Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Sekali Lagi: DIAGNOSA YANG TEPAT

Narasumber Infovet bersaksi, masalah kemunculan flu burung di mana-mana, secara diagnostik tidaklah lagi sama seperti gejala-gejala flu burung di awal kasus ini pada tahun 2003-2004. Maka, ketrampilan dan keahlian mendiagnosa dengan diagnosa perbandingan dengan penyakit lain sangatlah penting.

Demikian terungkap pada diskusi Infovet, ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) dan UPPAI (Unit Pengendalian Penyakit Avian Influenza) di Ruang Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian baru-baru ini.

"Penyakit baru menjadi masalah buat peternak kalau menimbulkan kerugian ekonomi. Kalau tidak, bisa diatasi sendiri diam-diam tidak usah ribut," kata Dr Drh Lies Parede dari BBalitvet Bogor dan Drh Hernomoadi Huminto MS dari Laboratorium Patologi FKH IPB.

Langkah-langkah bila ada flok wabah ayam, menurut Dr Lies dan Drh Hernomoadi adalah:

1) Secara diagnosa harus dilihat bedah bangkai yang mengarahkan apakah organ yang dominan terserang.
2) Ditambah dengan pemeriksaan histopatologi, kerusakan menunjukan agen primer penyebab.
3) Ditambah serologi atau isolasi, mengarah pengobatan atau pencegahan.
4) Pencegahan diarahkan untuk ayam periode (siklus) berikut: misalnya biosekuriti, program vaksinasi, monitoring.


Gumboro dan ND

Kasus Gumboro kadang dapat disamarkan oleh ND, namun menurut Drh Brigitta Etik W Technical Service PT Medion, pada kejadian ND yang berlanjut terjadi diare putih kehijauan dan adanya gejala syaraf.


AI dan ND

Menurut narasumber Infovet dalam diskusi dengan UPPAI tersebut, kalau dulu tortikolis selalu identik dengan ND, sekarang Avian Influenza pun bisa mempunyai gejala ini.

Namun menurut ahli penyakit viral dan patolog Dr Lies Parede dan Drh Hernomoadi MS, gejala ND berbeda dengan AI menurut kacamata patolog maupun virolog. Tortikolis milik ND ganas, Pial biru ungu milik AI ganas.

Nah, "Kalau infeksi campuran: ikuti langkah-langkah tadi," saran mereka.


AI dan Gumboro

Kembali menurut narasumber Infovet dalam diskusi dengan UPPAI, bila ada penyakit gumboro yang menyerang, kasus Avian Influenza pun lebih berbahaya!

Dr Drh Rahaju Ernawati dari Laboratorium Virologi FKH Unair Surabaya mengungkap bahwa Gumboro menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar karena angka morbiditas mendekati 100% dan angka mortalitas 20 - 30%.

"Penyakit IBD pada dasa warga terakhir menular hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1991 penyakit mewabah hampir melumpuhkan seluruh peternakan ayam di Indonesia," katanya.

Masalah diagnosa yang sangat terkait dengan pengetahuan kondisi tubuh ayam yang kekebalannya bisa turun ini tentu saja sangat perlu dipahami. Penyakit infeksius bursal (IBD) atau penyakit Gumboro merupakan penyakit viral akut pada ayam yang menyerang organ sistem kekebalan terutama bursa fabrisius sehingga bersifat imunosupresif.

Dalam mendiagnosa penyakit Gumboro, Drh Brigitta Etik W Technical Service PT Medion menjelaskan dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang lebih tinggi akurasinya, di antaranya adalah pendekatan epidemiologis, klinis patologis, isolasi dan identifikasi.

Secara epidemiologis, penyakit ini susah dibedakan dengan jenis penyakit viral lainnya, karena penampakan dari penyakit ini hampir sama yakni kecenderungan mewabah dan menyerang berbagai jenis ayam terutama ayam dari golongan muda.

Untuk membantu peneguhannya, alumni FKH UGM 1986 ini menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan gejala klinis, sehingga diagnosa penyakit dapat diarahkan.

Kemudian ditambahkan Etik, untuk tindakan isolasi dapat dilakukan secara in vitro dan in vivo dengan menggunakan media biakan sel dan biakan pada telur ayam yang berembrio.

Sementara itu, untuk identifikasi virus Gumboro dapat dilakukan dengan berbagai uji dengan menggunakan mikroskop elektron (EM), diantara uji tersebut adalah Agar Gel Precipitation (AGP), Flourescence Antibody Technique (FAT), Immunopetoxidase, ELISA dan banyak lagi uji lainnya yang dapat membantu peneguhan kasus Gumboro dimaksud.

Masih jelas dalam ingatan kejadian tahun 2006, sedikitnya 500 ekor ayam mati secara mendadak di Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa. Kematian unggas di lokasi peternakan rakyat itu, diduga terkena penyakit gumboro atau flu burung. Akibatnya, puluhan peternak menjadi panik dalam dua hari terakhir, karena sebelumnya ayam mereka masih sehat, namun tiba-tiba mati.

”Ayam yang mati itu terpaksa dikuburkan massal dalam satu lubang sementara yang masih sehat, ada yang segera disembelih,” ungkap salah seorang warga Bontomarannu Rusli Kadir kepada wartawan, Juni 2006 itu.

Menurutnya, ayam yang mati tersebut umumnya ayam bukan ras (buras) alias ayam kampung. Karena itu, banyak peternak meyakini kalau ayamnya itu mati bukan karena flu burung, melainkan hanya penyakit unggas biasa yang menyerang ayamnya pada saat memasuki musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya.

Untuk memastikan hal tersebut, lanjut Rusli, pihaknya bersama Dinas Peternakan setempat sudah mengirim sampel ayam yang mati ke laboratorium peternakan yang ada di Kabupaten Maros dan ternyata hasilnya memang Gumboro, bukan Flu Burung.

”Kami sangat khawatir jangan sampai flu burung menyerang unggas di Bontomarannu. Tetapi bila diperhatikan gejalanya, kelihatannya sama dengan peristiwa di Bontonompo beberapa waktu lalu dan hasil laboratoriumnya ternyata positif penyakit gumboro,’’ ujar alumnus Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin itu.


Diagnosa yang Tepat

Dengan diagnosa yang tepat maka terbuktikan penyakit apa yang menyerang.

Pengalaman serupa juga dialami Dinas Peternakan Kabupaten Blitar mengindikasikan, puluhan ayam yang mati mendadak di Kelurahan Dandong Srengat pada 2006, akibat serangan penyakit gangguan pernafasan pada unggas yang hampir mirip Flu Burung.

Pada saat itu diungkapkan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Blitar, Drh. Hermanto Zubaidi, MM, puluhan ayam yang mati mendadak di Kelurahan Dandong Srengat, sementara diindikasikan akibat serangan penyakit gangguan pernafasan pada unggas antara lain Snot atau Coriza, Infectious Laryngo Tracheitis, dan Chronic Respiratory Disease (CRD).

Ciri-ciri yang ditunjukan serupa dengan tanda-tanda yang muncul pada Flu Burung, yakni kepala membiru dan bengkak atau disebut Sianosis. Dugaan ini muncul setelah Dinas Peternakan beberapa kali melakukan uji laboratorium.

Dari hasil sample darah ayam yang diduga terjangkit Flu Burung, tidak menunjukkan adanya titer antibodi. Dengan gamblang Hermanto menjelaskan, ketika unggas terinfeksi Avian Influensa secara alami dalam darahnya akan membentuk antibodi (kekebalan tubuh), jika antibodi tidak ditemukan maka unggas tidak terinfeksi Flu Burung. (YR, Daman Suska, berbagai sumber)

VAKSINASI, REAKSINYA DAN NUKLIR Untuk Ketahanan Tubuh Ternak

Sudah lazim dikenal masyarakat peternakan, agar ayam memiliki daya kebal sehingga terlindung dari serangan penyakit telah dilakukan usaha untuk mengatasi masalah penyakit dengan melakukan vaksinasi pada ayam, baik menggunakan vaksin aktif atau inaktif (killed).

Proses vaksinasi adalah dengan memasukkan agen penyakit yang telah dilemahkan dengan tujuan untuk merangsang pembentukan daya tahan atau kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit tertentu dan aman untuk tidak menimbulkan penyakit.

Demikian Gatut Wahyudi selaku Technical Service CP. Prima, Semarang dalam terbitan oleh Divisi Agro Feed Business Charoen Pokphand guna pelayanan oleh Customer Technical & Development Departement.


Pentingnya Reaksi Post Vaksinasi

“Reaksi yang merugikan terkadang kita jumpai sebagai akibat dari pembentukan respon kekebalan pada tubuh ayam. Reaksi yang ditimbulkan dapat berupa reaksi lokal maupun umum,” katanya.

Menurutnya, reaksi lokal adalah seperti mata berair, bengkak pada daerah muka, ayam menggosokkan mata pada punggungnya, menggoyang-goyangkan kepalanya atau terjadinya kerusakan jaringan pada daerah bekasinjeksi.

Adapun, gejala umum biasanya terjadi demam dan penurunan produksi. Pemberian vaksin ” killed bacterial” dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada bekas injeksi sebagai akibat dari reaksi adjuvant.

Gatut Wahyudi menjelaskan, pembengkakan pada daerah periorbital sering kita jumpai sebagai akibat pemberian killed vaksin coryza.

Encephalitis dan encephalopathy sering kita jumpai sebagai akibat dari reaksi setelah pemberian vaksin ND (R2B) dengan menunjukkan tanda-tanda yang khas seperti torticollis, tremors dan paralysis.

“Reaksi post-vaksin ini dapat terlihat pada hari kedua sampai enam hari setelah pemberian vaksin aktif seperti ND, IB atau IBD,” ungkapnya.

Adapun, lanjutnya, reaksi post-vaksin yang paling utama adalah munculnya penyakit gangguan pernafasan ringan dengan gejala batuk, bersin dan ngorok yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: Reaksi vaksin yang terlalu kuat

Sementara, adanya “rolling reaction” sebagai akibat dari pelaksanaan dan waktu vaksinasi yang kurang tepat, telah terjadi infeksi pada ayam yang tidak memiliki kekebalan.

”Reaksi ini berjalan sangat lambat dan terus-menerus,” tegas Gatut Wahyudi.

Ia pun melanjutkan, vaksin aktif seperti ND dan IB akan menimbulkan kekebalan setelah terjadinya reaksi pada sistim pernafasan. Tanpa timbulnya reaksi pernafasan tersebut kekebalan tidak akan terbentuk.

Pada dasarnya seberapa parah reaksi pernafasan terjadi setelah pelaksanaan vaksinasi tergantung pada:

- Level zat kebal induk. DOC dengan kekebalan induk rendah reaksi post-vaksin akan semakin jelas, tetapi akan memberikan reaksi yang positip untuk membentuk kekebalan aktif.
- Strain vaksin. Semakin kuat strain vaksin yang digunakan, reaksi yang ditimbulkan semakin kuat.
- Umur. Pada umumnya ayam muda akan memberikan reaksi yang lebih kuat.
- Dosis vaksin. Pemberian dosis yang tinggi reaksi semakin jelas.
- Aplikasi vaksin. Vaksin lewat air minum dan tetes mata reaksi yang ditimbulkan lebih lemah dibandingkan cara spray.
- Terjadinya infeksi E coli dan Mycoplasma gallisepticum.
- Kelembaban udara yang terlalu rendah.
- Adanya faktor immunosupresi. Faktor stres akan memberikan reaksi yang lebih hebat.
- Level immune yang rendah sebagai akibat jarak vaksin aktif yang terlalu jauh.
- Pelaksanaan vaksin yang ceroboh, sehingga ada beberapa ayam yang tidak tervaksin.
- Pelaksanaan vaksin aktif pada flok dengan banyak umur.
- Level amonia dan debu yangtinggi.
- Populasi kandang terlalu padat
- Kualitas liiter yang jelek.

Gatut wahyudi pun menuturkan berdasar penelitian yang dilakukan oleh Dr Avinsh Dhawale dari Diamond Hatcheries India, untuk mencari hubungan antara reaksi post-vaksin terhadap produksi ayam breeder, dapat disimpulkan bahwa :

- Perlunya mengetahui lebih dahulu level antibodi sebelum melakukan revaksinasi
- Vaksin aktif dan inaktif hendaknya diberikan secara terpisah
- Perlunya pemberian antibiotik jika terjadi infeksi mycoplasma
Dengan memperhatikan faktor apa saja yang dapat menimbulkan reaksi post-vaksinasi, kerugian yang ditimbulkannya dapat dikurangi serendah mungkin.
Gatut Wahyudi pun memberi tips beberapa tindakan untuk mengurangi reaksi post-vaksin, yaitu:
- Lakukan sterilisasi pada alat injeksi
- Jangan melakukan vaksin pada ayam yang menunjukkan gejala klinis,lemah atau dalam kondisi stres.
- Gunakan vaksin yang berkualitas baik
- Pilih DOC yang berkualitas baik.
- Kontrol populasi mycoplasma dengan menggunakan program dan preparat antibiotik.
- Lakukan penyimpanan vaksin secara benar
- Hindari kontaminsai oleh agen penyakit lainnya
- Perhatikan tanggal kadaluarsa vaksin dan diluentnya.
- Gunakan vaksin IBD strain hot hanya pada daerah yang rawan outbreakIBD.
- Pilih strain vaksin yang tepat (mild vaksin).
- Perhatikan petunjuk pelaksanaan yang ada pada setiap kemasan
- Lakukan program biosecurity


Nuklir untuk Ketahanan Tubuh Ternak

Adapun menurut Irawan Sugoro selaku Pusat Penelitian dan Pengembangan Isotop dan Radioisotop (P3TIR Badan Tenaga Nuklir Nasional) pada sebuah sumber informasi P3TIR BATAN, definisi vaksin adalah suatu suspensi mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit tetapi telah dimodifikasi dengan cara mematikan atau menatenuasi sehingga tidak akan menimbulkan penyakit dan dapat merangsang pembentukan kekebalan/antibodi bila diinokulasikan.

Terkait dengan vaksinasi ini, Irawan Sugoro mengungkapkan, BATAN sudah melakukan pemanfaatan teknik nuklir radiasi yang dilakukan di bidang peternakan terutama di sub bidang kesehatan ternak, yaitu untuk melemahkan patogenisitas penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus dan cacing.

„Litbang pemanfaatan radiasi telah menghasilkan radiovaksin, reagen diagnostik, dan pengawetan,“ katanya.

Menurutnya, radiovaksin adalah teknik pembuatan vaksin dengan cara iradiasi. Pembuatan radiovaksin memiliki keunggulan dibandingkan dengan cara konvensional, yaitu mempercepat proses pembuatan vaksin dengan memperpendek waktu pasasel.

„Selain itu, radiovaksin yang diproduksi memiliki kualitas yang sama dengan vaksin buatan secara konvensional,“ tambah Irawan Sugoro.

Ia menjelaskan, sumber radiasi yang digunakan untuk pembuatan radiovaksin adalah sinar gama yang digunakan untuk menurunkan infektivitas, virulensi, dan patogenitas agen penyakit, tetapi diharapkan mampu merangsang timbulnya kekebalan pada tubuh terhadap infeksi penyakit.

Salah satu hasil penelitian yang telah menjadi produk adalah vaksin koksivet untuk penyakit Coccidiosis, yaitu penyakit yang disebabkan oleh protozoa Emeria Sp pada usus yang mengakibatkan berak darah.

Ookista generasi 1 diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis optimum 125 Gy dan diinokulasikan ke ayam sehingga diperoleh ookista generasi II yang lemah sifat infektivitas dan patogenitasnya. Selanjutnya, ookista dari generasi II tersebutlah yang dijadikan vaksin. Vaksin ini diinokulasikan ke ayam berumur 7-10 hari sehingga ayam memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut.

Sedangkan pada ternak besar, penelitian yang dilakukan saat ini adalah upaya pengembangan vaksin terhadap penyakit ternak, seperti brucellosis dan mastitis. Selain penelitian radiovaksin penyakit ternak yang berasal dari mikroorganisme, dilakukan pula penelitian radiovaksin penyakit ternak yang berasal dari cacing, seperti Coccidiosis, Fasciolosis, dan Haemonchosis. (Infovet/ berbagai sumber)

GUMBORO, VAKSIN DAN KEKEBALAN

“Apakah ada vaksin (maksudnya: Vaksin Gumboro) yang tangguh menjadi benteng sebenarnya?” ujar Durrahman, seorang peternak ayam potong di kawasan pegunungan seribu Wonosari Yogyakarta.

Memang cukup beralasan keluhan yang bernada pertanyaan itu disampaikan Durrahman itu kepada Infovet yang ditemui di kandangnya yang relatif besar. Lokasi kandang sebenarnya cukup panas karena pepohonan meranggas di mana daun-daun pohon besar yang biasa melindungi itu rontok jika memasuki awal musim kemarau.

Sebenarnya lokasi kandang itu berada di kawasan yang kurang ideal, sekadar untuk tidak mengatakan tidak memenuhi persyaratan bagi pertumbuhan ayam potong. Aspek suhu lingkungan yang panas dan juga volume cadangan air sangat terbatas bagi usaha peternakan adalah contohnya.

Namun demikian kondisi yang sangat minimalis itu tetap tidak menyurutkan niat dan tekad Durrahman untuk berusaha menekuni usaha itu. Meski baru berjalan sekitar 3-4 tahun, namun jika dilihat dari perkembangan tingkat kesejahteraan keluarganya, maka Durrahman termasuk cukup berhasil.

“Saya mencoba menentang arus dan melawan sebagian besar pendapat para praktisi perunggasan bahwa kawasan usaha saya tidak cocok sebagai tempat beternak ayam potong,” tuturnya.

Mantan pekerja kandang ayam di Bogor yang kembali ke desanya itu mencoba usaha itu di desanya oleh karena aset yang dimiliki dan ketrampilan hanya itu.

Selepas dari Bogor meneguhkan minat dan tekadnya untuk menjadi peternak mandiri skala kecil-kecilan.

Oleh karena lokasi tempat tinggalnya yang merupakan aset utama berada di pegunungan gersang setiap kali musim kemarau menjelang, dicoba untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin.

Ketika ditanyakan kendala dan hambatan untuk mengembangkan lebih besar usahanya disamping kesulitan mendapatkan lahan yang luas dan jauh dari pemukiman penduduk juga karena ada salah satu penyakit yang selama ini masih dianggap sulit diantisipasi dan dihadapi. Penyakit itu adalah Gumboro.

Menurutnya program kesehatan seperti vaksinasi sebagaimana disyaratkan telah dilakukan dengan ketat. Oleh karena itu Durrahman mencoba menantang para pemasar vaksin untuk berani memberikan jaminan bebas gangguan selama pemeliharaan, ternyata tidak ada yang berani.

“Apakah ada vaksin (maksudnya: Vaksin Gumboro) yang tangguh menjadi benteng sebenarnya,” ujar Durrahman kepada Infovet mengulangi tantangannya setiap bertemu dengan para tenaga kesehatan lapangan.

Dan, hampir tidak ada yang berani memberikan jaminan, umumnya saran dan nasehat, nyaris seperti nasehat juragannya dahulu waktu di Bogor kepada dirinya dan pekerja kandang agar menjaga kebersihan dan terus melakukan penyemprotan.

Terkadang, lanjut Durrahman, ia mengambil sebuah kesimpulan akhir bahwa penyakit ayam sudah seperti bagian tak terpisahkan dari usaha perunggasan. Sebab atas dasar pengalamannya sebagai anak kandang hampir pasti ada gagguan penyakit dari yang ringan sampai yang ‘ganas’.

Menurutnya belum pernah sekalipun dalam satu periode yang mulus dan lolos dari sergapan penyakit.

Khusus penyakit Gumboro, memang termasuk momok dan membuat pengelola senam jantung. Sebab terkadang, menerjang ketika usia masih belum layak panen, tetapi juga paling sering ketika sudah mendekati usia panen.

“Pertumbuhan dan performans ayam sangat bagus juga harga pasar yang sedang tinggi... eee Gumboro muncul. Seolah seperti terbangun dari tidur ketika sedang mimpi indah.” ujarnya seolah menceritakan harapan yang musnah seketika.

Selama ini Durrahman mengatasi kasus Gumboro ketika usia masih awal atau muda hanya dengan pemberian air gula atau sorbitol dan parasetamol (zat aktif penurun panas) dan semprot kandang secara teruis menerus.

Pengalamannya cara itu memang tidak bisa mengatasi dengan sempurna namun mampu menekan angka kerugian yang mungkin akan jauh lebih besar jika di revaksinasi.

“Pemberian air minum yang mengandung zat manis-manis mampu menekan kematian dan munculnya kerdil sampai 30%. Selama saya menjadi anak kandang cara dan metoda itu setidaknya masih yang terbaik” tuturnya.

Kembali ia bertanya ke Infovet, apakah ada cara lain lagi selain vaksinasi yang ternyata tidak bisa menjamin 80% sakalipun apalagi 100% bisa terbebas dari gangguan penyakit Gumboro.

Bahkan yang paling memprihatinkan jika penyakit ini muncul seolah penyakit lain antri untuk ikut melemahkan ayam, sehingga tidak heran jika para peternak termasuk dirinya begitu traumatis dengan Gumboro.

Meskipun traumatis namun oleh karena kenyataan itu harus dihadapi maka setiap peternak, menurut Durrahman pasti mencoba mencari solusi sendiri atas dasar pengalaman dan improvisasi lapangan.

Seperti caranya selama ini, masih dianggap solusi terbaiknya. Pertanyaannya apakah ada pengalaman peternak lain yang lebih sukses dan mulus menghadapi Gumboro?


Kekebalan Broiler

Untuk menjawab pertanyaan dan kegelisahan peternak ini, kita mesti memahami ihwal kekebalan ternak ayam.

Sama dengan tubuh manusia, tubuh hewan juga rentan dengan gangguan bibit penyakit. Artinya diperlukan juga sistem imun yang kuat untuk menangkal berjangkitnya bibit penyakit pada tubuh ternak tersebut.

“Fungsi sistem imun sangat penting untuk kesehatan ternak terutama ayam broiler yang mempunyai batasan umur pemeliharaan,” Akademisi Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau drh Jully Handoko mengatakan.

Dikatakan alumnus Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, tujuan dari pemeliharaan ayam broiler adalah pencapaian berat badan yang optimal dengan penerapan tatalaksana pemeliharaan yang maksimal.

Berat badan ayam broiler yang optimal hanya didapat bila ternak sehat dan tidak ada gangguan bibit penyakit, artinya peternak harus mengesampingkan atau memangkas ancaman bibit penyakit yang akan menggerogoti ayam broiler peliharaannya tersebut.

Jully mengatakan pada kasus Gumboro, pada Gumboro bentuk dini akan merusak sistem kekebalan ayam secara masif. Kerusakan ini tidak akan sembuh kembali, akibatnya akan terjadi imunosupresi yang permanen pada ayam dimaksud. “Dan inilah awal kerugian yang sebenarnya pada peternak ayam broiler,” tegas Jully.

Senada dengan Jully, Drh Budi alumni FKH UGM angkatan 1980 menambahkan, imunosupresi yang dipicu oleh Gumboro juga dapat menyebabkan ayam lebih muda atau rentan terinfeksi oleh pelbagai penyakit lain dan parahnya lagi adalah tidak responnya sistem kebal yang dimiliki ayam terhadap vaksinasi untuk jenis penyakit lainnya.


Bursa Fabrisius

Sistem kebal ayam dan ternak lain merupakan sistem yang sangat komplek. Pada ayam, ada dua organ tubuh yang berhubungan dengan sistem kebal, yakni bursa dan timus.

Bursa sebagian besar berisi sel B yang berperan dalam memproduksi antibodi humoral atau yang bersikulasi, sedang timus sebagian besar berisi sel T dengan fungsi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi.

Pada masa embrio, kedua sistem ini diprogramkan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap penyakit, artinya kekebalan yang didapat sebagai akibat pernah menderita penyakit infeksi atau karena inokulasi dengan bahan-bahan penyebab penyakit yang telah diubah bentuknya.

Di samping itu, virus penyakit Gumboro tidak hanya menyerang bursa, yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kemampuan produksi antibodi humoral, tapi juga dapat menyerang timus yang akan menghancurkan kekebalan berperantara sel.

Bila infeksi terjadi sebelum ayam berumur 3 minggu maka kerusakan akibatnya bersifat permanen, sedang bila infeksi terjadi setelah ayam berumur 3 minggu, kerusakan tersebut tampaknya bersifat sementara dan sistem kebal ayam yang sembuh kembali akan berfungsi lagi dalam waktu 2-3 minggu pasca infeksi.


Antibodi Maternal

Lalu bagaimana mengatasi infeksi pada anak ayam, kembali drh Jully Handoko menegaskan bahwa anak ayam telah memperoleh antibodi pasif yang didapat dari induknya melalui kuning telur (antibodi maternal), ini dapat dilakukan dengan cara mengusahakan tingkat antibodi humoral tetap tinggi pada ayam induk atau parent stock.

Hal ini sangat efektif dalam mencegah dan melindungi anak ayam dari infeksi. “Pihak breeder tetap memegang peran penting dalam memangkas munculnya kasus-kasus penyakit akibat imunosupresi,” imbau akademisi Fapertapet UIN Suska ini.

Di samping itu, antibodi maternal tidak hanya melindungi anak ayam terhadap infeksi, tetapi juga akan menghalangi pembentukan antibodi aktif terhadap IBD.

Telah diketahui bahwa waktu paruh antibodi maternal IBD berkisar 3-4 hari, dan ayam yang memiliki antibodi maternal dengan titer yang tinggi, maka tingkat antibodi maternalnya akan berkurang jauh lebih cepat bila dibanding dengan ayam yang mempunyai titer antibodi maternal rendah.


Tindakan Pencegahan

Lalu, apa yang harus dilakukan peternak untuk mencegah infeksi Gumboro penyakit yang menurunkan kekebalan tubuh ayam ini?

Merujuk pada konsep lapang dari pengalaman peternak, drh Budi menuturkan bahwa ada 3 cara tindakan preventif infeksi dini virus Gumboro yang dapat dilakukan peternak yaitu”

1) Mencegah ayam kontak dengan virus Gumboro,
2) Memberi vaksin pada ayam induk sehingga anak ayam memperoleh perlindungan melalui antibodi maternal, dan
3) Memberi vaksin pada anak ayam dengan jenis vaksin Gumboro aktif yang non virulen.

Berulangnya kasus Gumboro di tingkat peternak lebih disebabkan oleh faktor ekonomis. Maksudnya adalah pada ayam broiler seyogyanya vaksinasi Gumboro dilakukan dua kali, namun mengingat biaya yang dikeluarkan peternak cukup tinggi, maka peternak hanya melakukannya sekali selama periode pemeliharaan.

Hal ini berdampak negatif, di mana Gumboro akan menimbulkan serangannya pada saat-saat mendekati panen. “Inilah yang perlu diwaspadai peternak,” tegas Budi yang juga menghimbau, di samping Gumboro, peternak juga mesti tetap waspada terhadap jenis penyakit lain yang juga dapat menurunkan imunitas ayam. Penyakit tersebut adalah CRD dan Koksidiosis.


Eliminir Faktor Pemicu

Sementara itu M Hadie peternak broiler di Panam pinggiran Kota Pekanbaru mengatakan bahwa dalam penanganan Gumboro diperlukan perhatian serius terhadap faktor-faktor pemicu berjangkitnya penyakit tersebut.

Lebih lanjut dikatakannya, faktor kepadatan kandang saat minggu pertama pemeliharaan perlu diperhatikan, hal ini terkait dengan tingkat stres ayam dan ini disinyalir sebagai awal petaka menurunnya daya tahan tubuh ayam dimaksud.

Sedang menurut drh Rondang Nayati MM Kasubdin Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau lebih menganjurkan pada keseimbangan gizi makanan yang dikonsumsi ayam baik broiler maupun layer.

Hal ini cukup mendasar, karena bila ayam cukup makanan dengan gizi yang baik maka ayam mampu bertahan dari serangan penyakit. Terkait penggunaan obat-obatan hewan, istri mantan Kepala Dinas Peternakan Provinsi Riau ini menegaskan harus diberikan secara hati-hati, karena ini menyangkut keamanan konsumen (food safety).


Vaksinasi dan Kekebalan

Kekebalan yang dibentuk oleh tubuh ayam ada dua yaitu kekebalan humoral atau menyeluruh, di mana zat kebal ada dalam aliran darah dan kekebalan lokal dengan zat kebal terdapat pada bagian tubuh yang pernah diserang penyakit.

Demikian Drh Muhammad Firdaus MSi Kasi Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru seraya melanjutkan, kekebalan lokal dapat merupakan senjata untuk menghadapi serangan bibit penyakit. Tapi, kemampuannya hanya dapat membunuh bibit penyakit ditempat di mana ada zat kebal, misalnya di saluran pernafasan, maka infeksi tidak terjadi pada saluran pernafasan tersebut.

Sementara, pada bagian tubuh yang lain yang tidak terdapat zat kebal, memungkinkan terpapar bibit penyakit. “Inilah bedanya dengan kekebalan humoral yang dapat menangkis serangan bibit penyakit di lokasi tubuh yang manapun,” jelas alumni pasca sarjana UNRI ini.

Vaksin merupakan mikroorganisme bibit penyakit yang telah dilemahkan virulensinya atau dimatikan dan apabila diberikan pada ternak tidak menimbulkan penyakit melainkan dapat merangsang pembentukan zat kebal yang sesuai dengan jenis vaksinnya.

Sedang vaksinasi merupakan tindakan memasukkan vaksin ke dalam tubuh ternak dan merupakan suatu usaha dengan tujuan melindungi ternak terhadap serangan penyakit tertentu.

Bagi peternak, vaksinasi sudah merupakan kegiatan rutin dalam usaha peternakannya.

Lebih lanjut dipaparkannya bahwa vaksinasi yang dilakukan peternak dengan cara tetes mata, tetes hidung, air minum dan spray akan merangsang badan ayam untuk membentuk kekebalan lokal, sedangkan pelaksanaan vaksinasi dengan injeksi atau suntikan akan merangsang pembentukan kekebalan humoral atau menyeluruh.

Pada anak ayam, aplikasi vaksinasi biasanya dengan cara tetes mata atau tetes hidung, dan kadang-kadang pemberiannya melalui suntikan bila yang jenis vaksinnya inaktif. Vaksinasi melalui air minum tidak bisa dilakukan, karena anak ayam umur 1-4 hari minumnya masih sedikit dan tidak teratur.

Pada ayam dewasa, aplikasi vaksinasi biasanya dengan tetes mata, tetes hidung, air minum dan suntikan. “Hanya melalui suntikan yang dapat memberi jaminan ketepatan dosis vaksin yang diberikan pada ayam,” pungkas Firdaus.

Anda tentu punya penagalaman yang dapat disarikan untuk sebuah langkah sukses mengatasi penyakit kekebalan tubuh ayam ini. Informasi di atas tentu dapat menjadi sebuah bandingan untuk langkah pasti dan semakin pasti! (Daman Suska, iyo)

SECUIL IHWAL GEN UNTUK KETAHANAN TERNAK BEBAS AI

Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam seleksi tadi mulai spesifik.

Demikian sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tentang budidaya peternakan.

Dituturkan, ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur.

Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat.

Menurut sumber di Menegristek itu, persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul. Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola kehidupan masyarakat dipedesaan.

Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia.

Ayam liar ini kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur murni).

Ayam semacam ini masih bisa dijumpai di tahun 1950-an yang dipelihara oleh beberapa orang penggemar ayam. Hingga akhir periode 1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan.

Namun, pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak enak dagingnya. Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya.

Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula.

Di sinilah masyarakat mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam antara telur dan daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung. Sementara itu telur ayam ras cokelat mulai diatas angin, sedangkan telur ayam kampung mulai terpuruk pada penggunaan resep makanan tradisional saja.

Persaingan inilah menandakan maraknya peternakan ayam petelur. Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur dan dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam dwiguna secara komersial-unggul.

Penyebabnya, dasar genetis antara ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh. Ayam kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya. Sehingga ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik dibandingkan ayam ras.

“Hanya kemampuan genetis (gen)-nya yang membedakan produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras itu juga berasal dari ayam liar di Asia dan Afrika,“ tegas sumber Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tentang budidaya peternakan itu.


Genetis Tahan AI

Menurut Cahyo Budiman SPt, Peneliti dan Dosen di Fakultas Peternakan IPB Bogor Jawa Barat, sejatinya karakteristik suatu individu tidak lepas dari pengaruh gen, sang pengendali sifat yang selalu diturunkan dari tetua ke anaknya.

”Seperti halnya teori probabilitas dalam statistika, maka sejatinya setiap individu punya dua pilihan untuk memiliki suatu karakteristik tertentu : Ya dan tidak,” katanya.

Dalam konteks kekebalan terhadap penyakit, maka ada dua pilihan bagi sang individu, yaitu: dia kebal terhadap penyakit tersebut (peluang pertama) atau tidak kebal (peluang kedua).

Menurut sumber yang dapat dipercaya, Cahyo Budiman mengatakan, ”Karakteristik ini (sekali lagi) dikendalikan oleh gen dalam tubuh individu tersebut.”

Ia pun menyoroti, dalam kasus penyakit flu, ada fenomena menarik dari serangkaian penelitian terdahulu mengenai karakteristik individu terhadap penyakit ini.

Menurutnya, penelitian menunjukkan bahwa kekebalan terhadap penyakit influenza dikendalikan oleh suatu gen yang disebut dengan gen Mx.

”Pertama kali fenomena ini saya dengar ketika mengikuti seminar Prof. Yoshizae Meada, seorang guru besar dari Kagoshima University, Jepang. Beliau intens meneliti mengenai karakteristik genetik pada berbagai ayam lokal di wilayah Asia,” katanya.

Diuraikan, gen ini akan mengkode dua kemungkinan karakter ayam (kebal dan tidak kebal) melalui dua alelnya, yakni Mx+ dan Mx-.

Keberadaan Mx+ akan menyebabkan sang individu mampu meproduksi protein Mx. Protein ini pada tahap selanjutnya berperan dalam pemblokiran replikasi virus AI dalam nukleus.

Alhasil, katanya, sang virus akan ‘mandul’ alias tidak mampu berkembang biak. Sebaliknya, keberadaan alel Mx- akan tidak akan mampu memproduksi protein Mx, sehingga virus AI dalam sel akan tetap berkembang biak dan melakukan aktivitas yang merusak sistem tubuh sang ayam.

”Inilah yang menjadi penyebab ambruknya ribuan ayam akibat penyakit AI,” kata Cahyo Budiman.

Ia pun menuturkan, meski di awal keberadaan gen Mx ini dideteksi pada mencit, akan tetapi penelitian-penelitian berikutnya menunjukkan bahwa hampir semua organisme memiliki gen tersebut, termasuk yeast. Tentu saja dengan frekuensi gen yang berbeda-beda.

Di kelompok unggas, gen ini pertama kali ditemukan di kelompok itik. Dimungkinkan karena frekuensinya yang tinggi, maka tidak heran banyak sekali itik yang tahan terhadap serangan virus AI ini.

Penelitian selanjutnya, gen ini juga ditemukan pada kelompok ayam. Hasil penelitian Prof. Maeda di berbagai negara Asia menguatkan hal tersebut. Dan ini merupakan titik cerah bagi mimpi kita untuk menciptakan ayam ‘kebal’ tersebut.

Singkatnya, keberadaan gen Mx dalam ayam dimungkinkan dalam dua kondisi, yakni dengan alel Mx+ dan Mx-. Kehadiran Mx- akan menyebabkan ayam rentan terhadap serangan virus AI.

Sebaliknya, Mx+ akan membuat ayam resisten terhadap penyakit tersebut. Dari sini, maka strategi pengembangan ayam yang kebal terhadap flu burung bisa dilakukan dengan menseleksi ayam yang memiliki Mx+.

”Dengan mengembangkan bibit ayam dalam kondisi Mx+ homozigot baik jantan maupun betina, maka dipastikan keturunannya pun akan berada dalam kondisi yang sama. Disinilah generasi ayam kampung kita yang kebal terhadap penyakit flu burung mulai terbentuk,” tutur Cahyo Budiman. (Infovet/ berbagai sumber)

Berputar-putar Soal Ketahanan Tubuh Ayam:Penyakit Avian Influenza Syarat Beban Kepentingan

Pembahasan tentang penyakit imunosupresif tak lepas dari peran AI yang sifatnya juga menekan kekebalan. Karena sekali saja penyakit imunosupresif ini masuk maka dipastikan membuka peluang penyakit lain untuk nimbrung dan bercokol dalam tubuh ayam hingga produksi anjlok dan menyebabkan kematian.

Ada yang menarik dari temuan Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, bahwa ada kasus unik di peternakan di daerah Jawa Tengah. Dari temuannya, Andi mendapatkan hasil PCR sejumlah sampel darah ayam petelur diketahui positif terkena AI meskipun semuanya telah divaksin AI. Anehnya seluruh ayam tersebut dari hasil rapid test kit tidak ada yang positif alias negatif AI.

Problem utama farm tersebut ditunjukkan dengan produksi telur yang hancur dari rata-rata 93% hingga tinggal 30%. Akhirnya terjadi adu pendapat pemilik peternakan yang berpegang pada hasil rapid test dengan hasil uji lab PCR yang dibawa Andi yang jelas menunjukkan ayam terserang AI subklinis.

Pertanyaannya mungkinkah vaksin AI yang selama ini digunakan sudah tidak cocok lagi dengan virus yang ada di lapangan? Haruskah rapid test kit yang sekarang menjadi andalan screening test di lapangan dievaluasi kembali?

Karena dari contoh kasus ini program vaksinasi AI jelas jebol. Apalagi diketahui bahwa peternakan tersebut menggunakan vaksin AI strain selain H5N1. Semua itu diungkapkan Drh Andi Wijanarko disela pertemuan UPPAI dengan ASOHI, Senin (20/8).

Hadir pada pertemuan itu diantaranya dari UPPAI adalah Drh Elly Sawitri, Drh Mastur Aini, dan Drh Memed Zoelkarnaen Hassan. Sementara dari ASOHI antara lain Drh Rakhmat Nuriyanto, Drh Andi Wijanarko, dan Drh Mulyati Sutandi. Infovet pun hadir berdasarkan undangan khusus.

Vaksin Legal Jebol Vaksin Ilegal Nongol

“Kondisi riil di lapangan, karena vaksin legal (yang diizinkan Pemerintah) dari subtipe H5N1, H5N2 dan H5N9 banyak yang jebol membuat peternak mencari jalannya sendiri-sendiri dengan cara menggunakan vaksin ilegal. Dengan cara coba-coba mereka menggunakan vaksin-vaksin ilegal tersebut.

Salah satu contoh yang dikemukakan Andi ada yang berasal dari Cina dengan subtipe yang tidak jelas. Sebagai contoh ditemukan dilabelnya tertulis subtipe H5N1 dan H9N2 namun isinya tidak jelas karena tidak teregistrasi dan tidak melalui pengujian di BBPMSOH.

Lebih jauh, kata Andi, begitu dengan vaksin ilegal tidak ditemukan masalah dikandang (produksi anteng), peternak merasa cocok dan akhirnya informasi ini disebarluaskan ke rekan-rekan peternak yang lain, karena biasanya mereka beternak secara kelompok.

Dari pengamatan Andi, sekarang peternak lebih banyak menggunakan vaksin ilegal daripada yang legal. Sebagai contoh di daerah Jawa Tengah, penggunaan vaksin ilegal tersebut hampir merata di wilayah Semarang, Boyolali dan Salatiga. Mayoritas penggunanya adalah peternak petelur karena broiler tidak divaksin AI. Hal ini pun dibenarkan Drh Rakhmat Nuriyanto (PT Pyridam) dan Drh Mulyati Sutandi (PT Romindo Primavetcom).

Menjawab pertanyaan Drh Mastur Aini (UPPAI) apakah vaksin ini didatangkan dalam jumlah besar? Andi menjawab, dilihat dari jumlahnya yang besar dan cakupan wilayah sebarannya yang luas bisa dikategorikan penyelundupan vaksin ilegal ini berskala besar. Disinilah tugas Departemen Pertanian bersama Badan Karantina untuk mengevaluasi sistem pengawasannya.

Kondisi ini tentu bisa mengacaukan program vaksinasi nasional dan membahayakan karena semakin memperbesar peluang terbentuknya varian virus AI baru yang lebih berbahaya.


Ketegasan Pemerintah

Menurut Andi di sinilah dibutuhkan ketegasan pemerintah tentang jenis vaksin AI yang boleh digunakan di Indonesia. Apakah itu homolog atau heterolog? Karena diketahui per 7 Oktober 2007 nanti Pemerintah telah menetapkan tidak akan lagi merekomendasikan penggunaan vaksin jenis H5N1 dengan alasan faktor keamanan bagi ternak dan manusianya sesuai dengan rekomendasi OIE.

Meskipun begitu sikap Pemerintah dinilai masih mengambang karena hasil Rapat Nasional tentang Vaksinasi AI di Indonesia yang beberapa waktu lalu digelar 11-12 Juni lalu dengan menghadirkan pakar vaksin AI dari dalam dan luar negeri belum juga menghasilkan rekomendasi yang bisa digunakan untuk menentukan kebijakan jenis vaksin dan strategi lanjutan apa yang akan digunakan ke depan.

Sementara hingga berita ini diturunkan (21/8), dipastikan oleh Drh Elly Sawitri Koordinator UPPAI baru pada minggu keempat di bulan Agustus lalu dilakukan pertemuan untuk memastikan langkah ke depan oleh pakar dari UPPAI dan Komisi Ahli.


Master Seed, Standar Uji, dan Akreditasi Lab

Ibarat setali tiga uang dengan vaksin, master seed serta standar uji dan diagnosa laboratorium yang ada juga masih tumpang tindih. ASOHI juga telah memberikan masukan tentang hal ini ditambah dengan upaya untuk meningkatkan kualitas dan akreditasi laboratorium daerah untuk pengujian sampel AI. Demikian diungkapkan Drh Rakhmat Nuriyanto.

Drh Andi Wijanarko menuturkan, “Dilematisnya saat ini kita disarankan menggunakan vaksin selain H5N1 tetapi antigennya tidak diperkenankan datang. Kalaupun boleh datang harus teregristrasi dulu seperti layaknya mendatangkan vaksinnya. Sehingga yang ada kini dilapangan bila vaksinnya H5N2 atau H5N9 diujinya menggunakan antigen H5N1. Hasilnya tentu kita tidak bisa mendeteksi hasil vaksin dari H5N2 tersebut.”

Sementara Drh Mastur Aini menengahi, sifat virus AI yang cepat berubah menuntut dilakukannya uji tantang terhadap vaksin yang beredar saat ini. Hal itu dilakukan untuk memastikan vaksin yang digunakan masih berpotensi menangkal AI atau tidak. Diharapkan dengan rampungnya pembangunan laboratorium BSL 3 yang ada di Balitvet di akhir tahun 2007 ini hal itu bisa dilaksanakan.

Menurut Drh Elly Sawitri, pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas dan standar laboratorium daerah untuk pengujian sampel AI. Di antaranya dengan pelatihan sumber daya dan bantuan infrastruktur dari pemerintah Cina berupa 5 unit mesin RT-PCR yang akan digunakan untuk laboratorium pemerintah tipe B.

“Bantuan ini dimanfaatkan untuk memperkuat jejaring lab dalam pengujian vaksin dan virus AI. Jejaring Lab ini rencananya juga akan mengikutkan laboratorium yang dimiliki universitas,” kata Elly.

Selain penguatan infrastruktur, metode standar pengujian vaksin di setiap lab juga harus diseragamkan. Karena kenyataan dari pengalaman Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, dengan vaksin yang sama di uji di lab milik pemerintah yang berbeda justru menunjukkan hasil yang berbeda.

Apalagi setelah diuji di laboratorium swasta hasilnya semakin tidak karuan karena jauh berbeda dengan hasil sebelumnya. Kondisi ini tentu membingungkan terlebih karena hasil uji pertama dari vaksin tersebut menggunakan laboratorium rujukan milik pemerintah. Disinilah perlunya setiap laboratorium pengujian itu diakreditasi agar hasilnya nanti sesuai dengan standar yang berlaku.


Pergeseran Gejala AI

Drh Andi Wijanarko menuturkan, “Saat ini untuk diagnosis AI telah mengalami pergeseran. Ayam yang terserang AI tidak lagi menunjukkan gejala jengger ungu dan perdarahan di organ dalam. Namun kini gejalanya lebih mirip ke Newcastle Disease (ND) yaitu timbulnya tortikolis yaitu kepala melintir ke belakang selama beberapa hari dan kemudian mati. Sementara ayam yang menunjukkan gejala tersebut setelah divaksin ND tetap tidak ada respon.”

Andi melanjutkan, ada juga yang menunjukkan gejala seperti Gumboro, namun setelah diberi air gula malah yang mati tambah banyak. Setelah diambil sampel darah dan uji PCR ternyata positif AI. Sehingga peneguhan diagnosa dilapangan sudah sepatutnya disesuaikan karena tak selamanya tortikolis menunjukkan ND tetapi bisa juga AI. Atau yang lebih parah ND merupakan infeksi sekunder atau sebaliknya mengingat baik ND atau AI merupakan penyakit yang menekan kekebalan alias imunosupresi. Menurut Andi kasus ini banyak ditemukan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dan temuan ini bisa dimanfaatkan TS-TS (technical services) lain untuk lebih mengenal diagnosa AI.

Seperti diulas di awal tadi, meskipun baru hanya satu contoh kasus sudah selayaknya penggunaan rapid test yang direkomendasikan pemerintah perlu dievaluasi lagi. “Pemerintah juga rencananya akan menggunakan metode cepat lain untuk screening test selain menggunakan rapid test yang kini telah beredar dimasyarakat. Yaitu menggunakan test kit lain yang lebih murah dan mudah semacam pengujian dengan kertas lakmus tertentu,” ungkap Drh Mastur Aini yang dibenarkan Drh Elly Sawitri.

Hal ini terpaksa dilakukan karena peneguhan diagnosa dengan isolasi itu relatif mahal, untuk satu sampel pengujian dengan PCR dipatok harga Rp 350 ribu di pasaran.


Menunggu Kepastian dari Pemerintah

Pelaku industri obat hewan baik yang punya vaksin AI atau pun tidak menunggu sudah pasti menunggu kejelasan pemerintah tentang master seed yang akan digunakan. Karena ketidakjelasan ini akan menyulut perdebatan antar produsen berbagai penyakit terlebih setelah peneguhan diagnosa dengan visual tidak bisa lagi diandalkan karena gejala AI yang hampir mirip dengan penyakit lainnya seperti ND dan Gumboro.

TS pun sering memanfaatkan kondisi ini untuk mendongkrak penjualannya obat, vitamin atau vaksinnya. Misalnya mengkaitkan dengan kandungan aflatoksin di pakan atau kualitas bibit yang jelek.

Ada kasus lain yang menarik seperti dicontohkan Drh Andi Wijanarko. Ada satu peternakan di daerah Blitar yang tidak pernah melakukan vaksinasi AI sementara farm tetangganya bolak-balik terkena AI. Padahal biosekuriti yang diterapkan peternakan tersebut terkesan seadanya. Begitu dicoba diambil titernya ternyata zero AI dan memang bersih dari AI. Ini yang membuat Andi geleng-geleng kepala.

Dari penuturan si empunya farm dia mendapat bantuan dari pembimbing spiritualnya yaitu seorang Kyai yang disegani sehingga usahanya bebas dari penyakit AI, boleh percaya boleh tidak tapi memang begitu kenyatannya.

Ini menarik minat Drh Mastur Aini untuk mempelajari epidemiologi wilayah tersebut karena secara teoritis hal itu mustahil kecuali memang kalau diwilayah itu tidak ditemukan vektor yang bisa membawa virus tersebut berpindah tempat.


Kontroversi Vaksin AI Tetes

Sementara itu narasumber Infovet dalam suatu waktu mempertanyakan kepada pemerintah tentang penggunaan vaksin AI killed yang aplikasinya melalui tetes mata. Apakah vaksin tersebut masih riset atau sudah untuk diperjualbelikan? Karena di pasaran ada oknum yang memasarkan program vaksinasi ini

Mengkonfirmasi temuan tersebut pada pertemuan dengan UPPAI di atas, Mastur dari UPPAI menjawab kalau memang untuk vaksinasi pertama, memang bisa digunakan vaksin killed tanpa adjuvant namun itu pun tetap harus dengan suntik.

“Namun inipun masih dalam tahap penelitian belum sampai pada uji lapang. Dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dan laboratorium,” tegas Mastur.

Adapun Elly menambahkan, yang pasti vaksin jenis ini belum teregistrasi di BBPMSOH dan kalau belum teregistrasi berarti masih ilegal. Di sinilah AI menjadi penyakit politis karena banyak kepentingan yang terlibat disini. Tak ayal keilmuwan seseorang bisa dipertaruhkan demi kepentingan bisnis.

“Setiap pakar penyakit/vaksin pasti mahfum dan dari disiplin ilmu kedokteran hewan sudah jelas bahwa untuk mengatasi satu jenis penyakit akibat virus harus menggunakan vaksin dari virus itu sendiri. Artinya bila yang menyebabkan H5N1 maka vaksin yang digunakan juga harus H5N1 dari strain lapangan,” komentar Andi.

Kasarnya bisa dikatakan menggunakan vaksin AI H5N1 strain lokal dengan master seed yang sudah tidak sesuai dengan virus lapang saja masih jebol apalagi menggunakan vaskin subtipe lain yang belum tentu sesuai dengan virus lapang kita.

“Karena sifatnya yang mudah bermutasi maka master seed yang digunakan juga harus dievaluasi minimal setahun sekali untuk memastikan vaksin yang digunakan masih sesuai dengan virus lapang. Selain dari strategi vaksinasi perlu dikuatkan dengan restrukturisasi tata ruang perunggasan, sehingga bila terjadi outbreak lebih menangani dan melokalisasinya,” ujar Mastur Aini. (Infovet)

Lahirnya Ilmu Gangguan Kekebalan

Kesehatan ternak merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan produksi ternak, karena produktivitas yang tinggi hanya dapat dicapai secara optimal apabila ternak dalam keadaan sehat.

Oleh karena itu diperlukan pengontrolan terhadap aspek kesehatan yang merupakan prasyarat tercapainya target produksi yang optimal. Namun untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah mudah.

Hal ini disebabkan masih terdapatnya beberapa kendala mendasar berupa penyakit, salah satunya adalah penyakit karena adanya gangguan kekebalan tubuh atau immunosupresi, demikian dikatakan drh Muhammad Firdaus MSi Kasi Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.

Menurutnya, immunosupresi merupakan perubahan reaksi kekebalan dalam keadaan negatif, sehingga tubuh ternak mempunyai reaksi yang kurang terhadap bahan asing. Artinya immunosupresi dapat memicu munculnya berbagai jenis penyakit pada ternak. Pada broiler sebaiknya kasus immunosupresi dihambat kemunculannnya, sehingga kerugian akibatnya dapat dihindarkan.


Ilmu Tersendiri

Immuno atau imunologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang reaksi spesifik dari jaringan hidup terhadap benda asing seperti mikroorganisme dan produk mikroorganisme atau protein asing.

Pada awal abad 15 para ilmuwan telah mulai meneliti tentang bagaimana mengaktifkan imunitas dengan memasukan zat tertentu ke dalam tubuh. Pada masa itu pernah dicoba menginokulasikan bahan-bahan dari parut penderita cacar kepada orang sehat, namun sayang hasilnya kurang memuaskan.

Baru pada permulaan abad 16, Edward Jenner pertama kali memperhatikan bahwa seorang yang telah terjangkit cowpox jarang sekali terkena smallpox. Namun baru tahun 1796 ia mencoba menginfeksi seorang anak yang telah terserang cowpox dengan virus smallpox.

Ternyata kekebalan yang didapat dari penyakit terdahulunya itu mempunyai daya yang cukup melindungi terhadap smallpox. Kemudian pada tahun 1879, Louis Pasteur melakukan penelitian pada ayam. Pada hewan tersebut diinjeksikan kultur kuman kolera ayam yang telah mati.

Beberapa hari kemudian diinjeksikan lagi kuman kolera yang masih aktif. Dan lagi-lagi didapati bahwa ayam-ayam tersebut tidak terinfeksi. Teknik kedua ilmuwan ini untuk memperoleh kekebalan terhadap penyakit tertentu itu, kini disebut sebagai vaksinasi.

Penelitian Edward Jenner dan Louis Pasteur tersebut merupakan titik awal berkembangnya bidang imunologi secara saintifik. Kajian tentang immuno terus dilanjutkan. Adalah Paul Ehrlich yang menemukan teori imunitas humoral.

Teori ini menekankan peran antibodi, yaitu protein yang dihasilkan oleh sel-sel dan dibebaskan ke dalam darah sebagai agen utama imunitas. Kemudian Elie Metchnikoff mengemukakan teori imunitas seluler, dimana fagositlah yang memainkan peran utama mengenyahkan benda asing termasuk organisme infeksius.

Atas jasa-jasanya ini, kedua ilmuwan asal Rusia ini memenangkan hadiah nobel dibidang fisiologi dan medicine tahun 1908.

Lalu bagaimana dengan dunia kesehatan hewan? Itulah yang dibahas liputan Fokus Infovet edisi ini. (Daman Suska)

Giliran Pencerahan Bidang Kita?

Upaya memperbaiki diri pantas untuk terus dilakukan dalam kondisi apapun. Terlebih ketika kita dalam kegelapan permasalahan yang sepertinya tidak dapat kita atasi persoalannya! Sebaliknya mungkin ada di antara kita yang merasa sedang dalam kondisi nyaman, tenang, mapan: pada saat bersamaan ketika orang lain merasakan ada masalah dan butuh perbaikan.

Akar dari sikap kritis yang terus dilakukan dari waktu ke waktu mempertanyakan kemapanan, terus terpelihara, pada masanya pasti akan menemukan muara: Pencerahan itu sendiri. Soal ini kita ‘harus’ belajar dari sejarah pencerahan dunia dengan bibit kritis pada abad 6 Masehi, terus-menerus melakukan ‘perlawanan’ pemikiran dari abad ke abad hingga lahir Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment/ Inggris, Aufklaerung/ Jerman, Siècle des Lumières/ Perancis) pada abad 16, 17 dan 18 yang melahirkan revolusi-revolusi ilmu pengetahuan yang merubah banyak sekali kehidupan di dunia hingga kita sekarang tinggal menikmatinya dengan berbagai penggunaan teknologi secara akrab dalam berbagai kehidupan sehari-hari.

Definisi tentang pencerahan yang diakui sebagai salah satu definisi yang mencerminkan mentalitas zaman itu adalah definisi Immanuel Kant yang diterbitkan tahun 1783 bahwa: “Pencerahan adalah jalan keluar manusia dari ketidakdewasaan yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain. Ketidakdewasaan ini adalah akibat kesalahannya sendiri, jika penyebab ketidakdewasaan itu tidak terdapat pada kurangnya akal, melainkan pada ketetapan hati dan keberanian untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain. Sapere aude! Milikilah keberanian untuk menggunakan akalmu sendiri! Adalah semboyan pencerahan.”

Apakah betul semangat pencerahan itu yang tampak pada upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam menghadapi masalah-masalah peternakan dan kesehatan hewan? Sekalipun belum total, tampaknya menang ya, setidaknya ada semangat itu. Dan kita patut bersyukur sebagai kelanjutan dari musibah-musibah yang beruntun terjadi. Masalah-masalah Anthrax, Flu Burung, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), bahkan impor MBM-MDM (Meat Bone Meal- Meat Deboned Meal) yang memberi jalan BSE (Penyakit Sapi Gila) mengancam masuk ke bumi Nusantara.

Tumpang tindihnya upaya penanganan AI (Flu Burung) antara kebijakan-kebijakan dunia kehewanan (Departemen Pertanian) dan dunia kesehatan manusia (Departemen Kesehatan) pada masanya menemukan tanda tanya besar: Siapakah sesungguhnya yang punya otoritas (Kewenangan) untuk mengatur penanganan Flu Burung pada bidang peternakan, kehewanan, yang sudah mendapat penetrasi oleh Menteri Kesehatan dengan pernyataan-pernyataan dan kebijakan-kebijakannya.

Pada saat inilah makin terasakan oleh kaum dokter hewan Indonesia untuk menguliti sektor kebijakan kehewanan, kesehatan hewan, veteriner, dari masa ke masa sejak sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Semula Undang-undangnya dengan nama Belanda yang susah dieja dan dimaknai oleh orang kita, namun artinya sekitar lembaga yang mengurusi penyakit hewan. Atas campur tangan pemerintah, lembaga bernama belanda itu dikenal dengan peng-Indonesia-annya: Jawatan Kehewanan, yang punya ruang lingkup kewenangan Veterinaire Politie, Ordonantie & Staatsblad. Namun perlu diingat sebetulnya lembaga ini bernama asli bahasa Belanda yang intinga lembaga yang menangani penyakit hewan.

Selanjutnya dengan lahirnya UU No 6/1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (juga dikenal oleh umum secara lisan dengan pengistilahan UU Kehewanan). Pada tahun 1968, Jawatan Kehewanan sebagai lembaga yang sebetulnya beruang lingkup penanganan penyakit hewan itu menjadi: Direktorat Jenderal Peternakan.

Perkembangan selanjutnya lingkup kesehatan hewan sangat jauh tertinggal dibanding lingkup Peternakan. Jumlah dokter hewan kalah jauh dibanding jumlah sarjana peternakan. Kondisi ini cocok dengan kebutuhan saat peternakan menjadi tulang punggung pembangunan peternakan yang membutuhkan penggunaan sumber daya hewani dari ternak. Sementara perkembangan terakhir, banyak kasus penyakit hewan yang tidak cukup hanya memposisikan bidang kesehatan hewan di bawah koridor peternakan.

Maka muncul kesadaran kaum kedokteran hewan untuk memposisikan otoritas penanganan bidang kesehatan hewan itu pada tempat yang wajar dan tepat. Puncaknya, sampai tulisan ini dibuat, adalah dengan berkumpulnya para dokter hewan di Jakarta, untuk membahas usulan Rancangan Undang-Undang Veteriner Republik Indonesia pada 19 Oktober 2007.

Kita akan melihat, apakah “Pencerahan” kali ini akan memisahkan bidang veteriner (kesehatan hewan) dari bidang peternakan dan kesehatan hewan yang selama ini menyatu dalam UU No 6 Tahun 1967? Seperti hanya gerakan pencerahan di Perancis yang memisahkan filsafat dari teologi dan memisahkan ilmu sosial dari filsafat?

Adapun yang paling penting dalam pencerahan bidang kesehatan hewan dan peternakan adalah juga memenuhi optimisme pencerahan dalam pandangan filsuf Zaman Pencerahan Jerman Abad 17-18 Giambattista Vico, Condorcet dan Johann Gottfried von Herder: “… secara linear menghasilkan kemajuan-kemajuan bagi kesejahteraan umat manusia dan emansipasi manusia dari segala bentuk kebodohan..”

Akhirnya, seperti kata Fisiokrat Perancis Abad Pencerahan Abad 18 Francois Quesnay dan Jaques Turgot bahwa: “Kemajuan ekonomi dan kemakmuran sebuah masyarakat tidak turun dari langit, melainkan diperjuangkan oleh manusia dengan memahami hukum-hukum yang mengatur proses-proses ilmiah,”… maka: di sinilah peran usaha untuk melakukan Pencerahan di Bidang Kesehatan Hewan dan Peternakan, bidang kita. (Yonathan Rahardjo)

DARI LUMPUR LAPINDO SAMPAI PENYAKIT PENCERNAAN TERNAK

Sebagai Majalah yang mengedepankan laporan berdasarkan kondisi lapangan terkini berbasiskan disiplin ilmu pengetahuan kedokteran dan kesehatan hewan secara ketat untuk kepuasan pembaca, Infovet sungguh-sungguh mempertimbangkan berbagai informasi yang sedang aktual.

Kali ini kita menganggap bahwa kasus penyakit pencernaan ayamlah yang patut diangkat, tepat sesuai dengan prediksi yang telah dijadikan pedoman bagi Infovet untuk penentukan topik fokus Infovet Juni 2007.

Berdasar pola pikir deduktif dari berbagai informasi yang masuk sampai akhirnya kita angkat pembahasan itu, kita akan mengawali dengan melihat kondisi peternakan pada beberapa wilayah, lalu masuk pada pembahasan penyakit pencernaan itu sendiri.

Masyarakat Peternakan/Keswan Korban Lumpur Lapindo

Kita mulai dari perjalanan Infovet awal Mei 2007 masuk wilayah gurun lumpur panas Lapindo Porong di Sidoarjo Jawa Timur. Dari Surabaya, Infovet menuju Sidoarjo terus ke arah Malang lewat Porong. Masuk wilayah Lapindo, dari kejauhan sudah terlihat awan putih bergulung-gulung. Bau anyir, asam, tajam menyengat hidung.

Infovet turun kendaraan, berjalan menyisir tepi jalan melihat lahan dan tepi jalan, rel, halaman rumah, kebun yang dipenuhi lumpur yang menggenang dan sudah mengering. Baunya sangat menyengat tajam cukup mengganggu pernafasan sehingga seringkali harus mendengus dan tutup hidung.

Sampai di sebuah jalan masuk di sebelah kiri, Infovet lihat gurun pasir dan rumah-rumah tertutupi lumpur kering dan basah. Jalan yang sudah mengguung dan kering itulah jalan masuk Infovet masuk wilayah korban Lumpur Lapindo yang ganas sejak pertengahan 2006 lalu.

Menyusuri jalan itu, di kiri kanan rumah sudah terendam lumpur, kosong penghuni, kosong barang. Semua sudah merubah kediaman penduduk menjadi lahan tak bertuan dengan kerusakan rumah dan berbagai bangunan. Lumpur yang telah mengering itulah yang menjadikan wilayah ini sudah seperti gurun tandus! Penduduk sudah pindah semua dengan buntut pertentangan soal ganti rugi yang berkepanjangan sampai sekarang.

Infovet pun teringat cerita teman-teman dari PT Romindo Primavetcom yang bersama Infovet melakukan perjalanan 4 hari ke Thailand dalam rangka pameran akbar peternakan VIV di Bangkok Maret 2007.

Dari cerita itu, tahukah pembaca bahwa ada dari kalangan kita, masyarakat peternakan dan kesehatan hewan yang menjadi korban keganasan kesalahan manajeman pengelolaan alam itu.

Adalah Drh Endri Yoga dari PT Romindo Primavetcom Surabaya Jawa Timur merupakan salah satu korban Lumpur Panas Lapindo Sidoarjo. Selain dia, juga ada sopir dan pegawai administrasi yang menjadi korban.

Karena musibah itu sudah tentu cukup mengganggu aktivitasnya. Namun secara umum kinerjanya tetap bagus. Kondisinya menjadi cukup terkendalikan. Sebab, banjir lumpurnya bukan datang mendadak, sehingga semua barang masih bisa diselaatkan. Alumnus FKH UGM yang sudah bekerja di PT Romindo selama kurang lebih 6 tahun itu mendapat ganti rugi tanah/ rumah.

Gambaran adanya korban lumpur Lapindo dari masyarakat peternakan dan kesehatan hewan itu membuka pola pikir: kesalahan pengelolaan lingkungan pasti berimbas pada kehidupan pribadi-pribadi, manusia-manusia dan makhluk-makhluk lain yang tentu juga memunculkan berbagai penyakit yang menyerang. Bukankah mekanisme manajamen kesehatan adalah meliputi sisi penyakit, lingkungan, dan unsur lain termasuk pakan dan pengobatan.

Peternakan Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Medan

Wilayah bencana lumpur kesalahan manajemen lingkungan di Porong Sidoarjo adalah wilayah urat nadi perjalanan dan bisnis peternakan dan kesehatan hewan. Di sinilah berbagai perusahaan hewan juga harus menghabiskan anggaran ekstra untuk terhambatnya perjalanan dalam memasok sarana produksi peternakan ke peternak-peternak di wilayahnya.

Salah satunya adalah Drh Rosjid, Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Wilayah Surabaya, Malang, Bali dan Gresik Jawa Timur yang mengalami langsung permasalahan itu. Pasokan obat hewan dari Surabaya ke Malang dan sekitarnya jelas harus melewati daerah bencana ini! Padahal wilayah Jawa Timur adalah wilayah sangat berpotensi sebagai salah satu kantong peternakan nasional.

Bandingkan kondisi ini dengan wilayah kerja Drh Toto Purwantoro Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Cabang Jawa Tengah, yang wilayah kerjanya meliputi semua wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Wilayah Drh Toto dibagi menjadi 5 area. Area Purwokerto-Tegal banyak peternakan ayam pedaging. Area Semarang banyak peternakan ayam petelur dan pedaging dengan pola kemitraan, berlanjut Pekalongan-Pati dan sekitarnya. Area Solo dan sekitarnya banyak peternakan ayam petelur. Area Yogyakarta dan sekitarnya banyak peternakan ayam pedaging. Adapun area Magelang dan sekitarnya banyak peternakan ayam pedaging.

Meskipun ada area-area kerja, batas wilayah kerja bukanlah batas negara yang kaku. Bila di daerah perbatasan ada yang membutuhkan pelayanannya, tidaklah tabu untuk juga memasok dan melayani. Apalagi bilamana peternak yang bersangkutan menyatakan membutuhkan pelayanannya. Sudah tetu dengan pemberitahuan dan saling pengertian dengan wilayah terkait, mengingat peternak berhak memilih siapa yang melayani kebutuhannya.

Jelas, untuk melintas wilayah-wilayah kerja ini butuh infrastruktur transportasi dan jalan-jalan yang memadai. Dan itulah yang menjadi hambatan utama dengan kasus melubernya lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang memutus jalan dari Surabaya ke daerah timur dan selatan Jawa Timur seperti yang dialami oleh tim Drh Rosjid tadi.

Namun apapun, masalah transportasi yang terhambat itu harus dapat diatasi. Meski dampaknya juga ke perdagangan dan bisnis sangat terganggu, toh tetaplah usaha peternakan dan kesehatan hewan berkembang dan dibutuhkan. Sebab, selama manusia hidup tetap membutuhkan protein hewani asal ternak yang menjadi komoditas utama bidang kita.

Sikap menyiasati segala kondisi ini sangat butuh pemetaan wilayah tentang kondisi setempat, baik terhadap peternak maupun pola peternakannya. Bersama Drh Rachmat Novyardi Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Pare-Kediri Jawa Timur, Drh Rosjid mengungkapkan bahwa pada peternakan di wilayah mereka terdapat perbedaan sikap antara peternak generasi pertama dan peternakan generasi kedua.

Menurut mereka, sikap peternak generasi tua (pertama) adalah lebih mempertahankan kebiasaan. Sedangkan peternak generasi kedua (kedua) lebih terbuka terhadap pembaruan dan perubahan. Peternak di wilayah itu rata-rata tidak takut takut menghadapi AI. Meski pola bersikap orang berubah setelah kasus AI, melingkupi soal kesehatan dan lain-lain. Berbeda dengan sikap sebelumnya yang lebih diam dan tertutup.

Adapun pada peternakannya sendiri, dibandingkan kondisi sebelumnya, kondisi pada kandang, pemborong, konstruksi tetap. Bandingkan dengan kondisi peternakan di Medan yang menurut Drh Leonardo Sinaga Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Medan Sumatera Utara kondisinya adalah didominasi kandang kawat. Di Medan Sumatera Utara, kandang bambu tidaklah ada. Menurut Drh Leo, dominasi kandang kawat ini adalah karena hitungan ekonominya lebih kuat.

Memang lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Perbedaan kondisi peternakan antar daerah ini juga tampak pada selera masyarakat dalam membeli hasil produksi peternakan. Berbeda dengan peternak di daerah Jawa Timur yang hitungan pembelian telur berdasar kilogram, Drh Leo mengutarakan perhitungan harga telur di Medan bukanlah per kilo tapi per butir. Ada telur yang kecil, telur sedang, dan telur besar. Ada yang ambil semua, diperbolehkan. Ambil kecil semua pun boleh, tergantung selera.

Bagaimana perbedaan generasi dulu dengan generasi peternakan di bidang manajemen? "Tidak berbeda nyata," jawab Drh Rosjid dan Drh Rachmat. "Dulu dan sekarang manajemennya sama-sama diterapkan oleh keluarga sendiri. Soal perbedaan populasi, tidak ada beda jumlah populasi," jelas mereka.

Peternakan-peternakan di wilayah Penuturan Drh Rachmat Novyardi yang wilayahnya meliputi daerah Kediri, Pare, Madiun, Magetan, Ponorogo, Nganjuk, Jombang, Kertosono sampai dengan daerah ujung timur daerah Jawa Tengah, skalanya relatif kurang sebesar peternakan wilayah Blitar yang merupakan pusat peternakan nasional!

Rata-rata peternakan di wilayah ini dimiliki oleh Poultry Shop dan peternak kecil, yang kondisinya relatif sensitif, dan pada saat krisis moneter banyak yang mengalami gulung tikar. Adapun peternakan di Blitar, meski jumlah peternaknya sedikit namun populasinya besar-besar. Rata-rata peternak di sini adalah peternak besar. Bagi peternak ini, harga lebih sensitif. Jenis peternakannya banyak yang peternakan ayam petelur.

Berbeda dengan peternak ayam pedaging yang merupakan peternak baru, menurut Drh Toto, peternak ayam petelur ini umumnya adalah peternak lama yang sudah banyak makan asam garam.

Kasus Penyakit Ayam di Daerah-Daerah Itu

Setelah kasus AI dan IB yang dilaporkan Infovet yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan, munculnya Kholera ayam di beberapa tempat juga disebutkan oleh narasumber Infovet di Surabaya Jawa Timur. Di antaranya juga oleh Drh Prabadasanta Hudyono dari PT Multibreeder Adirama Indonesia.

Hal yang sama juga dilaporkan oleh Drh Agus Damar Kristiyanto Kepala seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom di Tangerang Banten baru-baru ini, pertengahan Mei 2007. Kasus penyakit ayam di Tangerang Banten pertengahan Mei 2007, menurut Drh Damar, adalah Kolibasilosis dan Kholera.

Sedangkan menurut Drh Sigit, Kepala Penjualan PT Romindo Promavetcom Cabang Bandung Jawa Barat, kasus rancunya jelasnya gejala klinis pada ayam petelur dengan penurunan produksi cukup mewarnai. Menurutnya, ada yang bilang itu adalah penyakit IB (Infectious Bronchitis) atau AI (Avian Influenza).

"Ya, kasusnya tepat seperti yang dilaporkan oleh Infovet pada edisi Mei 2007, munculnya IB dan juga AI," kata Drh Sigit menjawab pertanyaan Infovet.

Dalam hal ini Drh Toto Purwantoro juga menambahkan bahwa kasus-kasus yang acap muncul di wilayahnya di Jawa Tengah-Yogyakarta adalah AI, ND, Gumboro, yang menjadi tantangan bagi petugas teknis pelayanan obat hewan untuk tidak sekedar membawa obat ke peternakan tapi langsung membawa dan menerapkan obat ke tubuh hewan.

Drh Sigit mengungkap, kasus penyakit di daerahnya (Bandung Jawa Barat) yang menunjukkan berbagai tafsiran tersebut bukanlah Kholera. Hal itu jelas dari gejala klinis dan pemeriksaan pasca bedah bangkai.

Dan, menurut Drh Sigit, suatu kasus dianggap Kholera atau bukan sangatlah mudah untuk menentukan. Bila diobati dengan antibiotik tidak segera sembuh, sudah pasti penyakit itu bukanlah penyakit bakterial, sedangkan Kholera disebabkan oleh bakteri!
Adapun Drh Mahmud Kepala seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom Sukabumi Jawa Barat mengungkap bahwa Pebruari 2007 memang muncul kejadian penyakit dengan indikasi Avian Influenza, namun pihaknya saat itu belum berani mengungkapkan bahwa itu betul-betul AI.

Gejala Klinisnya pial ayam biru, namun pada ayam pedaging tidak kelihatan. Adapun pola kematiannya tinggi. Dalam beberapa hari terjadi kematian. Dalam sehari angka kematian mencapai 5 persen.

Untuk pemeriksaannya dilakukan sampai beberapa kali juga untuk pemeriksaan ND, namun dari sekian ada yang positif AI. Banyak ayam yang kedapatan mati.

Kembali ke Jawa Timur, awal Mei 2007, Drh Rachmad Fadillah petugas pemasaran dari PT Wonokoyo Jaya Corporindo wilayah Magetan mengutarakan bahwa kasus penyakit yang terkait dengan air tidaklah begitu bermasalah. Kasus penyakit pencernaan menjadi tidak terangkat ke permukaan. Sebaliknya yang menjadi masalah adalah perubahan cuaca yang cukup membuat ayam stres.

Jelas ada perbedaan kasus antara satu peternakan dengan peternakan lain, satu wilayah kerja dengan wilayah kerja lain, satu daerah dengan daerah lain. Peta penyakit peternakan sekarang jelas berbeda dengan kasus AI yang meledak dan merata di hampir semua propinsi di Indonesia.

Kasus massal penyakit AI menjadikan informasi kasus untuk dilaporkan kepada pembaca menjadi sangat mudah didapat bahkan karena sangat banyaknya bahkan kalngan pers menjadi sangat kebanjiran informasi. Sebaliknya kasus yang sekarang redaksi mesti lebih tajam dalam membau peristiwa dan fakta, sehingga apa yang dilaporkan menjadi sangat bermanfaat bagi pembaca.

Dari kasus yang sedang terjadi, akan sangat mempengaruhi bagaimana peternak bersikap terhadap pemenuhan kebutuhan sarana produksi peternakan yang Drh Toto menjelaskan meliputi vaksin, farmasetik, imbuhan pakan, tambahan pakan, maupun konsentrat (yang banyak dibutuhkan ayam petelur).

Drh Toto mengungkap perbandingan pas harga jagung mahal, banyak peternak yang beralih ke pakan jadi. Ada sebagian yang mencampur pakan sendiri. Sudah tentu saat daya beli mempengaruhi perilaku memenuhi kebutuhan sarana produksi peternakan, akan berpengaruh pula terhadap pembelian obat-obatan (termasuk vaksinasi).

Di sinilah, semestinya peternak tidak melakukan spekulasi terhadap mutu obat/vaksin yang dibutuhkan. Jangan sampai ND dan IBD (Gumboro) yang acap hadir itu penanganannya menjadi terbengkalikan, apalagi ada juga kemunculan IB dan AI yang menambah beban. Jelasnya, antara lingkungan, penyakit, sarana produksi obat-obatan akan sangat saling mempengaruhi. Dan terbukti dari pengamatan lapangan dan penuturan para narasumber Infovet dari berbagai daerah, kemunculan Kholera dan Kolibasilosis adalah sebuah kenyataan. Sama dengan kasus-kasus penyakit lain, penyakit pencernaan ini puin harus dihadapi dengan gagah dan langkah pasti.

Atas dasar itu semua, Infovet dengan bangga mempersembahkan laporan fokus kali ini berdasar kondisi lapangan yang dengan prediksi dan rancangan liputan fokus tentang: Penyakit Pencernaan pada Ternak. Semoga bermanfaat! (Yonathan Rahardjo)

Surat Pembaca Edisi 155 Juni 2007

Lalu, ke mana susu sapi perah dari peternakan kita?

Susu sapi memang berasal dari kebutuhan orang Belanda yang kala itu menjajah Indonesia. Saat itulah mereka mengijinkan industriawannya membuka usaha di Indonesia karena adanya permintaan yang berbanding dengan pola kebiasaan mereka. Sementara orang Indonesia hanya turut menyaksikan saja sampai akhirnya masyarakat pribumi dididik pula untuk turut serta dalam usaha mereka.

Secara umum kualitas susu ditentukan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal dalam hal ini adalah kandungan gizi dari susu dimana dapat diketahui melalui pengujian laboratorium. Sifatnya terkait dari kondisi internal tubuh ternak. Berbeda dengan faktor internal, faktor eksternal ditentukan berdasarkan kejadian yang berlaku di luar tubuh ternak seperti kebersihan kandang, ternak dan peternak.

Sekarang siapa yang berperan dalam pencapaian keinginan peternak akan jaminan kualitas produksinya dan selera konsumen sebagai sasaran pemasaran? Tentu saja yang berperan adalah peternak atau pekerja kandang. Merekalah yang menentukan tingkat kualitas produk susu mereka. Sehingga kualitas juga terkait dengan pola pemeliharaan dan penanganan pascaproduksi. Dan pengetahuan peternak atau pekerja kandang menjadi syarat mutlak untuk menyediakan susu yang berkualitas sesuai dengan selera konsumen.

Kenapa harus ditolak pembeli? Bukankah hasil peternakan diproduksi untuk dijual? Ini terjadi karena kualitas tidak sesuai dengan keinginan pembeli. Artinya kualitas produk ditentukan oleh pembeli dan pembeli tidak dapat dipaksa untuk membeli produk susu. Kalau kita menjual susu ke koperasi susu, tentu saja akan dilakukan uji kualitas produk kita. Mulai dari pemeriksaan kadar lemak, kadar bakteri, dan sebagainya sesuai dengan standar kualitas yang diinginkan oleh konsumen.

Bila ada susu di ember perah dan akhirnya diserbu bakteri perusak maka bukan bakteri, melainkan peternak yang harus disalahkan. Biasanya secara tidak sadar peternak menimbun kotoran yang memberikan peluang bakteri menghinggapinya.

Konsumen kita kini sudah tiba pada pendekatan kulaitas dan bukan lagi kuantitas. Bila budaya minum susu dulunya diidentikkan dengan seseorang yang memiliki strata sosial menengah ke atas sebaimana terjadi pada zaman penjajahan Belanda, maka kini meminum susu menjadi pola hidup masyarakat Indonesia dan tidak mengenal penjenjangan status sosial.

Bila kualitas rendah, maka harapan produksi memenuhi pasar tidak ada. Oleh karena itu, pola-pola peternakan sapi perah harus ditata untuk menghasilkan produk susu yang kualitasnya diinginkan konsumen. Kualitas tidak harus dengan teknologi modern, tetapi penanganan yang menjamin unsur-unsur penentu kualitas tetap ada. Dan kalaupun teknologi harus diimpor berarti produk susu kita seharusnya diekspor.

Subaedy Yusuf
Mahasiswa Fak. Kedokteran Hewan UGM

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih atas segala bantuan Bapak Pimpinan dan staf Redaksi Infovet yang telah memuat berita duka almarhum Drh H Isep Sulaiman MVS bin H Danoe Sumantri yang wafat pada hari Kamis, 1 Februari 2007 pukul 14.20 WIB pada usia 56 tahun di RS Panti Rapih Yogyakarta di Infovet edisi Maret 2007. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan rezeki-Nya selalu, Amin.

Dengan segala kerendahan hati, kami mohon keikhlasan Bapak/Ibu/Sdr/i/Kakak/Adik dan Sahabat serta handai taulan untuk memberikan maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan almarhum selama masa hidupnya dan berkenan turut memanjatkan doa untuknya yang telah 100 (seratus) hari berpulang ke Rahmatullah, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT.

Kami pun menghaturkan terima kasih yang tulus atas segala dukungan moril maupun materil semenjak di rumah sakit sampai wafatnya almarhum dan dikebumikannya pada tanggal 2 Februari 2007 di Sukabumi, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan perlindungan-Nya untuk kita semua, Amin ya robbal alamin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ny. Isep Sulaiman
Yogyakarta

Kami seluruh tim Infovet pun mendoakan semoga arwah beliau diterima dan mendapat tempat terbaik disisi-Nya, serta diampuni segala dosa-dosanya dan diterima segala amal dan ibadahnya, Amin.

AI di DKI JAKARTA


Provinsi DKI Jakarta yang merupakan barometer dan sebagai daerah contoh dalam penanggulangan Al telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang lebih awal sehingga hal ini telah diikuti oleh propinsi lainnya.

Sejauh mana Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 15 Tahun 2007 sudah dilaksanakan, dan apa kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan AI di lapangan?

Kepala Dinas Peternakan, Perikanan & Kelautan Provinsi DKI Jakarta Drh Edy Setiarto MS menyampaikan bahwa kendala-kendala pelaksanaan Peraturan Gubernur adalah Relatif tidak ada halangan karena sebagian besar masyarakat sadar bahwa PERGUB tersebut adalah untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

Namun, katanya, dari aspek pelaku usaha TPA dan TpnA muncul kerisauan-kerisauan
diantaranya tentang kelangsungan usaha dan tenaga kerja. “Untuk pemotongan yang ada di pasar tradisional dan ataupun pemotongan di pemukiman akan ditata lagi secara bertahap,” katanya.

Informasi yang didapat Infovet dari sumber di Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian itu mengungkap bahwa PERGUB tersebut pada tanggal 19 April 2007 telah ditetapkan oleh DPRD Propinsi DKIJakarta sebagai PERDA No. 4 tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.

Menurut Drh Edy Setiarto, rencana telah dituangkan dalam Rancangan (disempurnakan) Peraturan Daerah (PERDA) yang mengamanatkan bahwa semua tempat-tempat penampungan (TPnA) dan pemotongan unggas pangan (TPA) akan direlokasi ke lokasi yang ditetapkan oleh Gubernur secara bertahap dalam jangka waktu paling lama 3 tahun.
Rencana lokasi untuk relokasi TPA dan TPnA ada beberapa, yaitu :

1). TPA Rawa Kepiting, lokasi di Jalan Rawa Kepiting - Kawasan Industri-Pulo Gadung dengan luas keseluruhan 2 ha, termasuk kawasan peruntukan fasilitas khusus (fasus) dan fasilitas umum (fasum) serta sudah dibangun kandang penampungan dan pemotongan

2). RPA Cakung, lokasi di Jalan Penggilingan Cakung Jakarta Timur, dengan luas untuk TPnA 1 ha, dan untukTPAseluas1.600m2.

3). RPA Pulo Gadung, lokasi Jalan Palad Kawasan RPH - Pulo Gadung Jakarta dengan luas keseluruhan 1,5 ha, khusus untuk penampungan Et pemotongan ayam.

4). TPA PT. Kartika Eka Darma, lokasi di Jalan Swadarma No. 69 Kelurahan Srengseng Kec. Kembangan Jakarta Barat dengan luasTPA 1,2 ha. RPA ini milik masyarakat yang kita coba kembangkan.

5) TPnA Kelompok Arela, lokasi di Jalan Penghulu Rt 012/01 No. 99A Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dengan luas lahan keseluruhan 1 ha.

Namun, katanya, “Pemerintah tidak membatasi hanya pada lima lokasi tersebut diatas. Kepada masyarakat yang ingin membangun RPA dan TPnA dapat mengajukan izin pembangunan sesuai dengan peraturan Pemerintah yang berlaku.”

Peraturan yang akan diberlakukan untuk 6 (enam) bulan ke depan adalah pemerintah DKI akan menutup pemotongan dan penampungan yang ada di Jakarta Pusat sebanyak 17 penampungan dengan batas waktu sampai dengan pertengahan bulan Oktober. Demikian diungkap Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia dalam Media Budidaya Ternak Non Ruminansia Unggas dan Aneka Ternak itu.

Setelah tanggal 15 Oktober tidak diperbolehkan lagi pemotongan dan penampungan terutama di daerah padat penduduk atau yang ada kasus positif AI atau kemudian ada kasus AI pada manusia atau ada komplain/pengaduan dari masyarakat. Sejalan dengan keadaan ini maka merupakan suatu moment yang sangat penting untuk membenahi penataan perunggasan

Dengan adanya isu Avian Influenza, sebagian besar peternak unggas dan industri perunggasan di DKI Jakarta mengalami kerugian yang cukup besar, bahkan ada yang sampai gulung tikar. Maka keluar Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 15 Tahun 2007 Tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.

“Pada prinsipnya pengaturan pengendalian pemeliharan dan peredaran unggas yang dilakukan di DKI Jakarta adalah untuk mencegah semakin berkembangnya dan memutus mata rantai penyebaran penyakit flu burung,” kata Edy Setiarto.

“Keadaan peternakan di perkotaan sudah tidak layak lagi di pemukiman dan tidak sesuai dengan standar ibukota, di mana masyarakat hidup tidak berdampingan dengan unggas. Penataan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang sehat,” katanya.

Relokasi juga dilakukan untuk menjaga jarak antara peternakan unggas dengan orang yang tidak berkepentingan dengan unggas. Namun demikian pemeliharan di pemukiman tidak dilarang sepanjang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu dengan jarak 25 m dari pemukiman.

Diungkap Edy, Pengaturan PERDA ada dua pendekatan yaitu unggas pangan adalah untuk dikonsumsi seperti ayam, itik, entok, angsa, merpati potong, dan burung puyuh, diatur dengan peraturan perizinan. Kemudian unggas non pangan seperti unggas kesayangan adalah ayam kate, ayam pelung, ayam bangkok, ayam bekisar, ayam cemani, merpati pos, merpati balap, burung berkicau dan burung hias lainnya, diatur dengan sertifikasi.

Dia uraikan, pengaturan untuk unggas pangan ada dua yaitu kegiatan budidaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu berjarak 25 m dari pemukiman sedang untuk pemotongan sesuai dengan relokasi yang sudah ditetapkan Gubernur.

Adapun, sertifikasi hanya berlaku selama 6 bulan dan untuk selanjutnya harus diperbaharui. Sertifikasi diberikan kepada pemilik unggas kesayangan apabila pemiliknya memenuhi persyaratan antara lain setiap unggas kesayangan dikandangkan, kandang dibersihkan setiaphari, dan kandang didesinfeksi setiap 3 (tiga) hari lalu vaksinasi. Juga disarankan agar diberi pakan yang baik dan vitamin secara rutin.

“Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kerugian peternak adalah bahwa jauh-jauh hari kita sudah melakukan kampanye memakan ayam (mengkonsumsi daging ayam secara baik). Dengan adanya upaya-upaya tersebut jadi hampir tidak ada penurunan permintaan konsumen akan daging ayam,” kata Edy.

Selanjutnya, katanya, relokasi pasar unggas kesayangan akan diatur kemudian karena harus dipikirkan kendala kesulitan pemasaran. Saat ini yang dilakukan adalah penekanan pada persyaratan sanitasi (biosecurity). Gubernur juga akan segera menetapkan tentang persyaratan teknis penataan unggas kesayangan yang baik.

Lalu, khusus untuk unggas kesayangan adalah dengan pendekatan pemberian sertifikat kepada pemilik unggas kesayangan, dan apabila petugas datang untuk memproses sertifikasi.

Menurut Drh Edy Setiarto, sebenarnya sudah banyak aturan dori tahun-tahun sebelumnya yang Man ditetapkan tetapi masih lemah dalam penegakan hukumnya dan dalam pemeriksaan ternyata tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka hewan kesayangan tersebut ditiadakan tanpa kompensasi. Sedang untuk masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan peraturan yang berlaku dalam budidaya ayamnya harus ditiadakan/dipotong dan atau dapat dikonsumsi dengan cara pengolahan yang benar dan kandangnya dimusnahkan.

Adapun dalam jangka panjang PEMDA perlu mengupayakan adanya standar hygiene untuk pemotongan hewan kemudian perlu persyaratan lokasi yang cukup luas untuk mempertahankan hygiene.

“Untuk ke depan tuntutan masyarakat terhadap hygiene sudah semakin tinggi. Masyarakat perunggasan didorong bisa menyesuaikan tuntutan masyarakat tersebut diantaranya ikut berperan dalam kegiatan penataan perunggasan yang dilakukan 6- Riwayal Pekerjaan : PEMDA,” katanya.

Sedangkan untuk masyarakat umum, secara tidak langsung konsumen dapat mengajari produsen dengan membeli ayam yang baik pada kios yang disediakan dan mempunyai label halal.

“Masyarakat harus terus waspada, jangan membeli sembarangan seperti membeli ayam dengan harga murah, karena harga ayam sudah standar dan selalu dilakukan pengawasan,” tegas Drh Edy.

Adapun menurutnya, untuk mendorong timbulnya industri yang menghasilkan peralatan pendingin (kendaraan, tempat penyimpanan, tempat pajangan dll) yang sangat diperlukan dalam perubahan sistim tataniaga yang diinginkan dan kegiatan itu sepenuhnya dilakukan oleh pelaku usaha. (YR)

PENYAKIT VIRAL MENAPAKI JEJAK IVANOVSKY


Keberhasilan usaha peternakan unggas khususnya ayam potong dan ayam petelur, baik sebagai penghasil bibit (breeding) maupun usaha pemeliharaan, sangat tergantung pada kesehatan ternak. Sehingga penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit harus menjadi prioritas utama. Kesehatan hewan merupakan kunci utama dalam usaha peternakan ayam, baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit ayam memerlukan pertimbangan dari berbagai segi, baik dari segi penyakit maupun segi ekonomis. Status kesehatan hewan juga sangat berpengaruh langsung terhadap status kesehatan reproduksi, dimana untuk ayam petelur tidak akan mampu menghasilkan telur bila alat-alat reproduksinya tidak berfungsi dengan normal.

Di samping itu, manajemen kesehatan hewan juga perlu mendapatkan perhatian lebih dari peternak. Manajemen tersebut seperti manajemen kesehatan umum, manajemen pencegahan, pengendalian dan penanganan penyakit-penyakit organik, infeksi, virus, jamur serta parasit.

Demikian disampaikan drh Jully Handoko dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau. Menurutnya penanganan kesehatan ternak secara umum meliputi kebersihan ternak dan lingkungannya luar dan dalam serta yang tidak kala pentingnya adalah penjagaan kesehatan terhadap anak kandang yang secara langsung berhubungan dengan ternak yang dipelihara.

Sedangkan, untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan pelaksanaan pemberian vaksinasi pada ternak, serta pemberian obat-obatan dengan jadwal yang telah disepakati dan harus mendapatkan rekomendasi dari petugas kesehatannya.

Namun Jully menegaskan untuk tidak memilih cara ini (red; pengobatan), alasannnya adalah membutuhkan biaya yang besar. ”Konsep yang benar dalam beternak itu adalah mencegah penyakit, bukan mengobati penyakit”, tegas Jully.

Bicara soal penyakit dan penyebabnya, keberadaan virus masih saja dianggap sebagai pemicu munculnya beberapa penyakit yang membahayakan ternak. Sebut saja ND, IBD, Cacar Unggas, Chicken Anemia Syndrome (CAS), Egg Drop Syndrome pada ayam petelur, Gumboro, AI dan banyak lagi jenis penyakit lain yang dipromotori kehadirannya oleh virus.

Menapaki Kembali Jejak Ivanovsky

Menguak tabir dunia virus berarti kembali mengingat sejarah awal penemuan virus. Adalah Dmitri Ivanovsky, biologiwan Rusia yang pada tahun 1892 silam mencoba mempelajari penyakit mosaik pada tembakau dengan penampakan daun berbercak kuning.

Ivanovsky muda mencoba membuat eksperimen dengan cara membuat ekstrak daun yang terpapar penyakit tersebut, kemudian dioleskan pada daun yang sehat, selang beberapa waktu daun yang sehat terserang penyakit yang sama. Simpulan awal Ivanovsky adalah penyakit mosaik pada tembakau disebabkan oleh bakteri patogen atau bakteri penyebab penyakit.

Kemudian Ivanovsky melanjutkan penelitiannya dengan membuat kembali ekstrak daun tembakau yang terinfeksi bakteri patogen. Ekstrak daun tersebut disaring dengan saringan keramik, kemudian cairan hasil saringan tersebut dioleskan kembali ke daun tembakau yang sehat, ternyata daun tersebut menjadi sakit.

Ivanovsky berpikir, bila penyakit mosaik disebabkan bakteri, maka daun yang dioleskan dengan hasil ekstrak yang disaring dengan saringan keramik tidak akan sakit karena bakteri tidak bisa lolos dari saringan keramik. Kembali Ivanovsky menyimpulkan bahwa penyakit mosaik pada tembakau disebabkan oleh super mikro organisme.

Wajah-wajah lain yang ikut andil dalam penemuan virus sebagai penyebab penyakit pada makluk hidup adalah M Beijerinck (1899) asal negara kincir angin dan Wendell M Stanley (1935) dari Rockefeller Institute, USA.

WM Stanley berhasil mengisolasi dan mengkristalkan virus mosaik tembakau dengan simpulannya bahwa virus berbeda dengan bakteri. Menurutnya, apabila virus diinjeksikan ke tanaman tembakau yang sehat, virus akan aktif, menggandakan diri dan menyebabkan penyakit.

Kemudian alasan lainnya adalah virus dapat dikristalkan, ini berarti virus bukan sel. Virus dianggap sebagai peralihan antara benda abiotik dan biotik. Setidaknya lanjutan penelitian Ivanovsky yang dilakukan WM Stanley ini memberi khasanah baru dalam dunia kesehatan baik tumbuhan, hewan dan manusia.

Dalam dunia kesehatan hewan dewasa ini, telah pula ditemukan beribu-ribu jenis virus yang memberikan dampak sangat merugikan baik bagi ternak maupun bagi peternak dengan dampak terkurasnya modal usaha akibat gagal produksi, karena adanya invasi atau serangan virus di farm peternakan. Termasuk, tentu saja, virus Avian Influenza.(Sadarman)

SELEKSI BENIH VIRUS AI UNTUK VAKSINASI


Masalah lain dalam strategi vaksinasi adalah penentuan seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan seed vaksin menjadi masalah yang pelik.

Virus Avian Influenza yang sangat palogen (highly pathogenic avian influenza virus/HPAI) subtipe H5N1, telah menyebabkan sampar ayam pada unggas di berbagai neqara di Asis seperfi Vietnam, Thailand, Cina, Jepang, Korea Selatan, Kamboja, Laos, dan Indonesia sejak akhir 2003 sampai sekarang (WHO 2005). Ratusan juta ayam dan itik telah dimusnahkan untuk menghentikan laju penyebarannya.

Di samping menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan ancaman pada ketahanan pangan, virus HPAI ini juga telah terbukti dapat melompati barier spesies unggas-manusia dan dapat menjadi ancaman pandemi.

Karenanya, pencegahan infeksi pada unggas sangat penting. Strategi yang umum dilakukan untuk pengendalian Al pada unggas adalah pemusnahan unggas yang tertular dalam radius tertentu (stamping out/preemptive culling), biosekuriti, dan vaksinasi.

Berbagai sediaan vaksin Al untuk unggas telah banyak dicoba. Akan tetapi sediaan yang umum untuk penggunaan komersial adalah vaksin virus inaktif dalam adjuvant minyak. Vaksin jenis ini telah terbukti dapat melindungi unggas dari gejala klinis dan kematian, tetapi tidak menekan eksresi virus.

Fakta ini menimbulkan keraguan tentang daya-guna vaksinasi dalam mencegah penyebaran antar hewan. Penuiaran yang tak kasat mata ini meningkatkan risiko wabah baru dan membawa ancaman pada kesehatan masyarakal.

Untuk mengatasi masalah tersebut diusulkan untuk menerapkan strategi vaksinasi dengan sentinel dan teknologi DIVA yang membedakan antibodi akibal vaksinasi dengan infeksi alam. Mengingat masalah dalam aplikasi strategi diatas, jalan keluar terbaik adalah pengembangan vaksin yang mencegah transmisi virus dengan sempurna.

Vaksin yang mendekati kondisi ideal tersebut telah dikembangkan untuk virus AI subtipe H7N7. Vaksin untuk subtipe H5N1 yang mempunyai potensi menekan ekskresi virus secara sempurna belum pernah dilaporkan.

Masalah lain dalam strategi vaksinasi adalah penentuan seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan seed vaksin menjadi masalah yang pelik.

Perkembangan virus Al dan dampaknya pada penentuan seed vaksin diulas G Ngurah Mahardika dari Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan Wayan I Wibawan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor kepada Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia dalam Media Unggas dan Aneka Ternak baru-baru ini. Atas ijin khusus Direktur Budidaya Ternak Non Ruminansia Drh Djajadi Gunawan MPH kepada Infovet pembaca dapat menikmati untuk sebuah pencerahan bersama sekaligus untuk dikritisi.

Pencegahan, Pengendalian, dan Eradikasi

Penyakit AI termasuk penyakit yang harus dimonitor dan dilaporkan. Kata kunci untuk tindakan pemusnahan (eradikasi) adalah diagnosis akurat dan segera. Kunci yang kedua untuk keberhasilan pencegahan, pengendalian, dan eradikasi adalah pengendalian harus dilakukan serentak dan seragam. Tanpa hal seperti ini, banyaknya hewan dan burung liar akan membuat Virus AI ganas lestari dan endemik di suatu wilayah.

Pemusnahan unggas yang tertular dan yang kontak dengannya dalam radius tertentu merupakan strategi yang paling efektif. Strategi ini meliputi penentuan zona karantina, pembatasan lalu lintas unggas dan produk-produknya serta manusia, repopulasi peternakan setelah tindakan pembersihan dan daerah yang bersangkutan memang bebas Virus AI HPAI.
Gelombang wabah H5N1 antara Juli sampai September 2004, diperkirakan terjadi karena pembersihan yang tidak memadai, pengujian yang tidak mencukupi, dan repopulasi yang terlalu dini. Jika wabah tidak meluas, dan virus belum endemik pada ternak unggas dan burung liar, strategi ini dapat berhasil.

Strategi ini telah terbukti berhasil di berbagai negara, seperti Amerika Serikat pada wabah H5N2 di Pennsylvania tahun 1980-an dan Jepang untuk H5N1 pada awal 2004.
Jika penyebaran suatu Virus AI HPAI pada ternak sudah demikian luas atau penyakit sudah menjadi endemik pada ternak dan burung liar, stamping out mustahil dilakukan. Strategi alternatif adalah stamping out plus vaksinasi. Strategi ini diadopsi oleh Cina dan Indonesia sejak 2004.

Strategi ini banyak ditentang, seperti pengalaman Meksiko dalam mengendalikan wabah HPAI H5N2 tahun 1990-an. Walaupun kasus wabah tidak dilaporkan kembali setelah penerapan strategi tersebut, sumber virus tetap bersirkulasi dan telah terbukti kembali mengganas di Amerika Tengah dan Amerika Serikat tahun 2004.

Program vaksinasi yang diterapkan di suatu negara membuat produk perunggasan negara tersebut tidak boleh diekspor. Thailand, yang juga tertular HPAI H5N1, masih menggolongkan tindakan vaksinasi sebagai ilegal.

Argumen penentang vaksinasi antara lain: vaksinasi tidak mendorong peternak untuk meningkatkan isolasi dan biosekuriti. Lalu vaksinasi dapat berhasil mencegah penyakit klinis akan tetapi tidak mencegah eksresi virus pada ayam yang divaksin.

Adapun penggunaan vaksin dilaporkan memicu munculnya varian akibat mutasi; penggunaan vaksin menyebabkan virus menjadi endemik seperti terjadi di Meksiko dan Amerika Tengah, dan mungkin sedang berlangsung di Asia.

Sementara itu penggunaan vaksin mempengaruhi perdagangan dan menyembunyikan virus menular yang masih ada.

Vaksinasi tampaknya memang telah menjadi pilihan Indonesia. Vaksinasi hendaknya disertai dengan strategi untuk memantau virus ganas yang mungkin masih beredar di kandang atau wilayah yang bersangkutan.

Dengan demikian, kebijakan vaksinasi mestinya disertai penyediaan dan pelaksanaan prosedur pemantauan virus yang pathogen pada ternakyang divaksin. Jika vaksin homolog digunakan, kelompok unggas sentinel yang sengaja tidak divaksin tersedia di sekitar kandang yang divaksin.

Aktivitas virus ganas dapat dipantau dari kelompok hewan ini. Penerapan vaksin heterolog digolongkan sebagai vaksin DIVA, singkatan dari "Differentiating Infection from Vaccinated Animal", membedakan hewan yang terinfeksi alami dengan hewan yang divaksinasi. Antibodi terhadap NA selain subtipe yang tersedia dalam vaksin menjadi indikator aktivitas virus ganas alami.

Perkembangan Virus AI

Sekalipun publikasi tentang genotipe virus Al H5N1 asal Indonesia belum banyak dipublikasi, data yang telah tersedia menunjukkan bahwa virus tersebut telah berevolusi dan kian menyebar di Indonesia melalui perantara lalu lintas unggas dan produk perunggasan.

Reassortment genetik dan peran burung liar migratori belum teridentifikasi. Seperti yang diduga, materi genetika virus Al H5N1 terus mengalami perubahan melalui mutasi (genetic drift) terutama pada segmen ke-4 yanj menyandi protein HA. Sequence gen I dari mayoritas virus H5N1 yan bersirkulasi pada burung selama 3 tahul terakhir telah terpisah menjadi duf 'phylogenetic clades' yang berbeda.

Grup 1 bersirkulasi Kamboja, Thailand dan Vietnam. Grup4 beredar di China dan Indonesia 2003-2004, yang kemudian menyebar ke Timur Tengah, Eropa, dan Afrika padal tahun 2005-2006. Grup ini juga telatif berkembang menjadi 6 sub-grup, tiga diantaranya mempunyai daerah penyebaran geografis yang berbeda dan merupakan agen penyebab kasus-kasus infeksi pada manusia di Indonesia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Cina.

Semua virus Indonesia yang dianalisis berada dalam satu klaster yang mengindikasikan introduksi virus awal yang sama. Analisis lebih lanjut menunjukkan virus H5N1 Indonesia membentuk tiga sub-l kelompok genetik.

Sub-kelompok Al ditemukan di Jawa, Sulawesi Selatan, danl Timor Barat. Sub-kelompok B terisolasil dari Jawa, Bali, Flores dan Timor Barat.

Sementara sub-kelompok C berasal dari isolat Jawa dan Sumatra.

Dari informasi tersebut tampak bahwa semua sub-kelompok ditemukan di Jawa, sementara daerah tertular lain umumnya mempunyai satu sub-kelompok saja. Hubungan ini mengindikasikan introduksi virus Al H5N1 di Indonesia yang pertama terjadi di Pulau Jawa yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lainnya.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perkembangan genetik virus Al H5N1 asal Indonesia tampaknya lebih kompleks dari postulasi tersebut.

Pohon filogenetik virus Al H5N1 isolat asal hewan dan manusia di Indonesia dengan mengikutsertakan isolat-isolat terakhir, termasuk isolat virus asal babi di Bali (data belum dipublikasikan) seperti ditampilkan pada Gambar menerangkan bahwa pembagian sub-kelompok A, B, dan C tampaknya belum mencakup semua isolat asal Indonesia. Beberapa isolat berada di luar sub-kelompok tersebut.

Khusus untuk Bali, ketiga sub-kelompok yang diisolasi di Jawa tampaknya juga menyebar di pulau tersebut.

Perkembangan tersebut mempengaruhi struktur antigenik virus Al yang menyebar di Asia, termasuk Indonesia. Kajian yang dilaporkan menunjukkan bahwa virus-virus asal Indonesia tidak bereaksi dengan antibodi terhadap representatif virus asal Vietnam, demikian juga sebaliknya, namun masih menunjukkan reaksi silang dengan virus asal Hong Kong dan Cina.

Di samping itu, variasi antigenik juga tampak sekali diantara virus-virus asal Indonesia. Variasi antigenik tersebut bahkan ditunjukkan dengan titer antibodi terhadap virus-virus dari masing-masing subkelompok sampai empat log.

Perkembangan tersebut juga mempunyai implikasi yang besar dalam pemilahan seed vaksin yang hendak digunakan di suatu wilayah. Idealnya, vaksin yang digunakan mestinya mempunyai homologi genetik dan antigenik yang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan.

Untuk wilayah yang mempunyai virus yang berasal dari satu sub-kelompok, vaksin yang digunakan idealnya mengandung antigen dari masing-masing sub-kelompok.

Penggunaan seed vaksin yang tidak sesuai dapat menurunkan protektivitas vaksin. Kasus-kasus kegagalan vaksinasi mungkin akan semakin sering terjadi. Kalaupun unggas yang divaksin tetap tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata, penurunan produksi dan tingginya beban virus pada lingkungan dapat menjadi konsekuensi logis pada penggunaan seed vaksin yang tidak sesuai.

Dengan demikian risiko kerugian ekonomi dan kesehatan masyarakat akan tetaptinggi.
Di samping itu, penggunaan vaksin ditenggarai dapat memicu munculnya varian akibat mutasi dan vaksinasi menyembunyikan virus menular dapat menjadi ancaman baru. Dari survei virologi dan epidemiologi intensif di Cina Selatan, dilaporkan kemunculan dan dominasi virus Fujian-like sejak akhir 2005.

Virus ini menggantikan secara bertahap klaster virus yang sebelumnya beredar dan telah menyebabkan infeksi pada manusia di Cina belum lama ini. Disamping itu, virus Fujian-like ternyata telah tersebar di Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Thailand. Dominasi virus ini diduga difasilitasi program vaksinasi massal yang dilakukan di Cina. Hal serupa perlu dimonitor di Indonesia.

Sekalipun publikasi tentang genotipe virus Al H5N1 asal Indonesia belum banyak dipublikasi, data yang telah tersedia menunjukkan bahwa virus tersebut telah berevolusi dan kian menyebar di Indonesia melalui perantara lalu lintas unggas dan produk perunggasan.

Sesuai dengan sifat-sifat virus influenza, materi genetika virus Al H5N1 terus mengalami perubahan melalui mutasi (genetic drift) terutama pada segmen ke-4 yang menyandi protein HA. Semua virus Indonesia secara genetik berada dalam satu klaster yang mengindikasikan berawal dari introduksi virus awal yang sama.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahawa virus H5N1 Indonesia membentuk tiga sub-kelompok genetik dengan daerah sebaran geografis tertentu, kecuali di Pulau Jawa dan Bali yang mempunyai representatif ketiga kelompok itu.

Perkembangan tersebut mempengaruhi struktur antigenik virus Al yang menyebar di Asia, termasuk Indonesia. Virus-virus asal Indonesia tidak bereaksi dengan antibodi terhadap representatif virus asal Vietnam, demikian juga sebaliknya, namun masih menunjukkan reaksi silang dengan virus asal Hong Kong dan Cina.

Di samping itu, variasi antigenik juga tampak sekali, walaupun masih menunjukkan reaksi silang diantara virus-virus asal Indonesia.

Idealnya, vaksin yang digunakan mestinya mempunyai homologi genetik dan antigenikyang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan.

Dalam hal menggunakan vaksin yang heterolog yang materi genetik H5-nya tidak berasal dari Indonesia, vaksin yang bersangkutan sebaiknya diuji tantang dengan representatif ketiga sub-kelompok virus yang beredar di Indonesia dan dipilah vaksin yang menunjukkan protektivitas klinis dan penekanan ekskresi virus seminimum mungkin.

Tentu uraian tulisan ini sangat bermanfaat untuk melacak keberadaan virus AI sekaligus bbit untuk vaksin di tanah air dalam menfatasi kemelut yang rasanya kalangan peternakan relatif sudah semakin lihai untuk menangani. Meski ada masalah di sana-sini, bukankah itu sebuah kewajaran dalam proses untuk menjadi lebih baik dalam menangani? Kiranya begitu. (YR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer