tersebut akan terbungkus oleh kulit telur.

Selanjutnya, umur ayam dan derajat keparahan infeksi memegang peranan penting dalam kekebalan terhadap cacing tersebut. Ayam yang berumur 3 bulan atau lebih menunjukan adanya resistensi terhadap infeksi Ascaridia galli. Status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap cacing tersebut. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatakan resistensi terhadap Ascaridia galli.

Mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.

Akhirnya, menurut Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia itu, pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.

Semakin paham tentang penyakit cacing pada ayam, semakin kita pastikan lebih sempurnalah penanganan kesehatan terhadap sang ayam! (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)

Ketika Ternak (Jangan) Diserang Cacing

Marilah berorientasi pada pengendalian penyakit, tindakan konprehensif yang tidak semata-mata menekankan pada pengobatan untuk mengobati setelah kasus penyakit terjadi.

Itulah yang ingin dikatakan Hanafiah dan Dwi Yulistiani sesuai sumber dari Balai Penelitian Ternak Litbang Peternakan dalam suatu kesempatan. Mereka pun menyampaikan hasil penelitian mereka berupa difusi inovasi teknologi pengendalian penyakit infeksi cacing saluran pencernaan secara berkesinambungan pada domba melalui pendekatan partisipatif di Desa Tegalsari, Purwakarta dan desa Pasiripis, Majalengka, Jawa Barat.

Menurut para peneliti itu, penyakit infeksi cacing pada saluran pencernaan pada domba merupakan salah satu penyakit yang menghambat produksi ternak domba terutama pada sistem pemeliharaan secara digembalakan. Cara yang lebih efektif untuk mengatasi masalah penyakit ini adalah melalui pemberdayaan dengan membekali pengetahuan peternak mengenai beberapa aspek produksi dan kesehatan ternak dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi infeksi cacing.

Penelitian Balai Penelitian Ternak Litbang Peternakan itu dilakukan untuk mengetahui difusi inovasi teknologi pengendalian secara berkesnambungan penyakit infeksi cacing saluran pencernaan pada domba melalui pendekatan partisipatif di Desa Tegalsari, Kabupaten Purwakarta dan Desa Pasiripis, Majalengka. Inovasi teknologi yang diintroduksi berdasarkan problem yang ada dan dirasakan oleh peternak di kedua desa tersebut.

Survai dilakukan menggunakan metode wawancara dengan peternak non kooperator masing-masing 14 orang di Desa Tegalsari dan 17 orang di Desa Pasiripis. Responden diambil secara acak sederhana dengan berpedoman pada nama-nama peternak yang sudah pernah berhubungan dengan peternak kooperator. Data yang terkumpul diolah secara deskriptif.

Dari hasil wawancara didapat hasil bahwa semua responden (100%) telah mengadopsi pengobatan cacing pada domba dan suplementasi pakan dengan hijauan legum. Dasar pertimbangan responden mengaplikasikan tersebut adalah hasil yang didapat dengan menggunakan teknologi tersebut paling meyakinkan dan mudah diaplikasikan, dapat diketahui manfaatnya dalam waktu yang relatif singkat.

Secara keseluruhan berdasarkan informasi dari peternak (kooperator dan non kooperator) di Desa Tegalsari telah ada 24 orang dan di Desa Pasiripis sudah ada 30 orang peternak non kooperator yang sudah mengadopsi inovasi teknologi pengendalian penyakit cacing saluran pencernaan pada domba.


Lingkungan dan Pola Hidup Cacing

Siklus hidup cacing adalah cacing ditularkan pada waktu ternak memakan rumput atau meminum air yang terkontaminasi atau tercemar oleh ternak lain dengan telur cacing. Bisa juga cacing disebarkan dari induk ke anaknya. Cacing hidup di usus ternak dan memproduksi banyak telur. Masalah ini biasa terjadi pada musim hujan.

Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab.

Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak. Lalu peternak yang bagaimana yang perlu mendapat perhatian lebih terkait jenis entoparasit dari golongan cacing ini?

Adalah Drh Rondang Nayati MM Kepala Sub Dinas Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau menyatakan, ternak ruminansia lebih rentan terpapar cacing bila dibanding dengan jenis ternak lainnya. Ternak dimaksud seperti sapi, kerbau, kambing dan domba.

Namun, untuk jenis ternak lainnya, kasus cacingan tetap bisa dijumpai. “Untuk kasus cacingan pada ternak, fokus kita memang pada ternak ruminansia terutama sapi dan kambing, karena kedua hewan ini sangat rentan dan populasinya di Riau juga cukup tinggi,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada ini.

Lebih lanjut dikatakannya, pada peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional yakni dengan membiarkan ternaknya mencari pakan sendiri meskipun pada lingkungan yang disinyalir telah terkontaminasi dengan cacing akan lebih memudahkan ternak terinfestasi cacing ketimbang sapi yang dipelihara dengan sentuhan pemeliharaan modern.

Manifestasi klinik Fasioliasis tergantung dari jumlah metaserkaria yang termakan oleh penderita. Dalam jumlah besar metaserkaria menyebabkan kerusakan hati, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Frekuensi invasi metaserkaria sangat menentukan beratnya Fasioliasis. Kerusakan saluran empedu oleh migrasi metaserkaria menghambat migrasi cacing hati muda selanjutnya.

Sementara itu, sumber di Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau menyatakan bahwa rumput sebagai pakan utama ternak ruminansia tetap dianggap sebagai faktor predisposisi infestasi atau adanya parasit dalam tubuh ternak. Hal ini dikaitkan dengan siklus hidup cacing sebelum masuk ke dalam tubuh ternak.

Pada cacing hati misalnya, cacing dewasa hidup di dalam duktus biliferus dalam hati domba, sapi, babi dan kadang-kadang manusia. Dikatakan narasumber dari kalangan dokter hewan itu, bentuk tubuh cacing hati seperti daun dengan ukuran 30 x 2 - 12 mm dengan bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten, merupakan modifikasi dari epidermis dan mulut disokong atau dibatasi.

Kemudian, cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek, memanjang dan membelok, mirasidium berenang dengan silianya dan serkaria dengan ekornya.

Cacing ini merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktus biliferus atau pada epithelium intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya. Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah.

Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfe, kemudian sisa-sisa metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit. Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda bersifat entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis laurer.

“Cacing hati dewasa bertelur di pembuluh empedu domba dan sapi, telur keluar melalui pembuluh empedu dan terekskresi melalui feses, kemudian telur menetas menjadi mirasidium, masuk ke dalam tubuh siput (Lymnaea sp) atau termakan oleh siput,” papar narasumber calon mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor ini.

Lalu, lanjutnya, “Infestasi cacing hati pada sapi terjadi bila kista atau metaserkaria yang keluar dari tubuh keong menempel pada tumbuh-tumbuhan air terutama selada air (Nasturqium officinale), kemudian tumbuhan tersebut dimakan sapi, masuk ke dalam tubuh sapi tersebut dan menjadi cacing dewasa yang akan menyebabkan Fasioliasis.”

Lalu apa yang harus dilakukan peternak? “Peternak harus proaktif menyikapi prilaku dan siklus hidup cacing tersebut,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta ini. Artinya, sebelum rumput diberikan kepada sapi atau ternak lainnya, rumput tersebut perlu diangin-anginkan terlebih dahulu, ini bertujuan agar Metaserkaria cacing tersebut mati.

Menurut Radiopoetro, suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.

Terkait pemberantasan cacing ini, Drh Rondang Nayati MM kembali menegaskan bahwa tetap bermula dari kemauan peternak, artinya bila peternak menginginkan ternaknya tumbuh sehat maka peternak harus memperhatikan kaidah-kaidah beternak yang baik sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh petugas lapangan.

”Budaya hidup bersih juga dapat diterapkan seperti membersihkan lingkungan sekitar kandang, menghindari genangan air dengan cara membuat saluran air, membuang atau mengumpulkan kotoran sapi dan kotoran jenis ternak lainnya pada satu tempat, sehingga pada akhirnya, peternak meraup keuntungan bukan saja dari ternak yang dipelihara, namun keuntungan lain juga datang dari limbah ikutan seperti pupuk kandang,” pungkas mantan Kepala Laboratorium type B Dinas Peternakan Provinsi Riau ini.


Mengontrol Cacing pada Ternak

Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note SPt dari SPFS (Special Programme For Food Security) FAO untuk Asia Indonesia dalam suatu kesempatan menyatakan, “Penggunaan obat anti parasit internal (cacing) dalam pemeliharaan sapi adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh peternak, karena infestasi cacing adalah suatu fenomena yang akan terus berulang secara periodik dalam siklus pemeliharaan.”

Menurut sumber SPFS FAO untuk Asia Indonesia, beberapa tehnik sederhana dalam melakukan kontrol terhadap infestasi cacing pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pakan dan mengatur waktu pemotongan rumput, suatu hal yang tentunya tidak dapat dilakukan bila sapi dibiarkan mencari pakan sendiri di padang rumput.

Pembuatan kompos dari kotoran sapi juga akan memutus siklus hidup parasit, karena telur cacing akan menyebar melalui kotoran sapi, sehingga bila kotoran sapi dikumpulkan dan digunakan untuk membuat kompos maka siklus hidup cacing akan terputus dengan sendirinya, karena adanya pemanasan pada proses dekomposisi kotoran sapi (34º C).

“Pada dasarnya beban biaya medikasi untuk pemeliharaan sapi mencapai 5-10% dari total biaya (farm overhead cost), dimana lebih kurang 50 % nya digunakan untuk biaya pembelian obat anti-cacing,” ujar Johan Purnama dan Taufikurrahman Pua Note.

Kerugian lain, lanjut mereka, yang timbul adalah adanya resistensi cacing pada beberapa jenis obat, yang memaksa peternak untuk semakin meningkatkan jumlah dosis obat yang diberikan pada sapi dimana hal ini akan memberikan efek samping yang bersifat toksik pada sapi.

“Residu obat cacing yang keluar melalui tinja juga akan semakin meningkatkan kekebalan cacing terhadap obat cacing di lingkungan penggembalaan sehingga penggunaan bahan farmasi sebenarnya menimbulkan efek negatif yang cukup signifikan,” kata mereka.


Diagnosa Tepat Bermanfaat

Diagnosa yang tepat pada hewan yang sudah terserang penyakit cacing, akan memberikan jalan untuk pengobatan yang tepat pula. Untuk ketepatan diagnosa, narasumber Infovet menyatakan perhatikan gejala yang tampak pada ternak.

Bila ternak tidak ada nafsu makan, katanya, maka periksalah dulu bagian mulut dan gigi. Periksa juga suhu (kalau tinggi, mungkin ada infeksi umum). Berikan antibiotika injeksi setiap hari selama 3 - 5 hari. “Bila bukan seperti gejala diatas setelah diperiksa, kemungkinan penyakit kronis. Hubungi dokter hewan,” katanya.

Adapun bila nafsu makan ternak bagus, ada kemungkinan pakan mutunya kurang baik/ busuk/ berjamur. Untuk itu narasumber Infovet menyatakan supaya peternak mengganti pakan.

Gejala-gejala bila ternak itu cacingan antara lain: sapi kurus dan lemah, nafsu bisa kurang, kurang darah (anaemia), lendir berwarna pucat dan sering mencret.

Selanjutnya salah satu metoda untuk melakukan diagnosa penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada sapi dan kerbau, misalnya, adalah dengan menggunakan antigen Fasciola.

Kita ambil salah satu contoh, narasumber Infovet menyatakan, antigen fasciola ini merupakan suspensi cacing hati dalam larutan garam faali dan ditambah merthiolate. Kemasannya antara lain vial berisi 5 ml antigen.Untuk penyimpanan, simpan pada suhu 2°-8° C (lemari es), jangan pada suhu beku. Selama peredaran antigen harus berada pada suhu 2°- 8° C.

Untuk pemakaian antigen fasciola ini, narasumber Infovet ini menyatakan, “Cukur bersih bulu daerah pangkal ekor dengan diameter 5 cm. Kocok antigen sampai rata sebelum dipakai. Lalu suntikkan 0,2 ml antigen intradermal ditengah tempat yang telah dicukur.”

Kemudian tunggu 15-30 menit, periksa daerah suntikan jika terjadi penebalan kulit yang mengeras (induras), ukur diameter daerah penebalan. “Hindari daerah penyuntikan dari sentuhan tangan, alkohol atau antiseptika lain sampai waktu pengukuran,” sarannya.

Akhirnya, hasil positif bila diameter penebalan lebih dari 15 mm. Negatif bila diameter penebalan kurang dari 15 mm. Interpretasinya, jika diameter penebalan lebih besar atau sama dengan 15 mm, maka ternak tersebut menderita penyakit Cacing Hati.

“Bila sama sekali tidak terjadi penebalan atau diameter penebalan kurang dari 15 mm, ternak tersebut tidak menderita penyakit Cacing Hati,” tegas sang narasumber. (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)

Penyakit Protozoa Bukan Dusta

Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Nomor 6 Tahun 1967 (6/1967) Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 j menyatakan: penyakit hewan menular ialah penyakit hewan, yang membahayakan oleh karena secara cepat dapat menjalar dari hewan pada hewan atau pada manusia dan disebabkan oleh virus, bakteri, cacing, protozoa dan parasit.
Menurut ensiklopedia, protozoa mencakup banyak organisme renik heterotrof bersel tunggal populer seperti Amoeba serta Paramaecium. Namanya berasal dari dua kata bahasa Yunani: proto (awal) dan zoon (hewan), sehingga berarti "hewan pertama". Organisme ini dianggap sebagai eukaryota pertama yang bisa hidup sebagai sel tunggal di alam. Oleh karena itulah protozoa lazim disebut sebagai hewan bersel satu.

Koksidiosis
Penyakit karena protozoa pada ayam, yang paling dikenal adalah Koksidiosis dengan gejala utama berak darah. Peternak pun mengenal penyakit protozoa lain seperti malaria unggas dan Leucocytozoonosis.
Koksidiosis, penyakit menyerang sistem pencernaan. yang ditimbulkan oleh Koksidia disebabkan oleh berbagai spesies genus Eimeria. Saat ini diketahui terdapat sembilan spesies Eimeria yang menyerang ternak ayam dengan enam spesies di antaranya bersifat patogenik (menimbulkan penyakit) dan menyebabkan penyakit.
Suatu riset menyebutkan, biaya pengobatan dan pemberian aditif pakan anti-koksidiosis tidak kurang dari US $ 300 juta per tahun untuk seluruh wilayah penghasil unggas dunia. Bukankah itu harga yang teramat mahal yang harus dibayar jika peternak lalai melakukan tindakan pencegahannya?
Infeksi berawal dari tertelannya ookista yang telah mengalami sporulasi. Ookista ini dapat ditularkan secara mekanik melalui anak kandang, peralatan kandang atau litter yang tercemar. Ayam yang telah terinfeksi Eimeria tenella dapat dikenali dari jenggernya yang kelihatan pucat, disamping kotorannya bercampur darah.
Koksidia dapat menyerang setiap saat setelah anak ayam berumur 2 minggu. “Jangan biarkan penyakit pembunuh ini menyerang tiba-tiba. Pendarahan dan kotoran berwarna hitam adalah indikasi awal dari penyakit ini, terutama Koksidiosis jenis cekak (cecal). Anak ayam yang terinfeksi bulunya tidak mulus, aktivitasnya di bawah normal dan nafsu makan dan minumnya berkurang,” kata narasumber Infovet.
“Jangan menunggu sampai semua ayam di kandang menunjukkan gejala yang sama baru mengambil tindakan pengobatan. Begitu kelihatan ada tanda yang mengarah pada penyakit itu, segera obati,” saran narasumber Infovet.
Narasumber itu menguraikan, agar ayam terhindar dari berak darah, harus dilakukan langkah-langkah pencegahan seperti pengaturan sistem ventilasi udara yang baik, pengaturan kepadatan kandang yang sesuai dengan kapasitasnya dan penyediaan tempat pakan dan minum yang cukup.
Khusus untuk pengaturan tempat air minum, sebaiknya menggunakan tempat minum nipple drinker agar tidak banyak air yang tumpah ke litter. Hal ini dapat mengurangi resiko kelembaban tinggi pada litter. “Jangan lupa berikan koksidiostat (pencegah berak darah) kimiawi dan ionoforik untuk broiler dan koksidiostat sintetik untuk induk dan pullet petelur sesuai dengan petunjuk yang ada,” tegasnya.
Menurutnya, ventilasi yang baik dapat mencegah penyakit yang disebut Koksidiosis. Apabila penyakit ini menyerang, ayam akan banyak yang mati dan yang bertahan hidup akan cacat seumur hidupnya.

Toksoplasmosis
Protozoa lain yang terkenal di kalangan peternakan adalah Toksoplasmosis. Dikneal, Toksoplasmosis adalah penyakit yang sering dijumpai di daerah-daerah yang mempunyai kebiasaan memelihara kucing. Bila kucing memangsa tikus yang mengandung toksoplasma maka kucing ini akan dapat terinfeksi. Bila terinfeksi maka tinja kucing bisa mengandung oosist (salah satu bentuk toksoplasma yang dapat menimbulkan infeksi).
Di usus kucing itulah parasit ini berkembang biak. Telurnya keluar bersama tinja. sekali keluar bisa jutaan. Telur toksoplasma mampu bertahan hidup setahun di tanah lembab dan panas. Jika telur tertelan manusia, di organ tubuh manusia telur berbiak lalu masuk ke jaringan otak, jantung dan otot. Disana telur akan berkembang menjadi kista.
Toksoplasma tidak hanya menginfeksi kucing tetapi juga kelinci, anjing, babi, burung, kambing dan mamalia lainnya. Bedanya, kista toksoplasma dalam daging manusia bukan sumber penularan. Sedangkan kista di daging mamalia dan burung biasanya dimangsa anjing atau kucing. Babi, kambing, ternak dan hewan pengerat tertular toksoplasma dari memakan rumput yang tercemar tinja kucing.
Pada tahun 2005, toksoplasma dari kucing setelah dilakukan penelitian terbukti telah menulari hewan lain terutama sapi di wilayah Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Saat itu, berdasarkan penelitian Bidang Peternakan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman bekerja sama dengan Balai Besar Veteriner Provinsi DIY, dari 11 ekor kucing di Kecamatan Seyegan yang diteliti ternyata tujuh ekor di antaranya positif terjangkit toksoplasma.
Ditelitinya kucing di wilayah Seyegan itu karena di kecamatan tersebut sebelumnya banyak ditemukan sapi keguguran yang disebabkan tertular toksoplasma dari kucing, apalagi di wilayah itu terdapat banyak kucing liar.
Kecurigaan pada kucing, karena di wilayah itu banyak kucing liar yang membuang kotoran di pagar rumput kemudian dimakan oleh sapi. Dari kondisi inilah diyakini api yang terjangkit toksoplasma akibat tertular dari kucing melalui rumput yang diyakini telah terkontaminasi toksoplasma dari kotoran kucing.

Tripanosomiasis
Lazimnya dikenal sebagai penyakit Surra, disebabkan oleh semacam protozoa yang merupakan parasit darah yaitu Trypanosoma evansi. Penyakit Surra ini merupakan penyakit menular pada hewan dapat bersifat akut maupun kronis. Penyakit Surra Penyakit Surra biasanya terjadi secara sporadis tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi wabah.
Dinas Peternakan Propinsi Sumatra Barat Di Sumatera Barat melaporkan kejadian penyakit Surra ditemukan pada tahun 70-an dan pernah terjadi wabah surra pada tahun 1976 di Kab. Sawahlunto Sijunjung pada ternak kerbau dimana sebanyak 353 ekor sakit dan mati bangkai sebanyak 19 ekor.
Setelah terjadi wabah surra tahun 1976, kasus sporadis hampir setiap tahun ada seperti di daerah-daerah kantong penyakit surra yaitu Kec. Rao Mapat Tunggul Kab. Pasaman, Kec. Rambatan Kab. Tanah Datar, Kec. Matur Kab. Agam dan Kec. Pancung Soal Kab. Pesisir Selatan.
Semenjak tahun 1999 s/d tahun 2004 kasus penyakit surra sudah mulai menghilang kemungkinan berkaitan dengan vektor lalat penghisap darah seperti Tabanus yang hidup pada semak belukar sudah mulai berkurang populasinya, di samping itu daerah tersebut sudah terdesak dengan bangunan-bangunan.
Terkait dengan parasit protozoa ini, pada tahun 2007 ini Guru Besar dalam bidang ilmu Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Unair Prof Dr Drh H Setiawan Koesdarto MSc menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar tentang Penyakit Parasitik Pada Pengembangan Sapi Madura.
Menurutnya, sapi Madura tak terlepas dari serangan penyakit. Salah satu diantaranya adalah penyakit parasitik, penyakit ini disebabkan oleh beberapa agen. Selama bertahun-tahun telah dilakukan beberapa kajian tentang parasitik, meliputi helmin, protozoa darah, dan vektor lalat beserta interaksinya pada sapi Madura.
Menurut Prof Setiawan Koesdarto dalam suatu kesempatan, peluang penularan trypanosomiasis dapat terjadi jika terdapat reservoir, yaitu sapi yang terinfeksi. Mekanisme penularan dipengaruhi oleh kemampuan terbang vektor, kemampuan menyebar, serta daya tahan hidup T evansi pada vektor.
"Lama hidup pada habitat probosis vektor maksimal 4 jam. Sedangkan pada habitat fore gut maksimal 9 jam," urai Prof Setiawan Koesdarto.

Anaplasmosis/Piroplasmosis
Meski bukan wabah, Dinas Peternakan Propinsi Sumatra Barat pun melaporkan adanya kasus Anaplasmosis/ Piroplasmosis. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang tidak ditularkan secara kontak (non contagious) yang dapat bersifat perakut sampai kronis.
Tanda penyakitnya, demam tinggi, anemia, ichterus tanpa hemoglobinuria, di dalam eritrosit hewan penderita terdapat agen penyakit yang bentuknya seperti ”titik“ yang disebut Anaplasma, biasanya yang patogen adalah anaplasma marginal.
Penyakit ini lebih sering menyerang ternak sapi dan kerbau. Anaplasma maupun Piroplasma termasuk dalam golongan rikettsia yang ditularkan oleh lalat penghisap darah.
Menurut sumber di Dinas Peternakan Propinsi setempat, di Sumatera Barat belum pernah terjadi wabah anaplasmosis maupun piroplasmosis, dari hasil pemeriksan darah (ulas darah) secara sporadis sering ditemukan, tetapi tidak menimbulkan gejala klinis. Cara penularan yang lain melalui caplak sebagai induk semang alami, memindahkan penyakit ini secara transovarial kepada caplak keturunannya.
Caplak bertindak sebagai induk semang antara. Pada tahun 2001 hal ini pernah terjadi pada sapi impor ex Australia di BPTU Padang Mengatas dan menyebabkan kematian ternak hampir 15 ekor.
Dispet Sumbar bersaksi, lantaran obat untuk parasit darah harganya cukup mahal di samping itu jarang ada di pasaran, relatif sulit untuk memberantas anaplasma maupun piroplasma dalam darah hewan, kemungkinan dengan menghilangkan caplak dari lingkungan ternak dapat mengurangi penularan dari penyakit anaplasmosis maupun piroplasmosis.

Protozoa yang Lain
Kalangan di luar kedokteran hewan dan peternakan pun mengenal dan mensosialisasikan penyakit karena protozoa. Dinas Koperasi, Usaha Kecil Dan Menengah Propinsi DKI Jakarta mengenal Penyakit karena Protozoa sebagai penyakit ini berasal dari protozoa (trichomoniasis, Hexamitiasis dan Blachead).
”Penyakit ini dimasukkan ke golongan parasit tetapi sebenarnya berbeda. Penyakit ini jarang menyerang ayam lingkungan peternakan dijaga kebersihan dari alang-alang dan genangan air,” kata narasumber pada dinas tersebut.
Salang satu gejala yang paling umum diketahui bila protozoa menyerang pencernaan adalah diare. ”Penyakit diare memiliki manusia dan ternak sebagai reservoirnya. penyakit ini dapat disebarkan lewat tinja hewan dan manusia yang sedang sakit. Penularannya bisa dengan jalan tinja mengontaminasi makanan secara langsung ataupun tidak langsung (lewat lalat). Oleh karena itu, manajemen penyehatan lingkungan lewat perbaikan sanitasi dan penyediaan air bersih juga harus dilakukan,” kata narasumber tersebut.

Protozoa Pada Ternak Ruminansia
Adapun sumber di Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran menyampaikan, di dalam rumen terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya.Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan fungi. Protozoa diklasifikasikan berdasarkan morfologinya sebab mudahdilihat berdasarkan penyebaran silianya.
Protozoa rumen diklasifikasikan menurut morfologinya yaitu: Holotrichs yang mempunyai silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang fermentabel, sedangkan Oligotrichs yang mempunyai silia sekitar mulutumumnya merombak karbohidrat yang lebih sulit dicerna.
Jelas, secara tempat hidup protozoa di dalam tubuh, ada yang protozoa darah maupun yang tinggal di luar darah. Namun protozoa berpotensi merugikan dan menimbulkan penyakit, apalagi bila banyak faktor penunjang yang tidak dipedulikan.
Dari penyebaran protoa yang menimbulkan beberapa penyakit tadi, tampak bahwa parasit lain seperti serangga pun berpotensi menjadi inang perantara yang menyebarkan protozoa untuk berpindah dari hewan ke hewan lain.
Artinya, semakin dalam kita paham tentang makhluk-makhluk parasit, termasuk protozoa, akan makin kita peduli terhadap kesehatan ternak kita. (YR/ berbagai sumber)

Jurus Akademik Menguasai Ilmu Serangga dan Penyakitnya

Adalah Dr Drh FX Koesharto MSc, ahli serangga yang dimiliki Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, menerima Infovet dalam ruang kerjanya dalam rangka wawancara tentang lalat berkenaan dengan sebuah liputan terkait produk lalat sebuah perusahaan obat hewan.

Wawancara yang dinamis itu menghantar pada suatu pemahaman bahwa seorang yang tekun pada bidangnya bakal sanggup menguasai ilmu itu, ilmu yang terbukti sangat dibutuhkan peternak dalam menangani persoalan serangga dan penyakit parasit yang dapat ditimbulkannya pada peternakan bahkan meluas pada kehidupan manusia sehari-hari.

Bahkan berkat keahliannya, Dosen FKH IPB Dr Drh FX Koesharto MSc pun ‘dipakai’ oleh berbagai kalangan bersifat nasional dan masuk katagori penting dalam bidang ini. Sebutlah prestasi-prestasi FX Koesharto yang juga menjadi referensi perusahaan obat hewan nasional PT Novartis Indonesia Animal Health Bussiness Unit yang dikenal sebagai perusahaan yang setia mengawal peternakan melawan parasit lalat dan sejenisnya.

Dr Drh FX Koesharto MSc juga Dosen Entomologi Kesehatan (ENK, Pascasarjana FKH IPB), Pengajar International Field Biology Course in Indonesia (IBOY Training Course in Indonesia) 2005, bersama Departemen Pertanian menggawangi standarisasi pestisida, bersama Departemen Kesehatan meneliti Studi Komunitas Nyamuk Tersangka Vektor Filariasis Di Daerah Endemis di Jawa Timur, dan berbagai prestasi lainnya.

Itulah cermin pragmatis dari keberhasilan dunia akademis dalam mencetak insan yang tekun mendalami bidangnya. Nahwa, dengan belajar secara tekun siapapun dapatlah menguasai ilmu, dalam konteks liputan fokus kali ini tentang penyakit parasit. Dan dalam konteks Dr Drh FX Koesharto MSc adalah tentang serangga dan penyakit yang disebabkan oleh parasit serangga pada ternak.

Dalam konteks almamaternya, kurikulum di FKH IPB Bogor lah yang menjadi jurus jitu menguasai ilmu lalat dan penyakitnya. Dalam bahasa peternak dan insan praktisi peternakan dan kesehatan hewan: “Inilah ilmu-ilmu yang dapat kita miliki untuk menjaga keamanan peternakan kita dari parasit dan penyakit yang disebabkan oleh parasit serangga!”

Ilmu-ilmu itu mutlak harus dikuasai oleh dokter hewan bahkan menjadi kurikulum wajib, apalagi dokter hewan ahli penyakit ternak lantaran parasit serangga, namun boleh dipahami oleh peternak dan masyarakat peternakan dan kesehatan hewan pada umumnya.

Kuasailah ilmu ini, itu kuncinya. Bahkan, dalam Jurusan Entomologi Kesehatan Pasaca Sarjana FKH IPB pun, akan didapat manfaat lebih dalam tentang ilmu itu, yang tentu mendasari penerapannya. Tentu saja, sebab di sini dipelajari biologi dan klasifikasi serangga, berbagai aspek bioekologi serangga, serta klasifikasi serangga sampai dengan familia (suku). Dibicarakan pula beberapa kaidah dasar dalam taksonomi dan sistematika hewan.

Tertarik untuk menguasai ilmu ini untuk kepentingan hajat hidup lebih luas? Di sini, pelajari struktur dan fungsi alat tubuh serangga, bentuk dan susunan tubuh serangga, eksternal maupun internal, berikut fungsi faali berbagai bagian dan sistem dalam tubuh serangga.

Lalu pahamilah ihwal arthropoda pengganggu kesehatan, daur hidup, ekologi, serta peranan serangga, tungau dan caplak dalam mengganggu kesehatan manusia. Juga, berbagai alternatif cara pengendalian.

Seorang ahli bidang ini sudah tentu mesti menguasai soal penyakit yang ditularkan serangga vektor, berbagai penyakit yang disebabkan oleh parasit, bakteri, virus dan berbagai berbagai agen patogen yang dapat ditularkan oleh nyamuk, lalat, pinjal dan ektoparasit lain.

Anda pun bagus untuk tahu proses penularan, hubungan antara patogen dan vektor, proses keberhasilan dalam proses transmisi serta proses keberhasilan vektor untuk menularkan ke inang. Mengertilah kondisi lingkungan dan perilaku manusia yang dapat menunjang proses penularan.

Jangan lupakan, biosistematika nyamuk, morfologi, eko-biologi nyamuk dalam kaitannya dengan lingkungan kehidupannya yang spesifik di dalam setiap habitat. Kuasai: taksonomi dan identifikasi nyamuk yang spesifik di dalam suatu daerah dan perubahan eksternal dan internal akibat perubahan lingkungan.

Ketahuilah soal arthropoda pengganggu kesehatan hewan, pelajari morfologi, daur hidup dan perilaku dari semua ektoparasit baik yang terbang dan merayap yang mengganggu kehidupan hewan dan ternak dalam penampilan dan produksi ternak.

Kemudian, soal serangga permukiman, pelajari investasi serangga dan tungau di tempat permukiman manusia, khususnya sebagai pengganggu ketentraman hidup maupun kesehatan. Kenali bioekologi dan cara-cara pengendaliannya.

Ihwal parasitologi medis, bahas daur hidup dan bioekologi parasit, berikut patogenesis dan kelainan-kelainan yang diakibatkannya. Dengan satu penekanan: parasit-parasit yang ditularkan oleh arthropoda (serangga).

Kita yang tertarik pun patut tahu tentang pestisida serangga kesehatan. Kajilah sifat fisik dan kimiawi, formulasi, aplikasi serta daya kerja pestisida yang biasa digunakan dalam dunia kesehatan dan veteriner.

Adapun, kita juga butuh metodologi penelitian entomologi kesehatan. Bahas berbagai kaidah dasar tentang pelaksanaan suatu penelitian, dari sejak perumusan ide awal, perencanaan, pelaksanaan, analisis data, hingga pelaporan hasil.

Sesudah itu, lanjutkan secara kristis bahasan berbagai pendekatan dan metodologi khusus yang lazim ditempuh dalam penelitian bidang entomologi kesehatan baik di laboratorium maupun lapangan.

Juga ada bahasan pengendalian serangga kesehatan. Tahukah, di sini pun ada falsafah, strategi dan taktik dalam menghadapi masalah vektor dan serangga kesehatan lainnya. Untuk itu berbagai cara dan pendekatan pengendalian serangga dibahas secara kritis, terutama yang digunakan dalam dunia kesehatan dan veteriner.

Tak terlupa, filosofi entomologi kesehatan. Maknai ilmu entomologi dalam sudut pandang kesehatan manusia. Bahas fungsi peranan entomologis dalam upaya penanggulangan kerugian dan penyakit karena atau yang ditularkan oleh serangga.

Kuasai, proses penularan vektor serangga oleh patogen sampai proses penularan ke manusia, serta faktor lingkungan termasuk perilaku manusia yang menunjang penularan.

Juga kuasai masalah khusus entomologi kesehatan. Ada berbagai topik pilihan dalam lingkup entomologi kesehatan khususnya untuk menunjang tesis atau disertasi.

Telaah mendalam berbagai aspek bidang Entomologi Kesehatan, pembahasan kritis terhadap beberapa permasalahan aktual.

Bahas lebih mendalam permasalahan yang diakibatkan oleh ektoparasit pada hewan dan ternak terutama perubahan lingkungan yang terbaru serta dampak ekonomis yang ditimbulkan.

Adapun hal akarologi kesehatan lanjut adalah telaah mendalam berbagai aspek bidang akarologi kesehatan dan veteriner, pembahasan kritis terhadap beberapa permasalahan aktual.

Masih ada lagi: kevektoran dan transmisi penyakit, di sini menelaah kapasitas vektor dalam kaitannya dengan potensi penularan penyakit.

Selanjutnya tentang ekologi ektoparasit bahas hubungan antara parasit dengan lingkungannya, termasuk syarat-syarat makanan dan kondisi setempat untuk melangsungkan hidupnya. Ada juga praktikum untuk mempelajari komunitas parasit pada berbagai kondisi habitat.

Kemudian soal fisiologi nyamuk, bahas lebih mendalam kondisi fisiologi nyamuk khususnya yang berkaitan dengan proses penularan penyakit dan keterdekatannya dengan manusia atau hewan.

Dari ilmu-ilmu wajib untuk menguasi penanganan terhadap serangga dan penyakit yang disebabkannya pada ternak, saat ini Dr Drh FX Koesharto MSc adalah salah satu pengajarnya, selain para dosen yang lain. Kajian ilmiah dalam kurikulum wajib di fakultas itulah yang menjadi dasar kuat kaum peternakan kita menangani serangga dan keberadaannya sebagai parasit penyebab penyakit.

Itulah yang disebut: Ilmu yang bermanfaat! (YR/ berbagai sumber)

KUTU BUKAN SEMBARANG KUTU

“Persyaratan sapi antara lain gemuk, tidak menunjukkan cacat fisik yang tidak diinginkan dan bebas dari ekto parasit. Yang termasuk cacat fisik yang tidak diinginkan adalah patah kaki, patah punggung, luka dan membahayakan keselamatan sapi yang bersangkutan atau sapi lain selama transportasi, serta cacat fisik lainnya. Termasuk ekto parasit adalah lalat, caplak dan kutu.”

Perhatikan, bukan main pentingnya tenak bebas dari penyakit parasit, termasuk kutu!

Sumber di Dinas Peternakan jawa Barat menyatakan bahwa melalui caplak dan kutu yang berpindah dapat ditularkan, Q fever, suatu penyakit yang bersifat zoonosis.

Drh Agus Lelana SpMp MSi dari FKH IPB dalam suatu kesempatan menyatakan kepada wartawan, layaknya bakteri Anthraks, Coxiella burnetti, bakteri penyebab penyakit Q Fever dapat disusupkan orang tak bertanggungjawab ke dalam produk makanan asal hewani sebagai senjata teror. Membahayakan kesehatan manusia, gejalanya tampak seperti flu biasa.

Jelas, kutu dapat menjadi perantara penyakit. Sehingga, Infovet sangat keheranan ketika menjumpai pada satu peternakan, kutu frengki begitu banyak pada kotoran ayam di lantai kandang ayam peternakan petelur. Lantas Infovet abadikan dalam gambar di pada artikel ini.

Begitulah, tentang penyakit parasit serangga ini, di samping lalat, kutu juga merupakan musuh utama peternak terutama peternak yang memelihara layer dengan kondisi manajemen kandang yang kurang bagus.

Apabila anak ayam dibiarkan berkeliaran, mereka harus dilindungi dari pemakan mangsa dan ayam yang buas terutama pada malam hari. Tikus dan kutu ayam kalau dibiarkan dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan ayam yang ahirnya dapat menimbulkan penyakit.

Kutu merupakan ektoparasit yang sering ditemukan pada burung termasuk ayam. Kutu ayam digolongkan pada ordo Mallophaga yakni kutu yang mengunyah.

Hal ini berdasar pada terdapatnya mandibula yang terletak di bagian ventral kepala, tubuh pipih di bagian dorso ventral dan adanya antena pendek dengan 3-5 segmen. Mallophaga berkepala lebar dengan mandibula yang mengeras dan berpigmen.

Diantara spesies kutu yang harus diwaspadai kehadirannya di farm peternakan adalah kutu pada kepala (Cuclotogaster heterographa), kutu bulu halus (Goniocotes gallinae), kutu ayam coklat (Goniodes dissimilis), kutu sayap (Lipeurus caponis), kutu tubuh (Menachantus stramineus

Keberadaan kutu sebagai musuh utama ayam peliharaan peternak merupakan hal yang harus dihindari. Hal ini dikemukan M Hadie peternak broiler di Panam pinggiran Kota Pekanbaru.

Menurutnya, keberadaan lalat di kandang sangat mengganggu terutama pada broiler memasuki periode minggu kedua pemeliharaan. Sumber Infovet menyatakan, apabila bulu unggas rontok pada bagian perut atau sekitar dubur, penyebabnya pada umumnya adalah adanya parasit seperti kutu.


Metode Anti Kutu

Lalu bagaimana trik yang digunakan Hadie dalam memangkas perkembangbiakan kutu?

“Hanya dengan metode mekanik yakni dengan cara meningkatkan biosekuriti ternak dan biosekuriti luar dan dalam kandang. Dalam berusaha kita pasti ingin untung kan, sama halnya dalam pemeliharaan ayam, takkan ada penyakit bila kita mau menerapkan cara beternak yang baik dan yang dianjurkan oleh petugas lapangan dari kemitraan dan para Technical Service,” pungkas Hadie.

Sedang Zuhri Muhammad SPt Technical Service PT Medion merekomendasikan untuk menggunakan suatu obat tertentu. Menurutnya, penggunaan obat ini di lapangan hasilnya cukup bagus.

Adapun teknik pemakaiannya dengan cara menyemprotkan ke bagian tubuh ayam yang terserang kutu tersebut dan ini dilakukan secara terus menerus sampai tidak ditemukan lagi kutu pada tubuh ayam dimaksud.


Penyakit Kudis

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung menyatakan, kambing bisa terserang penyakit, di antaranya kurap/kudis yang disebabkan parasit kulit, termasuk kutu. Tanda-tanda penyakit ini, kambing gelisah karena gatal, bulu rontok, kulit merah dan menebal. Tempat yang sering diserang adalah wajah, telinga, pangkal ekor, dan leher. Penyakit ini bisa dicegah dengan kebersihan dan pemisahan ternak yang sakit.

Demikian juga Sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan bahwa kudis merupakan penyakit menular yang menyerang kulit domba pada semua usia.

Akibat dari penyakit ini produksi domba merosot, kulit menjadi jelek dan mengurangi nilai jual ternak domba. Penyebab penyakit kudis ini adalah parasit berupa kutu yang bernama Psoroptes ovis, Psoroptes ciniculi dan Chorioptes bovis.

Gejala domba yang terserang kudisan: tubuh domba lemah, kurus, nafsu makan menurun dan senang menggaruk tubuhnya. Kudis dapat menyerang muka, telinga, perut punggung, kaki dan pangkal ekor.

Pengendaliannya antara lain: dengan mengoleskan Benzoas bensilikus 10% pada luka, menyemprot domba dengan Coumaphos 0,05-0,1%.

Tentu Anda pun kaya pengalaman yang lain untuk berbagi. (Daman Suska, YR/ berbagai sumber).

PARASIT LALAT

Lalat adalah jenis serangga yang berasal dari subordo Cyclorrapha ordo Diptera. Secara morfologi lalat dibedakan dari nyamuk (subordo Nematocera) berdasarkan ukuran antenanya; lalat berantena pendek, sedangkan nyamuk berantena panjang.

Lalat umumnya mempunyai sepasang sayap asli serta sepasang sayap kecil yang digunakan untuk menjaga stabilitas saat terbang. Lalat sering hidup di antara manusia dan sebagian jenis dapat menyebabkan penyakit yang serius. Lalat disebut penyebar penyakit yang sangat serius karena setiap lalat hinggap di suatu tempat, kurang lebih 125.000 kuman yang jatuh ke tempat tersebut.

Lalat sangat mengandalkan penglihatan untuk bertahan hidup. Mata majemuk lalat terdiri atas ribuan lensa dan sangat peka terhadap gerakan. Beberapa jenis lalat memiliki penglihatan tiga dimensi yang akurat. Beberapa jenis lalat lain, misalnya Ormia ochracea, memiliki organ pendengaran yang sangat canggih.

Kehadiran lalat di areal peternakan juga perlu diwaspadai. Demikian diungkapkan Zuhri Muhammad SPt Technical Serice PT Medion Cabang Pekanbaru Riau. Menurutnya, lalat tetap menjadi biang kerok dalam penularan berbagai penyakit pada ayam peliharaan. Untuk itu, alumni Fakultas Peternakan Jenderal Soedirman ini menganjurkan perlunya pengontrolan ketat pada lalat di sekitar lokasi kandang.

Menurut Zuhri Muhammad, kontrol lalat pada suatu farm merupakan hal mendasar dalam sistem manajemen pengendalian penyakit. Lalat dapat menimbulkan pelbagai masalah seperti mediator perpindahan penyakit dari ayam sakit ke ayam sehat, mengganggu pekerja kandang, menurunkan produksi, menurunkan kualitas telur pada layer dan mencairkan feses atau kotoran ayam yang berakibat meningkatnya kadar amoniak dalam kandang.

Lalat merupakan insekta yang unik bila dibanding dengan jenis insekta lain. Yang membedakannya adalah cara makan lalat yang meludahi makanannya terlebih dahulu sampai makanan tersebut cair. Setelah cair, makanan disedot masuk ke dalam perut. Hal ini disinyalir dapat memudahkan bakteri dan virus turut masuk ke dalam saluran pencernaannya dan berkembangbiak di dalamnya.

Penyakit yang disebabkan lalat dan larvanya seperti:
(1) lalat menjadi vektor penyakit gastrointestinal pada mamalia.

(2) NDV telah diisolasi pada lalat dewasa lalat rumah kecil (Fannia canicularis) dan larva lalat rumah (Musca domestica).

(3) larva dan lalat dewasa (M. Domestica) sering termakan ayam, kemudian menjadi “Hospes Intermediet” cacing pita pada ayam dan kalkun

(4) lalat rumah (M. domestica) yang memakan darah ayam yang tercemar kolera unggas dapat menyebarkan penyakit tersebut ke ayam lain.

Suksesnya program kontrol dilakukan dengan suatu metode pendekatan terintegrasi yakni ada 4 strategi manajemen dasar yakni:

(1) Memelihara kotoran agar tetap kering.

(2) Metode biologi, seperti menggunakan pemangsa yang menguntungkan (merangsang pertumbuhan musuh alami lalat yang biasanya banyak ditemui di kotoran dan musuh lalat ini dapat tumbuh baik jika kotoran kering). Kotoran kering akan membantu mendukung berkembangnya pemangsa dan benalu dari perkembangbiakan lalat.

Populasi predator dan parasit terutama terdiri dari kumbang, kutu dan lebah. Pertumbuhan musuh lalat ini umumnya lebih lambat dibanding lalat itu sendiri. Populasi yang cukup tinggi pada hakekatnya bermanfaat bagi pengendalian lalat dan dapat dikendalikan hanya dengan jalan tidak mengganggu kotoran dalam jangka waktu yang lama.

(3) Metode mekanik yakni dengan biosekuriti yang meliputi manajemen kebersihan (pembersihan dan desinfeksi kandang, terutama setelah panen) dan manajemen sampah (pembuangan litter, kotoran dan bangkai ayam.

Kemudian pindahkan hewan yang mati dengan segera dan membuangnya dengan baik (dibakar atau lainnya) dan minimalkan akumulasi pakan yang tumpah.

Sedangkan untuk luar kandang, Zuhri Muhammad SPt menganjurkan untuk membersihkan rumput liar di sekitarnya, hal ini bertujuan untuk menghindari kerumunan lalat dewasa serta menciptakan pergerakkan udara di sekitar kandang agar lebih baik.

Lalu manajemen kandang perlu ditingkatkan, hal dimaksud adalah ventilasinya, pengendalian kelembaban litter dan kebocoran air. Lalat dapat berkembangbiak di kotoran dengan kelembaban 55-85%.

Oleh karena itu perlu menghindari agar kandang tidak lembab, seperti mencegah kebocoran, pastikan air tidak masuk ke dalam lubang serta mengatur aliran udara agar dapat memberikan efek kering pada permukaan kotoran.

(4) Kontrol kimia melalui aplikasi insektisida atau obat-obatan (spray, fogs dan lain-lain). Pada bagian ini, alumni Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto ini menganjurkan memilih Cyromazine yang secara nyata telah terbukti keampuhannya dalam membasmi lalat di farm-farm peternakan.

Adapun aplikasi pemakaiannya adalah mencampur Cyromazine dengan pakan, kemudian gunakan 4-6 minggu berturut-turut, setelah itu dihentikan selama 4-8 minggu, lalu dipakai kembali, ini bertujuan untuk memutus siklus hidup lalat.

Biasanya ini dipakai untuk farm layer karena periode pemeliharaannya cukup panjang, sedang untuk broiler Zuhri lebih menganjurkan untuk menjaga kebersihan kandang, hindari genangan air dan jangan biarkan adanya pakan yang tersisa.


Upaya Mengurangi Lalat

Upaya dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan kimia dan pestisida lainnya, memberikan dampak kimia negatif, yang berlanjut pada pertaruhan nilai kesehatan manusia akibat residu kimia yang ditinggalkan.

Dampak negatif yang serius terhadap lingkungan menyebabkan penurunan kualitas produksi akibat kerusakan unsur hara tanah yang diikat oleh residu kimia dalam tanah.

Mengantisipasi kedua dampak serius diatas dan merespon ancaman pasar global akan kebutuhan produk organic, banyak cara dilakukan termasuk dengan cairan minuman stimulan yang: diterapkan pada ayam buras yang di antaranya dianggap punya keunggulan menekan ongkos produksi 15 s/d 25% untuk pengadaan pakan, mampu melepaskan pemakaian vitamin serta konsentrat buatan/pabrik, meningkatkan produktifitas telor dan daging secara kuantitatif dan kualitatif, menetralisir limbah kotoran (bebas polusi), mengurangi jumlah lalat dan serangga ternak, mengurangi ketegangan/stress pada ternak dan menekan angka mortalitas.

(Darman Suska, Infovet/ Berbagai Sumber)

SEBUAH TEROBOSAN KASUS MYASIS

(( Myasis tidak lain adalah manifestasi bersarangnya larva lalat pada luka. ))

Organisasi setengah kamar yang mewadahi praktisi dokter hewan di Kabupaten Bantul Yogyakarta ternyata tidak hanya mampu mewadahi anggautanya akan tetapi juga mampu memberikan inovasi aspek praktis veteriner di lapangan.
Organisasi itu secara resmi bernama Forum Komunikasi Praktisi Dokter Hewan se Kabupaten Bantul yang sering disingkat dan lazim diucapkan Forkom saja itu. Dan tentunya, tetap menginduk ke Perhimpunan Doker Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Yogyakarta.
Memang belum genap 10 tahun organisasi itu berkiprah, namun harus diakui peran dan kontribusi terhadap peningkatan ketrampilan dan kecakapan anggotanya sangat signifikan. Hal ini terjadi oleh karena dalam setiap pertemuannya antar anggota terjadi interaksi yang intensif. Baik itu dilakukan secara formal dalam sebuah dialog ataupun secara informal ketika pertemuan sedang berlansung.
Komunikasi yang terjalin harus diakui mampu merangsang anggotanya untuk secara aktif menggali informasi yang belum diketahui dan sebaliknya juga berusaha menularkan sesuatu yang diketahuinya atas dasar pengalaman praktis lapangan, terutama ke sesama sejawat anggota Forkom.
Salah satu inovasi dan hasil improvisasi lapangan praktisi dokter hewan yang cukup menarik untuk disampaikan dalam tulisan ini adalah cara menanggulangi belatung pada luka ternak.
Jika mendengarnya, memang kasus itu sepele, namun dengan realita lapangan sistem peternakan hewan besar (Sapi, Kerbau, Kuda dan Kambing) maka kasus gangguan kesehatan itu menempati urutan tinggi dengan tingkat frekuensi kejadian/prevalensi yang terbilang sangat sering. Hampir 7 dari 10 ternak yang ada pernah mengalaminya, dengan tingkat berulangnya kasus itu bisa mencapai 40%.
Kasus gangguan kesehatan itu biasa disebut sebagai myasis. Sebuah kondisi berupa gangguan kesehatan yang sebenarnya tidak terlalu mengkawatirkan namun secara ekonomis sangat mengganggu produktifitas dan kenyamanan ternak.
Myasis yang tidak lain adalah manifestasi bersarangnya larva lalat pada luka yang meski tidak secara langsung mengancam kesehatan ternak, secara tidak langsung menyebabkan ternak menjadi terganggu aktifitasnya.
Bahkan, pada kasus myasis yang berat dan kronis ternak menjadi lebih rentan terhadap berbagai serangan penyakit lainnya. Tidak jarang karena nafsu makan yang terganggu, ternak akhirnya mengalami malnutrisi pada derajad yang ringan hingga sedang.

Sistem Budidaya
Tingginya kasus myasis pada ternak di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sistem budidaya peternakan rakyat, jenis ternak besar atau sedang jenis ruminansia dan non ruminansia yang kurang memperhatikan kebersihan kandang dan lingkungan.
Sangat umum dijumpai bahwa kotoran ternak ditimbun di samping ternak dan tidak dikelola dengan baik. Akibatnya tumpukan kotoran itu menjadi media subur bagi tumbuh dan berkembangnya aneka mikroorganisme dan serangga lalat.
Kondisi ini diperparah dengan model kandang yang sangat mendukung terjadinya luka permukaan tubuh akibat kena paku ataupun fungsi ternak sebagai ternak kerja yang juga sering menderita trauma pada permukaan tubuh.

Menembus Kulit dan Otot
Investasi belatung atau larva lalat yang mampu menembus kulit, bawah kulit/sub kutan bahkan sampai ke otot menyebabkan ternak sangat terganggu kenyamanan dan bahkan kesehatannya. Bila larva itu bermukim di kulit atau hanya di bawah kulit, masih sangat mudah untuk dilakukan tindak medis yang sederhana.
Namun jika sudah menembus di dalam otot dengan bentuk luka yang dalam dan melengkung seolah membentuk celah bak bentuk ‘gua’ maka akan menjadi rumit dalam penanganannya.
Langkah yang ditempuh oleh para praktisi dokter hewan lapangan selama ini biasanya dengan cara manual, yaitu mengeluarkan belatung sebersih mungkin dari dalam tubuh ternak dan kemudian memberikan semprotan yang mengandung antiseptik plus insektisida.
Meski pola penanganan seperti itu tidak membuahkan hasil yang optimal, akan tetapi ternyata tetap diaplikasikan oleh praktisi dokter hewan bertahun-tahun, tanpa ada modifikasi yang signifikan yang mampu menghasilkan penanganan medis memuaskan. Seolah pola itu sudah baku dan tidak mngkin dikembangkan lagi dalam mengatasi kasus itu.

Ivermectin
Sebuah terobosan yang cukup revolusioner dan mencapai tingkat keberhasilan yang cukup memuaskan, terutama di peternakan rakyat, telah ditemukan. Temuan itu diperkenalkan pertama kali oleh Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta.
Wasis yang di samping menjalankan profesinya sebagai dokter hewan juga terjun menjadi peternak sapi. Sebelumnya, ia adalah peternak ayam petelur komersial yang akhirnya memilih jalan hidup praktek dokter hewan.
Jalinan komunikasi yang begitu intensif antara Wasis dengan Forkom Praktisi Dokter Hewan Bantul itu akhirnya menjadikan temuannya sangat cepat diikuti oleh praktisi Dokter hewan se propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan menembus ke Propinsi Jawa Tengah.
Adapun cara baru yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.
Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.
Selama ini pemanfaatan preparat itu mash sangat terbatas dan sangat jarang digunakan, bahkan bisa dikatakan tidak pernah untuk menangani kasus myasis. Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu.
Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya. Sehingga kini sangat sering praktisi menggunakan preparat itu untuk berbagai kasus parasit internal dan eksternal.
Hasil improvisasi dan inovasi Wasis memang patut dihargai dan terus dicermati, terutama aspek keamanan dan resistensinya pada ternak. Namun menurut Drh Agus Priyo Handoko, Sekretaris Forkom bahwa temuan itu sungguh membanggakan dan melegakan para praktisi dokter hewan.
Lebih lanjut ditambahkan oleh Agus bahwa temuan Wasis itu kini hampir telah diterapkan oleh para praktisi dokter hewan lapangan di Bantul dan sekitarnya. Masalah kekhawatiran akan munculnya resistensi pada pemakaian ivermectin, menurutnya sangat berlebihan.
“Jika ada pendapat akan hal itu, maka sebetulnya justru pemakaian preparat antibiotik lah yang harus dikhawatirkan, bukan pemakaian ivermectin,” ujar Agus
Keberadaan Forkom itu sendiri menurut Agus memang salah satunya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kecakapan kepada anggotanya, oleh karena adanya pertemuan rutin yang digelar organisasi itu.
Sementara menurut Drh Leonardo Bisana, yang juga telah mengaplikasikan temuan Wasis itu, pola medikasi itu tidak hanya meringankan pekerjaan praktisi Dokter Hewan di lapangan saja. Akan tetapi, secara ekonomis sangat membantu para peternak di pedesaan yang nota bene secara ekonomi masih perlu dibantu.
Selain itu, akan menekan tingkat kerugian yang diderita oleh para peternak. Sebab sementara ini jika ternak milik peternak mengalami gangguan kesehatan myasis pada derajad yang berat, maka jalan pintas akan ditempuh dengan menjual ternak tersebut ke pedagang. Tentunya dengan harga yang sangat murah. Kini setidaknya, dengan pola medikasi itu, lanjut Bisana akan menolong banyak para peternak.
Sedangkan menurut Drh Untung Satriyo, Ketua Forkom mengharapkan agar temuan ini dapat semakin banyak diterapkan oleh para dokter hewan di seluruh Nusantara, agar kasus yang ringan itu tidak menggerogoti kantong peternak. Semestinya ada apresiasi dari instansi pemerintah cq Departemen Pertanian atau Dinas yang berkompeten atas jerih payah Wasis.
“Yang jelas, kini para praktisi tidak terlalu repot dalam menangani kasus myasis dan hasilnya pun cukup memuaskan bahkan 10 kali lipat hasil terbaik dari model pengobatan yang lama,” ujar Agus yang diamini Untung. (iyo)


Penyakit Parasit Itu Berbahaya Mengatasinya Sangatlah Mulia


Memasuki bulan Ramadhan tahun ini, sedikit memprihatinkan. Betapa tidak, di awal Ramadhan, serentetan bencana alam menimpa saudara kita yang hidup di sepanjang wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bencana alam dimaksud seperti gempa bumi yang kembali melanda Provinsi Bengkulu, Jambi dan Sumatera Barat dengan kekuatan 7,9 SR, 7,7 SR dan 7,8 SR.

Kita pantas berduka, sebab semestinya saudara kita dapat melakukan ritual ibadah puasanya dengan aman, kehadiran gempa bumi sedikit membuncah ketenangan saudara kita dalam kekhusukannya menjalankan ibadah puasa dimaksud.

Senada dengan itu, dunia peternakan dan kesehatan hewan Indonesia juga belum sepenuhnya bisa bernafas legah. Di sana sini masih saja terdengar pembantaian unggas secara besar-besaran terkait ketakutan masyarakat terhadap bahaya penularan Avian Influenza dari unggas ke manusia.

Hal ini memang tak dapat dipungkiri. Setelah empat tahun Indonesia bersama AI, kondisi AI sendiri di Indonesia belumlah pulih. Hal ini masih saja terlihat manakala adanya laporan-laporan suspect Flu Burung yang menimpa manusia dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu, penyakit ternak dari jenis parasit juga perlu diperhatikan. Hal ini terkait dengan kondisi iklim dipenghujung tahun 2007 ini yang cenderung basah, sehingga kekuatiran terhadap serangan parasit perlu ditingkatkan.

Menurut Technical Service narasumber Infovet di berbagai tempat di Indonesia, iklim basah merupakan faktor awal yang memicu munculnya serangan berbagai parasit pada ternak. Ditegaskan, dari sejumlah parasit dimaksud yang perlu mendapat perhatian lebih adalah cacing, lalat dan kutu.


Tiga Parasit

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya mendeskripsikan mata kuliah Parasitologi Veteriner memberikan ilmu-ilmu protozoologi (tentang protozoa), helmintologi (tentang cacing) dan entomologi (tentang serangga).

Menurut Laboratorium Parasitologi FKH UNair itu, diagnosis protozoa meliputi protozoa saluran cerna dengan pemeriksaan feses, bedah saluran pencernaan, usapan kerongkongan dan kerokan usus.

Khusus koksidiosis pada ayam dilakukan bedah bangkai dan uji biologis.

Protozoa darah meliputi pemeriksaan ulas darah dan khusus leucocytozoonosis dlakukan bedah bangkai dan gerusan organ dalam. Toxoplasmosis meliputi pemeriksaan feses, uji tekan dan uji biologis.

Adapun diagnosis penyakit helminth, meliputi bedah saluran pencernaan untuk identifikasi cacing, pemeriksaan feses secara natif, metode konsentrasi sedimentasi dan pengapungan. Identifikasi cacing secara natif dan pewarnaan Carmin.

Koleksi cacing dengan media basah dan preparat permanen. Pemeriksaan larva dan telur cacing dari padang rumput. Penghitungan telur cacing per gram tinja untuk mengetahui derajat infeksi.

Sedangkan diagnosis penyakit arthropoda, yang disebabkan karena tungau dilakukan cara pengerokan kulit pada kelinci dan ayam kampung, identifikasi secara makroskopis.

Identifikasi arthropoda penyebab penyakit pada ternak yaitu pinjal, caplak dan kutu dilakukan dengan cara pembuatan sediaan permanen dengan dan atau tanpa pewarnaan, dilanjutkan pemeriksaan secara mikroskopis.

Sedangkan arthropoda yang bertindak sebagai vektor penyakit yaitu lalat dan nyamuk, identifikasi dilakukan secara makroskopis dan koleksi cara basah dan kering/pinning.


Analisa Parasitologi

Untuk analisa parasitologi, peternak dapat menggunakan lembaga negara yang diakui internasional untuk melakukan pemeriksaan penyakit ini, yaitu Balai Besar Penelitian Veteriner yang menyediakan berbagai jenis layanan guna pemeriksaan penyakit cacing.

Layanan tersebut meliputi: Pemeriksaan sampel feses, darah/serum, ektoparasit, dan lain-lain asal hewan ternak/hewan kesayangan.

Lalu pemeriksaan feses dengan uji apung untuk menentukan EPG (eggs per gram feses) terhadap cacing nematoda dan cestoda, OPG (ookista per gram feses) terhadap Cocidia spp dan Toxoplasma.

Kemudian pemeriksaan feses dengan uji endap untuk menentukan EPG terhadap cacing trematoda. Pemupukan feses dan pemeriksaan larva cacing nematoda untuk menentukan jenis-jenis cacing nematoda.

Juga, pemeriksaan preparat ulas darah terhadap adanya Babesia bovis, B. bigemia, B. canis, Anaplasma marginale dan A. centrale, Theileria spp, Trypanosoma evansi dan T. theileri, Plasmodium spp., Leucocytozoon caulleryi dan L. sabrazesi, dll.

Pun, pemeriksaan sampel darah segar terhadap adanya Trypanosoma spp. dan Microfilaria sp. Pemeriksaan serum dengan uji Elisa deteksi antibody terhadap penyakit surra.

Selanjutnya, pemeriksaan kerokan kulit terhadap adanya scabies dan parasit. Serta, pemeriksaan ektoparasit dan cacing dewasa untuk tujuan identifikasi.

Untuk pemeriksaan-pemeriksaan itu, BBalitvet mempunyai alat-alat: Autoclave, centrifuge, microhaematocrit centrifuge, millipore deionized water, elisa reader, ELISA washer, freezer, incubator, magnetic stirer, stereo dan compound microscope, oven, pH meter, refrigerator incubator, timbangan, UV-Vis spectrophotometer.


Penelitian dan Penyuluhan oleh Peneliti

Para peneliti pun melakukan upaya penelitian tentang Parasit. Parasit-parasit yang umum dikenal antara lain: Protozoa (Eimeria tenella, Toxoplasma gondii, Leucocytozoon, Trypanosoma, Babesia), Penyakit Cacing Nematoda (Ascardia galli, Haemonchus contortus, Strongyl dan Strongyloides), Penyakit Cacing Trematoda (Fasciola gigantica), Penyakit Cacing Cestoda (Diphylobothrium latum, Railietina sp, Oxyspirura mansoni), Ektoparasit, Parasit Ikan.

Misalnya FKH UGM, melakukan kegiatan pengabdian masyarakat, di mana kegiatan-kegiatan ini dalam pelaksanaannya melibatkan Dosen bagian Parasitologi, Mahasiswa, Kelompok Masyarakat dan Pemerintah Daerah di antaranya adalah sebagai berikut:

Pemberdayaan masyarakat kelompok ternak Sapi Potong Pandan Mulyo, Srandakan, Bantul dalam mencegah dan memberantas penyakit parasit secara terpadu melalui kegiatan belajar mengajar dan praktikum lapangan.

Lalu, pendampingan kelompok ternak sapi Bina Gama Desa Banaran dalam mendukung konservasi keanekaragaman hayati Hutan Wanagama, Gunung Kidul.

Lantas, pengembangan Stasiun Flora Fauna Bunder, Gunung Kidul sebagai Taman Wisata Alam sebagai upaya dalam pelestarian satwaliar Rusa Jawa (Cervus timorensis).

Kemudian, pemeriksaan parasit pada ternak di sekitar kawasan Hutan Lindung dan Cagar Alam di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur.

Juga, penyuluhan penyakit parasit pada kambing di kelompok ternak desa Nglipar, Gunung Kidul.

Selanjutnya, penyuluhan penyakit parasit pada kambing di kelompok ternak desa Nganggring, Turi, Sleman.

Berikutnya, penyuluhan penyakit parasit pada hewan dan ternak di Dinas Peternakan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berlanjut, penyuluhan penyakit pada satwaliar di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta.

Juga, penyuluhan Penyakit Parasit zoonosis pada pertemuan Dharma Wanita Persatuan Fakultas teknik UGM.


Kondisi pada Peternakan

Adapun, ini kondisi pada peternakan. Apabila anak ayam dibiarkan berkeliaran, mereka harus dilindungi dari pemakan mangsa dan ayam yang buas terutama pada malam hari. Tikus dan kutu ayam kalau dibiarkan dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan ayam yang ahirnya dapat menimbulkan penyakit.

Pisahkan ayam betina muda dari yang lebih tua. Hal Ini akan menolong mengurangi kemungkinan menyebarnya penyakit dari induk ayam yang lebih tua ke yang lebih muda. Ayam betina dapat terkena penyakit cacing.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, terdapat sejumlah obat yang dapat dipergunakan untuk mencegah parasit pada ayam yang datangnya dari dalam. Dengan pengelolaan dan sanitasi yang baik dapat membantu mengurangi terjangkitnya parasit. Periksalah beberapa ayam betina dari waktu ke waktu untuk parasit yang datangnya dari luar seperti kutu ayam.

Parasit memang bukan sembarang penyebab penyakit, serta mampu melipatkan kerugian, dan kita perlu cermat mengamatinya. Dan itu: pasti bisa! (Infovet/ Berbagai Sumber)

KETIKA BIOSECURITY SELAMATKAN PETERNAKAN UNGGAS

Kisah-kisah ini merupakan kisah kilas balik. Dengan kisah yang telah berlalu beberapa tahun saat wabah Avian Influenza merangsek dunia peternakan kita, kita dapat belajar banyak bahwa Biosecurity memang benar-benar tulang punggung penyelamat dunia peternakan kita.

Menolak Tamu Hingga Menyemprot Mobil
“Maaf, semua tamu tidak boleh masuk peternakan,” kata Afung, penjaga sebuah peternakan ayam petelur di RT 02 RW 04, Desa Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, ketika wartawan akan memasuki peternakan itu.
Untuk memperkuat pernyataannya, Afung lalu menunjukkan pengumuman di pintu masuk peternakan tempatnya bekerja yang berbunyi “Mohon maaf, demi keamanan bersama sementara tidak menerima tamu”.
Menurut Afung, pengumuman itu dibuat atas perintah Tedy, pemilik peternakan tersebut, sekitar dua minggu lalu. Tepatnya setelah Departemen Kesehatan memastikan penyebab kematian tiga warga Perumahan Vila Melati Mas, Serpong, Tangerang, yaitu Iwan Siswara Rafei dan dua anak perempuannya, pertengahan Juli 2004 adalah serangan virus penyakit flu burung.
Pengumuman Departemen Kesehatan itu, lanjut Afung, membuat peternakan tempatnya bekerja, yang berada sekitar 15 kilometer sebelah barat Perumahan Vila Melati Mas, segera meningkatkan kewaspadaan.
Flu burung tak dapat dianggap remeh. Akhir tahun 2003, dalam waktu 1,5 bulan penyakit itu telah membunuh 50.000 ayam milik peternakan ini hingga akhirnya membuat kami harus beristirahat selama satu tahun, ujar Afung.
Hal senada disampaikan Endah, karyawan peternakan ayam petelur lainnya di Desa Babat. “Saya ingat betul. Waktu itu pagi hari menjelang bulan puasa tahun 2003 tiba-tiba ada 20 ayam yang mati dengan jengger membiru dan suhu tubuhnya panas, tuturnya.”
Saat itu Endah yang sudah 21 tahun bekerja di peternakan ayam segera berkesimpulan apa yang terjadi di peternakan milik Tungki tempatnya bekerja bukanlah hal yang biasa. Selain jumlah ayam yang mati terbilang banyak, kesimpulan ini diambil karena gejala kematian ayam-ayam itu, yaitu jengger berwarna biru dan tubuh ayam amat panas, belum pernah ada sebelumnya.
Belum sempat menyadari apa yang terjadi, lanjut Endah, “Tiba-tiba keesokan harinya ayam yang mati menjadi 40 ekor. Lalu bertambah lagi menjadi 400 ekor dan naik terus hingga puncaknya sekitar 2.000 ekor sehari.”
“Waktu itu setiap hari, setelah mengubur ayam-ayam yang mati, saya selalu menangis. Sedih sekali rasanya,” tambah Endah yang saat itu selalu mengubur ayam tanpa perlindungan apa pun.
Tiga dokter hewan yang datang ke peternakannya, tutur Endah, “Saat itu menyatakan ayam-ayam tersebut mati karena keracunan. Pak Tungki kurang percaya. Dia lalu memanggil dokter dari Korea. Namun, saya tidak tahu hasil pemeriksaan dokter itu, tuturnya.”
“Saya juga tidak berani banyak bertanya. Sebab, dengan alasan supaya tidak menimbulkan kepanikan, saat itu kami tiba-tiba diminta diam,” tambah Endah perihal kematian ayam-ayam di peternakannya yang sekarang dia yakini akibat serangan penyakit flu burung.
Untuk menghindari serangan penyakit serupa, lanjut Endah, ketika peternakannya beroperasi kembali sekitar bulan Oktober 2004, pihaknya langsung menetapkan standar keamanan ternak yang lebih tinggi.
Sejak saat itu, siapa pun yang masuk area peternakan yang di sekelilingnya sudah ditaburi kapur harus melewati kubangan air setinggi mata kaki orang dewasa yang sudah diberi karbol.
“Setiap peti telur dan kendaraan yang akan memasuki area peternakan juga harus disemprot dengan air yang dicampur obat pembasmi kutu. Supaya tidak ada bibit penyakit dari luar yang masuk ke peternakan,” ujar Endah.
Selain itu, perkembangan kesehatan ayam juga lebih diawasi. Setiap tiga bulan sekali, sejumlah ayam diambil darahnya untuk kemudian diperiksa di dinas peternakan.
“Kandang juga lebih dibersihkan. Setiap ada pergantian ayam yang umumnya setahun sekali, kandang dikosongkan dahulu selama sekitar satu bulan. Saat itu semua bagian kandang disemprot dengan air yang dicampur obat kutu. Setelah itu baru diisi dengan ayam yang baru,” kata Endah.
Keadaan ini berbeda dengan sebelumnya di mana pengosongan kandang hanya sekitar dua minggu dan yang dibersihkan selama masa pengosongan itu hanya bagian atap kandang.
Dengan berbagai upaya pengamanan di atas, lanjut Endah, sampai saat itu belum ada ayam di peternakannya yang mati karena flu burung. Kalau saat itu diserang flu burung lagi, peternakan ini akan ditutup. Bangkrut, kata Endah sambil menambahkan, telur ayam hasil peternakannya setiap hari dikirim ke berbagai tempat di Jakarta dan Tangerang.

Biosecurity di Peternakan
Saat wabah flu burung di tanah air itu, di kandang peternakan biosecurity memang dilakukan secara ketat. Di peternakan Kelompok Kurnia Ranca Bungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tidak sembarangan orang bisa masuk ke kandang.
Semua tamu harus menunggu di luar pagar kandang, kata Hartono, pemilik peternakan yang juga Ketua Pusat Informasi Pasar Unggas Nasional. Tamu yang akan masuk harus melewati beberapa tahap penyucian desinfektan.
Di dalam kandang, instalasi paling mahal yang dipasang adalah penggerak udara raksasa yang mengarahkan agar udara bergerak ke satu arah.. Di kanan kiri kandang dibuat saluran air. Tidak hanya itu, lingkungan kandang dibuat seperti taman atau kebun. Farm is garden, begitu moto peternakan itu. Hasilnya, kandang itu tidak bau dan lebih mirip taman kebun.
Maaf, tidak boleh masuk kandang, ya. Setiap ada orang masuk ke kandang berarti itu meningkatkan risiko, kata Hartono. Hartono juga tidak membolehkan pengunjung berpindah ke kandang lain. Boleh melihat kandang lain, tetapi jangan turun dari mobil, nanti kalau turun berarti meningkatkan risiko penularan, katanya.
Para pekerja di kandang satu juga tak bisa dengan mudah berpindah ke kandang lainnya. Sekadar main pun dilarang. “Begitulah, para peternak kini makin mengetatkan biosecurity untuk bisa bertahan dari gempuran segala penyakit. Dan biosecurity ini kami laksanakan tiap hari, bukan karena ada isu flu burung,” ujar Hartono menegaskan.

Pengendalian di Berbagai Tempat
Tindakan pembersihan kandang (biosecurity) untuk mengendalikan kemungkinan masuknya virus flu burung telah menyelamatkan peternak unggas di beberapa tempat ketika terjadi wabah flu burung. Vaksinasi tetap dibutuhkan, tetapi tidak mutlak untuk daerah yang aman dan mampu melakukan biosecurity secara ketat.
"Kalau lingkungan bersih tidak perlu vaksinasi. Vaksinasi diperlukan untuk kandang yang pernah terkena flu burung, kemudian melakukan pengisian ayam kembali maka perlu vaksinasi. Kuncinya pada biosecurity yang seragam yang harus dilakukan peternak," kata Ketua Posko Ayam Indonesia Ghofir Hakim saat itu ketika menceritakan pengalaman peternak di daerah Banyumas dalam mengendalikan flu burung tahun 2003.
Langkah yang dilakukan oleh para peternak secara seragam adalah melakukan pengendalian lalu lintas unggas, orang, serta peralatan. Unggas dari daerah yang terkena diupayakan tak masuk ke daerah yang aman, mengurangi lalu lintas orang ke peternakan, alat dan sarana yang ada di peternakan disemprot dengan disinfektan.
"Peti telur yang mau masuk ke kandang harus direndam dalam disinfektan. Kami melakukan itu secara ketat karena saat itu belum ada vaksin yang jelas. Kami masih mempertanyakan vaksin yang beredar. Tanpa vaksin, terbukti penyebaran virus bisa dikendalikan," ujarnya. Ia menyebutkan, dari 1,2 juta populasi ayam di Banyumas, hanya sekitar 140.000 ekor yang dimusnahkan.
Kasus pertama terjadi September 2003 dan mulai bisa dikendalikan Oktober. Kasus terakhir ditemukan Desember 2003. Selain itu, dari 250 peternakan, hanya sekitar 30 yang terkena. Prioritas pada biosecurity juga dilakukan peternak di beberapa daerah lain, seperti Kabupaten Temanggung, dan terbukti bisa menyelamatkan peternakan.
Beberapa peternak mengatakan, untuk daerah yang masih aman dan bersih sebaiknya tidak dilakukan vaksinasi karena bisa memunculkan penyakit baru bila tidak ditangani secara tepat. Vaksinasi lebih baik dilakukan pada peternakan yang pernah terkena wabah flu burung.
Dari pengalaman peternak dalam mengendalikan wabah flu burung juga diketahui perlunya kebersamaan antara peternak, Dinas Peternakan, dan perusahaan pendukung seperti pakan dan obat-obatan. Mereka harus satu kata dan membuat kesepakatan dalam melakukan tindakan. "Kami melakukan upaya-upaya standar sehingga ketika ke peternak semua sama. Peternak dan semua pihak terbuka. Laporan selalu masuk ke posko," kata Ghofir.

Hindari Peternakan Campuran
Saat itu praktisi hewan kecil drh Soeharsono menyatakan, sebenarnya virus flu burung itu tidak dapat bertahan lama. Jenis virus ini biasanya akan cepat mati sebelum dia menemukan media baru untuk hidup.
Masyarakat tidak perlu terlalu khawatir, namun tetap waspada. Apabila daging unggas ataupun babi diolah dengan benar, maka akan aman. Namun, penanganan yang benar ini harus mulai dilakukan dari tingkat peternakan hingga pengolahan, ujarnya.
Hal senada dikatakan Dr G Ngurah K Mahardika, ahli virus lulusan Institut fuer Virologie, Giessen University, Jerman, yang saat itu staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali. Dia memaparkan perlunya pemisahan hewan di peternakan dan mengurangi kepadatan peternakan.
Banyak sekali peternakan, juga di Bali, yang mencampur antara unggas dan babi. Ini berbahaya apabila ada virus pada unggas yang berpindah ke babi dan membentuk varian baru yang lebih ganas. Karena itu sangat diperlukan pemisahan hewan pada peternakan-peternakan, ungkapnya.
Uniknya penyebaran virus flu burung ini, karena belum dapat dideteksi awal, maka langkah lokalisasi masing-masing hewan ternak menjadi alternatif. Juga sangat penting menerapkan biosecurity, terutama pada peternakan berskala besar.

Penanganan kotoran ternak
Selain itu juga perlu diperhatikan penanganan kotoran hewan. Kotoran hewan sangat berbahaya karena dapat menjadi media yang sangat bagus untuk virus bertahan hidup. Kotoran hewan, terutama di peternakan berskala besar, perlu dikelola dengan saksama.
Melalui biosecurity dan pengelolaan peternakan yang benar, peternakan akan aman dan terhindar dari virus itu. Dengan demikian, kesehatan ternak terjamin, begitu pula keamanan dan kesehatan konsumen.
Pada dasarnya virus flu burung hanya dapat menular apabila orang mengadakan kontak yang lama dan menghirup virusnya. Ini membutuhkan kontak yang sangat dekat karena penularan hanya dapat terjadi melalui pernapasan, mulut, dan selaput lendir mata.
Dengan sifatnya yang mudah mati, virus flu burung tidak mudah menjangkiti manusia. Hanya kewaspadaan yang perlu dijaga, dengan cara melaksanakan prosedur standar. Kekhawatiran berlebihan hanya membuat orang semakin tidak tahu bagaimana cara menghadapi penyakit ini.

Biosecurity di Rumah Potong Ayam
Di sebuah kampung jauh dari hiruk pikuk kemacetan lalu lintas Jakarta, para pekerja memakai seragam khusus putih-putih dengan masker di hidung. Pemandangan itu lebih mirip ruang operasi di sebuah rumah sakit. Namun, mereka tidak sedang menangani manusia. Mereka memproses ayam potong.
Ribuan ayam yang sudah bersih bulunya menggantung di peralatan khusus. Ayam-ayam itu terus berputar di atas ban berjalan. Semua pekerja siaga, tak ada percakapan.
Tiap divisi dibatasi sekat dengan suhu yang berbeda. Di salah satu divisi mereka harus bekerja dengan suhu empat derajat Celsius. Di ruangan pendingin, suhunya bisa lebih dingin karena mesin dioperasikan dalam suhu minus 40 derajat Celsius. Daging ayam yang akan didistribusikan memang harus menjalani pembekuan pada suhu minus 40 derajat Celsius selama dua jam.
Itulah gambaran yang masih terbayang di benak Infovet, saat kunjungan wartawan di Rumah Potong Ayam PT Sierad Produce Tbk, di Desa Jabon Mekar, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat saat kasus Avian Influenza mengguncang negeri ini 2004.
Kunjungan dimulai dari daerah bersih, yaitu dari pengepakan daging ayam karkas baru ke tempat kotor, yaitu penyembelihan ayam.
Semua yang memasuki areal harus berganti baju putih, mengenakan topi khusus, sepatu bot tinggi, dan barang bawaan harus ditinggal. “Gelangnya juga dilepas, Pak,” kata petugas.
Memang merepotkan, tetapi begitulah standar biosecurity. Petugas juga tak membolehkan pekerja berkuku jorok. Seusai dari ruang ganti, pengunjung harus melewati genangan air desinfektan. Cuci tangan menggunakan desinfektan dilakukan tiga kali. Baju pengunjung juga diperiksa dan melewati pemeriksaan untuk menghilangkan rambut atau bulu yang menempel di baju.
Di dalam ruangan terasa dingin. Ratusan pekerja yang memakai masker tak satu pun bicara. Mereka berada di posisi, ada yang memeriksa ayam, memotong-motong ayam, membungkusi, mengiris-iris, dan ada yang setiap saat mengepel lantai dengan desinfektan. Ada juga yang berkeliling membawa desinfektan karena setiap 15 menit para pekerja harus cuci tangan.
Dari ruangan bersih kemudian menuju ruangan kotor. Tempat menyortir ayam hidup dari peternakan, menyembelih ayam, mencabut bulu, memotong-motong kaki, hingga mengeluarkan jeroan ayam. Ayam yang disortir, dijamin berasal dari peternakan bebas flu burung. Transportasi yang masuk ke rumah pemotongan harus disemprot dan setelah digunakan harus dicuci.
Semua ayam disembelih oleh petugas yang mendapat sertifikat dari Majelis Ulama Indonesia. Kami mengikuti sertifikasi halal, sertifikasi keamanan pangan HACCP, dan sertifikasi ISO 9001:2000. Setiap hari kami mengerjakan seperti ini, baik ada isu flu burung maupun tidak, katanya.

Akhirnya..
Berkaca pada tindakan biosecurity sangat ketat saat wabah AI menggurita di tanah air, kita sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa biosecurity-lah tulang punggung utama penyelamatan peternakan Indonesia Raya dari kehancuran yang mengancam akibat penyakit maut Flu Burung.
Kalau saat itu biosecurity begitu ketat dilakukan, kini pun dan dalam kondisi apapun sudah seharusnya kita tetap menerapkan tindakan paling bijak dalam pencegahan semua penyakit yang mungkin menyerang.
Tindakan itu adalah: Biosecurity. (Infovet/berbagai sumber)


BIOSECURITY HARUS MENYELURUH

Pengetahuan tentang pola penularan penyakit pada peternakan ayam meliputi asal, jenis bibit penyakit dan metode pencegahan dan pengobatannya, merupakan langkah awal dalam upaya pelaksanaan biosecurity secara menyeluruh di lokasi peternakan. Demikian disampaikan Drh Agus Syafiq Riyadi kepada kru Infovet Riau.
Biosecurity merupakan tindakan pengamanan terhadap ternak, melalui pengamanan terhadap lingkungannya dan orang atau person yang terlibat dalam siklus pemeliharaan dimaksud. “Bisa jadi kegagalan peternak dalam memproduksi ayam dengan berat badan maksimal dan atau produksi telur dengan Hen Day Production (HDP) yang optimum salah satunya adalah atas keteledoran dalam penerapan biosecurity”, tegas alumnus FKH Unsyiah Nangroe Aceh Darussalam ini.
Bila dikaji ke belakang, jauh sebelum gaung Avian Influenza (AI) didegungkan, tindakan bersih-bersih juga telah dijadikan sebagai faktor penentu keberhasilan usaha peternakan ayam, yang terkenal dengan istilah sanitasi, yaitu kebersihan dan atau penjagaan kesehatan melalui kebersihan.
Sanitasi juga diarahkan pada ternak yang dipelihara, lingkungan tempat ternak itu dipelihara, dan sipemelihara ternak tersebut. Namun, menurut Drh Muhammad Firdaus MSi alumnus pasca sarjana Universitas Riau tetap membedakan penggunaan kata sanitasi dan biosecurity.
Menurutnya, sanitasi lebih diarahkan pada penjagaan kesehatan sedang untuk biosecurity lebih distressingkan pada pengamanan hidup. Namun, bila dilihat dari makna otentik kedua istilah tersebut, tetap setali tiga uang yakni sama-sama mengandung arti preventive action untuk pencapaian hasil usaha pemeliharaan ternak yang mumpuni menopang sendi-sendi kehidupan peternak.

Sejarah Makna Biosecurity
Ditilik dari segi etimologi (asal-usul kata), biosecurity yaitu bio artinya hidup dan security artinya perlindungan atau pengamanan. Secara keseluruhan berarti suatu program yang dirancang sedemikian rupa dengan tujuan untuk melindungi kehidupan makluk hidup termasuk ternak yang kontribusinya sangat besar bagi kehidupan manusia yakni sebagai pemasok ketersediaan daging, telur dan susu yang notabenenya sebagai sumber protein hewani bagi manusia yang mengkonsumsinya.
Artinya, biosecurity bukan saja diarahkan pada tindakan kebersihan semata, namun lebih luas lagi bagaimana cara memberikan jaminan keamanan pada ternak agar ternak yang dipelihara mampu hidup lebih nyaman untuk dapat memberikan hasil optimal pada peternak.
Disamping itu, biosecurity awal ini diasumsikan dapat pula menghasilkan produk ternak yang aman pula bagi konsumen, sehingga konsumen tidak lagi apatis terhadap produk yang dihasilkan ternak, malahan akan menetapkan pilihan akhirnya hanya produk ternaklah yang capable dalam memberikan jaminan ketersedian protein hewani bagi tubuh.
Berdasarkan ini, maka pilihan yang tepat dalam usaha budidaya ayam adalah penerapan biosecurity secara menyeluruh dengan memadukan semua kegiatan manajemen yang ada untuk menghandle bibit penyakit yang masuk, tinggal, dan menginfeksi suatu usaha peternakan ayam.

Biosecurity Sektor 1-3
Semula penerapan biosecurity lebih diintenskan pada farm-farm besar, namun mengingat pentingnya pengamanan ternak ini, apakah lingkungannya atau anak kandang dan tamu kandang, maka penerapan biosecurity dianjurkan untuk dapat diterapkan pada farm-farm yang masuk pada kategori sektor dua dan sektor tiga.

Biosecurity Sektor 4
Demikian juga untuk ternak yang berada pada sektor empat yaitu ayam buras atau ayam kampung yang dipelihara warga, baik secara ekstensif ataupun intensif. Masih dengan Drh Muhammad Firdaus MSi, penerapan biosecurity ditingkat peternak yang hanya memelihara ayamnya sebagai usaha sambilan bukan sebagai usaha pokok merupakan hal yang menghambat program biosecurity itu sendiri.
Padahal untuk level ini, peranan biosecurity sangat mumpuni dalam hal memberikan jaminan pengamanan hidup bagi peternak, warga sekitar dan juga bagi ternak yang ada disekitar lokasi dimaksud.

Jangan Runyam
Dikatakannya lagi, persoalan ini akan lebih runyam bila saja keberpihakan pemerintah sama sekali tidak ada seperti memberikan informasi terkait atau hubungan sebab akibat bila peternak tidak mengindahkan apa yang disampaikan petugas menyoal penerapan biosecurity dalam hal pemeliharaan ayam disekitar lokasi peternakannya.
Padahal kelalaian peternak berakibat fatal yang secara langsung atau tak langsung memberikan kesempatan pada bibit penyakit untuk masuk, tinggal, dan menginfeksi suatu usaha peternakan ayam dan bahkan dapat membahayakan kehidupan warga sekitar bila penyakit tersebut bersifat zoonosis.
Untuk itulah, sejak virus AI mendera yang menyebabkan suasana brubuh (red: kacau-balau) di dunia peternakan Indonesia bahkan dunia, Drh Muhammad Firdaus MSi yang menjabat Kasi Kesehatan Hewan dan Kepala Rumah Potong Hewan Dinas Pertanian kota Pekanbaru dengan cukat trengginas (red: lincah dan terampil) memberangus keberadaan sikecil H5N1 di kota Bertuah Pekanbaru.
Usaha yang dilakukan berupa memberikan penyuluhan tentang bagaimana cara yang baik memelihara ayam di sekitar lokasi perumahan dengan keterbatasan lahan dengan cara menjauhi mikro organisme dari ayam dan menjauhi ayam dari mikroorganisme dengan cara mengandangkan ayam, membunuh ayam yang diduga dan atau positif AI berdasar pada rapid test, dan melakukan vaksinasi AI untuk lokasi yang belum terjangkit AI, dan ini cukup memberikan hasil positif dalam memberantas AI khususnya di kota Pekanbaru.

Biosecurity Dini
Di lain pihak, Ir Hj Elfawati MSi dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau memandang perlu penerapan biosecurity di tingkat peternak. Menurutnya, penerapan biosecurity lebih awal di farm peternakan broiler dan layer, memberikan jaminan keberhasilan yang bila dikalkulasikan tingkat keberhasilannya sudah mencapai 75 % dari total pemeliharaan broiler yang hanya membutuhkan waktu lebih kurang 28 hari atau empat minggu.
Lebih lanjut dikatakannya, peternak yang handal biasanya lebih memanfaatkan waktu awal ketimbang waktu akhir pemeliharaan. Artinya, sebelum memulai usaha peternakan, peternak perlu melakukan biosecurity terutama untuk lokasi kandang bibit day old chick (DOC).

Praktek Biosecurity di Kandang
Senada dengan Ir Hj Elfawati MSi alumnus pasca sarjana IPB Bogor, Dewi Febrina SPt MP alumnus pasca sarjana Unand Padang mengatakan bahwa usaha yang dapat dilakukan peternak seperti membersihkan lokasi kandang, baik dalam ataupun luar kandang yang disinyalir sebagai tempat bersarangnya kuman-kuman penyakit seperti bakteri dan tunggak kemaduh (red: parasit) dengan paran jujugan (red; sasaran langganan) nya anak ayam yang minim sekali antibodinya.
Pencucian kandang ayam bisa dilakukan secara total dan menyeluruh. Pembersihan secara total dilakukan terhadap seluruh kandang secara lengkap dari bagian atas sampai bagian bawah dengan frekwensi pembersihannya sekali setahun, sedang pembersihan menyeluruh diartikan sebagai pembersihan dengan menitikberatkan pada litter dan kotoran ayam yang berceceran dilantai kandang dan atau yang menempel pada dinding-dinding kandang maupun pada peralatan makan dan minum yang digunakan.
Kemudian, lantai kandang dibersihkan dengan cara disapu, termasuk semua rangkaian listrik, bola-bola lampu yang digunakan, dilihat masih hidupkah atau sudah putus, sehingga pada saat pemeliharaan tidak terjadi lampus (red: mati) DOC akibat kedinginan.
Selanjutnya, gosok, sikat dan bersihkan semua instalasi air, tempat pakan, tempat minum, brooder guard dan peralatan lainnya, kemudian lakukan desinfeksi sebelum dipakai lagi untuk flok ayam berikutnya. Pada pemeliharaan broiler, tirai-tirai yang digunakan pada pemeliharaan awal perlu juga diperhatikan kebersihannya, agar tidak menjadi sumber bibit penyakit yang akan menggeranyangi kehidupan broiler selama kurun waktu pemeliharaannya.
Setelah semua itu dilakukan, tutuplah kandang dengan rapat selama dua hari. Setelah kering merata, sebarlah alas kandang atau litter dengan ketebalan 7-8 cm, kemudian lakukan desinfeksi ulang pada litter yang baru dengan tujuan untuk menekan keberadaan bibit penyakit, dan kemudian DOC siap dipelihara.

Biosecurity Anak Kandang
Sementara itu Purwanto, anak kandang sekaligus sebagai Petugas Pelaksana Harian (PPH) peternakan broiler Danau Farm di desa Koto Perambahan kecamatan Kampar kabupaten Kampar Riau menyatakan kebersihan merupakan hal utama yang harus diterapkan di lokasi peternakan apalagi itu menyangkut ayam broiler yang rentanitasnya terhadap lingkungan yang jelek sangat labil sekali.
Menurutnya, kebersihan tidak hanya diterapkan pada lingkungan pemeliharaan ayam semata namun lebih dari itu, kebersihan juga perlu diterapkan disemua lini produksi yang menunjang dan potensial sebagai tempat awal kuman melakukan gebrakannya menimbulkan penyakit pada ayam yang bermuara pada kerugian pada sipeternak.
“Sejauh ini, saya belum mengenal adanya istilah biosecurity itu, tapi saya hanya tahu dengan penjagaan kebersihan untuk menjaga agar pitik (red: ayam) tetap sehat,” ujar Purwanto dengan penuh semangat.
Anak kandang keturunan Jawa-Lampung ini menegaskan, pelaksanaan kebersihan dimulai dari sejak panen dengan cara membersihkan seluruh kandang luar dan dalam dengan Septocid preparatnya povidone 2 % dan excipient, semua peralatan kandang yang telah digunakan, dan mengecek kondisi lantai kandang yang tak layak lagi digunakan, ini bila kandang yang dipakai dengan sistem panggung.
Setelah itu, dibiarkan satu atau dua minggu, lalu dilakukan pembersihan ulang dengan Septocid kembali, baru anak ayam siap dimasukkan. Penjagaan kebersihan terus dilakukan sejak anak ayam dipelihara sampai saat panen tiba. Pada rentang waktu ini, menurut Bapak satu putri ini lebih distressingkan pada penjagaan kebersihan pakan dan medianya, kebersihan air minum dan medianya, lingkungan kandang dan alas lantai yang disinyalir sebagai sumber bibit penyakit bila dibiarkan dalam keadaan lembab tanpa ada perlakuan seperti membolak-balik dan atau bila diperlukan adanya penggantian alas lantai, tentu ini jarang dilakukan karena pertimbangan biaya.

Biosecurity Pra Produksi
Sedang Drh Jully Handoko akademisi Fakultas Pertanian dan Peternakan sepakat dengan adanya upaya penerapan biosecurity di farm-farm peternakan apalagi bila penerapannya pada pra produksi. Artinya, biosecurity tidak hanya dititikberatkan pada penjagaan kebersihan untuk pengamanan hidup ayam semata, tapi terapkanlah biosecurity tersebut secara menyeluruh yang menyatu dengan pola pemeliharaan ayam.
“Bisa saja biosecurity dikaitkan dengan penggunaan vaksin, obat-obatan yang sesuai dengan kaidahnya, dan penggunaan pakan yang benar-benar aman dari kemungkinan adanya imbuhan lain yang akan menimbulkan masalah pada ayam dan konsumen yang mengkonsumsi produk ayam itu sendriri,” tegas Jully yang tahun ini akan melanjutkan studi di pasca sarjana IPB Bogor pada program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Dilanjutkannya, bila ini bisa dilaksanakan, maka kemungkinan adanya pangan asal ternak yang mengandung residu antibiotika semakin kecil, dan ini dapat memberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen yang mengkonsumsi pangan asal ternak dimaksud.

Berdayakan Penyuluh Pertanian Lapangan
Adalah Yusfaleni, Sarjana Komunikasi Penyuluhan (SKP) Universitas Terbuka kelas jauh Riau mengatakan bahwa pemanfaatan jasa penyuluh pertanian diperlukan untuk membantu pemerintah dalam pencapaian program biosecurity terutama untuk peternakan disektor empat, hanya saja sejauh ini peran ini sedikit terabaikan, padahal potensi penyuluh pertanian cukup besar untuk melaksanakan tugas ini.
Penyuluhan pertanian secara umum merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Artinya, biosecurity dengan tujuan untuk memberikan pengamanan hidup bagi ternak dan manusia dengan cara meningkatkan kebersihan disemua lini produksi, mendukung makna penyuluhan pertanian itu sendiri. Disamping itu, dalam tugas keseharian bisa saja biosecurity dijadikan materi penyuluhan, terutama untuk warga kota dengan segenap kesibukannya.
Namun, sejauh ini pemerintah kurang respon, dan ini bermuara pada gagalnya usaha pemberantasan penyakit tertentu, seperti flu burung yang masih menjadi hot issue di negara ini. Kedepan, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan akan memberikan tatanan baru di dunia penyuluhan dengan harapan dapat mengembalikan citra pertanian Indonesia seperti yang pernah dicapai dimasa orde baru. (Daman Suska)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer