Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini permentan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SERTIFIKASI NKV : WAJIB HUKUMNYA BAGI UNIT USAHA PETERNAKAN DAN PENGOLAHAN HASIL TERNAK

Kementan melalui Ditjennakkeswan akan menggalakkan sertifikasi NKV untuk unit usaha peternakan

Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan melakukan sosialisasi Permentan No.11 tahun 2020 mengenai Nomor Kontrol Veteriner, melalui daring pada Selasa 23 Juni 2020 yang lalu. 

Permentan ini merupakan pembaruan dari Permentan No. 381 Tahun 2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan. Aturan tersebut dikeluarkan untuk melengkapi peraturan yang telah ada sebelumnya. Misalnya hal seperti penandatangan NKV dilakukan oleh Pejabat Otoritas Veteriner, penambahan jenis unit usaha produk hewan baik pangan maupun non pangan menjadi 21, persyaratan dan pengangkatan auditor NKV oleh Gubernur, serta peraturan sanksi terhadap pelaku unit usaha produk hewan.

Dalam peraturan tersebut juga diatur bahwa masa berlaku NKV dibatasi menjadi hanya 5 tahun dan setelah itu harus disertifikasi ulang. Hal itu disampaikan oleh ujar Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, kata Drh Ira Firgorita dalam paparannya.

Ira juga menjelaskan mengenai ekanisme sertifikasi NKV untuk unit usaha produk hewan dimulai dari mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Provinsi. Jika lengkap, kemudian permohonan dilimpahkan ke Tim Auditor yang ditugaskan oleh Pejabat Otoritas Veteriner Provinsi, lalu dilakukan proses audit.

Dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa sertifikat NKV juga wajib dimiliki oleh, rumah potong hewan ruminansia, babi dan unggas. Lalu, sarang burung walet, baik rumah, pencucian, pengumpulan atau pengolahan.

Di sektor hulu, usaha budidaya sapi perah dan unggas petelur juga diwajibkan memiliki sertifikat NKV. Hal itu disebabkan karena unit usaha tersebut langsung menghasilkan produk yang bisa langsung dkonsumsi manusia. Tidak luput juga sertifikat NKV harus dimiliki oleh unit pengolahan produk pangan asal hewan seperti susu, daging telur dan madu. Selain itu, unit usaha pengolahan hewan non pangan misalnya usaha garmen (jaket kulit) juga wajib memiliki sertifikat NKV.

Drh Syamsul Ma'arif selaku Dirketur Kesmavet, Ditjennakkeswan menambahkan, penegakan persyaratan NKV ini akan dilaksanakan secara bertahap dan memiliki skala prioritas. Dalam hal ini, yang diprioritaskan terlebih dahulu yaitu, produsen, unit usaha atau perusahaan yang berskala bisnis dan melayani kebutuhan untuk publik.

Dirinya juga mengutarakan beberapa hal yang sifatnya perlu dan akan segera ditindaklanjuti agar pelayanan kepada masyarakat khususnya audit dalam rangka sertifikasi NKV tidak terhambat.

“Kami akan berusaha sebaik mungkin dalam melayani masyarakat, jika ada yang perlu ditindaklanjuti secara cepat, maka akan segera kami lakukan. Ini agar pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu dan terhambat,” tutup Syamsul.

ASOHI DAN DIRKESWAN KEMBALI SOSIALISASIKAN PERMENTAN NO. 40/2019

Foto bareng pada kegiatan sosialisasi Permentan No. 40/2019 yang diselenggarakan oleh ASOHI di Serpong. (Foto: Infovet/CR)

Setelah sosialisasi perdana di Kementerian Pertanian (Kementan) pada 19 Agustus 2019, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) bersama Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kembali mengadakan sosialisasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 40/2019 tentang Tatacara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian di Swiss-bell hotel Serpong, Selasa (10/9/2019).


Sekitar 150 orang peserta dari beberapa perusahaan importir dan produsen obat hewan hadir dalam acara tersebut. Ketua Panitia, Drh Forlin Tinora, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini seperti halnya pendalaman mengenai Permentan baru tersebut, utamanya di bidang perizinan usaha obat hewan.

“Mudah-mudahan dengan diadakannya acara ini peserta jadi lebih mendalami aturan baru ini dan dapat memberi masukkan kepada pemerintah apabila kiranya ada hal yang mungkin kurang berkenan,” kata Forlin yang juga menjabat Sekretaris Jenderal ASOHI.

Sementara, Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, turut menyampaikan apresiasinya. “Pemerintah dan ASOHI sangat peduli akan hal ini, kalau dilihat dari antusiasme peserta saya yakin semua anggota ASOHI pastinya akan mematuhi aturan main yang berlaku di Indonesia, semoga ini menjadi kabar baik bagi dunia obat hewan kita,” tutur Ira.

Pada kesempatan yang sama, Kasubdit POH, Drh Ni Made Ria Isriyanthi, mewakili Dirkeswan mengatakan, bahwasanya Permentan ini intinya adalah mempercepat perizinan di bidang pertanian. “Obat hewan ini kan komoditas unggulan ekspor, dengan adanya Permentan baru ini diharapkan proses registrasi obat hewan dapat dilakukan lebih cepat dari yang sebelumnya. Perizinan usaha juga akan dibuat sesederhana mungkin untuk meningkatkan gairah investasi,” ujar Ria.

Sebagai pemateri utama dalam kesempatan tersebut, Ria kembali menjabarkan beberapa poin penting dalam Permentan No. 40/2019. Ia juga menyinggung bahwa sektor obat hewan merupakan yang pertama kali mengadakan kegiatan sosialisasi Permentan ini dibanding sektor lainnya. “Ini bukti bahwa kami serius dan peduli dengan industri ini. Oleh karenanya mari kita bersama-sama menjaga komitmen ini,” ungkap dia.

Pada saat sesi tanya-jawab, suasana diskusi sedikit tegang karena terjadi perdebatan sengit antara pihak pemerintah dan pelaku usaha. Namun begitu, ketegangan mampu direda dan win-win solution dapat dicapai.

Pada sesi kedua, peserta yang rata-rata berasal dari kalangan registration officer (RO) diajak berpetualang di dunia digital mengenai tatacara aplikasi pendaftaran obat hewan melalui sistem daring. Sistem ini merupakan inovasi baru yang dinilai dapat memudahkan dan mempercepat pelaku usaha obat hewan dalam melakukan registrasi produknya. (CR)

Mengukur Untung-Rugi Revisi Kemitraan Persusuan

Industri sapi perah skala rakyat. (Sumber: ANTARAFOTO)

Kebijakan kemitraan antara industri pengolah susu dengan peternak sapi perah dicabut. Para peternak pun mulai was-was. Namun pemerintah pun punya alasan. Ada apa sebenarnya?

Lima tahun silam, usaha peternakan sapi perah di Indonesia sempat mengalami jatuh-bangun. Penyebabnya, serapan pasar susu hasil perahan dari para petani di sebagian wilayah di Indonesia masih rendah. Bahkan, harga susu sapi di tingkat peternak kerap mengalami penurunan drastis. Akibatnya cukup banyak peternak yang mengalami kerugian.

Berdasar data dari Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), dua tahun lalu, peternakan skala rumah tangga masih menyumbangkan 85% untuk produksi susu nasional. Namun akibat fluktuasi harga yang terlalu terjal, berdampak pada perolehan pendapatan para peternak skala kecil. Kesejahteraan para peternak pun mulai terganggu.

Untuk mendongkrak kembali kesejahteraan peternak sapi perah, tahun 2017 Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Salah satu poin penting dalam kebijakan ini adalah adanya kewajiban kemitraan Industri Pengolah Susu (IPS) dengan peternak. Beleid baru ini juga mengatur pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat dan upaya meningkatkan produksi susu nasional.

Namun kini, harapan para peternak untuk tetap mempertahankan tingkat kesejahteraannya mulai terusik. Pemerintah merevisi Permentan No. 26/2017 menjadi Permentan No. 33/2018. Hasil revisi kebijakan tersebut menegaskan pemerintah mencabut kembali kewajiban kemitraan IPS dengan peternak.

Ada sebagian isi dari revisi Permentan ini yang menjadi sorotan. Dalam Permentan No. 33/2018, pembelian susu sapi dari para peternak tidak menggunakan kata-kata “wajib” seperti dalam Permentan sebelumnya. Dalam Permentan No. 33/2018 juga tidak ada lagi sanksi bagi importir yang tidak membeli susu sapi lokal.

Risalah Revisi 
Apa sebenarnya musabab Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan revisi beleid ini? Sebelumnya, Kementan melakukan revisi Permentan No. 26/2017 pada akhir Juli lalu menjadi Permentan No. 30/2018. Tak sampai satu bulan setelahnya, peraturan kembali direvisi dalam Permentan No. 33/2018.

Dalam Permentan No. 30/2018, prinsip dasarnya adalah menghilangkan kemitraan sebagai salah satu pertimbangan dalam penerbitan rekomendasi. Perubahan dilakukan karena ada keberatan dari Amerika Serikat (AS) dan ancaman akan menghilangkan program GSP (Generalized System of Preference/Sistem Preferensi Umum) terhadap komoditas ekspor Indonesia, sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan ekspor Indonesia ke AS.

Perubahan ini diakui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementan, I Ketut Diarmita, terkait dengan aturan World Trade Organization (WTO). “Sebagai anggota (WTO), kita harus mensinergikan semua aturan dengan WTO,” tuturnya di Gedung Kementan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dalam peraturan lama, lanjutnya, Indonesia dinilai terlalu melindungi peternak dalam negeri. Namun, Ketut memastikan, peraturan baru tidak akan berdampak negatif untuk peternak. Terbukti dari sudah adanya 119 perusahaan industri pengolah susu (IPS) sapi yang telah mengajukan kemitraan dengan Kementan.

Jumlah tersebut terbilang kontras dengan total perusahaan yang sebelumnya menjadi mitra Kementan, yakni sekitar 24 IPS. Selain itu, masih ada komitmen integrator (pelaku bisnis industri pengolah susu) cukup baik terhadap peternak sapi perah rakyat.

Munculnya kekhawatiran di kalangan peternak saat ini dinilai wajar. Maka, di awal pemberlakuan kebijakan ini, Dirjen PKH Kementan rajin melakukan sosialiasi ke beberapa daerah. Pada 20 Agustus lalu, misalnya, telah dilakukan sosialisasi di Surabaya, Jawa Timur.

Sosialiasasi dilakukan di hadapan para peternak, kelompok peternak sapi perah, koperasi sapi perah, GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) dan  pelaku industri persusuan Jawa Timur. “Kami berharap peternak sapi perah tidak galau pasca revisi Permentan 26/2017 menjadi Permentan 33/2018 ini,” ujarnya waktu itu.

Mengagetkan Peternak
Benarkah revisi regulasi ini tidak berdampak pada tingkat kesejahteraan para peternak? Tentu saja belum terbukti dampaknya, karena perubahan kebijakan ini masih dalam tahap sosialisasi. Namun revisi beleid ini sudah lebih dulu memunculkan kekhawatiran dari para peternak sapi perah. Ketua APSPI, Agus Warsito, berpendapat perubahan aturan ini akan berdampak bisnis susu sapi perah makin terancam.

Pasalnya, dengan tidak adanya kewajiban tersebut harga susu sapi diperkirakan akan jatuh, namun hal itu baru berdampak pada empat hingga lima bulan ke depan. “Hari ini belum terasa dampaknya, saya proyeksi dampak ke depan luar biasa, ya empat sampai lima bulan ke depan akan kelihatan. Harga bisa jatuh tapi belum dihitung berapa karena industri bisa memainkan harga,” katanya kepada Infovet.

Menurut Agus, Permentan No. 33/2018 merupakan produk yang dibuat oleh pemerintah yang tidak melibatkan stakeholder, khususnya para petrenak sapi perah di dalam negeri. Dengan adanya pencabutan kewajiban kemitraan IPS dengan peternak, maka soal pasar susu sapi sudah diserahkan ke masing-masing peternak. Kondisi ini yang paling dikhawatirkan para peternak sapi perah di dalam negeri. “Revisi regulasi ini sangat mengagetkan kami, dan sinyalemen kami memang karena adanya tekanan dari luar,” tambahnya.

Kini, APSPI tengah menyusun langkah-langkah strategis untuk tetap memperjaungkan hak para peternak lokal. Pertama, melakukan konsolidasi internal untuk menyamakan persepi yang akan diakukan. APSPI akan terus mendorong pemerintah agar menerbitkan regulasi baru pengganti Permentan No. 26/2017 yang berpihak pada peternak lokal.

Kedua, melakukan koordinasi dengan GKSI untuk mendorong agar Menteri Koordinator Perekonomian melakukan langkah konsolidasi di internal pemerintah. Poin yang akan diusulkan, menurut Agus, salah satunya agar susu sapi dimasukan sebagai produk atau barang pokok penting, sehingga adanya landasan harga pokok pembelian terendah di tingkat peternak.  

IPS Leluasa Impor Susu
Bagi kalangan pelaku IPS, revisi Permentan ini dianggap menjadi dasar kuat untuk lebih leluasa mengimpor susu sapi dari luar negeri. “IPS bisa melakukan impor susu sapi dari luar sesuai keinginan, karena tidak ada lagi kewajiban untuk kemitraan dengan peternak lokal,” ujar Heru S. Prabowo, Head Dairy Farm Greenfield Indonesia.

Greenfiled Indonesia merupakan salah satu IPS di Indonesia. Selain memiliki pabrik pengolahan susu, perusahaan ini juga memiliki peternakan sapi perah sendiri. Hasil perahan susu sapinya berlimpah.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku susu murni, selama ini Greenfield Indonesia masih dipasok dari peternakan sendiri. Justru perusahaan ini sudah mengekspor hasil produksinya ke berbagai negara. Maka itu, menurut Heru, bagi Greenfield Indonesia revisi kebijakan ini tidak berpengaruh.

“Tapi begini, Greenfield Indonesia memang merupakan industri pegolah susu yang terintegrasi dan memiliki peternakan sendiri. Tapi kami juga ingin usaha peternakan sapi perah di Indonesia juga berkembang,” ungkap Heru.

Kepada Infovet, Heru mengungkapkan, meskipun farm Greenfield Indonesia sudah berskala industri, sebenarnya efek dari Permentan No. 26/2017 sangat diharapkan. Dulu, efek penerapan Permentan No. 26/2017 cukup signifikan bagi para peternak. Salah satunya adalah beleid tersebut merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap para peternak sapi perah dalam negeri.

Permentan lama ini menjadi payung hukum agar iklim bisnis peternakan di dalam negeri menjadi kondusif. Sebab, melalui payung hukum ini impor produk susu dari luar sudah diatur sedemikain rupa melalui kemitraan, sehingga tidak merugikan peternak sapi perah lokal.

“Tapi dengan direvisinya sampai dua kali, mulai dari Permentan No. 30 kemudian direvisi lagi jadi Permentan No. 33/2018, maka “ruh” kebijakan ini sudah tidak ada lagi, karena semua kata-kata "wajib" dalam revisi Permentan yang baru dihilangkan. Harapan terwujudnya iklim usaha peternakan sapi perah yang kondusif menjadi harapan kosong,” terangnya.

Heru termasuk salah satu praktisi peternakan sapi perah yang dulu ikut terlibat dalam membidani terbitnya Permentan No. 26/2017. Ia tahu persis bagaimana sulitnya proses penyusunan beleid tersebut, dari tidak adanya aturan usaha susu sapi sampai terwujudnya aturan yang berpihak kepada para peternak sapi perah. Jadi, maklum jika ia merasa kaget dan kecewa dengan revisi Permentan ini. (Abdul Kholis)

Penjelasan Dirjen Soal Industri Tak Wajib Serap Susu Lokal

Kementan tetap mendorong kemitraan industri dengan peternak sapi perah (Foto : Antara/Raisan Alfarisi)


Kementerian Pertanian baru-baru ini melakukan revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2017 menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu. Aturan tersebut tidak lagi mewajibkan industri pengolahan susu (IPS) bermitra atau menyerap susu sapi dari peternak lokal.

Dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/8/2018), Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, I Ketut Diarmita, menjelaskan perubahan Permentan Nomor 26 Tahun 2017 menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018 dan Permentan Nomor 33 Tahun 2018 tentang penyediaan dan pembelian susu, merupakan konsekuensi dari keputusan DBS WTO.

“Beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan hortikultura dan peternakan harus direvisi,” ungkapnya.

Lanjut Ketut, dalam permentan nomor 30/2018 prinsip dasarnya adalah menghilangkan kemitraan sebagai salah satu pertimbangan dalam penerbitan rekomendasi. Perubahan ini dilakukan karena Amerika Serikat (AS) mengancam akan mencabut produk ekspor Indonesia dari Generalized System of Preferance (GSP), sehingga bisa menurunkan nilai ekspor Indonesia.

Ketut menegaskan, dengan perubahan permentan tersebut program kemitraan antara pelaku usaha persusuan nasional dan peternak tetap diatur dalam rangka peningkatan populasi dan produksi susu segar dalam negeri. Kementan tetap mendorong pelaksanaan kemitraan industri dengan peternak , meski ada revisi Permentan 26 tahun 2017.

"Dengan perubahan Permentan tersebut, program kemitraan antara pelaku usaha persusuan nasional dan peternak tetap diatur dalam rangka peningkatan populasi dan produksi susu segar dalam negeri (SSDN). Pelaksanaan kemitraan ini tetap kita dorong untuk dilakukan oleh seluruh pelaku usaha persusuan nasional," tandasnya.

Informasi yang ditambahkan Ketut, bahwa dengan adanya Permentan Nomor 26 Tahun 2017, proposal kemitraan yang masuk hingga 6 Agustus 2018 sebanyak 99 proposal dari 118 perusahaan, terdiri dari IPS 30 dan importir 88 perusahaan dengan nilai investasi Rp 751,7 miliar.

Adapun bantuan yang diberikan Kementan untuk memajukan peternak diantaranya asuransi ternak sapi bersubsisi, IB dalam program Upsus Siwab, KUR khusus untuk pembiakan sapi, serta memfasilitasi kapal khusus ternak. (rilis/inf)



Pelarangan AGP dan Penguatan Profesi Dokter Hewan



Dalam sebuah  pertemuan dengan pengurus ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia), Rabu 31 januari 2018, Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa, PhD  yang didampingi Kasubdit Pengawasan Obat Hewan (POH) Drh. Ni Made Ria Isriyanthi PhD, menyatakan, bahwa dengan resep dokter hewan, antikoksidia golongan ionophore dapat dipakai lebih dari tujuh hari. Pernyataan ini sangat penting bagi dunia peternakan dan kesehatan hewan, karena sejak berlakunya pelarangan AGP awal Januari 2018 ini, banyak informasi simpang-siur di lapangan mengenai bagaimana teknis penggunaan antikoksidia golongan ionophore maupun non-ionophore.

Mengambil referensi peraturan di dunia kesehatan manusia, Dirkeswan  mengatakan, antibiotik untuk pengobatan manusia  aturannya hanya boleh dipakai  selama lima hari. Namun seorang dokter dengan tanggung jawab profesinya bisa membuat resep penggunaan antibiotik sampai sebulan bahkan bisa sampai setahun, misalnya untuk pasien yang terserang TBC.

Begitupun dengan peraturan yang berlaku di dunia kesehatan hewan. Permentan No. 14/2017 pasal 17 menyebutkan bahwa dalam hal untuk keperluan terapi, antibiotik dapat dicampur dalam pakan dengan dosis terapi dan lama pemakaiannya paling lama tujuh hari.  “Dalam hal ini seorang dokter hewan, dengan kewenangan dan tanggung jawabnya, dapat menulis resep penggunaan antikosidia golongan ionophore lebih dari tujuh hari dan golongan non-ionophore lebih dari 21 hari,” ujarnya.

Pernyataan ini menegaskan, lahirnya Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, sekaligus merupakan salah satu upaya penguatan profesi dokter hewan. Hal ini mestinya didukung oleh semua pihak. Permentan 14/2017 tersebut melarang penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan, namun penggunaan antibiotika sebagai terapi, termasuk terapi melalui pakan, diperbolehkan dengan beberapa syarat, antara lain harus dengan resep dokter hewan.

Siapa dokter hewan yang boleh menulis resep? Dirkeswan mengatakan, semua dokter hewan prinsipnya boleh membuat resep karena mereka telah disumpah sebagai dokter hewan. Namun ia menyatakan dalam waktu dekat akan ada pengaturan lebih lanjut mengenai bagaimana mekanismenya. Misalkan apakah satu resep itu ditulis untuk satu flok kandang, satu kawasan area peternakan atau bagaimana. Akan diatur juga apakah nantinya dokter hewan tersebut harus memiliki izin praktek khusus. Sambil menunggu peraturan lebih lanjut itu, maka dokter hewan manapun boleh menulis resep mengenai penggunaan antibiotik untuk terapi.

Diakui oleh Dirkeswan, sebagai sebuah peraturan baru, Permentan No. 14/2017 belum mengatur semua aspek yang terkait pelarangan AGP. Namun pada prinsipnya pemerintah sama sekali tidak bermaksud untuk mempersulit dunia usaha peternakan dan kesehatan hewan. Peraturan ini dibuat dengan niat baik untuk meningkatkan kualitas peternakan nasional. Pelarangan AGP pada tahap awal tentu tampak seperti merugikan, namun dalam jangka panjang akan membuat usaha menjadi lebih sehat. Hal ini karena jika AGP digunakan terus-menerus maka akan terjadi resistensi antibiotika, sehingga dalam jangka panjang biaya pengobatan akan justru menjadi lebih mahal.

Dirkeswan menyadari banyak informasi yang berkembang di media umum yang membuat masyarakat resah. Sebuah media online memberitakan bahwa akibat pelarangan AGP produksi telur di Jawa Timur turun hingga 60%.

Hal ini sama sekali tidak benar. AGP selama ini digunakan sebagai pemacu pertumbuhan, yang dapat membantu meningkatkan produksi unggas sekitar 3-5%. Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan penurunan produksi unggas hanya sekitar 3-5%. “AGP bukanlah obat untuk pengobatan penyakit, sehingga tidak ada hubungannya pelarangan AGP dengan peningkatan kejadian penyakit di peternakan,” kata Dirkeswan.

Melihat kasus tersebut, Dirkeswan mengatakan, sosialisasi mengenai pelarangan AGP dan implementasinya, akan terus dilakukan dan ditingkatkan oleh pemerintah. Ia mengharapkan agar ASOHI, Majalah Infovet, serta kalangan profesi dokter hewan ikut membantu sosialisasi ini agar peternak mendapatkan informasi yang tepat.

Selama Januari 2018 ada beberapa pertanyaan yang masuk ke Redaksi Majalah Infovet, antara lain bagaimana mekanisme pembuatan resep untuk peternak oleh dokter hewan? Apakah pakan yang mengandung antibiotika sebagai terapi harus didaftarkan dengan NPP (Nomor Pendaftaran Pakan) yang berbeda dengan pakan yang tanpa antibiotika? Bagaimana jika penambahan antibiotika itu berupa produk customized yang berdasarkan pesanan peternak atau perusahaan tertentu, apakah juga perlu didaftarkan? bagaimana dengan pelabelan pakan setelah berlakunya Permentan No. 14/2017? Pertanyaan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana teknis pengawasannya, baik oleh pengawas obat hewan maupun pengawas mutu pakan (wastukan)?

Pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan, sebenarnya pelaku usaha memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pelaksanaan Permentan No. 14/2017. Diharapkan pemerintah dapat menjelaskan lebih gamblang beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Langkah ASOHI bersama Ditkeswan menyelenggarakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH) bulan Desember 2017 dan dilanjutkan angkatan berikutnya pada Februari 2018 merupakan salah satu upaya ASOHI untuk membantu pemerintah dalam melakukan sosialisasi tentang Permentan No. 14/2017 beserta dampaknya. Banyaknya animo dokter hewan di perusahaan obat hewan dan perusahaan pakan untuk ikut pelatihan, juga menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap pelaksanaan permentan tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa Permentan No. 14/2017 juga membuat peran dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis obat hewan, baik di perusahaan obat hewan maupun pakan juga semakin penting. Dokter hewan yang menjadi penanggung jawab teknis obat hewan harus paham betul tugas dan tanggung jawab mereka, serta memahami masalah-masalah peraturan perundang-undangan, masalah teknis dan penguatan profesi. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 283 Februari 2018

Mengkaji Aturan tentang Medicated Feed

Tahun 2017 lalu setidaknya ada dua Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan pelaku usaha peternakan. Yaitu Permentan No.14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan yang di dalamnya ada aturan pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dan Permentan No. 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan. Dua peraturan ini saling terkait.

Permentan No.14/2017 antara lain mengatur pelarangan penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan atau lebih populer dengan istilah AGP yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2018. Sedangkan Permentan No. 22/2017 mengatur pendaftaran dan peredaraan pakan yang diantaranya menegaskan bahwa pabrik pakan harus membuat pernyataan “pakan tidak mengandung AGP”.

Permentan No. 22/2017 terdiri dari tujuh bab, meliputi ketentuan umum, pendaftaran pakan, peredaran pakan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan sanksi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

Pada Pasal 2  Ayat 1 Permentan No. 22/2017 menyebutkan, pakan yang dibuat untuk diedarkan (untuk diperdagangkan maupun tidak diperdagangkan) wajib memiliki Nomor Pendaftaran Pakan (NPP). Selanjutkan pada Pasal 25 Huruf a disebutkan, pakan yang diedarkan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Pakan yang Baik (CPPB). Kemudian pada syarat-syarat teknis untuk mendapatkan NPP salah satunya adalah produsen pakan harus membuat pernyataan “tidak menggunakan Hormon Sintetik “ dan pernyataan “tidak menggunakan AGP”.

Sementara itu, di dalam Permentan No. 14/2017 ditegaskan bahwa antibiotika sebagai imbuhan pakan (AGP) dilarang untuk digunakan, namun antibiotika untuk pengobatan (terapi) tetap diperbolehkan. Beberapa jenis antibiotik yang semula didaftarkan sebagai feed additive (berfungsi sebagai AGP), boleh didaftar ulang menjadi antibiotika yang berfungsi sebagai terapi (pharmasetic) jika dapat memenuhi persayaratan teknis sebagai terapi. Peraturan ini sudah dijalankan pemerintah dan untuk menjamin ketersediaan antibiotika di peternakan, pihak pemerintah melakukan proses percepatan registrasi sehingga saat ini sudah ada beberapa jenis antibiotika yang semula dengan kode F (Feed Additive) berubah menjadi P (Pharmaceutic).

Karena antibiotika yang berfungsi sebagai terapi ini boleh dicampur di dalam pakan maka kini muncul dua jenis pakan, yakni pakan biasa (reguler) yang dipakai sehari-hari dan sudah dijamin tanpa AGP, serta pakan yang diproduksi pabrik pakan yang pemakaiannya sekaligus untuk mengobati penyakit (mengandung antibiotik untuk pengobatan). Pakan jenis ini digolongkan sebagai medicated feed.

Karena medicated feed dipakai untuk terapi jika ada kasus penyakit, maka penggunaanya harus melalui resep dokter hewan. Berarti harus ada “pengaturan lebih lanjut” mengenai mekanisme pembuatan resep oleh dokter hewan. Perlu diatur apakah semua dokter hewan boleh membuat resep penggunaan medicated feed atau hanya dokter hewan yang memiliki izin tertentu.

Berikutnya muncul pemikiran, mengingat ada dua jenis pakan, yakni pakan regular (non-medicated) dan medicated feed, berarti perlu juga pengaturan lebih lanjut tentang pendaftaran medicated feed.

Dalam sebuah seminar di Jakarta Maret 2018 lalu, Kasubdit Mutu dan Peredaran Pakan Ossy Ponsania yang hadir mewakili Direktur Pakan mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan hamonisasi aturan medicated feed dengan Direktorat Kesehatan Hewan.

Sebagaimana diketahui, pelayanan pakan dan obat hewan di Ditjen PKH dikelola oleh dua direktorat (jabatan eselon II, di bawah Dirjen PKH), yakni Direktorat Kesehatan Hewan (mengurus obat hewan) dan Direktorat Pakan (mengurus pakan). Dalam hal medicated feed, berarti ada irisan antara kedua direktorat tersebut. Obat hewan yang dicampurkan di pakan adalah kewenangan Direktorat Kesehatan Hewan, sedangkan produksi, pendaftaran dan peredaran pakan di bawah kewenangan Direktorat Pakan.

Muncul pendapat bahwa medicated feed harus didaftar tersendiri (punya NPP tersendiri) di luar non-medicated feed. Pertanyaannya adalah mendaftarnya di Direktorat Kesehatan Hewan atau Direktorat Pakan? Bagaimana tata aturan pendaftarannya?

Menarik juga disimak pemikiran lain yang lebih sederhana. Bahwa obat hewan yang dicampur di pakan sudah pasti memiliki nomor registrasi dari Direktorat Kesehatan Hewan. Demikian pula pakan, sudah pasti memiliki NPP. Selain itu, di perusahaan obat hewan maupun di pabrik pakan ada penanggung jawab teknis obat hewan, dan sudah ada sertifikasi CPOHB (Cara PembuatanObat Hewan yang Baik) di pabrik obat hewan dan sertifikasi CPPB (Cara Pembuatan Pakan dan Baik) di pabrik pakan.

Di pihak pemerintah juga ada pengawas obat hewan dan pengawas mutu pakan. Tak kalah pentingnya adalah, penggunaan medicated feed harus melalui resep dokter hewan. Karena aturan yang  akan dan tengah berjalan saja sudah berjalan demikian ketat, mengapa masih perlu registrasi tersendiri untuk medicated feed?

Pertanyaan di atas hendaknya mendapat perhatian pemerintah. Jangan sampai terjadi overregulated, pengaturan yang berlebihan, yang menyebabkan suasana usaha kurang kondusif, bahkan kontra produktif, yang membuat dunia usaha menjadi tidak efisien.

Ketua Umum GPMT Desianto Budi Utomo, sepakat dengan pendapat di atas. Sebaiknya medicated feed tidak perlu pendaftaran tersendiri. “Lebih baik kita percayakan saja dengan kewenangan dokter hewan yang memberi resep, serta penanggung jawab teknis obat hewan yang ada di pabrik pakan maupun di perusahaan obat hewan,” ujar Desianto.

Kiranya pernyataan Ketua Umum GPMT layak mendapat respon positif dari pemerintah. Dengan mekanisme yang ada, yakni adanya resep dokter hewan dan juga penanggung jawab teknis obat hewan, serta pengawas obat hewan dan pengawas mutu pakan, maka peternak sudah cukup mendapat jaminan atas keamanan dan kualitas pakan. pemerintah tinggal memastikan dan melakukan  monitoring agar mekanisme yang ada dapat berjalan sesuai dengan koridornya. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 285 April 2018

Download Gratis..! Sisipan Infovet Vol.4 : Pendaftaran dan Peredaran Pakan Non AGP


Download Gratis PDF nya pada link berikut:

https://www.scribd.com/document/376061974/Sisipan-Infovet-Vol-4-April-2018

Kebutuhan protein hewani dalam skala global terus meningkat khususnya di negara-negara berkembang seiring dengan meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat. Bahan pakan yang tersedia dituntut berkualitas dan aman, mengingat sangat berpengaruh terhadap produk ternak dan performanya. Apalagi era perdagangan bebas seperti sekarang ini yang menuntut
produk ternak berstandar SNI (Standard Nasional Indonesia) dan standard internasional (Codex Alimentarius Commision).

Kendati begitu, belum semua pakan yang diproduksi telah sesuai standard mutu dan keamanan pakannya (SNI dan PTM – Persyaratan Teknis Minimal). Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam breeding dan genetik unggas telah menghasilkan produksi ternak yang cepat dan efisien. Dalam mengantisipasi hal tersebut beberapa produsen pakan menambahkan antibiotik imbuhan pakan atau pelengkap pakan. Namun, untuk menghasilkan pakan yang bermutu dan aman, penggunaan antibiotik imbuhan maupun pelengkap pakan harus sesuai dengan kaidah peraturan yang berlaku dan bertanggung jawab.

Memasuki tahun 2018 ini, Indonesia sudah benar-benar melarang penggunaan antibiotik imbuhan pakan (Antibiotic Growth Promotor/AGP) yang tertuang dalam Permentan No. 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pemakaian AGP dalam pakan yang dinilai sering tidak bertanggung jawab dan tidak sesuai kaidah peraturan yang berlaku dikhawatirkan menjadi berbahaya pada ternak yang produknya untuk dikonsumsi manusia.

Langkah pemerintah selanjutnya mengatur kembali aturan soal pakan yang berlaku. Sebenarnya aturan mengenai pakan sudah diatur, salah satunya dalam Permentan No. 19/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Syarat dan Tata Cara Pedaftaran Pakan, kemudian diubah menjadi Permentan No. 22/Permentan/PK.110/6/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan. Dalam permentan tersebut, diatur mengenai ruang lingkup yang terdiri dari pendaftaran pakan, pengujian mutu dan keamanan pakan, peredaran pakan, pembinaan dan pengawasan, serta ketentuan sanksi.

Dengan terbitnya Sisipan Infovet Vol. 4 tahun 2018, diharapkan dapat menjembatani secara aktif sosialisasi mengenai permentan tersebut kepada seluruh stakeholder peternakan di Indonesia. Pembaca akan disuguhi uraian singkat mengenai bagaimana Pendaftaran dan Peredaran Pakan, serta lampiran utuh mengenai Permentan No. 22/2017.

Download Gratis PDF nya pada link berikut:

https://www.scribd.com/document/376061974/Sisipan-Infovet-Vol-4-April-2018

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer