Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Penyakit Jamur Terkait Pakan Ternak

(( Beberapa jenis penyakit akibat jamur terjadi. Dari gudang pakanlah malapetaka penyakit dengan jamur tersebut dimulai. ))

Pada peternakan ayam, penyakit aspergilosis dan kandidiasis merupakan penyakit yang umum ditemukan. Demikian Drh Jully Handoko Akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau menyatakan,

Lebih rinci dijelaskan Jully, kapang Aspergilus flavus dan Aspergilus paraciticus menghasilkan metabolit toksik berupa aflatoksin. Kerugian akibat aflatoksin ini bisa dalam bentuk cemaran pada bahan baku dan pakan ternak yang disinyalir dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produk ternak itu sendiri.

Pakan dengan cemaran kapang dari jenis Aspergilus flavus dan jenis lainnya, bila diberikan ke ayam akan menimbulkan penyakit aspergilosis.

Menyoal aspergilosis pada ayam dengan toksinnya yang mengkontaminasi pakan dilaporkan Bahri et al., 1994 bahwa 80% pakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia telah terkontaminasi aflatoksin B1 dengan variasi ukuran antara 10,1 – 54,4 ppb.

Sedang Maryam, 1996 telah mendeteksi keberadaan residu aflatoksin B1 dan M1 pada hati dan daging ayam dengan kadar rata-rata 0,007 ppb dan 12,072 ppb dalam hati ayam, sedang pada daging ayam dengan kadar rata-rata 0,002 ppb dan 7,364 ppb.

Artinya, keberadaan residu aflatoksin ini disinyalir dapat membahayakan konsumen karena diduga toksin dari kapang jenis aspergilus ini dapat menyebabkan kanker pada manusia.

Kembali ke drh Jully Handoko alumni FKH UGM, dampak lain dari keberadaan aflatoksin dalam pakan ayam adalah terjadinya penurunan bobot badan. Sehingga, tujuan akhir dari pemeliharaan ayam pedaging atau broiler berupa pencapaian bobot badan maksimal tidak tercapai.

Di samping itu, pada ayam petelur dapat pula menurunkan produksi telur, dengan demikian kerugian akibat aflatoksin bukanlah sekedar isapan jempol belaka namun benar adanya.

Aspergilosis

Bila dikaji lebih jauh, Aspergilosis merupakan penyakit pernafasan atau brooder pneumonia yang disebabkan oleh cendawan dari genus aspergilus yang dapat menyerang manusia disamping ternak.

Penyakit ini sering dijumpai pada unggas seperti pada ayam dan itik, sedang pada ternak lainnya kasusnya sangat jarang ditemukan. Pada ayam, infeksi akibat aspergilosis dapat ditemukan pada alat pernafasan termasuk kantong udara dengan tingkat penyebaran yang cukup tinggi melalui darah ke bagian lain dari tubuh ayam.

Penyakit ini dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu aspergilosis bentuk akut dan aspergilosis bentuk kronis. Aspergilosis bentuk akut sering ditemukan pada ayam dengan usia muda yang dicirikan tingginya angka morbiditas dan mortalitas.

Sedang ayam dewasa sering terpapar aspergilosis dalam bentuk kronis dengan angka morbiditas dan mortalitas yang rendah, namun secara umum angka kematian ayam yang terpapar aspergilus ini berkisar antara 50-65 %.

Aspergilosis biasanya bersifat sporadis. Secara umum munculnya aspergilosis di areal peternakan diprediksi akibat kelengahan atau kelalaian peternak dalam hal menjaga kebersihan kandang termasuk gudang pakan yang disinyalir sebagai mediator awal kemunculan jamur ini. Kenapa harus gudang pakan?

Menurut Jully, dari gudang pakanlah malapetaka penyakit dengan jamur tersebut dimulai. Dirunutnya dengan rinci, pada peternakan broiler yang fokus usaha ditujukan untuk menghasilkan daging dengan konsekwensi penuh pada pemberian pakan tepat waktu dengan tidak mengindahkan kandungan gizi dan jumlah pakan yang diberikan: Agar tidak terjadi keterlambatan dalam pemberian pakan, peternak biasanya menempatkan pakan pada gudang pakan yang diposisikan tidak jauh dari lokasi kandang.

Kemudian pakan ditumpuk ditempat tersebut dengan tidak mengindahkan kebersihan dan persyaratan penyimpanan pakan yang dianjurkan, sehingga pada kondisi tertentu yakni saat musim tak bersahabat, bertumbuhanlah jamur pada pakan dan ini tidak direspon oleh peternak.

Malahan, memberikan pakan yang telah terkontaminasi jamur tersebut pada peliharaannya. Pada kondisi inilah, penyakit akibat jamur yang mengkontaminasi pakan seperti aspergilosis tak dapat dihindari.

Seyogyanya, pembangunan gudang pakan ini tetap mengacu pada prosedur pembangunan kandang yang dipersyaratkan seperti cukup ventilasi, mendapatkan sinar matahari langsung, tidak ditempat yang lembab, dengan posisi lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah, dan menghindari gudang dari debu.

Aflatoksikosis

Sementara itu, tercemarnya pakan ternak oleh aflatoksin menurut Dewi Febrina SPt MP dapat juga menyebabkan terganggunya fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsur mineral berupa tembaga, besi, kalsium, fosfor, dan beta karoten, serta terjadinya kerusakan pada kromosom, perdarahan dan memar.

“Inilah penyebab awal terhambatnya pertumbuhan ternak, penurunan produksi, melemahnya sistem kekebalan tubuh, dan disisi lain sifat immunosupresif aflatoksin diduga dapat menyebabkan kegagalan vaksinasi, bahkan kejadian ini dapat berakhir pada kematian,” jelas alumni pasca sarjana Unand ini dengan mantap.

Kandidiasis

Penyakit lain yang juga tak kalah pentingnya diketahui peternak adalah kandidiasis yang juga masih dipromotori jamur, bersifat infeksi pada saluran pencernaan terutama tembolok, dan kadang-kadang pada rongga mulut, esofagus dan proventrikulus.

Masa inkubasi tidak tetap artinya selalu bervariasi tergantung pada kondisi daya kebal tubuh ternak dimaksud. Penyakit ini ditemukan pada ayam, terutama peternakan ayam komersial, dengan gejala klinik pada ayam muda seperti gangguan pertumbuhan, pucat, lesu, lesi gatal pada ulkus kulit dan selaput lendir, pneumonitis, dan bulu berdiri.

Penampakan lain yang juga tak kalah pentingnya dalam mengidentifikasi kandidiasis ini adalah kondisi bulu di sekitar kloaka yang kotor, ini disebabkan adanya tempelan feses penderita akibat keradangan pada kloaka. Berbeda dengan aspergilosis, kandidiasis disebabkan oleh Candida albicans, merupakan jamur yeast atau ragi dari famili fungi.

Sifat jamur ini relatif lebih resisten di dalam tanah dan tahan terhadap berbagai desinfektan. Kembali ke drh Muhammad Firdaus MSi alumni pasca sarjana Unri menyatakan, penularan kandidiasis biasanya melalui oral karena ayam sehat mengkonsumsi pakan atau air minum yang sudah tercemar Candida albicans.

Dalam hal ini, kandidiasis tidak ditularkan melalui ayam per ayam, sehingga untuk pencegahan kandidiasis ditingkat peternak agak lebih muda yakni cukup mengetatkan sanitasi lingkungan kandang dan ternaknya serta menjaga agar pakan tetap dalam keadaan baik. (Daman Suska)

Penyimpanan Pakan

(( Hanya dengan pengamanan biologi yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal yang diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung berjangkitnya jamur. ))

Di tingkat peternak, pakan berjamur sering terabaikan dan ini memberikan dampak yang cukup besar bagi usaha peternakan karena pakan berjamur dapat menyebabkan ayam sakit atau setidaknya dapat menurunkan pertambahan berat badan perharinya. Demikian Firdaus peternak ayam broiler desa Simpang Siabu kecamatan Bangkinang kabupaten Kampar Riau.

Menurutnya, bila penyimpanan pakan terkesan asal-asalan saja dengan penumpukan yang melebihi kapasitas dipastikan jamur dengan mudah mengkontaminasi pakan. Lebih lanjut dikatakannya, dalam berusaha peternak tentu mengharapkan untung usaha yang besar meskipun kesannya dengan pengeluaran yang minim, namun segi-segi kebersihan tetaplah dijadikan dasar untuk mencapai itu semua.

Ketika ditanya bagaimana peternak menangani kasus ini, “Hanya dengan pengamanan biologi yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal yang diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung berjangkitnya jamur di usahanya,” jelas peserta kemitraan PT Primatama Karya Persada ini dengan mantap.

Di lain sisi, Drh Muhammad Firdaus MSi Kasi Keswan Dinas Pertanian kota Pekanbaru menyatakan, peternak tetap mengutamakan kualitas pakan, baik yang berhubungan langsung dengan komposisi gizi yang sesuai dengan kebutuhan ayamnya ataupun hal terkait lainnya seperti manajemen penyimpanan pakan tersebut dalam arti menghindari pakan dari kondisi gudang penyimpanan yang lembab dan hal-hal lain yang memungkinkan jamur tumbuh subur.

Disamping itu, upaya penanggulangan cemaran jamur terutama aflatoksin pada pakan dan keracunannya pada ternak yakni dengan menggunakan bahan pengikat kimia seperti arang aktif dan zeolit.

Sementara itu, penggunaan bahan alami seperti kunyit, sambiloto dan bawang putih untuk penanggulangan jamur telah pula diuji coba.

Terakhir penggunaan berbagai jenis mikroba melalui proses degradasi telah dilaporkan dengan hasil dapat menurunkan jumlah aflatoksin yang masuk ke dalam tubuh ternak.
Setidaknya kontrol yang ketat terhadap lingkungan sangat penting pada saat pemilihan jenis untuk mengeliminasi penyakit disebabkan oleh jamur diantaranya sterilisasi, desinfeksi dan sanitasi.

Sementara itu dalam pemilihan desinfektan yang cocok perlu pula peternak memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

(1) Jenis permukaan yang akan dilakukan desinfeksi,
(2) Tingkat kebersihan permukaan,
(3) Jenis organisme yang akan dibuang,
(4) Ketahanan dari bahan yang digunakan dalam pembuatan kandang atau gudang pakan, (5) Durasi waktu perlakuan,
(6) aktifitas residu.

Namun apapun cara yang dilakukan, sebaiknya tetap kembali pada konsep awal yakni mencegah lebih baik dari mengobati. (Daman Suska)

Saatnya Untuk Restrukturisasi dan Kompartementalisasi

Isu seputar flu burung yang sedang menghangat kembali seperti saat ini terus bergulir di masyarakat.dan telah mendorong berbagai tekanan terhadap keberadaan peternakan yang berdekatan dengan pemukiman, khususnya di kota besar. Ditambah lagi dengan semakin meningkatnya kasus flu burung di Jakarta yang hingga berita ini diturunkan tercatat 21 kasus posistif flu burung dengan 19 diantaranya meninggal dunia. Untuk itu diperlukan restrukturisasi peternakan khususnya di wilayah perkotaan seperti Jakarta dan sekitarnya.

Hal itu mencuat dalam pertemuan Pengendalian Avian Influenza dengan Stakeholder, Kamis(18/1) di Aula Dirjen Peternakan Lt 6 Gd. C Departemen Pertanian. Pertemuan itu dihadiri Dr John Weaver (Konsultan FAO) dan Dr Anni Mc Leod (ahli ekonomi FAO).

Restrukturisasi, Ya atau Tidak

Fenny Firman Gunadi Sekjen Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengatakan, mengubah kebiasaan masyarakat itu tidak mudah. Apalagi masyarakat kita telah terbiasa hidup disekitar unggas baik itu, unggas ayam ataupun burung. Maka rencana restrukturisasi yang akan dilakukan pemerintah harus terlebih dahulu memiliki landasan hukum yang kuat. Jangan sampai nanti ketika sudah direstrukturisasi dalam jangka waktu lima tahun ke depan peternakan harus kembali terusir karena terdesak oleh pemukiman. Begitu banyak pula peraturan yang kontradiktif antara peraturan yang dibuat Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sementara Adnan Ahmad dari Dinas Peternakan DKI mengungkapkan, rencana restruktukrisasi ini sudah dibahas sejak satu tahun lalu. Difokuskan pada penertiban pemeliharaan unggas-unggas dipemukiman yang berisiko besar sebagai penular virus flu burung ke manusia. Upaya kali ini dilakukan untuk menepis anggapan karena selama Dinas Pertanian atau Sudin Peternakan hanya dianggap seperti dinas kebakaran yang baru bertindak bila terjadi kasus, namun tidak bertindak untuk mencegah terjadinya kasus.

“Nantinya untuk peternakan akan diberikan tempat khusus yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Begitu juga dengan tempat penampungan dan pemotongan ayam yang tersebar liar dihampir semua wilayah Jakarta. Untuk itu perlu ada peranan swasta dan pemerintah untuk mewujudkan hal ini,” ujar Adnan.

Lebih lanjut, kata Adnan, mengubah persepsi masyarakat tentang daging segar juga diutamakan. Karena selama ini menurut sebagian masyarakat daging ayam segar adalah yang baru dipotong, sedangkan daging beku tidak segar lagi. Hal ini salah karena daging beku berasal dari daging ayam yang baru dipotong yang langsung dibekukan untuk memperpanjang umur simpan tanpa ditambah bahan pengawet apapun.

Restrukturisasi tidak hanya melulu mengatur pelarangan beternak di wilayah perkotaan, tapi juga menyangkut lalu lintas hasil produksi. Seperti diungkapkan Don P Utoyo dari Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) yang dikutip Kisman dari Karantian Pertanian, restrukturisasi harus dilakukan secara keseluruhan mulai dari penerapan biosekuriti, good farming practice, dan penanganan pasca produksi yang terkait dengan perdagangan dan lalu lintas ternak atau daging unggas. Aturan mengenai lalu lintas hasil unggas masuk ke Jakarta harus diatur jelas karena kebutuan daging unggas dari Jakarta yang mencapai 1 juta ton per hari selama ini dipasok dari wilayah sekitar seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Bila langkah restrukturisasi ini berhasil maka tinggal dilanjutkan dengan program kompartementalisasi bagi industri perunggasan. Namun disini dituntut keterbukaan pada program biosekuriti dan surveilans internal dalam menjaga lingkungan sekitarnya agar tetap bebas AI dari pelaku peternakan sektor 1 dan 2 yang bertujuan untuk membuka peluang ekspor Indonesia.

Askam Sudin dari GPMT menekankan, untuk merekstrukturisasi peternakan sektor 3 dan 4 ini membutuhkan waktu dan sosialisasi yang lebih lama dan akan banyak menimbulkan pro dan kontra.

Sudirman dari FMPI menyampaikan, “Saat ini, mulailah kita bekerja dan jangan ada lagi seminar atau workshop membahas hal yang itu-itu saja. Karena isu restrukturisasi maupun kompartementalisasi sudah mencuat sejak tahun lalu. Dan sebagian besar pelaku industri peternakan dan pemerintah telah paham betul konsep akan hal ini. Segera dibentuk tim yang bisa langsung bekerja karena kalau kita terus berwacana tidak akan mendapat hasil apa-apa.”

Hal senada diungkapkan Paulus Setiabudi dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), “Saat ini peternak merugi 7-8 milyar rupiah setiap hari akibat statement pejabat pemerintah yang tidak terkontrol di media massa. Statement mereka menyebabkan ketakutan di masyarakat untuk mengkonsumsi unggas. Sementara di Pembibitan Unggas setiap minggu kerugian mencapai 20-25 milyar. Inilah satu hal yang menyedihkan bagi industri perunggasan. Terlebih ditambah dengan statement pejabat yang sifatnya tidak menenangkan dan menjauhkan masyarakat dari mengkonsumsi daging dan telur unggas yang sehat.”

Paulus menambahkan, kompartementalisasi seperti contohnya di Thailand bisa dilakukan karena ada rantai integrasi dari semua lini. Mulai dari pembibitan, feedmill, obat-obatan, peternak, penanganan panen, hingga processing plant untuk mengolah hasil unggas menjadi food value added product. Mereka telah distandarisasi ISO dan dalam proses produksinya diawasi pemerintah sehingga produk hasilnya nanti benar-benar bisa dipertanggungjawabkan bebas AI dan penyakit lainnya. Itulah sebabnya Thailand mampu bangkit lebih cepat setelah wabah AI tahun 2003 dengan ekspor menerapkan berdasar kompartementalisasi. “Namun bagaimana dengan kita, apakah kita sudah sampai kesana atau baru akan menuju ke sana,” jelas Paulus.

“Restrukturisasi penting untuk merelokasi pasar ayam yang banyak tersebar di Jakarta. Namun untuk pendirian live bird market di luar perkotaan itu sudah menjadi tugas pemerintah, tidak mungkin swasta yang membangunnya,” tambah Paulus.

H Don P Utoyo FMPI menambahkan, sebelumnnya peternakan yang telah berdiri belasan atau bahkan puluhan tahun lalu terletak sangat terpencil dan jauh dari pemukiman.

Namun karena berjalannya waktu dan untuk menuju ke peternakan dibangun infrastruktur seperti sarana jalan, telepon dan listrik kini pemukiman yang bergerak mendekati peternakan. Hingga seperti saat ini jadi Pemerintah harus konsisten mana yang harus digusur, peternakan yang duluan ada disana atau perumahan yang baru ada disana. Hal ini terus menjadi polemik dan pro kontra bila tidak ada aturan yang jelas dan mengikat baik dari pemerintah Pusat dan Daerah terkait dengan penataan tata ruang daerah. (wan)

SEJARAH DAN SIKAP MENGHADAPI PEMBIAKAN KASUS AI DI INDONESIA

(( Sejarah AI – Flu Burung di Indonesia dimulai tahun 2003.Kini, 4 tahun kemudian, kita mesti lebih sigap dan bijak. Apa yang mesti kita lakukan? ))

Pada Agustus 2003 Avian Influenza (HPAI) di Indonesia pertama kali dijumpai pada peternakan ayam komersial. Agen penyebabnya adalah virus influenza tipe A, sub tipe H5N1, yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Bagaimana AI pertama kali masuk ke Indonesia masih diperdebatkan.

Demikian pakar perunggasan Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD seraya menuturkan, letupan AI menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di Jawa, kemudian meluas ke Sumatera Selatan, Bali, dan daerah lain di Indonesia.

Selanjutnya, pada Juli 2005, dijumpai kasus Flu Burung pertama pada manusia.
Pada tahun 2006, AI telah endemik di 30 propinsi (218 kabupaten/kota) dari 33 propinsi di Indonesia. Juga tersdapat kasus baru di Irian Jaya Barat dan Papua. Gejala klinik dan perubahan patologik seringkali tidak menciri untuk HPAI. Untuk itu perlu metode diagnostik yang akurat, cepat, dan praktis.

Perkembangan terakhir kasus AI pada ayam/unggas selama tahun 2006, hampir tidak pernah ditemukan pada peternakan ayam ras di sektor 1 dan 2. Juga sangat rendah pada peternakan ayam ras di sektor 3, khususnya peternakan dengan biosecurity longgar dan tidak divaksinasi terhadap AI.

Sementara itu di sektor 4, AI endemik pada ayam buras, itik, entog, dan burung puyuh sehingga dapat bertindak sebagai reservoir (silent host) virus AI. Sebagian besar kasus flu burung pada manusia dihubungkan dengan unggas yang dipelihara di sektor 4 ini.

Dengan perkembangan terakhir pada tahun 2007 akibat kematian pada manusia bertambah, memaksa kalangan peternakan untuk melaksanakan prioritas penanggulangan AI tahun 2007.

Prioritas itu, dituturkan Charles, adalah:

• sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian peternak, industri, pemegang kebijakan, dan masyarakat umum

• restrukturisasi sistem pemeliharaan unggas, industri/usaha perunggasan, perdagangan, dan system distribusi

• vaksinasi

• monitoring dan surveilans

• perbaikan infrastruktur veteriner dan organisasi veteriner di tingkat pusat sampai
daerah

• riset dan pengembangan

• kerjasama internasional

Sementara dasar pertimbangan pemusnahan unggas non komersial di wilayah padat penduduk dengan kasus flu burung tinggi, adalah berdasar fakta bahwa:

• unggas peliharaan di pekarangan sebagai reservoir AI. Walaupun sebetulnya, sumber penularan AIV pada unggas sektor 4 belum diketahui pasti, masih berdasar asumsi penularan melalui berbagai cara (lihat artikel terkait).

• Kasus flu burung lebih banyak ditemukan pada orang yang erat dengan unggas sektor 4.

• Kasus flu burung tidak berhubungan langsung dengan unggas komersial sektor 1, 2 dan mungkin 3.

Tujuan pemusnahan adalah memutus mata rantai penularan AIV dari unggas ke manusia.
Akhirnya, Prof Charles menyarankan:

• Pemusnahan unggas komersial hendaknya terbatas di daerah padat pemukiman dengan kasus flu burung tinggi.

• Daerah lain perlu sosialisasi sistem pemeliharaan unggas yang benar untuk menekan resiko penularan AIV.

• Strategi penanggulangan harus dilakukan secara terpadu dengan mengacu pada 9 strategi penanggulangan AI. (YR)

GAGAH HADAPI AI JUGA DENGAN VAKSINASI

(( Aspek di hulu dan hilir membuat kita terus berpikir, kita akan tetap tegar menghadapi apapun yang terjadi. Vaksinasi menjadi salah satu senjata andalan. Tentu saja dengan berbagai senjata lain: di antaranya biosecurity ketat yang terbukti sukses membebaskan sektor 1, 2 dan banyak sektor 3 dari kasus AI. ))

Strategi penanggulangan Avian Influenza menurut OIE (Organisasi Kesehatan hewan Dunia) adalah stamping out, tanpa vaksinasi ataupun dengan vaksinasi.

Versi baru kriteria bebas AI menurut OIE adalah jika melakukan stamping out bebas AI dapat dinyatakan setelah 3 bulan dari kasus terakhir.

Jika hanya melakukan vaksinasi tanpa stamping out, bebas AI dapat dinyatakan setelah 1 tahun dari kasus terakhir.

Aspek penting penanggulangan AI pada hewan dan manusia di sisi hulu adalah menekan pencemaran virus AI di lapangan dengan mengendalikan kasus AI pada unggas atau hewan lain. Lalu mencegah penularan AIV dari unggas/hewan ke manusia.

Pada sisi hilir, aspek pentingnya adalah mencegah perluasan kasus flu burung pada manusia dengan tujuan penting mencegah terjadinya penularan antar manusia (pandemi influenza).

Vaksinasi

Masalah yang muncul pada vaksinasi adalah vaksinasi mungkin tidak dapat mencegah timbulnya infeksi AIV. Unggas yang divaksinasi dan kontak dengan virus AI lapang dapat membebaskan sejumlah virus AI (Viral Shedding) jika biosecurity longgar.

Masalah berikutnya, vaksinasi AI akan menekan jumlah AIV yang mencemari lingkungan, dan dapat bertindak sebagai sumber infeksi untuk unggas dan mungkin juga manusia.

Jalan keluar dari masalah tersebut, peternakan yang terinfeksi AIV harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara tepat. Vaksin AI pun harus memenuhi kriteria kualitas tinggi, homolog dengan virus AI lapang yaitu subtipe H atau subtipe H dan N.
Aplikasi vaksinasi pun harus tepat. Dan jangan lupakan, monitoring dan evaluasi terus-menerus.

Manfaat vaksinasi ini adalah menekan kerugian akibat AI menekan mortalitas dan gangguan gangguan produksi. Vaksinasi pun menekan penyebaran virus AI (viral shedding) dan selanjutnya menekan kejadian AI.

Vaksinasi juga meningkatkan ketahanan terhadap tantangan virus AI lapang. Dan jangan lupa,vaksinasi menekan jumlah ayam yang peka terhadap infeksi virus AI.

Adapun faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi terhadap AI adalah vaksinasi harus merupakan bagian dari suatu sistem penanggulangan AI secara terpadu. Vaksinasi ini harus selalu disertai oleh biosecurity ketat.

Selanjutnya perlu monitoring dan evaluasi terus-menerus menyangkut tingkat keamanan vaksin. Baik itu dengan sistem sentinel dan atau uji DIVA maupun uji laboratorik lain.

Monitoring dan evaluasi pun menyangkut tingkat perlindungan vaksin, dan kemungkinan mutasi virus AI asal lapang.

Vaksinasi pun, perlu ada strategi keluar sesuai perkembangan kasus. (YR)

Robohnya Peternakan Kami

Mulai tanggal 1 Februari 2007, di Jakarta khususnya, dunia peternakan di Indonesia mengalami babak baru. Mulai tanggal itu Pemerintah DKI Jakarta melarang warganya memelihara unggas. Jika ada warga yang membangkang terhadap Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 itu, pemda tidak segan-segan akan menyita dan memusnahkan unggas-unggas milik masyarakat itu. Dengan aturan itu kelak 2,8 juta ekor unggas di Jakarta akan musnah dan dimusnahkan.

Peraturan yang dikeluarkan Sutiyoso itu terkait dengan merebaknya kembali virus flu burung. Pemda DKI Jakarta getol memerangi flu burung sebab menurut data dari sebaran flu burung pada tahun Juni 2005 sampai 2007, Jakarta berada di peringkat kedua dalam jumlah korban akibat flu burung, pernah tercatat dari 21 orang yang positif menghidap virus flu burung, 19 diantaranya meninggal dunia. Sementara Jawa Barat berada pada peringkat pertama, dari 25 orang yang positif mengidap virus, 20 di antaranya meninggal.

Peraturan yang dikeluarkan Sutiyoso sejak 17 Januari 2007 itu diharapkan mampu mencegah penularan dan penyebaran virus flu burung. Dalam peraturan menyebutkan pemusnahan bisa dilakukan dengan cara dikonsumsi secara benar, dijual, atau dimusnahkan sendiri dengan ganti rugi sebesar Rp12.500 per ekor. Apabila warga tetap ingin memelihara unggas untuk hobby atau pendidikan maka ia diwajibkan memiliki sertifikat.

Peraturan itu bisa dikeluarkan atas inisitiatif Sutiyoso sendiri, bisa juga karena adanya tekanan dari Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari. Menkes melihat masyarakat enggan memusnahkan unggas-unggas itu sehingga diperlukan perda atau payung hukum. Desakan menteri kesehatan itu lebih-lebih ditujukan ke sembilan propinsi, yakni Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan

Setelah Sutiyoso mengeluarkan peraturan itu, beberapa kepala daerah menyusul langkah-langkah yang telah dilakukan Sutiyoso. Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah beberapa hari lalu telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Larangan Pemeliharaan Unggas di Pemukiman. Di Banten sendiri pernah tercatat dari 12 orang yang positif mengidap virus flu burung 10 diantaranya meninggal dunia.

Gencarnya para kepala daerah mengeluarkan peraturan pelarangan pemeliharaan unggas di pemukiman terkait surat edaran (SE) Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf Nomor 440/93/SJ. SE itu berisi perintah kepada kepala daerah untuk segera melakukan langkah-langkah penanganan flu burung sesuai dengan status daerah masing-masing. Apabila seluruh kepala daerah mengeluarkan peraturan yang sama maka akan ada 120 juta ekor unggas akan dimusnahkan.

Merebaknya kembali virus flu burung kali ini memang membikin repot, tidak heran bila peraturan dan kebijakan baru dibuat kembali agar penularan virus itu bisa dicegah. Merebaknya virus flu burung di Indonesia kali ini sebenarnya bukan yang pertama kalinya yang membikin geger. Apa yang terjadi saat ini sama seperti yang terjadi ketika meninggalnya keluarga Iwan Iswara Rafei bersama kedua anaknya, Nurul dan Sabrina, akibat flu burung. Atas kematian keluarga Iwan itu pemerintah pun melakukan pemusnahkan terhadap ribuan unggas dan ratusan babi.

Kegagalan Pemerintah

Bangsa Indonesia memang tidak pernah belajar pada pengalaman yang sudah-sudah. Pemerintah baru melakukan tindakan reaktif ketika kejadian itu terulang atau terjadi lagi. Tsunami, kecelakaan di darat-laut-udara sebenarnya sudah sering terjadi namun pemerintah selalu gagal mengantisipasi serta mencegah dan anehnya pemerintah melakukan tindakan yang sama atau sudah pernah dilakukan ketika peristiwa itu terulang.

Menghadapi flu burung kali ini mungkin pemerintah sudah kehilangan akal. Berbagai komnas, kebijakan, tindakan, dan peraturan sudah dibuat namun tidak mampu mengatasi penularan flu burung. Presiden SBY saat membuka Pekan Peternakan Unggulan Nasional (PPUN) di Pandaan, Jawa Timur, 2005 yang lalu pun sudah mencanangkan Tumpas Flu Burung. Namun berbagai jalan itu tidak mampu mengatasi wabah flu burung. Peraturan baru yang melarang memelihara unggas di pemukiman sebenarnya bukan langkah yang baru, apa yang dilakukan pemerintah kali ini sebenarnya langkah yang sudah pernah dilakukan yang intinya memusnahkan unggas.

Peraturan itu jika disimak justru akan merugikan dunia peternakan. Memelihara unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dan buruh puyuh) merupakan sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Ketika belum ada SE Mendagri dan Pergub Banten Nomor 1 Tahun 2007, Walikota Cilegon Aat Syafa’at dan Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah menolak pemusnahan unggas di pemukiman. Mereka mengatakan pemusnahan unggas akan menutup usaha peternakan rakyat. Apalagi Pandeglang sedang menurunkan angka kemiskinan melalui pengembangan unggas. Bagi masyarakat memelihara unggas untuk menambah penghasilan hidup. Walau jumlahnya 20 ekor atau di bawahnya namun usaha itu mampu menopang hidup mereka. Setiap hari mereka mampu menjual satu hingga dua ekor ayam. Apabila per ekor dinilai seharga Rp12.500 maka sehari mampu memperoleh uang sebesar Rp25.000, uang itu untuk ukuran rakyat kecil mempunyai nilai yang cukup.

Telur yang dihasilkan pun mampu menambah gizi dan aneka lauk yang dikonsumsi.
Peraturan yang dikeluarkan pemda itu hanya menguntungkan industri peternakan besar atau industri peternakan dengan modal besar. Akibatnya peternakan akan dimonopoli oleh industri-industri besar. Peraturan pemda itu kelak juga akan mengimbas pada pabrik industri pakan, akan banyak industri pakan tutup apabila pemeliharaan unggas dilarang.

Pelarangan memelihara unggas akibat merebaknya flu burung itu nasibnya sama dengan peternakan babi. Karena virus flu burung juga menyerang babi maka beberapa peternakan babi yang keberadaannnya sudah lama dan mapan ditutup keberadaannya. Pelarangan adanya peternakan babi telah merugikan dan membuat hilangnya mata pencaharian peternakan-peternak babi yang berada di Tangerang, Sragen, Wonosobo, Purwokerto, Bogor, dan daerah lainnya. Pada suatu kesempatan Presiden Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Ir Rachmawati mengutarakan, apabila babi dilarang dijual maka akan merugikan peternak. Peternak skala menengah (300 induk babi) jika tidak sekali menjual babi dari kandangnya akan mengalami kerugian sekitar Rp19 juta. Kerugian itu akan mencapai ratusan juta sebab peternakan babi di Jawa jumlahnya mencapai 200 orang.

Namun apakah peraturan pemda yang dikeluarkan itu mampu mencegah penularan virus flu burung? Jawabannya tidak menjamin, sebab sebelum peraturan itu dikeluarkan sudah banyak unggas dan babi yang dimusnahkan, pengawasan lalu lintas unggas pun sudah diketatkan, namun penularan virus flu burung tetap terjadi. Menularnya virus flu burung ke manusia belum tentu disebabkan peternakan unggas semata namun dipengaruhi oleh banyak faktor. Penularan flu burung masing-masing ahli mempunyai teori sendiri-sendiri, bisa akibat dari unggas, babi, anjing, kucing, bahkan manusia. Merebaknya kembali wabah flu burung merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mengatasi penyakit itu sebab berbagai skenario yang disusun selalu jebol dan gagal. Peraturan itu yang pasti akan mematikan peternakan dan usaha rakyat, kalau direlokasi itu merupakan eufisme dari pemusnahan. (Ardi Winangun)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer