Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini peternak unggas | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENYOROTI PERMENTAN 32/2017, DICABUT ATAU DIREVISI?



Kamis 16 Juli 2020, Pusat Kajian Pertanian Pangan & Advokasi (PATAKA) bersama beberapa asosiasi di bidang peternakan bersama melakukan Webinar via daring. Seminar tersebut membahas Permentan No. 32 tahun 2017 tentang penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras dan telur konsumsi. Sekitar 70 orang dari kalangan peternak, instansi pemerintah, dan swasta hadir dalam acara tersebut. Yeka Hendra Fatika selaku direktur dari PATAKA sendiri yang bertindak sebagai moderator dalam acara hari itu.

Sigit Prabowo dari PPUN sebagai presenter pembuka diskusi menjelaskan berbagai perbedaan definisi peternak berdasarkan tiap regulasi UU peternakan terkini. Dalam hal ini ia menyoroti bahwa peternak mandiri UMKM disandingkan dengan koorporasi tanpa adanya pembinaan yang jelas dari pemerintah. Padahal peternak mandiri memerlukan pendampingan dari pemerintah daerah dan hal itu tadi juga ada di dalam UU No. 18 tahun 2019.

“Kami merasa peternak belum terbina dengan baik oleh pemerintah daerah, dan juga TS dari koorporasi obat hewan. Oleh karenanya kita harus berekonsiliasi dengan berbagai pihak. Apalagi belakangan ini saya merasa TS masih fokus dengan omzet, bukan pembinaan. Entah karena peternak sudah pintar – pintar, atau gimana saya nggak tahu juga,” tutur Sigit.

Sigit juga menekankan bahwa urgensi berkonsolidasi dengan pemda yakni terkait pemasaran dan pemetaan pasar. Jadi apabila terjadi over supply berlebih, maka tujuan pasar akan jelas mau dikemanakan kelebihan produksi tersebut. Selain itu juga ia menyebutkan bahwa peternak harus melek dengan regulasi dan peraturan perundangan yang ada.

Selain itu Sigit menyoroti bahwa apakah regulasi yang ada saat ini sudah diterapkan oleh pemerintah sebagai turunan dari UU peternakan yang sudah ada?. Dan apakah peraturan perundangan tadi sudah tepat sasaran dan menguntungkan bagi semua stakeholder?. Tentunya ini sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan. 

Pada kesempatan yang sama, Joko Susilo selaku Sekjen ISPI juga memaparkan beberapa hal yang perlu disoroti. Utamanya adalah kemampuan akses peternak mandiri terhadap sapronak, harga, dan produksi dimana pada akhirnya peternak mandiri dianggap tidak efisien dan efektif. Ia juga menyoroti kegaduhan di dunia perunggasan yang terus gaduh meskipun beberapa Permentan tentang pengaturan supply dan demand telah banyak dikeluarkan.

“Saya jadi mempertanyakan implementasi permentan – permentan yang tadi, sudah efektif belum sih ini peraturannya?. Sudahkah dapat memproteksi peternak mandiri?. Atau jangan – jangan malah menambah keruwetan permasalahan?,” tutur Joko.

Yang terpenting menurut Joko adalah mengenai pengawasan dari implementasi regulasi yang telah diterbitkan. Ia merasa bahwa kegaduhan – kegaduhan masih terjadi karena fungsi pengawasan masih belum benar – benar fungsional. Jika memang benar fungsi pengawasan telah dijalankan dengan benar, ia merasa kegaduhan yang terjadi pasti dapat diminimalisir bahkan tidak ada. 

ISPI sendiri melihat situasi ini dan mengusulkan melalui surat rekomendsinya kepada Ditjen PKH selaku pemangku kebijakan. Mulai dari pendefinisian peternak, pembibit, dll nya sampai yang terpenting adalah mengaktifkan fungsi pengawasan.

“Siapa yang mau mengawasi?, pemda kah?, pemerintah pusat kah?. Jadi ini harus dilaksanakan dan sangat urgent. Jadi kalau ini luput, maka ya kegaduhan akan tetap terjadi kedepannya. Jika perlu pengawasan juga dilakukan berjenjang mulai dari pemerintah daerah sampai pusat,” tutur Joko. 

Jenny Soelistiyani perwakilan Pinsar Petelur Nasional yang juga hadir dalam acara tersebut juga merespon hal yang diwacanakan oleh Joko Susilo. Ia memberi contoh misalnya ketika ada masalah di broiler, masalah tersebut kemudian merambat kepada peternak layer yang menyebabkan harga telur turun. Ditambah lagi beberapa waktu yang lalu beredar “telur putih” yang merusak harga telur konsumsi.

“Kami sudah melakukan dokumentasi, pelaporan, bahkan terkait telur infertil yang beredar di pasaran, kami sudah melapor bahkan ke polisi, tapi apa?, tidak ada tanggapan dan tidak ada yang meberikan sanksi kepada pengedarnya. Artinya apa?, tidak ada fungsi pengawasan yang berjalan, padahal itu juga sudah tertuang di dalam regulasi, masa enggak ada tindak lanjutnya?. Makanya saya setuju dengan Mas Joko, bila perlu ini harus dinaikkan jadi perpres, atau peraturan lainnya,” tutur Jenny.

Ia berharap juga bahwa adanya komitmen dari semua stakeholder agar terjadi harmonisasi di bidang perunggasan. Hal ini agar tidak terjadi lagi kegaduhan di dunia perunggasan Indonesia sendiri, karena jika terus gaduh, maka Indonesia akan hanya berkutat di situ-situ saja, padahal musuh dari luar sudah siap menjajah pasar Indonesia.

Sementara itu Tri Hardiyanto sebagai Dewan Penasihat GOPAN meyoroti satu persatu pasal yang ada di Permentan No. 32 tahun 2017. Ia menguliti satu persatu pasal – pasal yang ada, yang menguntungkan, yang merugikan, dan yang siftnya multi tafsir. 

“Saya beri contoh pasal 5,6, dan 7 ini kan masalah kuota. Kita juga masih butuh tim analisis. Mereka harus difasilitasi dan diberi keleluasaan lebih dan kewenangan untuk melakukan observasi, sehingga lebih baik dalam memberikan saran dan masukan kepada pemerintah. Jadi tim ini harus diberi previlige dalam hal kewenangan dan fasilitas. Sehingga nantinya tidak dipermalukan termasuk oleh pemerintah sendiri,” tukas Tri.

Tri juga menyebutkan bahwa pasal 8 dalam permentan tersebut harus dirombak, para integrator harus difokuskan di pasar ekspor bukan dalam negeri. Sehingga kebutuhan dalam negeri dapat lebih banyak dipenuhi oleh pelaku UMKM mandiri. 

Achmad Dawami selaku Ketua Umum GPPU yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menguraikan bahwa peraturan perundangan kini dirasa lebih mengacu pada efisiensi dan produksi bukan kepada kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti dengan kegaduhan yang diakibatkan oleh terbitnya beberapa peraturan perundangan baru.

“Sekarang begini, kalau enggak gaduh kan artinya ya sudah beres masalahnya kan?, kalau masih gaduh, ya pasti ada masalah toh. Kan kesimpulannya begitu?,” tukasnya.

Meskipun begitu ia setuju bahwa jika dirasa kurang ampuh, utamanya dalam segi pengawasan dan sanksi, permentan memang harus dinaikkan levelnya. Entah perppu, entah kepres, yang intinya adalah penerapan sanksi dan wewenang.

Haris Azhar selaku praktisi hukum yang juga hadir sebagai pembahas mengatakan bahwa semua aturan hukum, utamanya permentan seharusnya merupakan bentuk pengejewantahan dari peraturan diatasnya. Ia juga mengatakan bahwa permentan 32 ini juga harus ditinjau dari legal sains, sehingga jelas apakah perementan ini merupakan penerapan dari UU peternakan atau malah “pembelokan” dari masalah yang selama ini terjadi.

“Saya mau bilang dengan kondisi seperti ini, acuannya banyak, jadi permentan ini mau menertibkan pasar, menerapkan keberpihakan kepada yang lemah, atau mengemankan produksi dan distribusinya?. Ini terlalu banyak warnanya, jadi enggak fokus, jadi malah ribet,” tukas Ketua Umum LBH Lokataru tersebut.

Ia juga sepakat bahwa industri pangan ini harus serius dalam peningkatan kualitas hidup manusia dan kehidupan di dunia kerja. Jika dilihat dari kacamata HAM, sektor pangan ini hal yang luar biasa dan perlu fokus dalam aspek legaltasnya. 

Haris melihat di masa kini bahwa peternak rakyat menjadi kelompok rentan, karena perusahaan integrator semakin besar. Karena mengguritanya perusahaan tadi, maka tidak menghasilkan pemberdayaan. Ia juga bilang bahwa semakin urgent sekarang ini untuk mendorong Negara agar menolong para peternak.

“ Menurut saya apapun dasar hukum yang dipakai, minta peraturan baru yang memang melindungi peternak kecil. Konsekwensinya ya nanti mungkin ada beberapa pasal yang dihilangkan, masa anusia mengikuti permentan, salah itu, harusnya permentan yang mengikuti manusianya, itu baru adil,” tukas Haris.

Dirinya juga menyarankan agar mendorong pemerintah agar membuat peraturan baru yang lebih pro peternak. Hal ini dirasa perlu untuk menguji keberpihakan pemerintah terhadap rakyat (peternak). Ia juga bilang bahwa permentan 32 ini tidak bisa dipakai dalam menyelamatkan peternak rakyat mandiri karena masih bias. 

Pada sesi diskusi, kritik juga datang dari Wayan Suadnyana, salah satu peserta diskusi yang mengeritik keras permentan tersebut. Menurutnya permentan tersebut juga banyak melanggar peraturan perundangan lainnya, bukan malah mengejawantahkan peraturan perundangan yang ada.

Saya merasa peternak diperdayai, bukan diberdayakan. Tolonglah supaya peternak itu diberdayakan, jangan diperdayai. Jadi permentan ini jangan sampai jadi pelegalan dari kesalahan – kesalahan yang terjadi sebelumnya,” tutur Wayan.

Salah satu peserta yang juga mendukung pendapat Wayan yakni Ashwin Pulungan. Menurutnya, karena bersifat quick yield, sektor peternakan unggas ini tentunya cocok untuk pemberdayaan masyarakat. 

“Perputaran uang di situ kan cepat, ini lah yang dilihat oleh para investor besar, sehingga PMA banyak masuk. Oleh karenanya perlu difokuskan terutama pasal perlindungan peternak dan pembagian pasar,” kata Ashwin.

Ashwin juga mengatakan bahwa selama ini pemerintah banyak membuang energi untuk mengatur perunggasan dengan permentan yang tidak penting. Masalah hanya berkutat disitu -situ saja, tidak selesai – selesai. 

Yang disayangkan adalah, meskipun ada peserta diskusi yang berasal dari kalangan pemerintah, tetapi tidak ada yang ikut berdiskusi, menanggapi, atau sekedar mendengarkan saran dan kritik dari para peserta dalam acara yang berlangsung selama 3 jam tersebut. Begitu pula dari kalangan perusahaan integrator.

Akhir kata, Permentan 32 dirasa masih kurang greget dan belum ada sesuatu yang bisa disimpulkan dari diskusi ini. Entah butuh revisi atau sekalian diganti/dicabut, Permentan No.32 harus fokus terhadap satu hal, misalnya perlindungan peternak, pembagian pasar, dan lain sebagainya.

Selain itu memang dirasa perlu membuat peraturan perundangan baru yang nantinya tidak menyebabkan kegaduhan dan menjadi win – win solution agar perunggasan tidak lagi gaduh dan fokus dalam produksi yang efisien. (CR)

USAID, FAO, DAN DIRKESMAVET SOSIALISASIKAN PERMENTAN BARU



Jumat 10 Juli 2020, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, FAO ECTAD Indonesia, dan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner mengadakan sosialisasi terkait Permentan No. 11 tahun 2020 tentang NKV kepada peternak unggas secara daring melalui aplikasi zoom. Kegiatan ini juga merupakan inisiasi dari PINSAR petelur nasional. 

Tujuannya tentu saja untuk mensosialisasikan sertifikasi NKV pada peternakan unggas, terutama ayam petelur, karena dalam perementan tersebut NKV wajib dimiliki oleh unit usaha penghasil produk hewan, misalnya peternakan unggas petelur. Animo peserta pun bisa dibilang tinggi, hal ini terlihat dari jumlah peserta yang hadir, sebanyak 300-an orang hadir dalam pertemuan tersebut.

Luuk Schoonman FAO ECTAD Indonesia mengatakan bahwa selama 10 tahun bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, kini FAO ECTAD memiliki program peningkatan kesehatan unggas di Indonesia. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas dan mencegah penyakit unggas baik zoonotik maupun tidak, sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. 

“Kami memperkuat sektor perunggasan melalui penerapan good farming practices terutama pada biosekuriti tiga zona agar penggunaan antibiotik di perunggasan dapat dikurangi, selain itu kami juga berupaya agar terjadi kolaborasi antar stakeholder perunggasan, mengindentifikasi kemaslahatan program ini bagi peternak unggas di Indonesia,” kata Luuk.

Di waktu yang sama, Drh Syamsul Ma’arif selaku DIrektur Kesmavet Ditjen PKH berterima kasih kepada semua yang mendukung acara tersebut terutama FAO, USAID, dan tentu saja PINSAR. Syamsul juga mengatakan bahwa sepertinya memang pemilik unit usaha peternakan unggas masih belum banyak mengetahui tentang NKV.

“Sejak 2005 NKV sudah diatur dalam permentan sebelumnya, NKV ini berarti sifatnya wajib. Kami tidak ingin memaksa, tetapi kami pemerintah hanya ingin menjamin keamanan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Jadi NKV mutlak dimiliki sebagai bukti yang sah sebagai jaminan keamanan produk hewan di unit usaha produk hewan. Undang – undangnya juga banyak yang sudah mengatur tentang keamanan pangan ini. Jadi kalau aturan hukumnya ada, ya suka tidak suka harus mengikuti sistem jaminan keamanan produk hewan,” tuturnya.

Ketua Presidium Pinsar Petelur Nasional Yudianto Yosgianto pada kesempatan yang sama memberikan apresiasinya kepada seluruh pihak yang mendukung adanya acara tersebut. Menurutnya, acara tersebut dapat menjadi ajang saling bertukar informasi yang valid dan lugas. 

“Harapannya saya mengajak kepada seluruh anggota PPN untuk tidak takut melakukan sertifikasi NKV, karena saya meyakini bahwa dengan jalan ini peternakan kita lebih tertata, hewan lebih sehat, produktivitas meningkat, dan kualitasnya juga. Semoga semua anggota kita tergerak untuk melakukan sertifikasi dan jangan ragu lagi,” tutur Yudianto.

Sosialisasi diberikan oleh Drh Ira Firgorita Kasubdit Higiene dan sanitasi pangan Direktorat Kesmavet. Ira mengatakan bahwa alasan tiap unit usaha produk ternak wajib memiliki NKV sifatnya sebagai prevensi alias pencegahan daripada penyakit zoonosis.

“Mengapa sih NKV harus ada, kok untuk unit usaha pangan yang bahannya tumbuhan nggak wajib punya NKV?. Ini karena beberapa penyakit hewan kan bisa menular kepada manusia, kalau tumbuhan biasanya penyakitnya berakhir di satu host tumbuhan saja. Jadi ini harus diawasi secara lebih baik,” kata Ira.

Ira juga mengatakan bahwa penerapan praktik veteriner yang baik di sektor budidaya unggas petelur juga menekankan pada pengendalian penggunaan antibiotik pada peternakan unggas. Dimana sama – sama kita ketahui bahwa produk unggas seperti telur dan daging ayam bisa saja mengandung residu antibiotik yang melebihi ambang batas, sehingga dapat merugikan kesehatan konsumennya.

“Kita ini sedang berada dalam kondisi darurat antimikroba. Kalau bahasa kerennya antimicrobial resistance. Oleh karenanya ini kan harus dicegah, jadi kalau penerapan praktik veterinernya baik, biosekuritinya baik, penggunaan antimikroba akan bisa dikendalikan dan mencegah lebih jauh terjadinya antimicrobial resistance,” tukas Ira. 

Lebih lanjut Ira menjelaskan keuntungan memiliki sertifikasi NKV. Misalnya saja, produk ber-NKV selain menjamin keamanan dan mutu pangan yang dihasilkan, produk yang tersertifikasi NKV juga akan membuka peluang pemasaran yang lebih luas. 

“Kita kan tahu kalau mau ekspor atau mau jual ke retail itu kan harus ada jaminan keamanannya, ada tracebilitiy-nya, dan lain sebagainya. Nah, dengan adanya NKV ini peluang pemasaran produk peternakan kita akan lebih terbuka. Sehingga peternak juga akan untung secara ekonomi, dan tenang saja, sertifikasi NKV sama sekali tidak dipungut biaya, alias gratis,” papar Ira.

Kegiatan diskusi pun berjalan dinamis dan antusias, tiap – tiap peserta saling bertanya, berdiskusi juga memberikan kritik dan saran yang membangun bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat Kesmavet sebagai pemangku kebijakan. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer