Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Lahirnya Ilmu Gangguan Kekebalan

Kesehatan ternak merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan produksi ternak, karena produktivitas yang tinggi hanya dapat dicapai secara optimal apabila ternak dalam keadaan sehat.

Oleh karena itu diperlukan pengontrolan terhadap aspek kesehatan yang merupakan prasyarat tercapainya target produksi yang optimal. Namun untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah mudah.

Hal ini disebabkan masih terdapatnya beberapa kendala mendasar berupa penyakit, salah satunya adalah penyakit karena adanya gangguan kekebalan tubuh atau immunosupresi, demikian dikatakan drh Muhammad Firdaus MSi Kasi Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.

Menurutnya, immunosupresi merupakan perubahan reaksi kekebalan dalam keadaan negatif, sehingga tubuh ternak mempunyai reaksi yang kurang terhadap bahan asing. Artinya immunosupresi dapat memicu munculnya berbagai jenis penyakit pada ternak. Pada broiler sebaiknya kasus immunosupresi dihambat kemunculannnya, sehingga kerugian akibatnya dapat dihindarkan.


Ilmu Tersendiri

Immuno atau imunologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang reaksi spesifik dari jaringan hidup terhadap benda asing seperti mikroorganisme dan produk mikroorganisme atau protein asing.

Pada awal abad 15 para ilmuwan telah mulai meneliti tentang bagaimana mengaktifkan imunitas dengan memasukan zat tertentu ke dalam tubuh. Pada masa itu pernah dicoba menginokulasikan bahan-bahan dari parut penderita cacar kepada orang sehat, namun sayang hasilnya kurang memuaskan.

Baru pada permulaan abad 16, Edward Jenner pertama kali memperhatikan bahwa seorang yang telah terjangkit cowpox jarang sekali terkena smallpox. Namun baru tahun 1796 ia mencoba menginfeksi seorang anak yang telah terserang cowpox dengan virus smallpox.

Ternyata kekebalan yang didapat dari penyakit terdahulunya itu mempunyai daya yang cukup melindungi terhadap smallpox. Kemudian pada tahun 1879, Louis Pasteur melakukan penelitian pada ayam. Pada hewan tersebut diinjeksikan kultur kuman kolera ayam yang telah mati.

Beberapa hari kemudian diinjeksikan lagi kuman kolera yang masih aktif. Dan lagi-lagi didapati bahwa ayam-ayam tersebut tidak terinfeksi. Teknik kedua ilmuwan ini untuk memperoleh kekebalan terhadap penyakit tertentu itu, kini disebut sebagai vaksinasi.

Penelitian Edward Jenner dan Louis Pasteur tersebut merupakan titik awal berkembangnya bidang imunologi secara saintifik. Kajian tentang immuno terus dilanjutkan. Adalah Paul Ehrlich yang menemukan teori imunitas humoral.

Teori ini menekankan peran antibodi, yaitu protein yang dihasilkan oleh sel-sel dan dibebaskan ke dalam darah sebagai agen utama imunitas. Kemudian Elie Metchnikoff mengemukakan teori imunitas seluler, dimana fagositlah yang memainkan peran utama mengenyahkan benda asing termasuk organisme infeksius.

Atas jasa-jasanya ini, kedua ilmuwan asal Rusia ini memenangkan hadiah nobel dibidang fisiologi dan medicine tahun 1908.

Lalu bagaimana dengan dunia kesehatan hewan? Itulah yang dibahas liputan Fokus Infovet edisi ini. (Daman Suska)

Giliran Pencerahan Bidang Kita?

Upaya memperbaiki diri pantas untuk terus dilakukan dalam kondisi apapun. Terlebih ketika kita dalam kegelapan permasalahan yang sepertinya tidak dapat kita atasi persoalannya! Sebaliknya mungkin ada di antara kita yang merasa sedang dalam kondisi nyaman, tenang, mapan: pada saat bersamaan ketika orang lain merasakan ada masalah dan butuh perbaikan.

Akar dari sikap kritis yang terus dilakukan dari waktu ke waktu mempertanyakan kemapanan, terus terpelihara, pada masanya pasti akan menemukan muara: Pencerahan itu sendiri. Soal ini kita ‘harus’ belajar dari sejarah pencerahan dunia dengan bibit kritis pada abad 6 Masehi, terus-menerus melakukan ‘perlawanan’ pemikiran dari abad ke abad hingga lahir Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment/ Inggris, Aufklaerung/ Jerman, Siècle des Lumières/ Perancis) pada abad 16, 17 dan 18 yang melahirkan revolusi-revolusi ilmu pengetahuan yang merubah banyak sekali kehidupan di dunia hingga kita sekarang tinggal menikmatinya dengan berbagai penggunaan teknologi secara akrab dalam berbagai kehidupan sehari-hari.

Definisi tentang pencerahan yang diakui sebagai salah satu definisi yang mencerminkan mentalitas zaman itu adalah definisi Immanuel Kant yang diterbitkan tahun 1783 bahwa: “Pencerahan adalah jalan keluar manusia dari ketidakdewasaan yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain. Ketidakdewasaan ini adalah akibat kesalahannya sendiri, jika penyebab ketidakdewasaan itu tidak terdapat pada kurangnya akal, melainkan pada ketetapan hati dan keberanian untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain. Sapere aude! Milikilah keberanian untuk menggunakan akalmu sendiri! Adalah semboyan pencerahan.”

Apakah betul semangat pencerahan itu yang tampak pada upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam menghadapi masalah-masalah peternakan dan kesehatan hewan? Sekalipun belum total, tampaknya menang ya, setidaknya ada semangat itu. Dan kita patut bersyukur sebagai kelanjutan dari musibah-musibah yang beruntun terjadi. Masalah-masalah Anthrax, Flu Burung, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), bahkan impor MBM-MDM (Meat Bone Meal- Meat Deboned Meal) yang memberi jalan BSE (Penyakit Sapi Gila) mengancam masuk ke bumi Nusantara.

Tumpang tindihnya upaya penanganan AI (Flu Burung) antara kebijakan-kebijakan dunia kehewanan (Departemen Pertanian) dan dunia kesehatan manusia (Departemen Kesehatan) pada masanya menemukan tanda tanya besar: Siapakah sesungguhnya yang punya otoritas (Kewenangan) untuk mengatur penanganan Flu Burung pada bidang peternakan, kehewanan, yang sudah mendapat penetrasi oleh Menteri Kesehatan dengan pernyataan-pernyataan dan kebijakan-kebijakannya.

Pada saat inilah makin terasakan oleh kaum dokter hewan Indonesia untuk menguliti sektor kebijakan kehewanan, kesehatan hewan, veteriner, dari masa ke masa sejak sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Semula Undang-undangnya dengan nama Belanda yang susah dieja dan dimaknai oleh orang kita, namun artinya sekitar lembaga yang mengurusi penyakit hewan. Atas campur tangan pemerintah, lembaga bernama belanda itu dikenal dengan peng-Indonesia-annya: Jawatan Kehewanan, yang punya ruang lingkup kewenangan Veterinaire Politie, Ordonantie & Staatsblad. Namun perlu diingat sebetulnya lembaga ini bernama asli bahasa Belanda yang intinga lembaga yang menangani penyakit hewan.

Selanjutnya dengan lahirnya UU No 6/1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (juga dikenal oleh umum secara lisan dengan pengistilahan UU Kehewanan). Pada tahun 1968, Jawatan Kehewanan sebagai lembaga yang sebetulnya beruang lingkup penanganan penyakit hewan itu menjadi: Direktorat Jenderal Peternakan.

Perkembangan selanjutnya lingkup kesehatan hewan sangat jauh tertinggal dibanding lingkup Peternakan. Jumlah dokter hewan kalah jauh dibanding jumlah sarjana peternakan. Kondisi ini cocok dengan kebutuhan saat peternakan menjadi tulang punggung pembangunan peternakan yang membutuhkan penggunaan sumber daya hewani dari ternak. Sementara perkembangan terakhir, banyak kasus penyakit hewan yang tidak cukup hanya memposisikan bidang kesehatan hewan di bawah koridor peternakan.

Maka muncul kesadaran kaum kedokteran hewan untuk memposisikan otoritas penanganan bidang kesehatan hewan itu pada tempat yang wajar dan tepat. Puncaknya, sampai tulisan ini dibuat, adalah dengan berkumpulnya para dokter hewan di Jakarta, untuk membahas usulan Rancangan Undang-Undang Veteriner Republik Indonesia pada 19 Oktober 2007.

Kita akan melihat, apakah “Pencerahan” kali ini akan memisahkan bidang veteriner (kesehatan hewan) dari bidang peternakan dan kesehatan hewan yang selama ini menyatu dalam UU No 6 Tahun 1967? Seperti hanya gerakan pencerahan di Perancis yang memisahkan filsafat dari teologi dan memisahkan ilmu sosial dari filsafat?

Adapun yang paling penting dalam pencerahan bidang kesehatan hewan dan peternakan adalah juga memenuhi optimisme pencerahan dalam pandangan filsuf Zaman Pencerahan Jerman Abad 17-18 Giambattista Vico, Condorcet dan Johann Gottfried von Herder: “… secara linear menghasilkan kemajuan-kemajuan bagi kesejahteraan umat manusia dan emansipasi manusia dari segala bentuk kebodohan..”

Akhirnya, seperti kata Fisiokrat Perancis Abad Pencerahan Abad 18 Francois Quesnay dan Jaques Turgot bahwa: “Kemajuan ekonomi dan kemakmuran sebuah masyarakat tidak turun dari langit, melainkan diperjuangkan oleh manusia dengan memahami hukum-hukum yang mengatur proses-proses ilmiah,”… maka: di sinilah peran usaha untuk melakukan Pencerahan di Bidang Kesehatan Hewan dan Peternakan, bidang kita. (Yonathan Rahardjo)

DARI LUMPUR LAPINDO SAMPAI PENYAKIT PENCERNAAN TERNAK

Sebagai Majalah yang mengedepankan laporan berdasarkan kondisi lapangan terkini berbasiskan disiplin ilmu pengetahuan kedokteran dan kesehatan hewan secara ketat untuk kepuasan pembaca, Infovet sungguh-sungguh mempertimbangkan berbagai informasi yang sedang aktual.

Kali ini kita menganggap bahwa kasus penyakit pencernaan ayamlah yang patut diangkat, tepat sesuai dengan prediksi yang telah dijadikan pedoman bagi Infovet untuk penentukan topik fokus Infovet Juni 2007.

Berdasar pola pikir deduktif dari berbagai informasi yang masuk sampai akhirnya kita angkat pembahasan itu, kita akan mengawali dengan melihat kondisi peternakan pada beberapa wilayah, lalu masuk pada pembahasan penyakit pencernaan itu sendiri.

Masyarakat Peternakan/Keswan Korban Lumpur Lapindo

Kita mulai dari perjalanan Infovet awal Mei 2007 masuk wilayah gurun lumpur panas Lapindo Porong di Sidoarjo Jawa Timur. Dari Surabaya, Infovet menuju Sidoarjo terus ke arah Malang lewat Porong. Masuk wilayah Lapindo, dari kejauhan sudah terlihat awan putih bergulung-gulung. Bau anyir, asam, tajam menyengat hidung.

Infovet turun kendaraan, berjalan menyisir tepi jalan melihat lahan dan tepi jalan, rel, halaman rumah, kebun yang dipenuhi lumpur yang menggenang dan sudah mengering. Baunya sangat menyengat tajam cukup mengganggu pernafasan sehingga seringkali harus mendengus dan tutup hidung.

Sampai di sebuah jalan masuk di sebelah kiri, Infovet lihat gurun pasir dan rumah-rumah tertutupi lumpur kering dan basah. Jalan yang sudah mengguung dan kering itulah jalan masuk Infovet masuk wilayah korban Lumpur Lapindo yang ganas sejak pertengahan 2006 lalu.

Menyusuri jalan itu, di kiri kanan rumah sudah terendam lumpur, kosong penghuni, kosong barang. Semua sudah merubah kediaman penduduk menjadi lahan tak bertuan dengan kerusakan rumah dan berbagai bangunan. Lumpur yang telah mengering itulah yang menjadikan wilayah ini sudah seperti gurun tandus! Penduduk sudah pindah semua dengan buntut pertentangan soal ganti rugi yang berkepanjangan sampai sekarang.

Infovet pun teringat cerita teman-teman dari PT Romindo Primavetcom yang bersama Infovet melakukan perjalanan 4 hari ke Thailand dalam rangka pameran akbar peternakan VIV di Bangkok Maret 2007.

Dari cerita itu, tahukah pembaca bahwa ada dari kalangan kita, masyarakat peternakan dan kesehatan hewan yang menjadi korban keganasan kesalahan manajeman pengelolaan alam itu.

Adalah Drh Endri Yoga dari PT Romindo Primavetcom Surabaya Jawa Timur merupakan salah satu korban Lumpur Panas Lapindo Sidoarjo. Selain dia, juga ada sopir dan pegawai administrasi yang menjadi korban.

Karena musibah itu sudah tentu cukup mengganggu aktivitasnya. Namun secara umum kinerjanya tetap bagus. Kondisinya menjadi cukup terkendalikan. Sebab, banjir lumpurnya bukan datang mendadak, sehingga semua barang masih bisa diselaatkan. Alumnus FKH UGM yang sudah bekerja di PT Romindo selama kurang lebih 6 tahun itu mendapat ganti rugi tanah/ rumah.

Gambaran adanya korban lumpur Lapindo dari masyarakat peternakan dan kesehatan hewan itu membuka pola pikir: kesalahan pengelolaan lingkungan pasti berimbas pada kehidupan pribadi-pribadi, manusia-manusia dan makhluk-makhluk lain yang tentu juga memunculkan berbagai penyakit yang menyerang. Bukankah mekanisme manajamen kesehatan adalah meliputi sisi penyakit, lingkungan, dan unsur lain termasuk pakan dan pengobatan.

Peternakan Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Medan

Wilayah bencana lumpur kesalahan manajemen lingkungan di Porong Sidoarjo adalah wilayah urat nadi perjalanan dan bisnis peternakan dan kesehatan hewan. Di sinilah berbagai perusahaan hewan juga harus menghabiskan anggaran ekstra untuk terhambatnya perjalanan dalam memasok sarana produksi peternakan ke peternak-peternak di wilayahnya.

Salah satunya adalah Drh Rosjid, Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Wilayah Surabaya, Malang, Bali dan Gresik Jawa Timur yang mengalami langsung permasalahan itu. Pasokan obat hewan dari Surabaya ke Malang dan sekitarnya jelas harus melewati daerah bencana ini! Padahal wilayah Jawa Timur adalah wilayah sangat berpotensi sebagai salah satu kantong peternakan nasional.

Bandingkan kondisi ini dengan wilayah kerja Drh Toto Purwantoro Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Cabang Jawa Tengah, yang wilayah kerjanya meliputi semua wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Wilayah Drh Toto dibagi menjadi 5 area. Area Purwokerto-Tegal banyak peternakan ayam pedaging. Area Semarang banyak peternakan ayam petelur dan pedaging dengan pola kemitraan, berlanjut Pekalongan-Pati dan sekitarnya. Area Solo dan sekitarnya banyak peternakan ayam petelur. Area Yogyakarta dan sekitarnya banyak peternakan ayam pedaging. Adapun area Magelang dan sekitarnya banyak peternakan ayam pedaging.

Meskipun ada area-area kerja, batas wilayah kerja bukanlah batas negara yang kaku. Bila di daerah perbatasan ada yang membutuhkan pelayanannya, tidaklah tabu untuk juga memasok dan melayani. Apalagi bilamana peternak yang bersangkutan menyatakan membutuhkan pelayanannya. Sudah tetu dengan pemberitahuan dan saling pengertian dengan wilayah terkait, mengingat peternak berhak memilih siapa yang melayani kebutuhannya.

Jelas, untuk melintas wilayah-wilayah kerja ini butuh infrastruktur transportasi dan jalan-jalan yang memadai. Dan itulah yang menjadi hambatan utama dengan kasus melubernya lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang memutus jalan dari Surabaya ke daerah timur dan selatan Jawa Timur seperti yang dialami oleh tim Drh Rosjid tadi.

Namun apapun, masalah transportasi yang terhambat itu harus dapat diatasi. Meski dampaknya juga ke perdagangan dan bisnis sangat terganggu, toh tetaplah usaha peternakan dan kesehatan hewan berkembang dan dibutuhkan. Sebab, selama manusia hidup tetap membutuhkan protein hewani asal ternak yang menjadi komoditas utama bidang kita.

Sikap menyiasati segala kondisi ini sangat butuh pemetaan wilayah tentang kondisi setempat, baik terhadap peternak maupun pola peternakannya. Bersama Drh Rachmat Novyardi Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Pare-Kediri Jawa Timur, Drh Rosjid mengungkapkan bahwa pada peternakan di wilayah mereka terdapat perbedaan sikap antara peternak generasi pertama dan peternakan generasi kedua.

Menurut mereka, sikap peternak generasi tua (pertama) adalah lebih mempertahankan kebiasaan. Sedangkan peternak generasi kedua (kedua) lebih terbuka terhadap pembaruan dan perubahan. Peternak di wilayah itu rata-rata tidak takut takut menghadapi AI. Meski pola bersikap orang berubah setelah kasus AI, melingkupi soal kesehatan dan lain-lain. Berbeda dengan sikap sebelumnya yang lebih diam dan tertutup.

Adapun pada peternakannya sendiri, dibandingkan kondisi sebelumnya, kondisi pada kandang, pemborong, konstruksi tetap. Bandingkan dengan kondisi peternakan di Medan yang menurut Drh Leonardo Sinaga Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Medan Sumatera Utara kondisinya adalah didominasi kandang kawat. Di Medan Sumatera Utara, kandang bambu tidaklah ada. Menurut Drh Leo, dominasi kandang kawat ini adalah karena hitungan ekonominya lebih kuat.

Memang lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Perbedaan kondisi peternakan antar daerah ini juga tampak pada selera masyarakat dalam membeli hasil produksi peternakan. Berbeda dengan peternak di daerah Jawa Timur yang hitungan pembelian telur berdasar kilogram, Drh Leo mengutarakan perhitungan harga telur di Medan bukanlah per kilo tapi per butir. Ada telur yang kecil, telur sedang, dan telur besar. Ada yang ambil semua, diperbolehkan. Ambil kecil semua pun boleh, tergantung selera.

Bagaimana perbedaan generasi dulu dengan generasi peternakan di bidang manajemen? "Tidak berbeda nyata," jawab Drh Rosjid dan Drh Rachmat. "Dulu dan sekarang manajemennya sama-sama diterapkan oleh keluarga sendiri. Soal perbedaan populasi, tidak ada beda jumlah populasi," jelas mereka.

Peternakan-peternakan di wilayah Penuturan Drh Rachmat Novyardi yang wilayahnya meliputi daerah Kediri, Pare, Madiun, Magetan, Ponorogo, Nganjuk, Jombang, Kertosono sampai dengan daerah ujung timur daerah Jawa Tengah, skalanya relatif kurang sebesar peternakan wilayah Blitar yang merupakan pusat peternakan nasional!

Rata-rata peternakan di wilayah ini dimiliki oleh Poultry Shop dan peternak kecil, yang kondisinya relatif sensitif, dan pada saat krisis moneter banyak yang mengalami gulung tikar. Adapun peternakan di Blitar, meski jumlah peternaknya sedikit namun populasinya besar-besar. Rata-rata peternak di sini adalah peternak besar. Bagi peternak ini, harga lebih sensitif. Jenis peternakannya banyak yang peternakan ayam petelur.

Berbeda dengan peternak ayam pedaging yang merupakan peternak baru, menurut Drh Toto, peternak ayam petelur ini umumnya adalah peternak lama yang sudah banyak makan asam garam.

Kasus Penyakit Ayam di Daerah-Daerah Itu

Setelah kasus AI dan IB yang dilaporkan Infovet yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan, munculnya Kholera ayam di beberapa tempat juga disebutkan oleh narasumber Infovet di Surabaya Jawa Timur. Di antaranya juga oleh Drh Prabadasanta Hudyono dari PT Multibreeder Adirama Indonesia.

Hal yang sama juga dilaporkan oleh Drh Agus Damar Kristiyanto Kepala seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom di Tangerang Banten baru-baru ini, pertengahan Mei 2007. Kasus penyakit ayam di Tangerang Banten pertengahan Mei 2007, menurut Drh Damar, adalah Kolibasilosis dan Kholera.

Sedangkan menurut Drh Sigit, Kepala Penjualan PT Romindo Promavetcom Cabang Bandung Jawa Barat, kasus rancunya jelasnya gejala klinis pada ayam petelur dengan penurunan produksi cukup mewarnai. Menurutnya, ada yang bilang itu adalah penyakit IB (Infectious Bronchitis) atau AI (Avian Influenza).

"Ya, kasusnya tepat seperti yang dilaporkan oleh Infovet pada edisi Mei 2007, munculnya IB dan juga AI," kata Drh Sigit menjawab pertanyaan Infovet.

Dalam hal ini Drh Toto Purwantoro juga menambahkan bahwa kasus-kasus yang acap muncul di wilayahnya di Jawa Tengah-Yogyakarta adalah AI, ND, Gumboro, yang menjadi tantangan bagi petugas teknis pelayanan obat hewan untuk tidak sekedar membawa obat ke peternakan tapi langsung membawa dan menerapkan obat ke tubuh hewan.

Drh Sigit mengungkap, kasus penyakit di daerahnya (Bandung Jawa Barat) yang menunjukkan berbagai tafsiran tersebut bukanlah Kholera. Hal itu jelas dari gejala klinis dan pemeriksaan pasca bedah bangkai.

Dan, menurut Drh Sigit, suatu kasus dianggap Kholera atau bukan sangatlah mudah untuk menentukan. Bila diobati dengan antibiotik tidak segera sembuh, sudah pasti penyakit itu bukanlah penyakit bakterial, sedangkan Kholera disebabkan oleh bakteri!
Adapun Drh Mahmud Kepala seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom Sukabumi Jawa Barat mengungkap bahwa Pebruari 2007 memang muncul kejadian penyakit dengan indikasi Avian Influenza, namun pihaknya saat itu belum berani mengungkapkan bahwa itu betul-betul AI.

Gejala Klinisnya pial ayam biru, namun pada ayam pedaging tidak kelihatan. Adapun pola kematiannya tinggi. Dalam beberapa hari terjadi kematian. Dalam sehari angka kematian mencapai 5 persen.

Untuk pemeriksaannya dilakukan sampai beberapa kali juga untuk pemeriksaan ND, namun dari sekian ada yang positif AI. Banyak ayam yang kedapatan mati.

Kembali ke Jawa Timur, awal Mei 2007, Drh Rachmad Fadillah petugas pemasaran dari PT Wonokoyo Jaya Corporindo wilayah Magetan mengutarakan bahwa kasus penyakit yang terkait dengan air tidaklah begitu bermasalah. Kasus penyakit pencernaan menjadi tidak terangkat ke permukaan. Sebaliknya yang menjadi masalah adalah perubahan cuaca yang cukup membuat ayam stres.

Jelas ada perbedaan kasus antara satu peternakan dengan peternakan lain, satu wilayah kerja dengan wilayah kerja lain, satu daerah dengan daerah lain. Peta penyakit peternakan sekarang jelas berbeda dengan kasus AI yang meledak dan merata di hampir semua propinsi di Indonesia.

Kasus massal penyakit AI menjadikan informasi kasus untuk dilaporkan kepada pembaca menjadi sangat mudah didapat bahkan karena sangat banyaknya bahkan kalngan pers menjadi sangat kebanjiran informasi. Sebaliknya kasus yang sekarang redaksi mesti lebih tajam dalam membau peristiwa dan fakta, sehingga apa yang dilaporkan menjadi sangat bermanfaat bagi pembaca.

Dari kasus yang sedang terjadi, akan sangat mempengaruhi bagaimana peternak bersikap terhadap pemenuhan kebutuhan sarana produksi peternakan yang Drh Toto menjelaskan meliputi vaksin, farmasetik, imbuhan pakan, tambahan pakan, maupun konsentrat (yang banyak dibutuhkan ayam petelur).

Drh Toto mengungkap perbandingan pas harga jagung mahal, banyak peternak yang beralih ke pakan jadi. Ada sebagian yang mencampur pakan sendiri. Sudah tentu saat daya beli mempengaruhi perilaku memenuhi kebutuhan sarana produksi peternakan, akan berpengaruh pula terhadap pembelian obat-obatan (termasuk vaksinasi).

Di sinilah, semestinya peternak tidak melakukan spekulasi terhadap mutu obat/vaksin yang dibutuhkan. Jangan sampai ND dan IBD (Gumboro) yang acap hadir itu penanganannya menjadi terbengkalikan, apalagi ada juga kemunculan IB dan AI yang menambah beban. Jelasnya, antara lingkungan, penyakit, sarana produksi obat-obatan akan sangat saling mempengaruhi. Dan terbukti dari pengamatan lapangan dan penuturan para narasumber Infovet dari berbagai daerah, kemunculan Kholera dan Kolibasilosis adalah sebuah kenyataan. Sama dengan kasus-kasus penyakit lain, penyakit pencernaan ini puin harus dihadapi dengan gagah dan langkah pasti.

Atas dasar itu semua, Infovet dengan bangga mempersembahkan laporan fokus kali ini berdasar kondisi lapangan yang dengan prediksi dan rancangan liputan fokus tentang: Penyakit Pencernaan pada Ternak. Semoga bermanfaat! (Yonathan Rahardjo)

Surat Pembaca Edisi 155 Juni 2007

Lalu, ke mana susu sapi perah dari peternakan kita?

Susu sapi memang berasal dari kebutuhan orang Belanda yang kala itu menjajah Indonesia. Saat itulah mereka mengijinkan industriawannya membuka usaha di Indonesia karena adanya permintaan yang berbanding dengan pola kebiasaan mereka. Sementara orang Indonesia hanya turut menyaksikan saja sampai akhirnya masyarakat pribumi dididik pula untuk turut serta dalam usaha mereka.

Secara umum kualitas susu ditentukan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal dalam hal ini adalah kandungan gizi dari susu dimana dapat diketahui melalui pengujian laboratorium. Sifatnya terkait dari kondisi internal tubuh ternak. Berbeda dengan faktor internal, faktor eksternal ditentukan berdasarkan kejadian yang berlaku di luar tubuh ternak seperti kebersihan kandang, ternak dan peternak.

Sekarang siapa yang berperan dalam pencapaian keinginan peternak akan jaminan kualitas produksinya dan selera konsumen sebagai sasaran pemasaran? Tentu saja yang berperan adalah peternak atau pekerja kandang. Merekalah yang menentukan tingkat kualitas produk susu mereka. Sehingga kualitas juga terkait dengan pola pemeliharaan dan penanganan pascaproduksi. Dan pengetahuan peternak atau pekerja kandang menjadi syarat mutlak untuk menyediakan susu yang berkualitas sesuai dengan selera konsumen.

Kenapa harus ditolak pembeli? Bukankah hasil peternakan diproduksi untuk dijual? Ini terjadi karena kualitas tidak sesuai dengan keinginan pembeli. Artinya kualitas produk ditentukan oleh pembeli dan pembeli tidak dapat dipaksa untuk membeli produk susu. Kalau kita menjual susu ke koperasi susu, tentu saja akan dilakukan uji kualitas produk kita. Mulai dari pemeriksaan kadar lemak, kadar bakteri, dan sebagainya sesuai dengan standar kualitas yang diinginkan oleh konsumen.

Bila ada susu di ember perah dan akhirnya diserbu bakteri perusak maka bukan bakteri, melainkan peternak yang harus disalahkan. Biasanya secara tidak sadar peternak menimbun kotoran yang memberikan peluang bakteri menghinggapinya.

Konsumen kita kini sudah tiba pada pendekatan kulaitas dan bukan lagi kuantitas. Bila budaya minum susu dulunya diidentikkan dengan seseorang yang memiliki strata sosial menengah ke atas sebaimana terjadi pada zaman penjajahan Belanda, maka kini meminum susu menjadi pola hidup masyarakat Indonesia dan tidak mengenal penjenjangan status sosial.

Bila kualitas rendah, maka harapan produksi memenuhi pasar tidak ada. Oleh karena itu, pola-pola peternakan sapi perah harus ditata untuk menghasilkan produk susu yang kualitasnya diinginkan konsumen. Kualitas tidak harus dengan teknologi modern, tetapi penanganan yang menjamin unsur-unsur penentu kualitas tetap ada. Dan kalaupun teknologi harus diimpor berarti produk susu kita seharusnya diekspor.

Subaedy Yusuf
Mahasiswa Fak. Kedokteran Hewan UGM

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih atas segala bantuan Bapak Pimpinan dan staf Redaksi Infovet yang telah memuat berita duka almarhum Drh H Isep Sulaiman MVS bin H Danoe Sumantri yang wafat pada hari Kamis, 1 Februari 2007 pukul 14.20 WIB pada usia 56 tahun di RS Panti Rapih Yogyakarta di Infovet edisi Maret 2007. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan rezeki-Nya selalu, Amin.

Dengan segala kerendahan hati, kami mohon keikhlasan Bapak/Ibu/Sdr/i/Kakak/Adik dan Sahabat serta handai taulan untuk memberikan maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan almarhum selama masa hidupnya dan berkenan turut memanjatkan doa untuknya yang telah 100 (seratus) hari berpulang ke Rahmatullah, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT.

Kami pun menghaturkan terima kasih yang tulus atas segala dukungan moril maupun materil semenjak di rumah sakit sampai wafatnya almarhum dan dikebumikannya pada tanggal 2 Februari 2007 di Sukabumi, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan perlindungan-Nya untuk kita semua, Amin ya robbal alamin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ny. Isep Sulaiman
Yogyakarta

Kami seluruh tim Infovet pun mendoakan semoga arwah beliau diterima dan mendapat tempat terbaik disisi-Nya, serta diampuni segala dosa-dosanya dan diterima segala amal dan ibadahnya, Amin.

AI di DKI JAKARTA


Provinsi DKI Jakarta yang merupakan barometer dan sebagai daerah contoh dalam penanggulangan Al telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang lebih awal sehingga hal ini telah diikuti oleh propinsi lainnya.

Sejauh mana Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 15 Tahun 2007 sudah dilaksanakan, dan apa kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan AI di lapangan?

Kepala Dinas Peternakan, Perikanan & Kelautan Provinsi DKI Jakarta Drh Edy Setiarto MS menyampaikan bahwa kendala-kendala pelaksanaan Peraturan Gubernur adalah Relatif tidak ada halangan karena sebagian besar masyarakat sadar bahwa PERGUB tersebut adalah untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

Namun, katanya, dari aspek pelaku usaha TPA dan TpnA muncul kerisauan-kerisauan
diantaranya tentang kelangsungan usaha dan tenaga kerja. “Untuk pemotongan yang ada di pasar tradisional dan ataupun pemotongan di pemukiman akan ditata lagi secara bertahap,” katanya.

Informasi yang didapat Infovet dari sumber di Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian itu mengungkap bahwa PERGUB tersebut pada tanggal 19 April 2007 telah ditetapkan oleh DPRD Propinsi DKIJakarta sebagai PERDA No. 4 tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.

Menurut Drh Edy Setiarto, rencana telah dituangkan dalam Rancangan (disempurnakan) Peraturan Daerah (PERDA) yang mengamanatkan bahwa semua tempat-tempat penampungan (TPnA) dan pemotongan unggas pangan (TPA) akan direlokasi ke lokasi yang ditetapkan oleh Gubernur secara bertahap dalam jangka waktu paling lama 3 tahun.
Rencana lokasi untuk relokasi TPA dan TPnA ada beberapa, yaitu :

1). TPA Rawa Kepiting, lokasi di Jalan Rawa Kepiting - Kawasan Industri-Pulo Gadung dengan luas keseluruhan 2 ha, termasuk kawasan peruntukan fasilitas khusus (fasus) dan fasilitas umum (fasum) serta sudah dibangun kandang penampungan dan pemotongan

2). RPA Cakung, lokasi di Jalan Penggilingan Cakung Jakarta Timur, dengan luas untuk TPnA 1 ha, dan untukTPAseluas1.600m2.

3). RPA Pulo Gadung, lokasi Jalan Palad Kawasan RPH - Pulo Gadung Jakarta dengan luas keseluruhan 1,5 ha, khusus untuk penampungan Et pemotongan ayam.

4). TPA PT. Kartika Eka Darma, lokasi di Jalan Swadarma No. 69 Kelurahan Srengseng Kec. Kembangan Jakarta Barat dengan luasTPA 1,2 ha. RPA ini milik masyarakat yang kita coba kembangkan.

5) TPnA Kelompok Arela, lokasi di Jalan Penghulu Rt 012/01 No. 99A Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dengan luas lahan keseluruhan 1 ha.

Namun, katanya, “Pemerintah tidak membatasi hanya pada lima lokasi tersebut diatas. Kepada masyarakat yang ingin membangun RPA dan TPnA dapat mengajukan izin pembangunan sesuai dengan peraturan Pemerintah yang berlaku.”

Peraturan yang akan diberlakukan untuk 6 (enam) bulan ke depan adalah pemerintah DKI akan menutup pemotongan dan penampungan yang ada di Jakarta Pusat sebanyak 17 penampungan dengan batas waktu sampai dengan pertengahan bulan Oktober. Demikian diungkap Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia dalam Media Budidaya Ternak Non Ruminansia Unggas dan Aneka Ternak itu.

Setelah tanggal 15 Oktober tidak diperbolehkan lagi pemotongan dan penampungan terutama di daerah padat penduduk atau yang ada kasus positif AI atau kemudian ada kasus AI pada manusia atau ada komplain/pengaduan dari masyarakat. Sejalan dengan keadaan ini maka merupakan suatu moment yang sangat penting untuk membenahi penataan perunggasan

Dengan adanya isu Avian Influenza, sebagian besar peternak unggas dan industri perunggasan di DKI Jakarta mengalami kerugian yang cukup besar, bahkan ada yang sampai gulung tikar. Maka keluar Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 15 Tahun 2007 Tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.

“Pada prinsipnya pengaturan pengendalian pemeliharan dan peredaran unggas yang dilakukan di DKI Jakarta adalah untuk mencegah semakin berkembangnya dan memutus mata rantai penyebaran penyakit flu burung,” kata Edy Setiarto.

“Keadaan peternakan di perkotaan sudah tidak layak lagi di pemukiman dan tidak sesuai dengan standar ibukota, di mana masyarakat hidup tidak berdampingan dengan unggas. Penataan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang sehat,” katanya.

Relokasi juga dilakukan untuk menjaga jarak antara peternakan unggas dengan orang yang tidak berkepentingan dengan unggas. Namun demikian pemeliharan di pemukiman tidak dilarang sepanjang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu dengan jarak 25 m dari pemukiman.

Diungkap Edy, Pengaturan PERDA ada dua pendekatan yaitu unggas pangan adalah untuk dikonsumsi seperti ayam, itik, entok, angsa, merpati potong, dan burung puyuh, diatur dengan peraturan perizinan. Kemudian unggas non pangan seperti unggas kesayangan adalah ayam kate, ayam pelung, ayam bangkok, ayam bekisar, ayam cemani, merpati pos, merpati balap, burung berkicau dan burung hias lainnya, diatur dengan sertifikasi.

Dia uraikan, pengaturan untuk unggas pangan ada dua yaitu kegiatan budidaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu berjarak 25 m dari pemukiman sedang untuk pemotongan sesuai dengan relokasi yang sudah ditetapkan Gubernur.

Adapun, sertifikasi hanya berlaku selama 6 bulan dan untuk selanjutnya harus diperbaharui. Sertifikasi diberikan kepada pemilik unggas kesayangan apabila pemiliknya memenuhi persyaratan antara lain setiap unggas kesayangan dikandangkan, kandang dibersihkan setiaphari, dan kandang didesinfeksi setiap 3 (tiga) hari lalu vaksinasi. Juga disarankan agar diberi pakan yang baik dan vitamin secara rutin.

“Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kerugian peternak adalah bahwa jauh-jauh hari kita sudah melakukan kampanye memakan ayam (mengkonsumsi daging ayam secara baik). Dengan adanya upaya-upaya tersebut jadi hampir tidak ada penurunan permintaan konsumen akan daging ayam,” kata Edy.

Selanjutnya, katanya, relokasi pasar unggas kesayangan akan diatur kemudian karena harus dipikirkan kendala kesulitan pemasaran. Saat ini yang dilakukan adalah penekanan pada persyaratan sanitasi (biosecurity). Gubernur juga akan segera menetapkan tentang persyaratan teknis penataan unggas kesayangan yang baik.

Lalu, khusus untuk unggas kesayangan adalah dengan pendekatan pemberian sertifikat kepada pemilik unggas kesayangan, dan apabila petugas datang untuk memproses sertifikasi.

Menurut Drh Edy Setiarto, sebenarnya sudah banyak aturan dori tahun-tahun sebelumnya yang Man ditetapkan tetapi masih lemah dalam penegakan hukumnya dan dalam pemeriksaan ternyata tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka hewan kesayangan tersebut ditiadakan tanpa kompensasi. Sedang untuk masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan peraturan yang berlaku dalam budidaya ayamnya harus ditiadakan/dipotong dan atau dapat dikonsumsi dengan cara pengolahan yang benar dan kandangnya dimusnahkan.

Adapun dalam jangka panjang PEMDA perlu mengupayakan adanya standar hygiene untuk pemotongan hewan kemudian perlu persyaratan lokasi yang cukup luas untuk mempertahankan hygiene.

“Untuk ke depan tuntutan masyarakat terhadap hygiene sudah semakin tinggi. Masyarakat perunggasan didorong bisa menyesuaikan tuntutan masyarakat tersebut diantaranya ikut berperan dalam kegiatan penataan perunggasan yang dilakukan 6- Riwayal Pekerjaan : PEMDA,” katanya.

Sedangkan untuk masyarakat umum, secara tidak langsung konsumen dapat mengajari produsen dengan membeli ayam yang baik pada kios yang disediakan dan mempunyai label halal.

“Masyarakat harus terus waspada, jangan membeli sembarangan seperti membeli ayam dengan harga murah, karena harga ayam sudah standar dan selalu dilakukan pengawasan,” tegas Drh Edy.

Adapun menurutnya, untuk mendorong timbulnya industri yang menghasilkan peralatan pendingin (kendaraan, tempat penyimpanan, tempat pajangan dll) yang sangat diperlukan dalam perubahan sistim tataniaga yang diinginkan dan kegiatan itu sepenuhnya dilakukan oleh pelaku usaha. (YR)

PENYAKIT VIRAL MENAPAKI JEJAK IVANOVSKY


Keberhasilan usaha peternakan unggas khususnya ayam potong dan ayam petelur, baik sebagai penghasil bibit (breeding) maupun usaha pemeliharaan, sangat tergantung pada kesehatan ternak. Sehingga penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit harus menjadi prioritas utama. Kesehatan hewan merupakan kunci utama dalam usaha peternakan ayam, baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit ayam memerlukan pertimbangan dari berbagai segi, baik dari segi penyakit maupun segi ekonomis. Status kesehatan hewan juga sangat berpengaruh langsung terhadap status kesehatan reproduksi, dimana untuk ayam petelur tidak akan mampu menghasilkan telur bila alat-alat reproduksinya tidak berfungsi dengan normal.

Di samping itu, manajemen kesehatan hewan juga perlu mendapatkan perhatian lebih dari peternak. Manajemen tersebut seperti manajemen kesehatan umum, manajemen pencegahan, pengendalian dan penanganan penyakit-penyakit organik, infeksi, virus, jamur serta parasit.

Demikian disampaikan drh Jully Handoko dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau. Menurutnya penanganan kesehatan ternak secara umum meliputi kebersihan ternak dan lingkungannya luar dan dalam serta yang tidak kala pentingnya adalah penjagaan kesehatan terhadap anak kandang yang secara langsung berhubungan dengan ternak yang dipelihara.

Sedangkan, untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan pelaksanaan pemberian vaksinasi pada ternak, serta pemberian obat-obatan dengan jadwal yang telah disepakati dan harus mendapatkan rekomendasi dari petugas kesehatannya.

Namun Jully menegaskan untuk tidak memilih cara ini (red; pengobatan), alasannnya adalah membutuhkan biaya yang besar. ”Konsep yang benar dalam beternak itu adalah mencegah penyakit, bukan mengobati penyakit”, tegas Jully.

Bicara soal penyakit dan penyebabnya, keberadaan virus masih saja dianggap sebagai pemicu munculnya beberapa penyakit yang membahayakan ternak. Sebut saja ND, IBD, Cacar Unggas, Chicken Anemia Syndrome (CAS), Egg Drop Syndrome pada ayam petelur, Gumboro, AI dan banyak lagi jenis penyakit lain yang dipromotori kehadirannya oleh virus.

Menapaki Kembali Jejak Ivanovsky

Menguak tabir dunia virus berarti kembali mengingat sejarah awal penemuan virus. Adalah Dmitri Ivanovsky, biologiwan Rusia yang pada tahun 1892 silam mencoba mempelajari penyakit mosaik pada tembakau dengan penampakan daun berbercak kuning.

Ivanovsky muda mencoba membuat eksperimen dengan cara membuat ekstrak daun yang terpapar penyakit tersebut, kemudian dioleskan pada daun yang sehat, selang beberapa waktu daun yang sehat terserang penyakit yang sama. Simpulan awal Ivanovsky adalah penyakit mosaik pada tembakau disebabkan oleh bakteri patogen atau bakteri penyebab penyakit.

Kemudian Ivanovsky melanjutkan penelitiannya dengan membuat kembali ekstrak daun tembakau yang terinfeksi bakteri patogen. Ekstrak daun tersebut disaring dengan saringan keramik, kemudian cairan hasil saringan tersebut dioleskan kembali ke daun tembakau yang sehat, ternyata daun tersebut menjadi sakit.

Ivanovsky berpikir, bila penyakit mosaik disebabkan bakteri, maka daun yang dioleskan dengan hasil ekstrak yang disaring dengan saringan keramik tidak akan sakit karena bakteri tidak bisa lolos dari saringan keramik. Kembali Ivanovsky menyimpulkan bahwa penyakit mosaik pada tembakau disebabkan oleh super mikro organisme.

Wajah-wajah lain yang ikut andil dalam penemuan virus sebagai penyebab penyakit pada makluk hidup adalah M Beijerinck (1899) asal negara kincir angin dan Wendell M Stanley (1935) dari Rockefeller Institute, USA.

WM Stanley berhasil mengisolasi dan mengkristalkan virus mosaik tembakau dengan simpulannya bahwa virus berbeda dengan bakteri. Menurutnya, apabila virus diinjeksikan ke tanaman tembakau yang sehat, virus akan aktif, menggandakan diri dan menyebabkan penyakit.

Kemudian alasan lainnya adalah virus dapat dikristalkan, ini berarti virus bukan sel. Virus dianggap sebagai peralihan antara benda abiotik dan biotik. Setidaknya lanjutan penelitian Ivanovsky yang dilakukan WM Stanley ini memberi khasanah baru dalam dunia kesehatan baik tumbuhan, hewan dan manusia.

Dalam dunia kesehatan hewan dewasa ini, telah pula ditemukan beribu-ribu jenis virus yang memberikan dampak sangat merugikan baik bagi ternak maupun bagi peternak dengan dampak terkurasnya modal usaha akibat gagal produksi, karena adanya invasi atau serangan virus di farm peternakan. Termasuk, tentu saja, virus Avian Influenza.(Sadarman)

SELEKSI BENIH VIRUS AI UNTUK VAKSINASI


Masalah lain dalam strategi vaksinasi adalah penentuan seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan seed vaksin menjadi masalah yang pelik.

Virus Avian Influenza yang sangat palogen (highly pathogenic avian influenza virus/HPAI) subtipe H5N1, telah menyebabkan sampar ayam pada unggas di berbagai neqara di Asis seperfi Vietnam, Thailand, Cina, Jepang, Korea Selatan, Kamboja, Laos, dan Indonesia sejak akhir 2003 sampai sekarang (WHO 2005). Ratusan juta ayam dan itik telah dimusnahkan untuk menghentikan laju penyebarannya.

Di samping menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan ancaman pada ketahanan pangan, virus HPAI ini juga telah terbukti dapat melompati barier spesies unggas-manusia dan dapat menjadi ancaman pandemi.

Karenanya, pencegahan infeksi pada unggas sangat penting. Strategi yang umum dilakukan untuk pengendalian Al pada unggas adalah pemusnahan unggas yang tertular dalam radius tertentu (stamping out/preemptive culling), biosekuriti, dan vaksinasi.

Berbagai sediaan vaksin Al untuk unggas telah banyak dicoba. Akan tetapi sediaan yang umum untuk penggunaan komersial adalah vaksin virus inaktif dalam adjuvant minyak. Vaksin jenis ini telah terbukti dapat melindungi unggas dari gejala klinis dan kematian, tetapi tidak menekan eksresi virus.

Fakta ini menimbulkan keraguan tentang daya-guna vaksinasi dalam mencegah penyebaran antar hewan. Penuiaran yang tak kasat mata ini meningkatkan risiko wabah baru dan membawa ancaman pada kesehatan masyarakal.

Untuk mengatasi masalah tersebut diusulkan untuk menerapkan strategi vaksinasi dengan sentinel dan teknologi DIVA yang membedakan antibodi akibal vaksinasi dengan infeksi alam. Mengingat masalah dalam aplikasi strategi diatas, jalan keluar terbaik adalah pengembangan vaksin yang mencegah transmisi virus dengan sempurna.

Vaksin yang mendekati kondisi ideal tersebut telah dikembangkan untuk virus AI subtipe H7N7. Vaksin untuk subtipe H5N1 yang mempunyai potensi menekan ekskresi virus secara sempurna belum pernah dilaporkan.

Masalah lain dalam strategi vaksinasi adalah penentuan seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan seed vaksin menjadi masalah yang pelik.

Perkembangan virus Al dan dampaknya pada penentuan seed vaksin diulas G Ngurah Mahardika dari Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan Wayan I Wibawan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor kepada Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia dalam Media Unggas dan Aneka Ternak baru-baru ini. Atas ijin khusus Direktur Budidaya Ternak Non Ruminansia Drh Djajadi Gunawan MPH kepada Infovet pembaca dapat menikmati untuk sebuah pencerahan bersama sekaligus untuk dikritisi.

Pencegahan, Pengendalian, dan Eradikasi

Penyakit AI termasuk penyakit yang harus dimonitor dan dilaporkan. Kata kunci untuk tindakan pemusnahan (eradikasi) adalah diagnosis akurat dan segera. Kunci yang kedua untuk keberhasilan pencegahan, pengendalian, dan eradikasi adalah pengendalian harus dilakukan serentak dan seragam. Tanpa hal seperti ini, banyaknya hewan dan burung liar akan membuat Virus AI ganas lestari dan endemik di suatu wilayah.

Pemusnahan unggas yang tertular dan yang kontak dengannya dalam radius tertentu merupakan strategi yang paling efektif. Strategi ini meliputi penentuan zona karantina, pembatasan lalu lintas unggas dan produk-produknya serta manusia, repopulasi peternakan setelah tindakan pembersihan dan daerah yang bersangkutan memang bebas Virus AI HPAI.
Gelombang wabah H5N1 antara Juli sampai September 2004, diperkirakan terjadi karena pembersihan yang tidak memadai, pengujian yang tidak mencukupi, dan repopulasi yang terlalu dini. Jika wabah tidak meluas, dan virus belum endemik pada ternak unggas dan burung liar, strategi ini dapat berhasil.

Strategi ini telah terbukti berhasil di berbagai negara, seperti Amerika Serikat pada wabah H5N2 di Pennsylvania tahun 1980-an dan Jepang untuk H5N1 pada awal 2004.
Jika penyebaran suatu Virus AI HPAI pada ternak sudah demikian luas atau penyakit sudah menjadi endemik pada ternak dan burung liar, stamping out mustahil dilakukan. Strategi alternatif adalah stamping out plus vaksinasi. Strategi ini diadopsi oleh Cina dan Indonesia sejak 2004.

Strategi ini banyak ditentang, seperti pengalaman Meksiko dalam mengendalikan wabah HPAI H5N2 tahun 1990-an. Walaupun kasus wabah tidak dilaporkan kembali setelah penerapan strategi tersebut, sumber virus tetap bersirkulasi dan telah terbukti kembali mengganas di Amerika Tengah dan Amerika Serikat tahun 2004.

Program vaksinasi yang diterapkan di suatu negara membuat produk perunggasan negara tersebut tidak boleh diekspor. Thailand, yang juga tertular HPAI H5N1, masih menggolongkan tindakan vaksinasi sebagai ilegal.

Argumen penentang vaksinasi antara lain: vaksinasi tidak mendorong peternak untuk meningkatkan isolasi dan biosekuriti. Lalu vaksinasi dapat berhasil mencegah penyakit klinis akan tetapi tidak mencegah eksresi virus pada ayam yang divaksin.

Adapun penggunaan vaksin dilaporkan memicu munculnya varian akibat mutasi; penggunaan vaksin menyebabkan virus menjadi endemik seperti terjadi di Meksiko dan Amerika Tengah, dan mungkin sedang berlangsung di Asia.

Sementara itu penggunaan vaksin mempengaruhi perdagangan dan menyembunyikan virus menular yang masih ada.

Vaksinasi tampaknya memang telah menjadi pilihan Indonesia. Vaksinasi hendaknya disertai dengan strategi untuk memantau virus ganas yang mungkin masih beredar di kandang atau wilayah yang bersangkutan.

Dengan demikian, kebijakan vaksinasi mestinya disertai penyediaan dan pelaksanaan prosedur pemantauan virus yang pathogen pada ternakyang divaksin. Jika vaksin homolog digunakan, kelompok unggas sentinel yang sengaja tidak divaksin tersedia di sekitar kandang yang divaksin.

Aktivitas virus ganas dapat dipantau dari kelompok hewan ini. Penerapan vaksin heterolog digolongkan sebagai vaksin DIVA, singkatan dari "Differentiating Infection from Vaccinated Animal", membedakan hewan yang terinfeksi alami dengan hewan yang divaksinasi. Antibodi terhadap NA selain subtipe yang tersedia dalam vaksin menjadi indikator aktivitas virus ganas alami.

Perkembangan Virus AI

Sekalipun publikasi tentang genotipe virus Al H5N1 asal Indonesia belum banyak dipublikasi, data yang telah tersedia menunjukkan bahwa virus tersebut telah berevolusi dan kian menyebar di Indonesia melalui perantara lalu lintas unggas dan produk perunggasan.

Reassortment genetik dan peran burung liar migratori belum teridentifikasi. Seperti yang diduga, materi genetika virus Al H5N1 terus mengalami perubahan melalui mutasi (genetic drift) terutama pada segmen ke-4 yanj menyandi protein HA. Sequence gen I dari mayoritas virus H5N1 yan bersirkulasi pada burung selama 3 tahul terakhir telah terpisah menjadi duf 'phylogenetic clades' yang berbeda.

Grup 1 bersirkulasi Kamboja, Thailand dan Vietnam. Grup4 beredar di China dan Indonesia 2003-2004, yang kemudian menyebar ke Timur Tengah, Eropa, dan Afrika padal tahun 2005-2006. Grup ini juga telatif berkembang menjadi 6 sub-grup, tiga diantaranya mempunyai daerah penyebaran geografis yang berbeda dan merupakan agen penyebab kasus-kasus infeksi pada manusia di Indonesia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Cina.

Semua virus Indonesia yang dianalisis berada dalam satu klaster yang mengindikasikan introduksi virus awal yang sama. Analisis lebih lanjut menunjukkan virus H5N1 Indonesia membentuk tiga sub-l kelompok genetik.

Sub-kelompok Al ditemukan di Jawa, Sulawesi Selatan, danl Timor Barat. Sub-kelompok B terisolasil dari Jawa, Bali, Flores dan Timor Barat.

Sementara sub-kelompok C berasal dari isolat Jawa dan Sumatra.

Dari informasi tersebut tampak bahwa semua sub-kelompok ditemukan di Jawa, sementara daerah tertular lain umumnya mempunyai satu sub-kelompok saja. Hubungan ini mengindikasikan introduksi virus Al H5N1 di Indonesia yang pertama terjadi di Pulau Jawa yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lainnya.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perkembangan genetik virus Al H5N1 asal Indonesia tampaknya lebih kompleks dari postulasi tersebut.

Pohon filogenetik virus Al H5N1 isolat asal hewan dan manusia di Indonesia dengan mengikutsertakan isolat-isolat terakhir, termasuk isolat virus asal babi di Bali (data belum dipublikasikan) seperti ditampilkan pada Gambar menerangkan bahwa pembagian sub-kelompok A, B, dan C tampaknya belum mencakup semua isolat asal Indonesia. Beberapa isolat berada di luar sub-kelompok tersebut.

Khusus untuk Bali, ketiga sub-kelompok yang diisolasi di Jawa tampaknya juga menyebar di pulau tersebut.

Perkembangan tersebut mempengaruhi struktur antigenik virus Al yang menyebar di Asia, termasuk Indonesia. Kajian yang dilaporkan menunjukkan bahwa virus-virus asal Indonesia tidak bereaksi dengan antibodi terhadap representatif virus asal Vietnam, demikian juga sebaliknya, namun masih menunjukkan reaksi silang dengan virus asal Hong Kong dan Cina.

Di samping itu, variasi antigenik juga tampak sekali diantara virus-virus asal Indonesia. Variasi antigenik tersebut bahkan ditunjukkan dengan titer antibodi terhadap virus-virus dari masing-masing subkelompok sampai empat log.

Perkembangan tersebut juga mempunyai implikasi yang besar dalam pemilahan seed vaksin yang hendak digunakan di suatu wilayah. Idealnya, vaksin yang digunakan mestinya mempunyai homologi genetik dan antigenik yang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan.

Untuk wilayah yang mempunyai virus yang berasal dari satu sub-kelompok, vaksin yang digunakan idealnya mengandung antigen dari masing-masing sub-kelompok.

Penggunaan seed vaksin yang tidak sesuai dapat menurunkan protektivitas vaksin. Kasus-kasus kegagalan vaksinasi mungkin akan semakin sering terjadi. Kalaupun unggas yang divaksin tetap tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata, penurunan produksi dan tingginya beban virus pada lingkungan dapat menjadi konsekuensi logis pada penggunaan seed vaksin yang tidak sesuai.

Dengan demikian risiko kerugian ekonomi dan kesehatan masyarakat akan tetaptinggi.
Di samping itu, penggunaan vaksin ditenggarai dapat memicu munculnya varian akibat mutasi dan vaksinasi menyembunyikan virus menular dapat menjadi ancaman baru. Dari survei virologi dan epidemiologi intensif di Cina Selatan, dilaporkan kemunculan dan dominasi virus Fujian-like sejak akhir 2005.

Virus ini menggantikan secara bertahap klaster virus yang sebelumnya beredar dan telah menyebabkan infeksi pada manusia di Cina belum lama ini. Disamping itu, virus Fujian-like ternyata telah tersebar di Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Thailand. Dominasi virus ini diduga difasilitasi program vaksinasi massal yang dilakukan di Cina. Hal serupa perlu dimonitor di Indonesia.

Sekalipun publikasi tentang genotipe virus Al H5N1 asal Indonesia belum banyak dipublikasi, data yang telah tersedia menunjukkan bahwa virus tersebut telah berevolusi dan kian menyebar di Indonesia melalui perantara lalu lintas unggas dan produk perunggasan.

Sesuai dengan sifat-sifat virus influenza, materi genetika virus Al H5N1 terus mengalami perubahan melalui mutasi (genetic drift) terutama pada segmen ke-4 yang menyandi protein HA. Semua virus Indonesia secara genetik berada dalam satu klaster yang mengindikasikan berawal dari introduksi virus awal yang sama.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahawa virus H5N1 Indonesia membentuk tiga sub-kelompok genetik dengan daerah sebaran geografis tertentu, kecuali di Pulau Jawa dan Bali yang mempunyai representatif ketiga kelompok itu.

Perkembangan tersebut mempengaruhi struktur antigenik virus Al yang menyebar di Asia, termasuk Indonesia. Virus-virus asal Indonesia tidak bereaksi dengan antibodi terhadap representatif virus asal Vietnam, demikian juga sebaliknya, namun masih menunjukkan reaksi silang dengan virus asal Hong Kong dan Cina.

Di samping itu, variasi antigenik juga tampak sekali, walaupun masih menunjukkan reaksi silang diantara virus-virus asal Indonesia.

Idealnya, vaksin yang digunakan mestinya mempunyai homologi genetik dan antigenikyang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan.

Dalam hal menggunakan vaksin yang heterolog yang materi genetik H5-nya tidak berasal dari Indonesia, vaksin yang bersangkutan sebaiknya diuji tantang dengan representatif ketiga sub-kelompok virus yang beredar di Indonesia dan dipilah vaksin yang menunjukkan protektivitas klinis dan penekanan ekskresi virus seminimum mungkin.

Tentu uraian tulisan ini sangat bermanfaat untuk melacak keberadaan virus AI sekaligus bbit untuk vaksin di tanah air dalam menfatasi kemelut yang rasanya kalangan peternakan relatif sudah semakin lihai untuk menangani. Meski ada masalah di sana-sini, bukankah itu sebuah kewajaran dalam proses untuk menjadi lebih baik dalam menangani? Kiranya begitu. (YR)

Kekuatan Bersyukur

oleh Bambang Suharno

Jika kita bersyukur terhadap apa yang kita miliki, maka kita akan mendapatkan lebih banyak lagi yang layak kita syukuri. Demikian kalimat penutup dalam artikel saya di Infovet edisi Juli 2007. Saya dan juga anda, tentu begitu sering mendengar kalimat semacam ini sehingga tanpa sadar kadang merasakan bahwa kalimat ini hanya sekedar kalimat pelipur lara saja.

Lain halnya ketika saya membaca bahasan tentang syukur yang ditulis oleh Rhonda Byrne dalam buku berjudul The Secret (Rahasia). Buku ini menjadi perbincangan hangat di Amerika Serikat. Penulisnya tampil dalam dua acara televisi yang paling bergengsi yakni acara yang dipandu Larry King dan acara Oprah Winfrey. Di Indonesia Buku The Secret versi Bahasa Indonesia termasuk dalam kategori buku best seller nasional.

Menurut cerita, Rhonda Byrne semula mengalami masalah hidup yang sangat berat. Kemudian dia menemukan sebuah buku yang mengungkapkan rahasia terbesar sepanjang jaman, yang merupakan jawaban atas segala persoalan yang sedang dia alami. Karena penasaran, Rhonda Byrne kemudian melakukan pencarian tentang informasi yang lebih lengkap tentang The Secret itu sendiri, yang ternyata di masa lalu dikuasai oleh orang-orang yang telah memberikan sumbangan besar kepada dunia, seperti Newton, Emerson, Beethoven, Edison, Einstein dan sebagainya.

Hasil pencarian itu, Byrne menemukan beberapa Secret Teacher masa kini, diantaranya Bob Proctor (pembicara internasional), Jack Canfield (penulis buku Chicken Soup For The Soul yang telah dicetak 50 juta eksemplar), John Demartini dan lain-lain. Mereka membeberkan rahasia sukses dalam buku ini.

Byrne mengatakan, banyak orang sukses tidak mengetahui ada buku ini, namun jika diteliti cara-cara hidupnya, orang-orang hebat ini (tentunya hebat dalam jalur kebaikan) secara tidak sadar telah mempraktekkan apa yang ada di dalam buku ini.

Satu hal dalam buku The Secret yang paling menarik menurut saya adalah tentang bersyukur. Mengutip petuah Joe Vitale, Byrne mengatakan, bila anda ingin mengubah hidup, hal pertama yang dapat anda mulai adalah membuat daftar hal-hal yang anda syukuri. Jika sebelumnya anda berfokus pada apa yang tidak anda miliki, pada keluhan dan masalah anda, sekarang anda dapat menemukan perbaikan luar biasa bila mulai melakukan latihan bersyukur.

John Demartini menambahkan apapun yang kita pikirkan dan syukuri, kita akan mendapatkannya lagi. Silakan anda praktekkan!

”Syukur adalah bagian mendasar dari ajaran-ajaran guru besar sepanjang sejarah,” kata Bryne. Dalam buku The Science of Getting Rich karya Wallace Wattles di tahun 1910, syukur adalah bab yang terpanjang. Demikian pula dalam buku The Secret ini, setiap orang yang ditokohkan menggunakan rasa syukur sebagai bagian dari hari-hari sukses mereka. Mereka memulai aktivitas pagi hari dengan pikiran dan perasaan syukur.

Lantas, mengapa bersyukur bisa mendatangkan lebih banyak hal yang layak disyukuri lagi? Ini dapat dijelaskan dengan hukum tarik menarik (law of attraction) yang merupakan prinsip utama sukses.

Law of Attraction menyatakan bahwa pikiran akan membentuk realitas. Pikiran yang positif akan menarik hal-hal yang positif, pikiran yang negatif akan menarik hal-hal yang negatif. Dasar ilmiahnya adalah bahwa pikiran kita merupakan gelombang, sebagaimana setiap partikel yang menyusun semesta ini. Pikiran kita selalu membangkitkan getaran yang akan direspon oleh semesta. Dalam fisika kuantum dikemukakan bahwa kejadian di luar sana hanyalah samudera kemungkinan- kemungkinan, yang menjadi "realitas" setelah dibentuk oleh pikiran. Bila anda melihat batu, dia adalah samudera kemungkinan yang oleh pikiran dapat berubah menjadi perhiasan, bahan kimia, alat rumah tangga atau apapun, tergantung pikiran manusia. Jadi pikiranlah yang membentuk "dunia" kita.

Demikian halnya dengan kejadian yang kita alami saat ini, sesungguhnya adalah hasil pikiran kita jauh hari sebelumnya, sengaja ataupun tidak.

Ambil contoh, misalkan anda tersinggung dengan perkataan seseorang, lantas anda fokuskan pada perasaan tersinggung itu, maka rasa tersinggung akan menarik ketersinggungan yang lebih besar lagi. Anda tersinggung satu hal dari satu orang, bisa bertambah menjadi beberapa hal dari satu orang. Kemudian anda pikirkan dan rasakan ketersinggungan anda, maka berikutnya anda bisa tersinggung oleh orang lain. Demikian seterusnya, sehingga ketersinggungan akan menarik ketersinggungan berikutnya.

Sebaliknya bila anda sekuat tenaga memikirkan hal positif dari orang yang menyinggung anda, selanjutnya rasa tersinggung akan sirna. Pikiran positif akan menarik pikiran positif. Kejadian bahwa hati anda kemudian lebih tenang, tidak tersinggung dengan perkataan orang, dan kemudian mendapatkan orang lain yang ramah adalah hasil dari pikiran anda sebelumnya.

Jika anda mengeluh, law of attraction akan mendatangkan lebih banyak situasi yang anda keluhkan ke dalam hidup anda. Anda mengeluh bos anda berlaku tidak adil? Kemanapun anda pergi anda akan menemukan lebih banyak orang yang bertindak tidak adil kepada anda. Jika anda mendengar seseorang mengeluh dan anda berfokus pada hal itu, bersimpati kepadanya, saat itu juga anda menarik lebih banyak situasi kepada diri anda untuk mengeluh juga.

Kita tak perlu mengusir hal-hal buruk, cukuplah dengan menarik hal-hal baik, maka yang buruk akan pergi. Bersyukur adalah menarik hal yang baik, yang dengan sendirinya mengusir hal yang buruk. Dengan kata lain, menurut Law of attraction, bersyukur (hal positif) akan menarik ”hal positif” lain yang layak disyukuri.

Dengan penjelasan ini, ”petuah bersyukur” tidak lagi terasa seperti kalimat pelipur lara. Ini soal hukum alamiah yang sudah berlaku sejak dulu kala. Awalilah hari anda dengan rasa syukur yang sebenar-benarnya, kalau perlu sampai berlinang air mata, terhadap yang telah anda miliki. Salam sukses***


Konsultasi, training& saran, email ke: bambangsuharno@telkom.net

Ahli Susu Kuda Sumbawa

Profil Edisi 157 Agustus 2007
Dr Drh Diana Hermawati MSi, Giat Promosi Susu Kuda Sumbawa

Adalah Dr Drh Diana Hermawati, wanita kelahiran Jakarta 19 Februari 1955 yang tekun mempelajari seluk beluk susu kuda Sumbawa atau yang dulu di era tahun 1997 sering disebut susu kuda liar. Bahkan berkat susu ini pula ia mendapat gelar Doktor dari Fakultas Pascasarjana IPB tahun 2005 silam.

Menurut Diana yang ditemui Infovet di Pasar Tani Komplek Departemen Pertanian, Ragunan (8/6) siang, kini sudah saatnya kembali mempromosikan salah satu produk peternakan unggulan asal Pulau Sumbawa ini. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa susu kuda Sumbawa mempunyai keistimewaan yaitu tidak mengalami penggumpalan dan kerusakan meskipun tidak dipasteurisasi dan tanpa diberi bahan pengawet apapun.

“Keunikan lainnya susu ini tahan disimpan pada suhu kamar sampai 5 bulan. Sifat ini memberi petunjuk bahwa dalam susu kuda Sumbawa terkandung zat yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang berupa senyawa antimikroba alami,” ujar PNS yang merintis pengembangan Lembaga Pengujian Mutu Produk Peternakan yang kini menjadi Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan.

Karena keunggulan tersebut ia bersama rekan gigih memasarkan produk susu ini dengan pemasaran yang dikirim langsung dari kelompok tani hasil binaannya di kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Walhasil, rutin produk susu yang baik untuk kesehatan ini terserap ke banyak pelanggan setianya.

Selain itu, untuk menjaring pemasaran, ia juga giat mengikuti berbagai promosi seperti dalam seminar, lokakarya dan pameran. Promosi dalam bentuk talkshow di radio pun mulai rutin dilakukan.

Untuk mendapatkan khasiat dari susu kuda Sumbawa, Diana menganjurkan untuk rutin meminum susu ini cukup 25-50 cc setiap hari pada pagi hari; atau kalau mau dua kali sehari pagi dan sore.

“Efeknya sangat baik untuk kesehatan saluran pencernaan karena susu ini mengandung prebiotik alami. Dan tak perlu melebih dosis yang dianjurkan karena hanya dengan 50 cc aktivitas biologiknya telah optimal menekan populasi bakteri jahat dalam saluran pencernaan. Selain itu susu ini juga berfungsi untuk menjaga kebugaran, stamina dan menyembuhkan penyakit pencernaan (tifus, kolera dan disentri), TBC, Leukimia dan Tumor,” kata Doktor yang menjabat sebagai Medik Veteriner Madya di Direktorat Kesehatan Hewan Deptan saat ini.

Produk susu yang ditawarkannya dijamin keasliannya karena berasal dari produksi kelompok tani yang telah dibinanya lebih dari 5 tahun. Mereka dibina mulai dari aspek sanitasi, hygiene, dan pengemasan, sehingga dijamin produknya berkualitas dan berkhasiat sesuai dengan keunggulan susu kuda Sumbawa yang terkenal itu.

Selain susu, dokter hewan alumni FKH UGM ini juga menawarkan madu khas Sumbawa yang diperoleh dari hutan sehingga kemurnian dan keasliannya juga tak perlu diragukan lagi. Lebih lanjut, dari kuda Sumbawa tak hanya susunya yang bermanfaat, dagingnya pun juga lezat dikonsumsi. Saat ini Diana tengah menyiapkan pasokan untuk sebuah restoran yang menyediakan menu daging kuda Sumbawa untuk barbekyu dan steak.

Dahulu sempat dilarang

Sebelumnya peredaran susu kuda liar asal Sumbawa sempat dilarang oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena dinilai promosi susu ini bersifat menyesatkan dan khasiatnya meragukan karena belum diuji coba secara klinis. Namun semua itu kini terbantahkan berkat penelitian Diana.

Dari tesisnya yang berjudul “Kajian Aktivitas dan Karakterisasi Senyawa Antimikroba dari Susu Kuda Sumbawa” disimpulkan bahwa susu kuda Sumbawa mempunyai keistimewaan yaitu tidak mengalami penggumpalan dan kerusakan meskipun tidak dipasteurisasi dan tanpa diberi bahan pengawet apapun, serta tahan disimpan pada suhu kamar sampai 5 bulan. Sifat ini memberi petunjuk bahwa dalam susu kuda Sumbawa terkandung zat yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang diduga senyawa antimikroba alami.

Hal itu dibuktikan berdasarkan pengamatan Diana di lapangan ternyata susu kuda Sumbawa yang disimpan pada suhu kamar sampai beberapa bulan tidak rusak, melainkan hanya mengalami fermentasi. Padahal susu sapi yang disimpan pada suhu kamar dalam waktu 24 jam sudah rusak dan tidak dapat dikonsumsi lagi.

Sekitar tahun 1998 banyak beredar dan populer di masyarakat produk susu kuda dengan label "susu kuda liar" dan dipromosikan sebagai obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, seperti paru-paru basah, tuberkulosis, tifus, anemia, kanker dan sebagainya. Susu kuda Sumbawa yang dijual dengan label ‘susu kuda liar’ dinyatakan masa edarnya sampai beberapa bulan.

Susu ‘kuda liar’ tersebut ternyata berasal dari susu kuda yang dipelihara dengan cara ekstensif (liar) yaitu dilepas di hutan atau daerah bukit di pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kabupaten Sumbawa, Bima, Dompu yang akhirnya disebut sebagai susu kuda Sumbawa. Susu kuda Sumbawa merupakan hasil pemerahan kuda-kuda di ketiga kabupaten tersebut yang selanjutnya oleh para pengumpul susu langsung dikirim menggunakan jerigen atau botol tanpa pemanasan dan pengolahan terlebih dahulu ke perusahaan pengemas di Pulau Sumbawa, Lombok dan Pulau Jawa.

Baik untuk pengobatan

Di Rusia susu kuda diolah menjadi Koumiss yang dipakai untuk Koumiss Therapy di rumah-rumah sakit di Samara, Moskwa, Leningrad, Volinsk dan lain-lain. Menurut Dharmojono (1993) pada tahun 1962 sudah ada 23 rumah sakit di Rusia yang menggunakan Koumiss Therapy untuk menanggulangi penyakit-penyakit tuberculosis (TBC), saluran pencernaan, avitaminosis, anemia (lesu darah), penyakit kardiovaskuler, lever dan ginjal. Sedangkan, di Indonesia, penggunaan susu kuda liar untuk pengobatan berbagai macam penyakit baru dikenal setelah ada pengalaman beberapa pasien penderita leukemia yang disembuhkan.

Masyarakat meyakini bahwa susu kuda Sumbawa mempunyai khasiat dapat mengobati bermacam-macam penyakit namun demikian khasiat tersebut belum berdasarkan pada hasil penelitian. Lebih lanjut, menurut Dharmojono, masyarakat yang mengkonsumsi susu kuda Sumbawa yakin khasiatnya dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti kanker, tuberkulosis paru-paru, saluran kencing, anemia, saluran pencernaan dan jenis penyakit lainnya yang tidak dapat ditanggulangi oleh dokter, sehingga oleh masyarakat sering disebut sebagai ‘obat dewa’.

Di lain pihak ada sebagian masyarakat yang menyangsikan khasiat susu kuda Sumbawa sebagai obat, sebagaimana dikutip dari pemberitaan beberapa media masa. Sementara, hasil pengujian di Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di beberapa daerah menunjukkan bahwa susu kuda Sumbawa bersifat asam dengan, pH 3-4, tidak mengandung bakteri patogen, bahan pengawet maupun bahan yang membahayakan, serta nilai gizinya baik dan kadar lemaknya rendah, yaitu 0,97%.

Bagi anda yang berminat terhadap susu Kuda Sumbawa ini bisa menghubungi Dr Drh Diana Hermawati di nomor 08121108082. (wan)

PARADIGMA BARU SETELAH 4 TAHUN BERSAMA AI


Pendekatan dalam penanggulangan AI/Flu Burung selama ini masih melakukan pendekatan peternakan (farm based), mestinya harus diubah dengan pendekatan pada unsur kemasyarakatan (community based) mengingat kasus flu burung sudah masuk pada sektor 4 di mana di sini terdapat pada rumah pemukiman penduduk.

Pada prinsipnya laporan tentang penyakit AI pada edisi ini adalah kelanjutan dari laporan terdahulu di Majalah Infovet edisi bulan Juli 2007 yang menampilkan berbagai tokoh dalam dan luar negeri, dan kini pun dilanjutkan dengan pendapat para narasumber yang lain untuk mendapatkan bagaimana gambaran AI setelah 4 tahun bersama kita.

Pada artikel bertajuk “Status Paling Mutakhir Penyakit Pernafasan Avian Influenza” itu Menteri Pertanian Dr Ir Anton Apriyantono MS di antaranya menyatakan Wabah HPAI yang merebak di Indonesia mulai pertengahan tahun 2003 telah menyebar cepat ke berbagai daerah di Indonesia. Sejak tahun 2006 vaksinasi ditargetkan hanya dilaksanakan di daerah yang berisiko tinggi di 11 propinsi (seluruh propinsi di P. Jawa, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, dan Sulawesi Selatan).”

Direktur Jenderal Peternakan Ir Mathur Riady MA di antaranya menyatakan Program pengendalian AI harus dikoordinasikan dengan Campaign Management Unit (CMU) atau Unit Pengendalian dan Penanggulangan Avian Influenza (UPPAI-Deptan) untuk menentukan wilayah, tata laksana, monitoring, program restocking, dan tindakan sanitasi untuk flok yang terinfeksi.

Adapun Direktur Jenderal Peternakan Periode 1999-2005 Dr Drh Sofjan Sudardjat MS di antaranya tetap berpendapat satu-satunya jalan untuk menanggulangi penyakit AI adalah dengan vaksinasi dan biosekuriti. Pembunuhan atau pemberantasan ayam bukanlah tindakan yang utama, namun merupakan tindakan pelengkap.

Lalu Direktur Kesehatan Hewan Ditjennak Drh Musny Suatmodjo menyatakan saat ini Indonesia menggunakan 3 jenis strain vaksin yaitu H5N1, H5N9, dan H5N2. Latar belakang dipilih ketiga jenis vaksin itu karena vaksin H5N9 dan H5N2 telah digunakan untuk sektor 1 hingga 3 untuk mengendalikan AI sejak tahun 2004, sementara sektor 4 menggunakan vaksin H5N1 karena harganya murah, cepat dan mudah didapat.

Penggunaan vaksin H5N1 sendiri akan mulai dihentikan sejak Oktober 2007 nanti sesuai dengan rekomendasi OIE. Sampai saat ini, ketentuan ini belumlah dicabut.
Sementara itu Komnas FBPI melalui Bayu Krishnamurti menyatakan di Indonesia vaksinasi adalah kebijakan paling realistis untuk menangani AI H5N1 Indonesia. Kebijakan vaksinasi ini dahulu sempat ditentang oleh hampir seluruh negara di dunia, namun keadaannya kini terbalik justru dunia mendukung upaya vaksinasi yang dipilih Indonesia.

Selanjutnya FAO melalui Dr John Weaver menyatakan telah terjadi kegagalan vaksinasi yang penyebabnya harus diselidiki lebih lanjut. Sedangkan OIE (Office Internationale de Epizootica) melalui Dr Christianne JM Bruschke menyatakan sebagai satu-satunya badan dunia yang berwenang mengurusi kesehatan hewan, OIE menerima banyak permintaan dari negara-negara anggotanya untuk memberi masukan dalam menentukan kebijakan penanggulangan AI.

Berikutnya, Laboratorium Riset AI USDA melalui Dr David E Swayne menyatakan virus flu burung atau H5N1 bukan virus tunggal, melainkan keluarga yang terdiri atas tiga keturunan dan sejumlah subketurunan. Virus AI beranak pinak dengan jenis berbeda karena mengalami mutasi akibat kekebalan alami unggas serta tekanan vaksin. Vaksinasi sendiri dipilih karena terbukti mampu menurunkan gejala klinis dan mengurangi kerugian ekonomis yang lebih besar.

Adapun Prof Charles Rangga Tabbu dari Dekan FKH UGM menyatakan dalam pelaksanaan vaksinasi untuk mengatasi AI, vaksinasi terkadang tidak melindungi sepenuhnya dari infeksi. Terlebih shedding virus dari hasil vaksinasi bisa menimbulkan wabah kedua yang tidak terlihat berupa penurunan produktivitas bila tingkat biosekuriti yang diterapkan lemah. Oleh karena itu, vaksin yang digunakan sebaiknya yang berkualitas tinggi, memiliki homologi antigen yang baik dan diberikan secara benar.

Lalu Dr Drh Wayan Teguh Wibawan Wakil Dekan FKH IPB menyatakan sebagian pakar dari Indonesia tak sependapat dengan Dr Swayne yang menyatakan dari penelitiannya bahwa 11 vaksin yang digunakan di Indonesia tidak ada yang memberikan kekebalan cukup baik terhadap virus AI asal Jawa Barat.

Sementara penelitian itu hanya menggunakan satu virus untuk menantangnya dan kita tahu di Indonesia terdapat lebih satu famili virus AI H5N1, sehingga hasilnya dirasa kurang representatif disamping berarti upaya vaksinasi yang dilakukan pemerintah selama dinilai gagal dan percuma.”

Beberapa tokoh lain juga berbicara seperti Gani Haryanto Ketua Umum ASOHI, Don P Utoyo Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), Yance dari Sido Agung Farm Krian Sidoarjo, Dharmawan dari Bambu Kuning Farm, Askam Sudin dari Charoen Pokphand Indonesia, Dr Teguh Prayitno Vice President PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk, Dr Dedi Rifuliadi dari PT Vaksindo Satwa Nusantara, dan H Nur Asyikin SH MH dari PT Paeco Agung Surabaya.

Kini giliran tokoh berbeda sebagai narasumber yang berbeda, untuk mendapatkan bagaimana langkah berikut dari penanggulangan kasus AI yang sudah masuk tahun ke 4 (empat) pada Agustus 2007 ini.

Dengan tema “UBAH PARADIGMA PENANGANAN AI” pada laporan ini, akan terasa bahwa pendekatan untuk penanggulangan penyakit AI ternyata sudah dan harus masuk pada jalan yang lebih luas bagi masyarakat peternakan Indonesia seperti diungkap oleh Direktur Budidaya Ternak Non Ruminansia Ditjen Peternakan Deptan Drh Djajadi Gunawan MPH disusul dengan pendepat-penadapat narasumber yang lain.

“Pendekatan dalam penanggulangan AI/Flu Burung selama ini masih melakukan pendekatan peternakan (farm based), mestinya harus diubah dengan pendekatan pada unsur kemasyarakatan (community based) mengingat kasus flu burung sudah masuk pada sektor 4 di mana di sini terdapat pada rumah pemukiman penduduk.

Penanggulangan Flu Burung yang selama ini penuh dengan saling menyalahkan antara pihak-pihak yang berkepentingan, semestinya segera dihentikan, diganti dengan sikap saling mendukung.

Bilamana jalan yang ditempuh adalah vaksinasi, lakukanlah vaksinasi itu sampai tuntas. Bila yang dilakukan adalah pemusnahan bibit penyakitnya, lakukanlah dengan sempurna. Adapun sebetulnya yang dimaksud dengan pemusnahan bukanlah pemusnahan terhadap ternaknya, namun pemusnahan terhadap bibit penyakitnya.

Tidak perlu saling menjegal pada saat suatu kebijaksanaan dilakukan. Bahkan dengan komentar yang menghambat pun sudah berarti tidak saling mendukung. Perlu pelibatan teman-teman peternakan soal Flu Burung yang dirasa masih kurang, sebab banyak yang berpendapat bahwa masalah ini adalah masalah kesehatan hewan bukan masalah peternakan.

Juga perlu perubahan paradigma pendekatan dari penyakit hewan ke kesehatan hewan. Pendekatan tiap daerah pun berbeda-beda sesuai dengan perda masing-masing daerah. Tiap daerah yang punya kisah sukses patut ditiru oleh daerah yang lain.
Adapun ke depannya, sepertinya kita harus terbiasa hidup bersama AI seperti halnya sekarang kita sudah terbiasa hidup bersama ND, dengan prinsip sehari-hari janganlah pengelolaan ternak ini melebihi kodrat selayaknya.”

“Unit Penanganan dan Penanggulangan Avian Influenza (UPPAI) dibentuk oleh FAO (Badan Pangan Sedunia) untuk membantu pemerintah Republik Indonesia (Direktorat kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian) dalam menangani dan menanggulangi AI hingga ke daerah-daerah.

Rencana strategis pengendalian AI tidak hanya dilakukan di pusat tapi juga regional, serta di propinsi maupun kabupaten-kabupaten. Di daerah-daerah inilah dilakukan berbagai tindakan untuk pengendalian AI secara terkontrol dan teorganisir secara rapi, melibatkan berbagai pihak petugas teknis di lapangan, dokter hewan. Juga berencana bekerja sama dengan ASOHI untuk memanfaatkan Technical Service (TS) dalam pengendalian AI di berbagai daerah.

Laporan kondisi AI di lapangan tetap jalan terus. Dari pemantauan itu diketahui pola kejadian AI setiap tahun adalah sama. Pada saat musim penghujan kondisinya selalu naik, sedangkan pada tahun ini musim penghujan ternyata lebih lama. Dengan demikian kita terus melakukan kegiatan terus-menerus, bahkan ada kontak langsung dengan petugas kesehatan manusia di Depkes.”

“Pada prinsipnya pengaturan pengendalian pemeliharaan dan peredaran unggas yang dilakukan di DKI Jakarta adalah untuk mencegah semakin berkembangnya dan memutus mata rantai penyebaran penyakit flu burung. Keadaan peternakan di perkotaan sudah tidak layak lagi di pemukiman dan tidak sesuai dengan standar ibukota, di mana masyarakat hidup tidak berdampingan dengan unggas. Penataan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yangsehat.

Relokasi juga dilakukan untuk menjaga jarak antara peternakan unggas dengan orang yang tidak berkepentingan dengan unggas. Namun demikian pemeliharan di pemukiman tidak dilarang sepanjang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu dengan jarak 25 meter dari pemukiman.

Pengaturan PERDA ada dua pendekatan yaitu: Unggas pangan, diatur dengan peraturan perizinan dan Unggas non pangan, diatur dengan sertifikasi.

Pengaturan untuk unggas pangan ada dua yaitu kegiatan budidaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu berjarak 25 m dari pemukiman sedang untuk pemotongan sesuai dengan relokasi yang sudah ditetapkan Gubernur.

Sertifikasi hanya berlaku selama 6 bulan dan untuk selanjutnya harus diperbaharui. Sertifikasi diberikan kepada pemilik unggas kesayangan apabila pemiliknya memenuhi persyaratan antara lain: Setiap unggas kesayangan dikandangkan, kandang dibersihkan setiap hari, kandang didesinfeksi setiap (tiga) hari, vakinasi, disarankan agar diberi pakan yang baikdan vitamin secara rutin.”

“Sudah sepantasnya kita semua membuka mata terhadap pelaksanaan penanggulangan kasus AI ini. Pelaksanaan penanggulangan AI masih belum tuntas, baik di Riau maupun di kawasan Indonesia lainnya. Artinya pemerintah bisa dikatakan gagal dalam pemberantasan kasus ini.

Mari belajar ke Thailand dalam hal penanggulangan AI. Di negara ini, pemberantasan kasus AI dilakukan secara menyeluruh, mulai dari industri hulu peternakan sampai ke industri hilirnya. Artinya semua lini usaha yang berhubungan dengan peternakan menjadi sasaran dalam pemberantasan AI.”

“Sebagai warga tempatan, kejadian AI memberi kesan spesial bagi saya. AI telah memporakporandakan perekonomian ummat berbasis peternakan. Sayangnya, tindakan penanggulangannya belum memberikan arti yang sesuai dengan harapan masyarakat.

Saya melihat pada tindakan pemusnahan massal atau depopulasi dimana ayam warga yang terpapar atau yang berada pada radius 1 Km dengan pusat kejadian harus dimusnahkan. Jelas ini tidak memberikan dampak postif bagi warga. Artinya, kerugian warga akibat ayamnya dimusnahkan tidak diperhitungkan.

Memang dijanjikan adanya ganti rugi, tapi nyatanya sampai saat ini masih belum dipenuhi. Ini benar loh, kejadiannya ngak usah jauh-jauh, di Kota Pekanbaru ini saja, masih ada warga yang belum menerima ganti rugi akibat aksi pemusnahan massal tersebut. Secara psikologis, siapa sih yang mau rugi?

Harusnya pemerintah menganggarkan ganti rugi terlebih dahulu, kemudian diperhitungkan berapa nilai nominal per ekor ayam yang akan dimusnahkan, berikan ganti rugi tersebut tepat pada sasaran, baru lakukan pemusnahan massal tersebut. Dengan cara ini, saya yakin, pemerintah akan menuai sukses dalam programnya membumihanguskan AI di Bumi Lancang Kuning ini”.

“Saat ini penanganan AI di Indonesia lebih bagus dari yang dulu. Meski berstatus kejadian AI masih tinggi, pengaruhnya tidak sebesar pada masa sebelumnya.
Sementara penanganan AI di Indonesia dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand dan Vietnam, di negara tetangga ini penanganannya lebih sistematis, rapi dan tuntas dibandingkan di Indonesia.”

“Masyarakat peternakan dalam penanganan AI saat ini tidak sepanik pada masa awal kejadian. Itu yang membuat kondisi kejadian AI dan pengaruhnya tidak sebesar pada masa-masa sebelumnya.”

“Penyakit AI/Flu Burung memang kurang populer di masyarakat awam, kecuali pada masyarakat yang langsung bersinggungan dengan bidang ini. Hal ini terlihat dari kondisi masyarakat tidak terlalu peduli, tetap makan daging dan telur, dan berdampak positif pada konsumsi produk-produk peternakan ini.

Masyarakat memang lebih mempunyai masalah pada ekonomi masing-masing, konsumsi produk peternakan masih seperti biasa, meski pada kalangan peternakan mereka sepertinya masalah ini begitu besar dan berdampak kepedulian lebih besar yang berarti positif bagi upaya pengembangan peternakan selanjutnya.”

“Kasus Flu Burung di Kota Bertuah Pekanbaru ini bisa dienyahkan, bila semua pihak saling bahu-membahu dengan kebulatan tekad untuk memberantasnya. Sayangnya, masih ada pihak-pihak tertentu yang kurang proaktif dalam menyikapi kasus ini.

Pada hal Flu Burung menyangkut kehidupan masyarakat. Hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah sosialisasi bahaya Flu Burung ke masyarakat dimulai dari anak-anak sekolahan, kemudian yang paling simpel adalah memperbanyak iklan layanan masyarakat di media masa dan media elektronik.

Budaya hidup bersih juga memberikan safety baik secara individual ataupun kelompok. Artinya semua orang harus memulainya dari kebersihan diri pribadi dengan menerapkan selalu cuci tangan diawal dan diakhir aktivitas, kemudian mencontohkan prilaku tersebut kepada orang lain, mungkin seperti jenjang Multi Level Marketing pada net bussines, dengan cara ini takkan ada kasus Flu Burung lagi pada manusia di Bumi Lancang Kuning ini”.

“Masyarakat kita masih banyak yang tidak kenal atau peduli dengan flu burung atau Avian Influenza. Penyakit ini tidak lah populer di telinga masyarakat awam, kecuali pada masyarakat yang langsung bersinggungan dengannya.

Mengapa demikian, karena pemasyarakatan penyakit ini sekaligus penanggulangannya pun hanya terasa terbatas. Sedangkan masyarakat kita lebih berbelit masalah pada problem ekonomi.

Kematian orang karena flu burung pun tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat yang tidak langsung berkaitan dengan bidang ini. Ada yang menganggap kematian sebetulnya karena masalah ekonomi, dan punya pengaruh tertentu pada jalan keluar mengatasi problem ekonomi masyarakat sendiri.

Sementara dana dari luar negeri begitu bertumpuk-tumpuk dan sangat banyak untuk penanggulangan AI di tanah air. Tentu saja dengan pemerataan informasi kasus AI/Flu Burung di kurang populer di kalangan awam, kita mesti mensiasati bagaimana memanfaatkan melimpahnya dana luar negeri yang tercurah dari berbagai institusi atau lembaga internasional.

Maka ada pihak dari kementerian pemuda dan olah raga yang tugasnya memberi masukan untuk peningkatan perkehidupan pemuda yang lebih baik di negeri ini, menganggap bahwa ini masihlah peluang untuk meningkatkan bidang wirausaha di kalangan pemuda guna peningkatan derajad hidup dengan pembangunan bidang peternakan.
Biarlah dana luar negeri itu termasuk, dan kita meningkatkan bidang peternakan dengan wirausaha di kalangan pemuda kita. Aplikasi kami terus memberikan masukan positif tentang peternakan kepada Menteri Pemuda dan Olah Raga.”

Dengan demikian sangat terasa dan dapat dimaknai thema “SEBUAH LANGKAH MENGUBAH PARADIGMA PENANGANAN AI”. Sukses untuk kita. (Yonathan Rahardjo)

“RE-DISAIN” PETERNAKAN SAPI PERAH

Sebagaimana diketahui bahwa produksi susu dalam negeri baru mampu memenuhi permintaan konsumen sebesar 30% sedangkan sisanya sekitar 70% dipenuhi dari susu impor. Mengalirnya susu impor ke dalam negeri, dikarenakan adanya perbedaan harga dan permintaan yang cukup tinggi di negeri ini.

Masalah ini telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat tak terkecuali dari tokoh peternakan. Seperti yang disampaikan Ir Rochadi Tawaf Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran kepada Infovet, berikut adalah paparannya.
Dalam beberapa bulan terakhir, harga susu dunia telah mengalami kenaikan yang cukup tajam, hanya dalam waktu empat bulan kenaikannya telah mencapai lebih dari 40 %. Sebenarnya, kenaikan harga tersebut, telah diantisipasi sebelumnya. Terutama disebabkan oleh kenaikan bahan baku pakan sebagai sumber bioetanol, selain itu diakibatkan pula oleh permintaan konsumen akan susu yang meningkat, namun tidak diimbangi oleh kemampuan produksinya.

Dampaknya terasa pula di Indonesia, yaitu bahwa harga bahan baku susu impor yang digunakan oleh Industri Pengolah Susu, saat ini berkisar antara Rp 4.800 – Rp 5.000 per liter. Secara otomatis harga tersebut telah menyebabkan daya beli Industri Pengolah susu didalam negeri pun meningkat. Semula sekitar Rp 2.200/liter kini menjadi sekitar Rp 3.600/liter dengan kualitas terbaik (TPC dibawah 500.000 kuman/cc dan TS sekitar 12 %). Kondisi ini telah mengakibatkan pula harga susu di tingkat peternak pun mengalami kenaikan. Semula sekitar Rp. 2.100,00/liter menjadi sekitar sekitar Rp. 2.800,00/liter.

Kenaikan harga ini telah pula merangsang peningkatan produksi di dalam negeri. Namun demikian, momentum ini harus diwaspadai, mengingat sejak puluhan tahun terakhir peternakan sapi perah di Indonesia berada pada posisi “flying herd” (non land base) yaitu peternakan yang hanya mengandalkan (pakannya) dari sisa-sisa hasil pertanian, dengan kata lain “peternakan di awang-awang”.

Oleh karenanya rangsangan peningkatan harga susu ini seyogyanya harus mampu diantisipasi guna meningkatkan kontribusi produksi dalam negeri yang semula 30% menjadi lebih besar dari itu, dan dapat dirasakan langsung oleh peternak sapi perah rakyat maupun oleh pemerintah (karena impor susu telah menghabiskan devisa yang cukup besar) yaitu dengan cara melakukan “re-disain” terhadap pembangunan peternakan sapi perah, sebagai berikut :

Diperlukan respons kondusif dari Pemerintah : hal ini dimaksudkan bahwa pemerintah harus segera memberikan kebijakan yang kondusif dengan cara menyediakan “lahan abadi” bagi usaha peternakan sapi perah rakyat dalam suatu kawasan. Hal ini dikarenakan peternakan sapi perah rakyat sampai saat ini belum memiliki “status” seperti halnya petani padi. Padahal semua pihak menyadari bahwa negeri ini memiliki potensi cukup besar bagi pengembangan peternakan sapi perah. Penyediaan lahan abadi bagi pengembangan peternakan sapi perah akan memberikan dampak positip terhadap peningkatan populasi dan produksi serta kesejahteraan peternak rakyat di perdesaan.

Penyediaan “lahan abadi” yang definitif harus diatur dalam suatu kebijakan setingkat “perda” ataupun kebijakan yang lebih tinggi, misalnya Undang-Undang. Ketersediaan lahan tentunya akan mampu pula mengatasi kekurangan hijauan pakan yang selama ini merupakan persoalan klasik sepanjang tahun yang sangat sulit untuk diatasi.

Aspek lain yang diperlukan adalah; kesamaan perlakuan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap peternakan sapi perah rakyat di dalam negeri dengan peternak sapi perah di luar negeri. Maksudnya, jika peternak sapi perah di negera pengimpor susu menggunakan teknologi “hormon pemacu produksi”, fasilitas kreditnya dibawah 5 % serta berbagai subsidi lainnya, maka peternak di dalam negeri pun harus diberikan fasilitas yang sama (prinsip; free trade yang fair). Jika hal ini tidak dilakukan, rasanya berbagai kebijakan yang ada tidak akan memberikan dampak positip terhadap pembangunan peternakan sapi perah rakyat.

Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pengusaha perbibitan dalam mengembangkan usahanya. Dengan cara mempercepat program (swastanisasi) atau merubah bentuk badan usaha perbibitan (Balai Inseminasi Buatan atau Balai Embryo Transfer) yang ada menjadi BHMN atau BLU. Hal ini, dimaksudkan agar sistem birokrasi yang ada segera diubah dengan pendekatan usaha yang dibutuhkan oleh masyarakat peternak, sesuai dengan karakter bisnisnya. (wan)

BEBERAPA KAJIAN DAN AKSI (Yang Tetap) MENDESAK

Berbagai pengalaman kita alami selama empat (4) tahun bersama AI. Kita membutuhkan kejernihan berpikir untuk tetap melangkah. Laporan berikut kiranya menjadi alat penerang dalam langkah kita yang penuh warna dalam menanggulangi AI.

Tentu sudah jelas bagi pembaca Infovet, tentang Virus Influenza, burung (terutama burung perairan yang bermigrasi) merupakan sumber alami virus influenza "Tipe A".

Virus Tipe A memiliki sifat berubah secara tetap. Perubahan ini biasanya terjadi secara bertahap. Terkadang, meskipun jarang, virus Tipe A mengalami perubahan besar secara cepat.
Jika hal ini terjadi, kemungkinan tubuh manusia tidak mampu melindungi dirinya dari pengaruh virus yang baru ini. Virus jenis ini akan menjadi jenis pandemik.

H5N1 (virus Flu Burung saat ini) telah membuat para ilmuwan khawatir karena: cepat menyebar pada kelompok unggas rumah tangga; manusia dapat terjangkiti virus jenis ini dari unggas yang sakit.

Angka kematian akibat hal ini sangat tinggi. Para ilmuwan khawatir bahwa virus ini dapat berubah sedemikan rupa sehingga semakin mudah menyebar ke dan antarmanusia.

Virus H5N1 itu sendiri tidak bersifat Pandemic Strain. Virus ini bisa menjadi atau sarna sekali tidak menjadi Pandemic Strain. Kita tidak tahu bagaiamana virus ini bisa berubah dari wantu ke waktu.

Para ilmuwan dapat membuat vaksin untuk melawan flu burung, namun kita tidak tahu sejauh mana keampuhan vaksin ini jika virus tersebut berubah menjadi Pandemic Strain.
Semua negara saling bergantung untuk membantu mengawasi perubahan virus Flu Burung yang dapat menunjukkan perubahan virus tersebut menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.

Begitulah hal-hal Pokok untuk wartawan yang Meliput Masalah Flu Burung (dan Kesehatan Umum), sesuai dengan disampaikan oleh Dan Rutz dari Centers for Disease Control and Prevention dalam workshop di Jakarta baru-baru ini, di mana Infovet termasuk salah satu hadirin yang diundang.

Kajian Epidemiologi Kuantitatif

Dalam waktu lain di Yogyakarta, Prof Dr Drh Bambang Sumiarto SU MSc dalam pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH UGM belum lama ini mengungkapkan, kajian epidemiologi kuantitatif telah dilakukan oleh Prof Drh Charles Ranggatabbu MSc PhD dari FKH UGM pada tahun 2006.

Hasil kajian kasus-kontrol AI pada unggas memberikan indikasi bahwa peranan biosekuriti memiliki pengaruh yang amat kecil terhadap kejadian AI. Hal ini disebabkan karena sangat sedikit peternakan unggas menerapkan biosekuriti yang benar.

Sebaliknya, pengaruh lingkungan, terutama burung liar dan hewan pengerat sangat berperanan terhadap kejadian AI. Demikian juga, lalu lintas manusia di peternakan komersial sektor tiga (peternakan unggas dengan biosekuriti tidak ketat dan sistem terbuka) berpengaruh terhadap AI pada unggas.

Hasil analisis juga menunjukkan peranan sektor tiga di beberapa kabupaten pada spesies unggas sebagai sumber infeksi AI di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY.

Prof Charles dengan aplikasi analisis regresi logistik mengindikasikan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap infeksi AI pada unggas secara berurutan adalah peternakan komersial broiler pada sektor tiga peternakan komersial layer sektor tiga, puyuh, layer, dan entog.

Model tersebut memperlihatkan bahwa sebenarnya kita tidak perlu kawatir dengan ayam buras sebagai faktor penyebab AI, justru puyuh dan entog sebagai reservoir AI perlu mendapat perhatian.

Analisis model regresi ganda dan logistik tersebul sebenarnya belum mengetahui faktor penyebab yang berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap kejadian penyakit.

Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap prevalensi AI di dusun, Prof Charles menganalisis data investigasi kejadian infeksi AI dengan pendekatan analisis garis edar.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa prevalensi AI di peternakan komersial yang berada di dusun, secara berurutan, dipengaruhi secara langsung oleh adanya AI di luar peternakan, kebersihan personal petugas kandang, dan kebersihan peralatan kandang.

Selanjutnya, secara tidak langsung prevalensi AI di peternakan komersial di dusun, secara berurutan, dipengaruhi oleh adanya hewan liar, program vaksinasi yang dilakukan, sistem pemeliharaan terbuka, dan menggunakan pakan campuran sendiri.

Prof Charles juga melaporkan bahwa prevalensi AI pada peternakan non komersial di dusun secara langsung, secara berurutan, dipengaruhi oleh adanya peternakan komersial terinfeksi di dusun, asal DOC, pemakaian air berasal dari sumur terbuka, kebersihan kandang, dan menggunakan pakan campuran sendiri.

Selanjutnya, secara tidak langsung prevalensi AI pada peternakan non komersial di dusun, secara berurutan, dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan, kebersihan lingkungan, dan adanya hewan liar.

Aksi Mendesak

Dengan demikian, tetap perlu aksi mendesak untuk dilakukan adalah koordinasi dalam mengurangi kasus pada manusia, mengurangi penyebaran virus, melindungi unggas dan peternakan, meningkatkan konsumsi daging dan telur.

Lalu penyadaran masayarakat dengan suatu tindakan ebrani dan cerdas misalnya biosecurity dan kampanye vaksinasi. Juga kompensasi sector 3 dan 4, vaksin yang tepat dan insentif bagi vaksinator. Tak lupa secara teknis dan inovatif perlu integrasi survey, evaluasi vaksin, kontrol prosedur standar operasional karantina.

Juga diperlukan kisah sukses yang selalu dicatat dan dikabarkan untuk menajdi teladan bagi daerah lain. Demikian pula diperlukan dukungan berbagai kalangan masyarakat seperti BKKBN, Dharmawanita, masyarakat unggas, dan lain-lain.

Demikian Drh Djajadi Gunawan MPH Direktur Budidaya Ternak Non Ruminansia Ditjen Peternakan Deptan seraya menambahkan:

“Pendekatan dalam penanggulangan AI/Flu Burung selama ini masih melakukan pendekatan peternakan. Mestinya harus diubah dengan pendekatan pada unsur kemasyarakatan mengingat kasus flu burung sudah masuk pada sektor 4 di mana di sini terdapat pada rumah pemukiman penduduk.”

Konsep perubahan strategi yang ditawarkan Drh Djajadi Gunawan MPH dapat dilihat dalam table “Perubahan Strategi”.

Penanggulangan Flu Burung yang selama ini penuh dengan saling menyalahkan antara pihak-pihak yang berkepentingan, semestinya segera dihentikan, diganti dengan sikap saling mendukung.

Petunjuk Resiko

Menurut Dan Rutz, terkait petunjuk komunikasi (resiko) tentang penyebaran wabah, sejumlah besar negara anggota WHO telah secara informal berkomitmen pada nilai-nilai Komunikasi (Risiko) tentang Penyebaran Wabah

Sejumlah petunjuk tersedia di situs jaringan WHO. Petunjuk-petunjuk ini dibuat berdasarkan hal-hal berikut:

Informasi pemerintah tentang hal-hal darurat berkenaan dengan kesehatan masyarakat harus akurat sehingga dapat membangun dan menjaga kepercayaan.

Informasi harus dikeluarkan segera. Pengumuman yang tepat waktu sangat penting bagi sebuah masyarakat yang terinformasi secara penuh.

Transparansi mensyaratkan para pejabat untuk berterus terang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan publik, terutama tentang keputusan atau petunjuk yang memiliki efek pada masyarakat.

Para pejabat juga harus mau mendengarkan. Komunikasi Dua-Arah menunjukkan adanya rasa hormat terhadap publik serta membantu memastikan bahwa publik memperoleh informasi yang mereka inginkan dan perlukan.

Prinsip-prinsip ini hanya akan efektif apabila para pejabat senior bersedia mematuhinya.

Kewenangan Media Kesehatan

Adapun Dan Rutz melanjutkan, reporter bidang kesehatan mempunyai hak dan tanggung jawab besar yang ada di tangan mereka. Karena berita tentang kesehatan berdampak pada nyawa seseorang, wartawan harus berhati-hati untuk tidak memberi informasi yang salah atau menakut-nakuti masyarakat.

Wartawan dapat membantu menyelamatkan nyawa seseorang dari serangan Flu Burung termasuk memasukkan petunjuk-petunjuk dasar dalam tulisan: Melaporkan unggas sakit kepada pihak berwenang.

Lalu, memisahkan unggas sakit dari yang sehat, dan memisahkan jenis spesies satu dari yang lain.

Kemudian, masak unggas hingga benar-benar matang—sampai daging tidak lagi berwarna merah muda dan tidak ada lagi cairan yang keluar.
Lantas, Mencuci tangan sesering mungkin, khususnya setelah menangani atau mengurusi unggas.

Jurnalisme bidang kesehatan yang bertanggung jawab akan mendapat perhatian: Masyarakat akan menghargai media cetak/radio yang menjalankan pekerjaan mereka secara serius. Pembuat berita akan memberi imbalan kepada wartawan terbaik dengan menyediakan waktu dan akses lebih banyak kepada wartawan tersebut.
Beberapa persoalan saling terkait menjadi suatu benang merah, dan kita akan tetap melangkah dengan optimis dan pikiran cerah. (YR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer