Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini pelarangan agp | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PROBIOTIK SEBAGAI PENCEGAH PENYAKIT BAKTERIAL

Dengan aplikasi probiotik secara terprogram dan pengontrolan tindakan biosekuriti yang ketat dapat memberikan hasil yang lebih baik untuk mencegah sergapan penyakit bakterial. (Sumber: alibaba.com)

Pasca regulasi pelarangan antibiotik pemacu pertumbuhan di dalam Pakan (AGP), harus diakui bahwa persoalan yang masih meliputi adalah performa ayam yang menjadi kurang optimal, baik aspek pertumbuhan yang jauh dari seharusnya bahkan ada potensi kecenderungan kekerdilan, hasil program vaksinasi yang kurang optimal serta konversi pakan yang buruk.

Menurut Drh Rully Susetyawan, selaku pengelola produksi dan penanggung jawab perusahaan produksi ayam PT Januputro, mengungkapkan hal itu kepada Infovet. 

Ketika ditanya mengenai solusi terhadap persoalan tersebut, ia menjelaskan, sebenarnya problem kurang optimalnya pertumbuhan diduga karena tidak optimalnya hasil program vaksinasi. Sehingga memungkinkan infeksi sub-klinis yang disebabkan oleh agen penyakit viral yang juga berakibat pada sergapan agen penyakit bakterial.

“Potensi kekerdilan dan pertumbuan yang lambat bukan diakibatkan oleh kualitas pakan yang kurang baik, namun lebih disebabkan karena infeksi virus sub-klinis yang diperparah dengan infeksi sekunder dari agen penyakit bakterial,” ujar Rully.

Ia pun menyarankan pengaplikasian probiotik untuk mencegah agen penyakit bakterial, sebagai upaya menekan kerugian yang jauh lebih besar. Memang setelah dicermati secara seksama dalam beberapa periode pemeliharaan, terbukti hasilnya cukup baik. Meskipun upaya untuk membuat kekebalan terhadap sergapan penyakit bakterial tidak begitu maksimal.

“Memang untuk kekebalan hanya vaksinasi caranya. Meski demikian, dengan aplikasi probiotik secara terprogram dan pengontrolan tindakan biosekuriti yang ketat dapat memberikan hasil yang lebih baik untuk menangani sergapan penyakit bakterial,” ungkap dia.

Selain itu, melalui program pemberian probiotik, lanjut Rully, memberikan dampak cukup baik terhadap lingkungan dan efisiensi pakan. “Kandungan amonia di dalam kotoran ayam menjadi jauh sangat rendah. Sehingga mampu membuat ayam tumbuh lebih baik dan infeksi saluran pernapasan sangat berkurang. Selain itu, konversi pakan semakin baik dan efeknya pertumbuhan optimal,” jelasnya.

Perlu diingat, bahwa pilihan aplikasi program probiotik sebagai upaya alternatif pengganti AGP... (iyo)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2019.

ZOETIS GUT HEALTH WORKSHOP VII

Foto bersama Zoetis Gut Health Workshop VII. (Foto: Infovet/Ridwan)

Kebijakan berbagai negara termasuk Indonesia terkait pelarangan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (AGP) yang berlaku sejak Januari 2018 lalu, yang tertuang dalam Permentan No. 14/2017, masih menjadi polemik bagi peternak. Sebab, selama ini AGP sangat lumrah digunakan peternak untuk meningkatkan performa dan menekan pertumbuhan bakteri di saluran pencernaan unggas.

Beberapa kalangan menyebut, sejak pelarangan AGP diberlakukan, banyak kasus penyakit saluran pencernaan bermunculan di lapangan dan kerap menghantui peternak dan ternaknya. Hal itu menjadi kepedulian PT Zoetis Animalhealth Indonesia, menyelenggarakan 2019 APAC Poultry Gut Health Workshop VII bertajuk “Enhance Poultry Performance by Managing Gut Health in Antibiotic Stewardship Era”, 19-20 Maret 2019.

“Workhshop ini sebagai bukti kepedulian kami untuk meningkatkan kesehatan ternak, khususnya pada saluran pencernaan dalam melawan tantangan koksi dan nekrotik enteritis. Kami secara konsisten memfasilitasi forum ini sejak 2012,” ujar General Manager Zoetis Indonesia, Drh Ulrich Eriki Ginting, saat menyambut peserta yang hadir di Jakarta.

Ia menambahkan, para peserta yang hadir dari beberapa negara, seperti India, Thailand, Taiwan, Vietnam dan lainnya, bisa mendapat pengetahuan yang baik mengenai antisipasi tantangan pada kesehatan saluran pencernaan unggas.

“Saya yakin topik yang dibahas pada forum kali ini akan sangat bermanfaat untuk peserta, sekaligus menjadi ajang diskusi dengan para pakar perunggasan untuk mencari solusi mengenai tantangan kesehatan saluran pencernaan,” ucapnya.

Dimoderatori oleh Prof Dr Drh I Wayan T. Wibawan, MS dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, workshop menampilkan pembicara Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Private Poultry Consultant Dr Tony Unandar, Senior Director Commercial Development & Lifecycle Management Poultry Dr Dieter Vancraeynest DVM PhD dan Outcomes Research Director APAC & Greater China Cluster Dr Choew Kong Mah DVM.

Selain menggelar seminar, PT Zoetis Animalhealth Indonesia juga mengadakan pelatihan diagnosis dan identifikasi Eimeria bagi peserta. Pelatihan dilakukan di laboratorium protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dengan narasumber Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih MS.

Menurut salah satu peserta seminar, Drh Eko Prasetio selaku commercial poultry farm consultant, mengatakan, seminar yang diselenggarakan Zoetis sangat bermanfaat bagi praktisi perunggasan.

“Kalau melihat program Zoetis yang secara berkala dilakukan untuk mengedukasi peserta terkait kebijakan pemerintah (AGP-banned) yang akhir-akhir ini membuat kesehatan pencernaan menjadi problem utama. Kegiatan ini secara keseluruhan sangat bermanfaat, khususnya bagi praktisi. Seminar dan pelatihannya sangat membantu memberi gambaran di lapangan ketika ada kasus dan menjadi lebih terarah dalam memberikan rekomendasinya,” katanya. (RBS)

El Nino & Pelarangan AGP, Ujian Berat Bagi Peternakan Indonesia

Usaha peternakan broiler yang masih menggunakan kandang tradisional. (Sumber: rri.co.id)

Tahun 2018 lalu menjadi salah satu ujian berat bagi sektor peternakan Indonesia. Selain karena cuaca yang tak menentu akibat El Nino, para peternak juga “diuji” ketahanannya dengan pakan tanpa AGP, bagaimana mereka menghadapinya?

“Untuk menjadi pelaut yang andal, harus mengetahui cuaca”. Kutipan tersebut juga berlaku di dunia peternakan. Karena untuk menjadi peternak yang andal, juga harus bisa bersahabat dengan alam. Selain faktor internal, kesuksesan dalam usaha peternakan juga didukung faktor eksternal, salah satunya iklim dan cuaca. Khususnya bagi peternak yang menerapkan sistem kandang terbuka, mereka benar-benar harus bisa bersahabat dengan alam agar performa ternaknya terjaga.

Fenomena El Nino
El Nino merupakan fenomena penurunan curah hujan di wilayah Indonesia terutama di selatan khatulistiwa. Penyebabnya adalah menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik area khatulistiwa, akibatnya musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan. Fenomena ini juga melanda negara-negara lain di dunia. Lahan pertanian menjadi yang paling berisiko terdampak kekeringan akibat El Nino.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa Indonesia bakal mengalami El Nino pada akhir September hingga awal Oktober 2018. Prediksi tersebut ternyata benar adanya, peternak merasakan bahkan sampai bisa dibilang “merindukan” datangnya hujan.

Dampak dari musim kemarau yang panjang bagi sektor peternakan tentunya tidak main-main, suhu tinggi pada siang hari dapat menyebabkan ternak stres, yang juga lebih penting adalah ketersediaan bahan baku pakan misalnya jagung.

Musim kemarau panjang tentunya menyebabkan suhu tinggi pada siang hari, terkadang suhu naik sangat ekstrem, sehingga menyebabkan cekaman pada ternak. Menurut Prof Agik Suprayogi, guru besar Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), iklim memegang peranan besar bagi produktivitas ternak dan kadang peternak sering acuh terhadap hal ini.

“Selain manajemen peternakan, jangan sekali-kali melupakan hal ini (iklim) apalagi ketika musim-musim yang sulit ditebak seperti itu, salah-salah nanti peforma ternak kita turun,” tutur Prof Agik.

Salah satu contoh iklim dapat memengaruhi maksud Prof Agik, yakni terhadap spesies hewan, misalnya sapi perah. “Sapi perah kan cocoknya di iklim dengan suhu sejuk dan dingin misalnya pegunungan, gimana coba kalau dipindahkan ke tengah kota? Produksinya turun toh,” ucapnya.

Ia melanjutkan, bahwa cekaman akibat suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah, selain dapat menyebabkan stres dan penurunan performa ternak, juga merupakan pelanggaran terhadap animal welfare.

“Bebas dari rasa ketidaknyamanan juga masuk dalam five freedom of animal welfare, oleh karenanya kalau peternak santai-santai saja menghadapi iklim ekstrem dan ternaknya dirawat “biasa-biasa saja” ruginya dua kali, sudah performa turun, dosa pula,” pungkasnya sambil berkelakar.

Mengapa rasa tidak nyaman pada ternak dapat menurunkan performa?, menurut penelitian yang dilakukan oleh Kamel (2016) pada ayam broiler, cekaman suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

Perlunya Evaluasi Setelah Pelarangan AGP di Indonesia

Setahun pasca pelarangan AGP dalam pakan unggas perlu mendapat evaluasi dan pengkajian mendalam guna mencapai tujuan menekan AMR. (Sumber: Google)

Oleh: Budi Tangendjaja

Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promotor) sudah berjalan selama satu tahun semenjak pelarangannya digaungkan awal 2018 kemarin. Pemerintah masih mengijinkan penggunaan antibiotik dalam pakan melalui Petunjuk Teknis untuk Pakan Terapi (Medicated Feed). Penggunaan antibiotika pada tingkat peternak juga masih berjalan tanpa banyak perubahan.

Tetapi kelihatannya terjadi pergeseran penggunaan antibiotika, baik di peternak maupun di pabrik pakan. Berbagai upaya telah dikerjakan oleh para stakeholder industri peternakan, tetapi alangkah baiknya jika perjalanan satu tahun kebijakan pelarangan penggunaan AGP dalam pakan dievaluasi.

Hal penting yang perlu dipertimbangkan lagi untuk mencapai tujuan akhir menurunkan Antimicrobial Reistence (AMR) atau resistensi antimikroba pada manusia seperti diamanahkan oleh FAO dan WHO, perlu dibuatkan suatu rencana startegi jangka panjang bagi Indonesia. 

Perlunya Evaluasi
Belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu melakukan pelarangan penggunaan AGP, salah satunya yakni Denmark yang sudah melarang AGP selama 20 tahun. Ketika pelarangan dilakukan, ternyata pemakaian antibiotika yang diberikan resep oleh dokter hewan meningkat tajam, tetapi juga pemberian antibiotika pada manusia tetap berjalan dan tidak menurun. Pemakaian antibiotika untuk pengobatan meningkat sampai 2009-2010 setelah pelarangan lebih dari 10 tahun.

Perubahan pemakaian antibiotika di Denmark setelah pelarangan AGP dalam 20 tahun.

Berbeda dengan Denmark, adapun Belanda yang juga telah melakukan pelarangan AGP, penjualan antibiotika untuk hewan secara total...



Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

Optimalkan Potensi Genetik Ayam Broiler Tanpa AGP

Sumber: shutterstock foto.

Latar Belakang Pemakaian AGP Dilarang Pemerintah?
Isu global mengenai pentinganya “safety and healthy food” produk pangan asal hewani mensyaratkan tersedianya produk pangan bebas dari residu antibiotik, bahan kimia dan hormone, serta bebas dari cemaran kuman yang resisten terhadap antibiotik. Adanya kekhawatiran masyarakat global berkenaan dengan masalah AMR (Anti-Microbial Resistance), membuat Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian mengambil langkah konkret dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2017 berkenaan dengan larangan pemakaian antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter/AGP) serta membatasi pemakaian antibiotik yang digunakan sebagai produk pendukung untuk program kesehatan guna mencegah infeksi agen penyakit asal bakteri.

Pada era perdagangan bebas saat ini, Indonesia tergolong negara besar dengan lebih dari 260  juta penduduk tentu menjadi pasar potensial untuk produk pangan asal hewani yang diproduksi oleh nagara lain. Sehingga dalam menyikapi isu global terkait dengan problem AMR dan tuntutan global bagi tersedianya pangan asal hewani yang sehat dan aman, maka sebagai negara besar agar tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain, mengharuskan Indonesia untuk mampu menjadi produsen sekaligus konsumen dan mampu untuk mengekspor produk pangan asal hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

Problem Lambat Tumbuh dan Larangan AGP Dijadikan Kambing Hitamnya
Adanya problem pencernaan dan lambat tumbuh yang terjadi belakangan ini pada ayam broiler disinyalir banyak peternak penyebabnya karena adanya larangan AGP pada pakan ayam. Sehingga terkesan adanya gangguan pencernaan, lesi pada gizzard, pakan yang tidak tercerna sempurna dan gangguan pertumbuhan, menjadikan Peraturan Pemerintah tentang larangan pemakaian AGP dijadikan kambing hitam salah satu penyebab kurang optimalnya pertumbuhan ayam broiler yang tidak sesuai potensi genetiknya.

Dari pengamatan yang penulis lakukan langsung di lapangan, setelah dikaji secara mendalam adanya gangguan pencernaan berupa enteritis, gizzard erosion disertai gejala klinis wet dropping, material pakan yang tidak tercerna sempurna, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan broiler, ternyata tidak sepenuhnya disebabkan oleh adanya larangan pemakaian AGP. Adapun beberapa penyebab terjadinya problem pencernaan dan lambat tumbuh pada broiler, lebih disebabkan karena beberapa faktor berikut:

1. Preparat pengganti AGP yang dipakai kurang efektif menjaga integritas sistem pencernaan, tidak optimal mencegah infeksi entero-patogen dengan masih ditemukan tanda-tanda enteritis.
2. Adanya problem gizzard erosion disinyalir penyebabnya karena iritasi mikotoksin jenis T-2 toksin yang mencemari pakan, sehingga menyebabkan pakan yang dikonsumsi oleh ayam tidak tercerna sempurna.
3. Problem wet dropping diduga disebabkan karena cukup tingginya kandungan ANF’s (Anti-Nutritional Factors) dalam sediaan pakan dan juga kondisi usus ayam yang nampak cukup tipis, hal ini karena vili-vili usus tidak berkembang dengan baik untuk menyerap nutrisi pakan dan air.

Dampak Pemakaian AGP pada Pakan Terhadap Kesehatan Pencernaan
Sebelum penulis membahas apa dampak pemakaian antibiotik yang tidak terkontrol sebagai growth promoter, terlebih dahulu penulis sampaikan apa saja penyebab atau pemicu terjadinya resistensi kuman penyakit terhadap antibiotik yang digunakan sebagai growth promoter pada industri peternakan: ...


Drh Wayan Wiryawan
PT Farma SEVAKA NUSANTARA


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi September 2018.

Potensi Besar Bungkil Inti Sawit untuk Pakan Unggas

Bungkil inti sawit.
Bungkil Inti Sawit (BIS) merupakan hasil ikutan dari industri pengolahan kelapa sawit, dengan ketersediaannya di Indonesia sangat tinggi. Penelitian penggunaan BIS sebagai salah satu bahan pakan potensial telah banyak dilakukan. Salah satu factor pembatas penggunaan BIS adalah kandungan seratnya yang tinggi, dengan komponen dominannya adalah berupa mannosa yang mencapai 56,4% dari total dinding sel BIS. Kandungan mannan yang tinggi disatu sisi merupakan faktor pembatas nutrisi, namun di sisi lain memiliki potensi sebagai bahan imbuhan pakan seperti prebiotik yang akan meningkatkan kesehatan ternak.

Hingga saat ini, BIS hanya dipakai sebagai salah satu sumber pakan, padahal melihat potensi tersebut dapat ditingkatkan nilai tambahnya menjadi bahan baku pembuatan imbuhan pakan. Peneliti Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia, Dr Ma’ruf Tafsin, dalam sebuah seminar tentang Palm Kernell Meal di Industri Pakan di Jakarta, Juli 2018 lalu, memaparkan, kandungan β-mannan yang tinggi pada BIS yang tergolong polisakarida bukan pati atau Non Starch Polysaccharides (NSP) menjadi salah satu pembatas penggunaan BIS, terutama pada ternak monogastrik. Padahal, dari berbagai hasil penelitian para ahli nutrisi dan pakan, mannan sangat potensial untuk menjadi pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) pada unggas.

Sejak 1 Januari 2018, Indonesia telah secara resmi melarang penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan ternak. Kebijakan tersebut sebenarnya sudah diwacanakan sejak tahun 2015, namun baru dapat diterapkan secara penuh pada 2018. Keputusan tersebut tertulis pada Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) No. 14071/PI.500/F/07/2015 tentang Pelarangan Penggunaan Antibiotik dan Antibakteri dalam Imbuhan Pakan. Kebijakan ini muncul sebagai dukungannya terhadap penyediaan pangan yang aman dan sehat. Adanya residu dari penggunaan antibiotik dikhawatirkan akan memunculkan resistensi yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Kebijakan ini bukan hanya di Indonesia saja, di belahan dunia lain seperti Amerika dan Eropa, aturan pelarangan penggunaan AGP sudah diterapkan sejak beberapa tahun lalu. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan pangan yang aman itulah yang mendorong pemerintah setempat memberlakukan kebijakan ini. Pemerintah Indonesia dalam hal ini melalui Ditjen PKH, Kementerian Pertanian, akhirnya dengan tegas memutuskan Januari 2018 penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan resmi dilarang.

Adanya kebijakan tersebut, sebelumnya telah dilakukan sosialisasi dan persiapan sejak 2015-2017, nyatanya masih memberikan pekerjaan rumah terutama bagi para ahli nutrisi dan pakan dari berbagai perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perusahaan pakan, maupun obat ternak dalam usahanya mencari alternatif pengganti AGP. Berbagai solusi produk seperti probiotik, prebiotik, sinbiotik, herbal dan enzim sudah mulai diproduksi sejak tahun-tahun lalu sebagai pengganti AGP. Harapannya, bahan-bahan tersebut dapat berperan menjadi pengganti AGP sebagai pengontrol keseimbangan pertumbuhan bakteri prolifik dan yang patogen di dalam usus.

Upaya alternatif pengganti AGP yang telah diteliti oleh para ahli nutrisi diantaranya Mannanoligosakarida (MOS) yang banyak dikembangkan dari dinding sel mikroba seperti ragi Saccharomyces cerevisiae sebagai bahan bakunya. Produksi melelalui ragi tersebut dipakai karena kandungan gula mannosa-nya yang tinggi mencapai 45% dari keseluruhan dinding selnya. Masalahnya adalah, hal itu menyebabkan harga produknya sangat mahal, dan masih diimpor. Oleh karenanya, BIS sangat berpotensi untuk menghasilkan ekstrak yang mengandung mannan mengingat kandungannya yang tinggi dan mempunyai potensi yang besar sebagai alternatif AGP dengan harga yang kompetitif, tidak semahal MOS.

Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan diketahui pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan. Diketahui bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan dalam menempelnya patogen, dengan demikian mannosa dapat menghambat proses penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan. Kemampuan lain dari MOS adalah dapat merangsang sistem kekebalan dan efek ini juga berperan dalam melawan bakteri Salmonella.

Tafsin mengungkapkan, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa BIS mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai sumber mannan karena kandungan gula mannosa yang dimilikinya. Uji resistensi terhadap Salmonella dan E.Colli  menunjukkan bahwa penggunaan Polisakarida Mannan (PM) dari BIS tidak mempunyai aktivitas yang bersifat membunuh (bakterisid). Pengamatan terhadap uji aglutinasi yang dilanjutkan dengan pengamatan secara mikroskopik menunjukkan adanya penggumpalan pada penggunaan PM dari BIS. Hasil tersebut menunjukkan adanya penempelan antara reseptor bakteri dengan komponen mannosa dari PM yang diekstrak oleh BIS.

Tanaman kelapa sawit.
Penggunaan mannan dari BIS dalam ransum juga terbukti mampu menurunkan kolonisasi bakteri Salmonella pada sekum. Hasil penelitian tahap pertama yang dilakukan Tafsin membuktikan, penggunaan 4.000 ppm menunjukkan tingkat infeksi pada hari kelima setelah infeksi dan juga pengamatan keseluruhan sampai 15 hari setelah infeksi. Pengamatan pada hari ke-15 setelah infeksi menunjukkan penggunaan 2.000-4.000 ppm sudah tidak ditemukan adanya Salmonella. Hal itu menunjukkan bahwa kecepatan pengeluaran (exclution) Salmonella lebih tinggi akibat penggunaan mannan dari BIS.

Komersialisasi Turunan BIS
Komersialisasi produk turunan BIS sebagai alternatif antibiotik masih belum berkembang sekarang ini. Sangat diperlukan upaya penelitian secara berkesinambungan, terkait dengan teknologi proses untuk mendapatkan bahan aktif berupa komponen mannan oligosakarida yang dimiliki BIS. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain, melalui penggunaan secara kimia (NaOH, Asam Asetat) maupun secara enzimatis. Jumlah komponen mannosa yang terekstrak perlakuan tersebut sejauh ini baru mencapai sekitar 30%.

Dari uraian di atas, ternyata BIS mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi produk turunan yang dapat dikembangkan sebagai alternatif AGP, immunostimulan dan juga sebagai prebiotik untuk ternak. Perbaikan teknologi proses untuk mendapatkan komponen mannosa yang lebih tinggi masih sangat diperlukan agar produk tersebut dapat dikembangkan secara komersial dalam skala besar demi kemandirian bahan pakan domestik. ***

Andang S. Indartono,
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia (AINI)

Aplikasi Bakteriofag Sebagai Pengganti AGP

Gambar 1. Perbandingan ukuran bakteriofag dengan mikroorganisme lain.
((Dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan membuat produsen feed additive berlomba-lomba mencari penggantinya. Dari mulai acidifier, herbal, essential oil, probiotik dan lain sebagainya telah dicoba. Bagaimana dengan bakteriofag?))

Mungkin terdengar asing di telinga ketika berbicara mengenai bakteriofag, namun kalau ditelaah lebih dalam, bakteriofag bisa menjadi alternatif pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang menjanjikan. Di Indo Livestock 2018 yang lalu, penulis berkesempatan berbincang mengenai bakteriofag dengan Max Hwagyun Oh, PhD. Vet Med., peneliti bakteriofag sekaligus Managing Director CTCBio Inc. Korea. 

Bakteriofag
Dalam dunia mikrobiologi, tentu dikenal adanya bakteri, virus, kapang, khamir, protozoa, dan lain sebagainya. Ada satu hal yang mungkin terlewat dan kurang dipelajari, yakni bakteriofag. “Bakteriofag berasal dari kata Bacteria (bakteri) dan Phage (makan), jadi bakteriofag adalah mikroorganisme pemakan bakteri,” ujar pria yang akrab disapa Dr. Max Oh itu.


Dr. Max Hwagyun Oh
Ia melanjutkan, sejatinya bakteriofag adalah entitas umum yang ada di bumi, ukurannya lebih kecil daripada bakteri, sehingga dapat menginfeksi bakteri. Umumnya struktur tubuh bakteriofag terdiri atas selubung kapsid protein yang menyelimuti materi genetiknya.

“Jika dirunut sejarahnya, bakteriofag pertama kali ditemukan tahun 1896, kemudian di tahun 1917 seorang peneliti mikroba dari Kanada, Felix de Herelle, menemukan bahwa bakteriofag memakan bakteri disentri berbentuk bacillus,” katanya. Kemudian penelitian mengenai bakteriofag dilanjutkan sampai tahun 1940-an, namun ketika antibiotik ditemukan, penelitian mengenai bakteriofag sempat “mandek”, yang kemudian dilanjutkan kembali pada 1950-an hingga sekarang.

Sifat dan Cara Kerja Bakteriofag
Bakteriofag memiliki cara kerja yang hampir sama dengan enzim, yakni dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada permukaan tubuh bakteri, seperti peptidoglikan, lipopolisakarida dan lain sebagainya. Selain itu, membran kapsid pada bakteriofag tidak dapat mendegradasi membran sel hewan, sehingga dengan sifat ini bakteriofag hanya menyerang sel bakteri dan tidak berbahaya bagi hewan.

Dalam mengeliminasi bakteri, cara kerja bakteriofag sama seperti virus melisiskan sel, yakni melalui siklus litik dan lisogenik. Bakteriofag subjek penelitian Dr. Max Oh, bekerja melalui siklus litik. Siklus litik (sel lisis) dimulai dengan bakteriofag akan mengenali reseptor pada dinding sel bakteri dan menempel pada bakteri, bakteriofag akan melisiskan dinding sel bakteri (penetrasi) dan men-transfer materi genetiknya ke dalam sel bakteri.

Setelah berhasil menginjeksi materi genetiknya, bakteriofag akan menghasilkan enzim (dikodekan dalam genomnya) untuk menghentikan sintesis molekul bakteri (protein, RNA, DNA). Setelah sintesis protein dan asam nukleat dari sel bakteri berhenti, bakteriofag akan mengambil alih proses metabolisme sel bakteri. DNA dan RNA dari sel bakteri digunakan untuk menggandakan asam nukleat bakteriofag sebanyak mungkin. Selain itu, bakteriofag akan menggunakan protein yang terdapat pada sel inang untuk menggandakan kapsid.

Setelah materi genetik bakteriofag lengkap dan memperbanyak diri, sel bakteri akan dilisiskan oleh bakteriofag dengan bantuan depolimerase, yang diikuti kemunculan bakteriofag baru yang siap menginfeksi bakteri lainnya. Dr. Max Oh juga menjabarkan, kinerja bakteriofag sangat cepat, proses melisiskan sel bakteri hanya 25 menit.

“Bakteriofag sangat istimewa, mereka dapat mengenali bakteri-bakteri patogen yang spesifik, jadi mereka tidak akan menyerang bakteri baik maupun sel hewan itu sendiri,” jelas Alumnus Seoul National University itu. Dalam penelitiannya, bakteriofag yang ia gunakan diklaim dapat mengeliminasi bakteri patogen, seperti Salmonella choleraesius, Salmonella Dublin, Salmonella enteritidis, Salmonella gallinarum, Salmonella pullorum, Salmonella typhimurium, E. colli F4 (K88), E. colli f5  (K99), E. colli f6 (987P), E. colli (f18), E.colli (f41), Staphylococcus aureus dan C. perfringens (tipe A s/d E).


Gambar 2. Cara kerja bakteriofag melisiskan sel bakteri.
Hasil Uji Coba Bakteriofag di Lapangan

Hasil penelitian Dr. Max Oh dan timnya telah diujicobakan baik di laboratorium maupun di lapangan. Pada hasil ujicoba laboratorium (menggunakan metode yang sama dengan uji sensitivitas antibiotik), bakteriofag teruji dapat mengelminiasi bakteri-bakteri patogen, seperti terlihat pada (Gambar 3.) di bawah ini.


Gambar 3. Hasil uji lab aktivitas bakteriofag pada beberapa bakteri patogen.
Hasil trial bakteriofag di lapangan juga telah banyak dipublikasikan oleh Dr. Max Oh dan timnya, hasilnya sebagaimana pada Tabel 1. dan Tabel 2. di bawah ini:


Tabel 1. Pengaruh Pemberian Bakteriofag pada Produksi Telur
Usia
Prouksi Telur (%)
Kontrol
Prouksi Telur (%)
0,02% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,035% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,05% Bakteriofag
0-3 minggu
90,8
91
92
91,8
4-6 minggu
89,9
91,5
92,1
91,6
- Menggunakan 288 ekor Hy-line Brown kormersil (usia 36 minggu).
- Empat kali treatment selama enam minggu.
- Enam kali pengulangan.
      - 0,02 % = 200 gram/ton pakan, 0,035% = 350 gram/ton pakan, 0,05% = 500 gram/ton pakan.

      Tabel 2. Pengaruh pemberian bakteriofag pada performa broiler
   Treatment
       Bobot Badan (g)
     ADG   (g/hari)
       Feed Intake (g)
    FCR
        Mortalitas %
       Market Day
        Produksi (kg/m2)
      Kontrol
   2540
   54,22
   5359
   2,11
   16,86
   46,97
   23,4
     Treatment 1
   2540
   57,13
   4445
  1,75
   6,40
   44,45
   27,4
     Treatment 2
   2900
   60,21
   5191
  1,78
   4,70
   48,19
  29,7
- Menggunakan 744.000 ekor broiler (Ross 308) per kelompok treatment.
      - Selama 48 hari.
      - Treatment 1 dan 2 ditambahkan bakteriofag 0,03% (500 gram/ton pakan).

Dr. Max Oh menambahkan, bahwa hasil-hasil uji trial yang ia dan timnya lakukan telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional. “Memang penelitian mengenai bakteriofag ini kurang popular di Amerika, namun di Asia dan Eropa bagian Timur penelitian mengenai bakteriofag sudah sangat maju,” ucap Dr Max Oh.

Kata-kata Dr. Max Oh bukan tanpa alasan, awak Infovet mencoba menelusuri produk-produk bakteriofag di pasaran. Hasilnya, beberapa produk dengan bahan aktif bakteriofag sudah banyak digunakan di dunia, baik di bidang pertanian, peternakan, bahkan manusia.

Ia menegaskan, mengenai aspek keamanan produk bagi hewan dan manusia seharusnya tidak perlu dipertanyakan, sebab produk bakteriofag sudah banyak tersertifikat oleh asosiasi sekelas FDA. “Bakteriofag ini benar-benar natural, berasal dari alam, kami hanya memperbanyak, kami tidak menambahkan atau memodifikasi mereka, sehingga mereka bukan termasuk GMO (Genetic Modified Organism) yang banyak dikhawatirkan oleh masyarakat dunia,” tegas Dr. Max Oh.

Dari segi bisnis ia menyebut, kemungkinan dalam waktu dekat dirinya berniat menghadirkan produk bakteriofag ke Indonesia. “Saya rasa Indonesia merupakan pasar yang potensial dengan iklim seperti ini, ditambah lagi dengan dilarangnya penggunaan AGP, Saya rasa bakteriofag dapat menjadi solusi yang tepat dan natural dalam menggantikan AGP,” pungkasnya. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer