Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini kesehatan hewan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENGATUR PRODUKSI TELUR TETAP SUBUR

Ternak ayam petelur. (Foto: Dok. Infovet)

Pemerintah menargetkan penurunan angka kasus stunting pada 2024 menjadi 14%, sebuah angka yang sangat optimis untuk bisa tercapai. Langkah-langkah untuk menurunkannya sudah disiapkan dengan memberikan makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan. Jenis protein hewani yang sangat murah berasal dari unggas, salah satunya adalah telur, dimana mengonsumsi sebutir telur dalam sehari pada anak umur 6-24 bulan mampu menurunkan resiko stunting.

Program penurunan stunting akan sukses apabila kerja sama pemerintah dalam hal ini BKKBN dengan organisasi-organisasi yang berkecimpung di bidang perunggasan sering mengadakan acara sosialisasi program konsumsi telur minimal satu butir per hari. Sehingga kebutuhan secara nasional telur yang saat ini 5,9 juta ton per tahun akan semakin meningkat dan harga telur akan terjaga di atas BEP.

Melihat semangat pemerintah dalam mengatasi permasalahan stunting dengan sosialisasinya, maka peternak ayam pertelur bersemangat pula dalam mengatur agar produksi telurnya tetap subur. Subur di sini dalam artian tetap optimal sesuai standar guiden masing-masing strain yang saat ini dikisaran 470 butir jumlah produksi telur dari umur 18-100 minggu.

Di sini para peternak pasti sudah membuat strategi-strategi untuk menjaga dan meningkatkan produksi telur tetap subur, ditunjang dengan perkembangan genetik yang semakin baik. Penulis mencoba menyampaikan pengalaman di lapangan akan strategi-strategi yang dijalankan peternak dalam menjaga produksinya.

Strategi pertama dan utama bagi peternak adalah keseimbangan nutrisi yang tepat. Di tengah gejolak harga bahan baku pakan yang sulit di dapat dan harga yang mahal, maka perlu strategi dalam memformulasikan pakan agar efisien tetapi ada keseimbangan nutrisi yang dibutuhkan.

Keseimbangan nutrisi sangat penting apalagi menghadapi tantangan potensi genetik yang semakin berkembang, dimana potensi genetik saat ini menggambarkan tingkat konsumsi semakin sedikit, berat organ cerna semakin turun, tetapi kapasitas produksi telur semakin meningkat. Intervensi nutrisi atau strategi nutrisi harus dilakukan menyesuaikan parameter kebutuhan sesuai standar masing-masing strain.

Keseimbang nutrisi di awali pada fase starter pada umur 0-8 minggu karena nutrisi pada fase ini sangat berperan dalam perkembangan sistem pencernaan, sistem kekebalan, dan sistem perototan. Sistem pencernaan pada awal ayam menetas merupakan transisi enterosit dari yolk sac ke pakan dan perkembangannya lebih cepat dari organ lain karena konsumsi pakan memacu perkembangan struktur dan beratnya. Pakan yang dikonsumsi juga sebagai “antigen” awal mengaktifkan kekebalan dan memacu respon terhadap patogen, serta untuk replikasi dan diferensiasi sel kekebalan, maka dibutuhkan keseimbangan nutrisi di awal pemeliharaan.

Target keseimbangan nutrisi di awal pemeliharaan ayam adalah memaksimalkan pertumbuhan, standar bobot badan tercapai, keseragaman (CV <5%), dan mortalitas minimal sebagai rangka dasar untuk membentuk ayam mencapai produksi telur optimal nantinya saat fase produksi.

Potensi permasalahan pada fase awal pemeliharaan antara lain... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024.

Ditulis oleh:
Drh Damar Kristijanto
Business Manager Feed Additive
PT Romindo Primavetcom
agus.damar@romindo.net
Jl. Dr Sahardjo, No. 264 Jakarta
HP: 081286449471

MEMPERSIAPKAN AYAM PETELUR TETAP PRIMA

Vaksinasi untuk mencegah penyakit. (Foto: Dok. Infovet)

Persiapan menjelang produksi dalam pemeliharaan ayam petelur harus dipersiapkan dengan tepat sehingga produksi telur yang dihasilkan akan optimal. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum masuk masa produksi tersebut.

Selain genetik, nutrisi, dan faktor manajemen, lingkungan juga turut andil dalam memengaruhi performa dan produksi ternak. Performa dan produksi ternak, serta keuntungan finansial adalah aspek yang menjadi parameter kesuksesan dalam beternak. Untuk mencapai parameter keberhasilan tersebut, maka produksi telur yang dilihat dari kuantitas dan kualitasnya harus mampu dicapai dengan maksimal.

Penyakit Bikin Tambah Rumit
Selain faktor non-infeksius seperti yang disebutkan dalam artikel sebelumnya, faktor infeksius serta lingkungan juga akan sangat krusial untuk diperhatikan dalam manajemen pemeliharaan.

Penyakit-penyakit infeksius tentu menjadi tantangan bagi peternak dalam membudidayakan ayam petelur, terlebih karena masa pemeliharannya yang panjang. Otomatis rintangan ini harus dapat dihadapi dengan kesiapsiagaan.

Menyoal penyakti infeksius pada ayam petelur, fokus utamanya adalah penyakit yang mampu merusak atau menganggu kinerja sistem reproduksi. Infeksi agen infeksius tersebut menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur.

Beberapa penyakit penyebab penurunan tersebut yakni newcastle disease (ND), avian influenza (AI), infectious bronchitis (IB), dan egg drop syndrome (EDS). Veterinary Service Manager Ceva Animal Health Indonesia, Drh Fauzi Iskandar, menuturkan bahwa penurunan produksi telur akibat serangan virus IB bisa mencapai 70%. Hal tersebut berdasarkan data yang timnya kumpulkan selama beberapa tahun di seluruh Indonesia.

Selain IB, penyakit seperti EDS dapat menurunkan produksi telur sekitar 20-40% dan AI bisa mencapai 80%, sedangkan pada kasus ND produksi telur mengalami penurunan bervariasi mulai dari 7-60% (Medion, 2021).

Untuk serangan AI masih didominasi low pathogenic avian influenza (LPAI) yakni subtipe H9N2 yang cenderung menyerang sistem reproduksi dan pada serangan tunggal, hal tersebut disampaikan oleh Technical Education & Consultation Manager PT Medion, Drh Christina Lilis selaku.

“AI H9N2 ini tidak menimbulkan angka kematian yang tinggi. Pada perkembangannya, virus AI memiliki dua mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan bahkan menghentikan produksi telur,” tutur Lilis.

Ia melanjutkan, infeksi AI juga memengaruhi kualitas telur. Serangannya menyebabkan telur kehilangan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024. (CR)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PRODUKSI TELUR

Keseragaman bobot pullet harus terjaga sampai fase puncak produksi. (Foto: Dok. Infovet)

Budi daya ayam petelur di Indonesia masih menjanjikan. Karena telur dinilai sebagai salah satu sumber protein hewani yang harganya terjangkau bagi masyarakat. Meskipun begitu, peternak kian dihadapkan tantangan dalam beternak ayam petelur, bagaimana agar tetap profit dan efisien?

Kenyataannya di lapangan masih banyak peternak ayam petelur yang mengeluhkan sulitnya mencapai standar performa ayam sesuai dengan guideline tiap strain-nya. Berbagai permasalahan yang biasa dikemukakan seperti produksi tidak mencapai puncak, produksi kurang persisten (cepat turun), kualitas dan berat telur di bawah standar sehingga mengakibatkan konversi ransum membengkak yang pada akhirnya mengganggu laju pendapatan.

Infovet mencoba menjabarkan beberapa hal yang menjadi kunci keberhasilan dalam beternak ayam petelur. Setidaknya ada beberapa faktor seperti genetik, nutrisi, manajemen pemeliharaan, serta lingkungan.

Memanfaatkan Potensi Genetik Secara Maksimal
Ayam petelur modern merupakan ayam dengan genetik yang terseleksi dengan berbagai teknik pemuliaan. Dimana tiap ras saling mengklaim memiliki potensi yang mampu menghasilkan telur dalam jumlah banyak (hen day tinggi) dengan intensitas waktu yang lama (persistensi produksi telur baik), serta memiliki tingkat konversi pakan yang baik. Hal tersebut disampaikan oleh Director PT ISA Indonesia, Henry Hendrix.

“Kini layer modern bisa berproduksi dengan baik hingga mencapai umur 100 minggu, dimana yang sebelumnya siklus produksi hanya sekitar 80 minggu,” tutur dia dalam sebuah seminar di BSD.

Meskipun telah didesain sedemikian rupa, ayam petelur modern memiliki beberapa sisi kekurangan. Salah satunya yaitu relatif sulit mencapai berat badan standar terutama ketika fase starter dan memasuki awal produksi hingga puncak.

Selain itu, ketertinggalan berat badan tersebut sulit dikompensasi saat fase pemeliharaan berikutnya. Ayam petelur modern saat ini juga lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dan ransum.

Hal ini disampaikan oleh Senior Specialist Poultry De Heus Indonesia, Jan Van De Brink, dalam suatu webinar. Menurutnya saat ini di lapangan yang sering terjadi adalah over maupun under weight pada pullet yang hendak memasuki fase produksi.

“Keseimbangan dan keseragaman bobot badan menjelang fase produksi ini sangatlah penting. Ini yang kerap banyak gagal terjadi di peternak, kalau tidak kelebihan, ya bobotnya kurang, dan ketika masuk fase produksi jadi kurang optimal,” kata Jan.

Ketika ayam sudah memiliki potensi unggul tetapi tidak didukung lingkungan yang memadai, maka hasilnya tidak akan maksimal. Manajemen yang baik tentu akan menghasilkan produksi telur yang baik atau meningkat. Begitupun sebaliknya, manajemen buruk maka hasilnya tidak akan bagus.

Lebih lanjut Jan mengatakan, pertumbuhan dan fase rearing pada ayam petelur seharusnya tidak selesai di umur 16 minggu, melainkan sampai umur 30 minggu. “Kita harus mempersiapkannya karena ini sangat krusial, kita ingin produk optimal pada saat ayam memulai bertelur hingga fase puncak,” tambahnya.

Sebab apabila ayam sudah mencapai umur 18 minggu, yang bisa diperbaiki… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024. (CR)

AYAM SEHAT PRODUKSI TIDAK GOYANG

Ayam memerlukan kandungan nutrisi seimbang yang menjadi salah satu faktor untuk mempertahankan produksi stabil dan tidak goyang. (Foto: Dok. Infovet)

Ayam sehat merupakan salah satu kunci keberhasilan peternak dalam menjaga produksi tetap stabil dan tidak goyang.

Menjaga ayam tetap sehat seperti halnya menjaga bayi yang sedang tumbuh membutuhkan tenaga dan energi yang ekstra. Untuk mencapai keberhasilan sesuai target yang diinginkan, yaitu ayam selalu dalam kondisi sehat dan menghasilkan untung bagi peternak tentu butuh effort yang lebih besar.

Ayam yang dibudidayakan saat ini merupakan ayam yang berasal dari proses domestikasi dalam waktu yang lama hingga menghasilkan ayam ras dengan potensi produksi telur tinggi seperti sekarang.

Generasi ayam ras ini dikenal dengan istilah final stock atau commercial stock atau modern commercial strain. Meski banyak keuntungan yang didapatkan dari ayam yang memiliki produksi telur tinggi, namun di sisi lain ada konsekuensi yang harus dihadapi oleh peternak ayam modern ini. Di antaranya ayam modern lebih peka terhadap kondisi lingkungan seperti perubahan cuaca atau musim dan mudah mengalami stres. Hal ini tentunya dapat menyebabkan penurunan performa ataupun produktivitas.

Oleh sebab itu, beberapa faktor yang menjadi penyebab kesehatan ayam petelur yang terganggu akibat penurunan performa produktivitas dapat dipengaruhi oleh multifaktor yang sering kali terkait satu sama lain dan bersifat kompleks. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap kuantitas, ukuran, dan kualitas telur.

Salah satu faktor yang dapat memengaruhi kesehatan ayam yaitu paparan penyakit infeksius yang kebanyakan disebabkan oleh virus, seperti egg drop syndrome (EDS), infectious bronchitis (IB), avian influenza (AI), dan newcastle disease (ND). Penyakit ini dapat menyebabkan drop produksi yang tajam.

Pada kasus penyakit infeksius di lapangan sering kali ditemukan kombinasi dari beberapa penyakit. Contohnya ditemukan kasus dengan gejala klinis dan patologi anatomi mengarah AI, namun setelah dilakukan uji laboratorium ditemukan positif AI dan ND. Hal ini dapat disebabkan karena masuknya penyakit ke dalam tubuh ayam, maka ayam dalam kondisi imun yang turun sehingga penyakit ikutan lainnya mudah untuk masuk.

Langkah yang efektif untuk menjaga kesehatan ayam agar mampu memberikan produktivitas optimal adalah dengan pencegahan menggunakan vaksin yang homolog sebagai berikut:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2024.

Ditulis oleh:
Syamsidar
Marketing Support, PT Sanbio Laboratories

KIAT MENJAGA KESEHATAN UNGGAS

Perbaiki keseluruhan manajemen pemeliharaan untuk menangkal penyakit. (Foto: Istimewa)

• Faktor manajemen dalam peternakan yang tidak mendapat perbaikan dapat menjadi pemicu berulangnya penyakit dalam suatu populasi ayam di kandang.

• Pelaksanaan manajemen pemeliharaan yang baik dan tepat sangat diperlukan untuk mendukung program kesehatan dalam peternakan unggas.

• Kesehatan saluran pencernaan mempunyai peran penting sebagai pertahanan tubuh dan penopang produksi pada ayam.

Peribahasa “Kaset kusut lagu lama”, seakan sangat relevan dengan tantangan penyakit dalam budi daya ayam ras. Dimana tren kasus penyakit di lapangan hampir selalu sama dari waktu ke waktu. Ada kemungkinan ke depannya pun daftar laporan penyakit cenderung sama.

Hal tersebut diamini oleh Chief Operating Officer (COO) dan Co-Founder BroilerX, Pramudya Rizki Ruandhito, dalam sebuah seminar daring soal kasus dan proyeksi penyakit unggas, pada Desember lalu.

Dalam pemaparannya ia menjelaskan bahwa secara umum di tahun 2023 penyakit pada ayam ras broiler maupun layer relatif sama dengan pola penyakit yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Fenomena tersebut terjadi akibat cara pemeliharaan yang masih memerlukan perbaikan. Ke depan, jika perbaikan tidak dilakukan, bukan hanya kasus penyakit yang terus berulang, namun tingkat keparahannya maupun jenis penyakit bisa bertambah di masa mendatang.

“Faktor manajemen dalam peternakan itu sendiri yang dapat menjadi pemicu berulangnya penyakit dalam suatu kandang. Bagaimana peternak menjaga kebersihan dan sirkulasi udara di dalam kandang. Kemudian ketersediaan serta kualitas air dan pakan juga harus menjadi perhatian. Belum lagi terkait manajemen perkandangan, biosekuriti, serta vaksinasi juga menjadi hal yang krusial,” kata Rizki.

Terkait sistem perkandangan, ia melihat bahwa jumlah kasus penyakit di lapangan lebih banyak terjadi pada sistem open house. Walaupun tidak menjadi jaminan bahwa sistem closed house akan selalu membuat ayam sehat. Seperti halnya heat stress, ND, koksidiosis, coryza, chronic respiratory diseases (CRD), serta berbagai kasus penyakit yang dipicu oleh perubahan lingkungan yang terjadi secara drastis.

“Seperti pada 2023, dimana fenomena El-Nino membuat suhu lingkungan lebih panas sehingga banyak ditemukan kasus heat stress di lapangan, terutama pada kandang open house. Secara umum, heat stress akan menimbulkan wet drop, karena ketika suhu panas terjadi, ayam akan terpacu untuk minum lebih banyak. Nah, untuk penyakit selanjutnya yang mungkin muncul tergantung pada challenge yang ada di kandang masing-masing,” jelasnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, lanjut dia, yang jelas harus mengatasi sumber panas dengan menyediakan lingkungan kandang yang ideal, serta manajemen perkandangan dan uniformity yang tepat. Dalam pemeliharaan sistem closed house akan lebih mudah diatur. Namun tantangan lebih besar ketika panas adalah pada pemeliharaan sistem open house, sehingga penanganannya harus lebih ekstra. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pemberian suplemen untuk menekan tingkat stres pada ayam, seperti vitamin C dan elektrolit.

Dalam konteks menjaga kesehatan ayam ras, pada kesempatan yang sama Guru Besar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) IPB, Prof Dr I Wayan T. Wibawan, menjelaskan bahwa kesehatan saluran pencernaan mempunyai peran penting sebagai pertahanan tubuh dan penopang produksi pada ayam. Menurutnya, saluran pencernaan merupakan tempat terjadinya proses pencernaan pakan dan penyerapan nutrien, barier pertama terhadap infeksi, serta di sepanjang usus halus ada mekanisme kekebalan yang sangat penting dalam penolakan infeksi seperti sel Goblet, daun Peyer, dan peristaltik.

“Untuk menjaga kesehatan saluran cerna, mikroba dalam usus harus seimbang, yakni mikroorganisme baik (85%) dan mikroorganisme berpotensi patogen (15%). Untuk itu, pemberian pakan yang berkualitas sesuai kebutuhan ayam menjadi fondasi kesehatan dan performa produksi. Dalam hal ini, pakan mempunyai pengaruh besar terhadap kebugaran dan kesehatan ayam, sehingga penting untuk memperhatikan kualitas pakan di setiap level peternakan. Hal ini juga harus ditunjang dengan manajemen kesehatan yang baik, termasuk di dalamnya vaksinasi dan biosekuriti yang tepat” tukasnya.

Penyakit Cenderung Berulang, Perbaiki Manajemen Pemeliharaan 
Salah satu aspek krusial dalam pemeliharaan ayam ras adalah bagaimana peternak mempersiapkan manajemen kesehatan ayamnya. Secara umum status kesehatan ayam dipengaruhi beberapa hal, seperti kondisi umum ayam, lingkungan, hingga tantangan penyakit.

“Secara umum di tahun kemarin penyakit pada unggas relatif sama dengan pola penyakit yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada broiler kasus CRD, kolibasilosis, dan coryza masih menjadi penyakit bakterial yang banyak dijumpai di lapangan. Sedangkan untuk penyakit viralnya masih didominasi infectious bursal disease (IBD)/gumboro dan newcastle disease (ND), serta koksidiosis akibat pengaruh lingkungan yang memanas (El-Nino) sehingga menyebabkan heat stress. Hal ini tentu membutuhkan treatment ekstra agar tidak menjadi faktor pemicu kasus-kasus penyakit lainnya,” kata Rizki.

Sementara pada peternakan layer, kasus yang sama seperti CRD, kolibasilosis, dan coryza juga kerap dijumpai, selain penyakit viral di antaranya avian influenza (AI) dan infectious laryngo tracheitis (ILT). Adapun penyakit lainnya yang tidak bisa dianggap enteng adalah parasit seperti koksidiosis, ektoparasit, dan cacing.

“Beberapa penyakit ini sering terjadi di kandang internal kami. Walaupun biasanya berbagai obat dan penanganan juga telah diberikan, namun penyakit ini masih menjadi momok bagi para peternak, sehingga perlu adanya evaluasi dan perbaikan dari keseluruhan manajemen pemeliharaan. Selain itu, lakukan juga tindakan preventif seperti vaksinasi, sanitasi, biosekuriti, hingga istirahat kandang yang cukup,” ucap dia.

Program istirahat kandang masih sering diabaikan peternak dengan alasan efisiensi produksi. Biasanya mereka mengejar delapan kali siklus produksi dalam satu tahun, sehingga istirahat kandang sering ditinggalkan. Padahal, istirahat kandang menjadi program yang sangat berguna untuk memutus mata rantai kasus penyakit dalam kandang.

“Secara periodik, monitoring kesehatan dengan uji laboratorium juga diperlukan. Oleh karena itu perlu adanya edukasi ke peternak mengenai penyakit unggas beserta pencegahan dan penanganannya. Karena bagaimanapun, indikator kualitas SDM turut berpengaruh terhadap keberhasilan program kesehatan dalam kandang,” tegasnya.

“Terakhir, untuk menunjang program kesehatan perlu menggunakan teknologi tepat guna untuk mampu mendeteksi penyakit. Saat ini kami di BroilerX sedang mengembangkan teknologi yang bisa mendeteksi penyakit lebih dini, sehingga bisa dicegah dan tidak semakin parah.” (INF)

BASMI KEBERADAAN LALAT DI PETERNAKAN

Banyak lalat hinggap di tempat pakan ternak. (Foto: Istimewa)

Hewan dari filum arthropoda ini memang sudah seperti menjadi bagian sehari-hari dalam hidup. Hampir di tiap tempat pasti bakal mudah menemukan keberadaan lalat. Serangga yang bisa terbang ini dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif.

Begitu pula dalam dunia peternakan, lalat merupakan musuh yang juga harus dibasmi. Ledakan populasi lalat di suatu peternakan dapat menambah daftar panjang masalah yang harus diselesaikan.

Berbagai Jenis, Beragam Ancaman
Menurut Prof Rosichon Ubaidillah, seorang ahli serangga LIPI, ada sekitar 240.000 spesies diptera (serangga dua sayap) dan secara umum dikenal sebagai lalat/fly termasuk simulium. Berdasarkan penemuannya, lalat sudah hidup sekitar 225 juta tahun yang lalu.

“Keberadaan lalat ini sudah lama ada, coba bayangkan sejak zaman dinosaurus mereka sudah ada, dan yang jelas beberapa jenis lalat secara langsung dan tidak langsung juga memengaruhi kehidupan kita secara ekologi, medis, bahkan sampai ekonomis,” kata Rosichon.

Ia menjelaskan, beberapa spesies lalat bersifat parasit dan merugikan manusia termasuk di dunia peternakan. Oleh karena itu, perlu diwaspadai keberadaan lalat di suatu peternakan apapun. Hal ini dikarenakan tiap spesies alat memiliki inang yang berbeda-beda.

Hal tersebut juga diamini oleh staf pengajar parasitologi FKH IPB, Prof Upik Kesumawati. Di dunia peternakan, baik hewan besar maupun kecil keberadaan lalat adalah masalah yang harus dikendalikan. Ia memberi contoh pada hewan besar misalnya lalat spesies Tabanus, Stomoxys, Haematopota, dan Chrysops.

“Mereka itu lalat yang biasa ditemukan pada hewan besar, mereka mengisap darah dan memberikan dampak medis yang besar bagi penyebaran penyakit (vektor) surra. Makanya harus dibasmi dan dikendalikan, tidak boleh dibiarkan, kalau dibiarkan akan jadi kerugian ekonomi yang tidak sedikit,” kata Upik.

Hingga saat ini menurut Upik, Indonesia masih struggle dalam mengendalikan penyakit surra pada sapi yang diperantarai oleh vektor lalat dari keluarga Tabanidae. Ia memberi contoh misalnya kerugian akibat penyakit surra di benua Asia mencapai $ 1,3 miliar pada 1998, hal ini belum termasuk biaya pengendalian vektornya.

Di peternakan unggas Jenis lalat yang sering dijumpai antara lain lalat rumah (Musca domestica), lalat buah (Lucilia sp.), lalat sampah (Ophyra aenescens), lalat tentara (soldier flies), dan lalat hitam (Simulium sp.). Lalat tersebut sering ditemukan di sekitar tempat pakan, litter, area sekitar feses, kolong kandang, selokan air, maupun bangkai ayam. Banyaknya populasi lalat tersebut tentu akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan kandang dan masyarakat sekitar.

Memiliki Arti Penting
Mengapa lalat menjadi penting? Karena serangga bersayap dua ini dapat menjadi vektor penyakit. Seperti yang sudah sebutkan, penyakit surra pada ruminansia dan hewan besar ditularkan juga melalui lalat. Lalat dapat berperan sebagai vektor mekanis maupun vektor biologis. Sebagai vektor mekanis, lalat hanya membawa bibit penyakit tersebut dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan sebagai vektor biologis, bibit penyakit masuk ke tubuh lalat ketika lalat menggigit atau hinggap di ayam. Bibit penyakit kemudian berkembang di tubuh lalat dan menular ke ayam lain.

Menurut Drh Christina Lilis dari PT Medion, lalat dapat berperan sebagai vektor penyakit AI, ND, gumboro, histomoniasis, leucocytozoonosis, dan necrotic enteritis (NE). Larva dan lalat dewasa juga menjadi inang perantara bagi infeksi cacing pita (Raillietina tetragona dan R. cesticillus) pada ayam. Larva dan lalat dewasa sering kali termakan oleh ayam sehingga ayam dapat terinfestasi cacing pita.

Selain itu, lalat juga berperan sebagai vektor mekanik bagi cacing gilik (Ascaridia galli) maupun bakteri. Tak jarang lalat ditemukan sedang hinggap di ransum ayam. Tak heran jika kasus penyakit ayam rata-rata meningkat 10% dibandingkan musim kemarau, salah satunya karena peran lingkungan yang lembap sehingga bibit penyakit meningkat dan peran lalat sebagai vektor penyakit.

“Kalau sudah begini dan sudah tahu bahwa penyakit-penyakit bisa diperantarai oleh lalat, apa iya kita masih mau diam? Kan ini juga mengancam peternakan kita dan memang butuh dikendalikan,” tutur Lilis.

Beragam literarur juga menyebutkan bahwa keberadaan lalat dapat menjadi pemicu stres di kandang. Hal ini akan berakibat pada turunnya nafsu makan dan asupan nutrisi berkurang. Sehingga pakan banyak tersisa dan FCR (feed convertion ratio) meningkat. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada pertambahan bobot badan harian ayam yang terhambat.

Upaya Mengendalikan
Dalam mengendalikan populasi lalat perlu dipahami siklus hidupnya terlebih dahulu agar mempermudah dalam mengendalikannya. Dalam waktu 3-4 hari seekor lalat betina mampu menghasilkan rata-rata 500 butir telur.

Yang dapat dilakukan pertama kali adalah mengontrol manajemen pemeliharaan, sebab lalat sangat suka hinggap terutama di feses, maka feses dan sisa pakan harus dibersihkan setidaknya seminggu sekali. Usahakan agar pemberian pakan dan air minum rapi tidak tumpah dan menjadi tempat hinggap lalat.

Selain itu, lakukan pengontrolan kandang secara berkala, apabila terdapat ayam yang mati segera kumpulkan dan buang, atau langsung dibakar. Hal ini agar bangkai ayam tidak dihinggapi lalat karena bangkai juga menjadi salah satu spot favorit bagi para lalat.

Pengendalian lalat juga bisa dilakukan dengan peasangan light trap di kandang, yang merupakan perangkap mekanik untuk memancing lalat agar mendekat. Serangga sangat suka dengan cahaya terang, dengan adanya light trap lalat akan terperangkap dan terbunuh karena aliran listriknya.

Insektisida juga sering menjadi pilihan peternak dalam mengatasi lalat. Yang perlu dipahami, penggunaan insektisida bukan menjadi core dan pilihan utama dari pengendalian lalat, tetapi merupakan senjata pamungkas. Oleh karenanya, peternak tidak bisa menggantungkan pembasmian lalat hanya dari pemberian obat lalat saja, namun teknik pemberian obat lalat juga harus dilakukan dengan tepat. Banyak pilihan insektisida yang bisa digunakan dalam membunuh lalat dari berbagai fase, hal tersebut bisa dikonsultasikan dengan dokter hewan.

Pengendalian lalat penting dilakukan meskipun lalat bukan penyebab penyakit, namun lalat dalam jumlah berlebihan akan menjadi penyebar dan pemicu penyakit. Selain itu akan memicu masalah antara peternak dengan lingkungan sekitar. Peternakan ayam dituding sebagai biang munculnya banyak lalat. Lalat dewasa yang berterbangan di dalam kandang lebih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan telur, larva, dan pupa yang sesungguhnya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, pengendalian lalat sejak dini, yaitu saat stadium larva menjadi sebuah langkah yang bagus dalam membasmi keberadaan lalat. ***

Ditulis oleh:
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

AGAR CACINGAN TIDAK MEMBUDAYA

Diare pada ayam bisa jadi gejala awal cacingan. (Foto: Istimewa)

Tidak mudah memang mengendalikan penyakit parasitik seperti cacingan. Hingga kini masalah tersebut masih menghantui peternak di Indonesia. Bagaimanakah sebaiknya mengupayakan hal ini?

Sebagaimana disebutkan pada artikel sebelumnya mengenai ciri-ciri ayam yang mengalami cacingan dan jenis-jenis cacing yang menginfeksi, sebagai peternak harus memahami faktor penyebab ayam terinfeksi cacing. Beberapa di antaranya:

• Kandang kurang bersih. Telur cacing dikeluarkan bersama feses ayam, jika kondisi litter di kandang ayam kotor dan dipenuhi feses, serta jarang dikontrol untuk diganti, jangan terkejut apabila ayam menunjukkan gejala klinis atau mengalami cacingan. Penyakit ini bisa menular secara mudah melalui feses di kandang. Apabila tidak segera dibersihkan dan litter kandang jarang dikontrol, telur cacing dapat dengan mudah menginfeksi semua ayam di kandang.

• Kualitas pakan. Saat mendapati gejala klinis pada ayam yang mengarah pada cacingan, bisa saja salah satu penyebabnya adalah karena pakan yang diberikan tidak berkualitas. Pastikan hanya memberikan makanan dalam kondisi bagus pada ayam. Minimal tidak memberikan pakan yang kadaluarsa atau pakan yang tidak jelas. Pada pakan ayam kadaluarsa biasanya mengandung parasit dan telur cacing. Saat dikonsumsi ayam, akan mendatangkan berbagai gangguan kesehatan, apalagi di tengah kesulitan bahan baku pakan seperti saat ini.

• Suhu dan lingkungan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa cacing parasit menyukai kondisi lingkungan dan suhu tertentu. Oleh karena itu, penting bagi pemilik ternak untuk mengatur suhu udara dan memberikan lingkungan baik bagi ayam peliharaan.

• Keberadaan vektor. Beberapa jenis serangga seperti kumbang franky, lalat, nyamuk, dan lain sebagainya telah terbukti menjadi vektor alami dari penyebab cacingan. Ayam memiliki risiko tinggi terkena penyakit cacingan apabila populasi lalat meningkat atau disebut dengan musim lalat. Terlebih ketika musim hujan dengan curah hujan yang tinggi dan tingkat kelembapan kandang meningkat.
Larva lalat dewasa menjadi inang bagi parasit cacing pita yang menyebabkan penyakit cacingan pada ayam. Selain itu, larva lalat dewasa juga menjadi vektor mekanik bagi cacing gilig dengan membawa telur cacing tersebut berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karenanya, pengendalian vektor merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pengendalian cacing.

Lebih Baik Mencegah
Jika ayam terkena penyakit cacingan, maka harus segera ditangani dengan menggunakan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024. (CR)

INFESTASI CACING YANG BIKIN MERINDING

Ascaridia galli. (Foto: Istimewa)

Orang awam mungkin mengetahui cacing sebagai salah satu mahluk penggembur tanah atau umpan memancing. Namun tidak semua cacing menguntungkan, ada beberapa jenis cacing yang justru merugikan bagi manusia dan hewan ternak.

Cacing yang akan dibahas dalam artikel ini merupakan cacing yang bersifat parasitik, terutama pada unggas. Cacingan merupakan penyakit akibat infeksi/infestasi cacing parasit di dalam tubuh makhluk hidup.

Cacing parasit banyak menginfeksi saluran pencernaan ternak, tak terkecuali unggas. Parasit ini sering menimbulkan banyak keluhan terutama dari peternak layer maupun breeding farm. Keluhan awal yang terjadi umumnya penurunan nafsu makan, diare berkepanjangan, keseragaman bobot badan yang tidak baik, bobot badan berada di bawah standar, penurunan produksi telur disertai daya tetas telur yang berkurang.

Selain itu, cacingan dapat menginduksi penyakit-penyakit pencernaan seperti necrotic enteritis (NE) dan yang paling berbahaya adalah menyebabkan penurunan daya tahan tubuh (imunosupresi) yang berujung pada kematian.

Mengidentifikasi Cacing Parasit
Menurut Dosen Mata Kuliah Endoparasit SKHB IPB University, Drh Risa Tiuria, dikatakan bahwa jenis cacing yang sering menginfeksi ayam terdiri dari dua jenis, yaitu jenis cacing gelang (nematoda) dan cacing pita (cestoda). Parasit cacing gelang sangat sering dijumpai pada breeding farm yang menggunakan sistem closed house dan pemeliharaan postal yang memakai litter. Hal ini dikarenakan kondisi pada litter sangat mendukung siklus perkembangan cacing dan tingginya kemungkinan ayam memakan telur cacing yang ada pada litter. Jenis cacing gelang yang kerap dijumpai menginfeksi ayam di lapangan adalah:

• Cacing Ascaris sp. Cacing ini paling sering dijumpai, berbentuk seperti spageti dengan panjang sekitar 5-12 cm dan dapat ditemukan di sepanjang usus halus. Cacing ini memiliki lama siklus hidup dari telur yang termakan hingga bertelur kembali berkisar 5-8 minggu. Larva dari cacing ini menyebabkan pendarahan pada usus halus, sehingga meningkatkan risiko infeksi sekunder dari bakteri Clostridium perfringens yang dapat menyebabkan NE.

• Cacing Capillaria sp. Cacing ini berbentuk seperti benang halus, biasanya cacing ini ada pada kerongkongan dan/atau tembolok. Cacing ini dapat menembus mukosa saluran pencernaan bagian atas sehingga menyebabkan peradangan pada tembolok dan dinding kerongkongan. Hal ini akan menyebabkan ayam mengalami kesulitan makan yang mengakibatkan penurunan nafsu makan.

• Cacing Heterakis gallinarum. Cacing Heterakis berbentuk seperti benang halus dan dapat ditemukan pada sekum. Cacing ini menyebabkan peradangan pada sekum yang ditandai dengan berkurangnya lipatan-lipatan mukosa pada sekum. Cacing ini juga merupakan vektor penyebaran dari penyakit histomoniasis atau black head disease.

Sedangkan jenis cacing pita yang umum ditemukan pada ayam adalah cacing pita dari jenis... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024. (CR)

CACING SI MALING NUTRISI

Siklus hidup Ascaridia sp. Periode Prepaten sekitar 45 hari. (Bautista-Vanegas et al., 2023)

Cacing merupakan parasit atau organisme yang mendapatkan makanan dan menggantungkan hidupnya bersama atau berada dalam hospes atau induk semangnya. Parasit selalu mendapatkan keuntungan dari hubungan hidup dengan hospesnya. Parasit dikategorikan obligat apabila seluruh siklus hidupnya tergantung oleh hospesnya dan dikategorikan sebagai fakultatif apabila siklus hidupnya dapat bersama hospes atau hidup bebas.

Parasit yang hidup di dalam tubuh hospes biasa dikenal sebagai endoparasit, sementara parasit yang hidup di luar atau pada permukaan tubuh hospesnya dikenal sebagai ektoparasit. Yang menarik dari parasit adalah siklus hidup kompleksnya yang biasanya terdiri dari berbagai macam bentuk siklus hidup yang akan memberikan pengaruh berbeda terhadap lingkungan maupun hospesnya.

Perhatian peternak terhadap parasit cacing kerap kurang dibanding perhatiannya terhadap penyakit yang disebabkan virus maupun bakteri, meskipun sering kali faktor penyakit parasit merupakan faktor pendukung utama atas terjadinya kasus yang disebabkan virus maupun bakteri. Hal yang menyebabkan kurangnya perhatian peternak karena anggapan parasit merupakan penyakit yang mudah untuk ditanggulangi dan diobati, serta dengan manajemen yang ketat dan intensif akan mudah menghindari kasus penyakit parasit. Hal lain yang menyebabkan kurangnya perhatian peternak adalah penyakit ini jarang menimbulkan kematian tinggi, hanya terbatas pada penurunan tingkat pertumbuhan dan produksi telur.

Cacing, sebagai parasit sering kali ditemukan pada berbagai tipe skala peternakan ayam. Cacing pada ayam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu cacing gilig (nematoda) dan cacing pita (cestoda). Cacing hidup pada saluran pencernaan ayam dan menular antar ayam melalui telur-telur yang dikeluarkan bersama feses.

Ada dua jenis siklus hidup cacing, siklus hidup langsung dan tidak langsung. Pada cacing dengan siklus hidup langsung hanya membutuhkan satu spesies hospes untuk memenuhi siklus hidupnya secara lengkap, meskipun pada beberapa stadium siklus hidup berada di luar tubuh hospesnya. Sedangkan pada cacing dengan siklus hidup tidak langsung, memerlukan dua spesies hospes yang berbeda untuk memenuhi seluruh siklus hidupnya secara lengkap, yaitu hospes tetap dan sementara. Cacing dengan siklus hidup tidak langsung berada pada stadium belum dewasa di hospes sementara dan memerlukan perpindahan pada hospes tetap agar siklus hidupnya berubah menjadi dewasa.

Periode grower ayam pada umumnya merupakan masa yang rawan infeksi cacing. Infeksi umumnya menimbulkan gejala klinis di antaranya:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024.

Ditulis oleh:
Drh Damar
PT Romindo Primavetcom
Jl. Dr Saharjo, No. 264 Jakarta
HP: 0812-8644-9471

PELAN NAMUN PASTI, CACING MERUGIKAN

Cacing gilig yang sering menyerang ayam. (Sumber: layinghens.hendrix-genetics.com)

Cacing adalah salah satu penyakit yang masih sering menyerang ayam petelur maupun pedaging. Tidak begitu mematikan, tetapi kerugian yang ditimbulkan tidaklah sedikit. Terlebih lagi, kondisi saat ini harga pakan naik signifikan.

Serangan cacing bisanya terjadi perlahan, bahkan kadang tidak teridentifikasi. Namun sejalan dengan berjalannya waktu, penurunan produksi telur maupun pertumbuhan bisa sangat signifikan. Saat serangan awal biasanya ayam tidak menunjukkan gejala yang signifikan. Konsumsi ransum juga dirasakan masih sama. Penurunan berat atau besar telur biasanya belum teridentifikasi, kecuali dilakukan pengamatan data recording dengan lebih jeli. Bahkan kadang kala kasus cacing ini tidak terpantau, meskipun produksi telur sudah turun secara signifikan karena konsentrasi peternak maupun tenaga kesehatan lebih besar pada kasus bakterial atau viral.

Cacing yang Sering Menyerang
Cacing yang sering menyerang ayam di antaranya adalah cacing gilig dan cacing pita. Ada sebuah analisis (meta-analysis) dari peneliti Anwar Shifaw et al. (2021), dipublikasikan oleh Poultry Science terkait jenis cacing yang sering menyerang ayam. Dari sebanyak 2.985 artikel yang dipublikasikan selama tahun 1948 sampai 2019, menunjukkan data jenis cacing yang menyerang ayam adalah Ascaridia galli (35,9%), Heterakis gallinarum (28,5%), Capillaria spp. (5,90%), dan Raillietina spp. (19%).

Lalu bagaimana data yang ada di Indonesia? Data identifikasi cacing yang sering menyerang ayam petelur di salah satu sentra peternakan ayam petelur, Udanawu Blitar, pernah dilakukan oleh peneliti dari Universitas Airlangga (Klalissa dkk, 2023). Hasilnya menunjukkan bahwa dari 96 sampel yang diambil, terdeteksi ada 81,25% sampel positif terserang cacing. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, sebanyak... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2024.

Ditulis oleh:
Hindro Setyawan SPt
Technical Support-Research and Development,
PT Mensana Aneka Satwa

NE & KOKSIDIOSIS: DYNAMIC DUO PEMBAWA KERUGIAN

Perdarahan hebat pada usus, gejala klinis yang biasa diamati pada kasus NE. (Foto: Dok. Gold Coin)

Kombinasi dari dua jenis yang berbeda atau yang biasa disebut dengan istilah duet juga berlaku dalam penyakit unggas. Sangat familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E. coli. Tak kalah mematikan yakni duet antara nekrotik enteritis (NE) dan koksidiosis. Kombinasi keduanya “sukses” membuat peternak ketar-ketir.

Awal Mula
Jika peternak ditanya apakah ayamnya sudah pernah kena koksidiosis atau NE? Pasti peternak sepakat menjawab “Jangan sampai kena,”. Koksidiosis dan NE, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya disebabkan oleh protozoa (Eimeria sp.) dan bakteri (Clostridium perfringens).

Berdasarkan buku teks atau diktat perkuliahan penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk, dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis eimeria tersebut, ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella, dan E. hagani. Namun dari kesembilan spesies itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina, dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Serupa dengan koksidiosis, NE juga mengakibatkan kerusakan pada usus, penyakit bakterial ini bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan C. Seperti yang disebutkan di atas, di lapangan kasus koksidiosis dan NE biasanya berjalan seirama.

Hal ini bisa terjadi karena saat koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang men-trigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berujung pada serangan NE atau kematian jaringan usus.

Tak Kenal Ampun
Pada sebuah webinar beberapa waktu lalu, Drh Lussya Eveline, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan benar-benar merepotkan, terutama koksidia, karena protozoa itu berbeda dengan bakteri dan virus, jadi agak susah dieradikasi,” katanya. 

Ia melanjutkan, secara normal di dalam usus ayam yang sehat terdapat bakteri C. perfringens sebagai bakteri komensal (tidak menyebabkan terjadinya outbreak penyakit). Namun, hubungan ini bisa berubah menjadi parasitisme di saat kondisi ayam sedang buruk atau tidak fit dan didukung dengan kondisi lingkungan yang tidak nyaman (tantangan agen penyakit, stres, toksin, dan lain sebagainya), maka wabah NE dapat terjadi.

Pada ayam yang mati karena NE, jumlah C. perfringens yang dapat diisolasi pada usus ialah > 107-108 CFU per gram isi usus, sedangkan jumlah bakteri C. perfringens di dalam usus ayam pedaging yang sehat berkisar 0-105 CFU tiap gram isi usus.

Jika berbicara mengenai kerugian, serangan koksidiosis (apalagi kombinasi dengan NE) adalah jagonya. Tingkat kematian yang disebabkan bisa mencapai 80-90% dari total populasi pada ayam broiler. Sedangkan pada ternak layer, produksi telurnya sudah pasti terganggu. Seakan tidak puas sampai di situ, serangan koksidiosis juga akan menimbulkan efek imunosupresif yang menjadikan ayam rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Bagaimana bisa imunosupresif? Lussya menerangkan, hal pertama yang terjadi adalah kerusakan pada jaringan mukosa usus menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi tidak optimal. Akibatnya terjadi defisiensi nutrisi pembentukan antibodi jadi terganggu.

Kedua, Peyer's patches dan caeca tonsil  (organ pertahanan di mukosa usus) mengalami kerusakan, jika kedua organ ini rusak akan mengakibatkan ayam lebih rentan terinfeksi penyakit lainnya.

Ketiga, di sepanjang jaringan mukosa usus terdapat jaringan limfoid penghasil antibodi (IgA), dimana IgA akan terakumulasi di dalam darah. Kerusakan mukosa usus akan mengakibatkan keluarnya plasma dan sel darah merah, sehingga kadar IgA sebagai benteng pertahananan di lapisan permukaan usus menurun.

“Sudah menyebabkan kematian, produksi turun, imunosupresif, kurang mengerikan apalagi duet penyakit ini?,” ucap dia.

Kalau Sudah Kena, Harus Bagaimana?
Bagaimana cara mengobati koksidiosis? Apakah yang harus dilakukan jika di suatu peternakan terjadi wabah koksidiosis plus NE? Jawabannya sederhana, namun implementasi di lapangannya kadang sulit dilakukan.

Menurut Product Manager Pharmaceutical PT Agrinusa Jaya Sentosa, Drh Endah Soelistyowati, yang harus dilakukan utamanya adalah pencegahan. “Kalau ditanya peternak begitu, saya suruh afkir semuanya dulu. Karena jawaban saya adalah jangan sampai kena,” sergahnya.

“Memberantas gabungan koksidiosis dan NE bukannya mustahil, tetapi memakan banyak waktu, tenaga, dan tentunya biaya dengan hasil yang pasti tidak sebanding.”

Ia menjelaskan bahwa peternak harus mengetahui dengan pasti musuh sebenarnya. “Siklus hidup eimeria itu panjang untuk menjadi sebuah individu sempurna. Oleh karenanya, kita harus memotong rantai siklus hidupnya sehingga ia tidak bisa berkembang lebih lanjut,” paparnya.

Lebih lanjut, semua dimulai dari dari fase ookista. Ookista dikeluarkan bersama dengan feses ayam, jika lingkungan sekitar lembap dan basah, ookista akan terus berkembang dan bersporulasi hingga akhirnya mampu menginfeksi ayam. “Supaya ookistanya tidak lanjut bersporulasi, kuncinya peternak juga harus rajin, program biosekuriti secara ketat harus dijalankan,” ucapnya.

Jika ookista sudah dihentikan sporulasinya, siklus hidupnya tidak langsung berhenti. Perlu diketahui, ookista dari eimeria tahan terhadap disinfektan yang banyak dijual. Tidak hanya tahan terhadap banyak disinfektan, kata Endah, ookista berukuran sangat kecil sehingga ia mudah diterbangkan oleh angin dan tersebar. Ookista juga mudah terbawa peralatan kandang, manusia, transportasi, serangga, atau hewan lainnya untuk menyebar.

“Yang paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk memberantas ookista yakni memberikan kapur atau soda kaustik pada permukaan litter yang lembap dan basah,” jelasnya. Kapur dan soda kaustik merupakan bahan aktif yang bersifat basa. Ketika kedua bahan tersebut larut dalam air atau media yang basah (litter), maka akan menghasilkan suhu tinggi.

Sementara, ookista tidak tahan terhadap suhu ekstrim panas > 55° C. Ookista juga dapat mati jika berada pada kondisi suhu sangat dingin (suhu beku) dan kekeringan yang ekstrem. Inilah mengapa istirahat kandang juga menjadi poin penting dalam penyebaran ookista koksidia. 

Endah mengingatkan kepada peternak agar jangan lupa menerapkan manajemen pemeliharaan ayam yang baik dan benar. Karena ookista dapat berkembang dengan baik pada litter yang lembap, sebisa mungkin kualitasnya diperhatikan. Lakukan pembolak-balikan untuk mencegah litter basah.

“Pada masa brooding, kalau bisa litter sering dibolak-balikkan secara teratur setiap 3-4 hari sekali mulai umur 4-14 hari. Ini yang biasanya peternak suka malas lakukan,” tukasnya.

Litter basah dan menggumpal sebaiknya segera diganti. Jika gumpalan litter sedikit, maka dapat dipilah dan dikeluarkan dari kandang. Namun jika jumlah litter yang menggumpal atau basah banyak, sebaiknya tumpuk dengan yang baru hingga gumpalan tidak tampak.

Jika semua sudah dilakukan, namun serangan penyakit masih terjadi dan berulang, menurut beberapa literatur memang infeksi koksidia bisa menstimulasi pembentukan kekebalan. Namun, kekebalan akibat koksidia baru terbentuk setelah 3-4 siklus hidupnya di dalam tubuh ayam. Sedangkan terkadang kasus di lapangan baru satu siklus saja kebanyakan ayam sudah tepar.

Untuk kekebalan yang cukup instan di beberapa negara biasanya ada program vaksinasi koksidia. Pemberian vaksin juga salah satu cara pencegahan koksidiosis dengan dihasilkannya kekebalan dari koksidia dalam tubuh ayam, hanya saja vaksin juga memliki kelemahan, hal ini pernah diceritakan Prof Charles Rangga Tabbu.

“Enggak ada kekebalan silang antar spesies, jadi penggunaan vaksin koksidiosis tidak akan efektif kalau strain vaksin koksidiosis berbeda dengan strain yang menyerang. Kalau seperti ini identifikasinya harus benar,” katanya. (CR)

UPAYA MEMAKSIMALKAN KINERJA SALURAN PENCERNAAN

Yang menjadi kunci kesuksesan dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan yakni seimbangnya jumlah mikroorganisme yang ada pada saluran pencernaan. (Foto: Dok. Infovet)

Bicara masalah kesehatan ayam, penyakit infeksius memang datangnya lebih banyak dari saluran pernapasan. Tetapi bukan berarti masalah kesehatan saluran pencernaan harus diabaikan, karena komplikasi dalam kasus ayam yang sakit kerap kali terjadi.

Semua aspek pemeliharaan sangat besar pengaruhnya dan mereka saling terkait. Sederhananya, ayam yang saluran pernapasannya sakit salah satu gejalanya bisa jadi tidak mau makan, namun ayam yang saluran pencernaannya sakit dan nutrisinya kurang mudah terinfeksi penyakit lain termasuk pernapasan.

Keseimbangan Adalah Kunci
Dari kaca mata ilmu anatomi, saluran pencernaan ayam dapat dikelompokkan menjadi tujuh bagian yang terdiri dari tembolok (crop), lambung (proventriculus), ventriculus, usus halus, usus buntu (caecum), usus besar (colon), dan cloaca. Masing-masing bagian tubuh ini dihuni secara alami oleh mikroflora yang terdiri dari bakteri, protozoa, maupun jamur. Namun bagian yang paling banyak dihuni oleh jenis bakteri adalah saluran usus.

Yang menjadi kunci kesuksesan dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan yakni seimbangnya jumlah mikroorganisme yang ada pada saluran pencernaan. Jika keseimbangan tersebut bergeser, misalnya mikroorganisme patogen lebih banyak ketimbang mikroorganisme komensal dan yang menguntungkan, tentu akan merugikan ayam sebagai hospes dari mikroorganisme tersebut.

Poultry Consultant Jefo Nutrition Inc., David Marks, angkat bicara mengenai hal tersebut. Menurutnya, ada beberapa hal yang dapat memengaruhi keseimbangan mikroflora di dalam usus. Faktor pertama yakni dari ransum serta air minum. Inilah alasan pentingnya mengecek kualitas pakan dan air minum. “Pakan yang nutriennya rendah dan tercemar mikotoksin, tidak higienis, serta mengandung cemaran feses kerap kali menimbulkan masalah pada ayam,” kata David.

Selain itu, air minum juga dapat menjadi media tumbuh kembang ideal bagi bakteri seperti E. coli maupun organisme patogen lainnya, sehingga dapat menyebabkan keseimbangan mikroflora usus terganggu.

Faktor kedua yakni stres. Stres terjadi karena reaksi fisiologis normal pada ayam dalam rangka beradaptasi dengan situasi baru, baik yang terkait dengan lingkungan maupun perlakuan ayam.

“Pada kondisi stres, ayam akan mengalami peningkatan produksi hormone kortikosteroid yang dapat menghambat organ kekebalan dalam menghasilkan antibody sehingga terjadi kondisi imunosupresi,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, stres juga menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2024. (CR)

PENCEGAHAN PENYAKIT PENCERNAAN UNTUK MEMBANTU OPTIMALISASI PRODUKTIVITAS AYAM

Kesehatan saluran cerna akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan tubuh ayam, termasuk juga pertumbuhan organ yang berperan dalam sistem imun ayam. (Foto: Istimewa)

Kinerja saluran pencernaan memiliki peran krusial dalam pencapaian performa produksi. Sistem pencernaan berperan mencerna makanan dan menyerap nutrisi esensial. Nutrisi yang diserap tubuh inilah yang berperan dalam pertumbuhan dan produktivitas ayam sebagai penghasil daging dan telur.

Kesehatan saluran cerna akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan tubuh ayam, termasuk juga pertumbuhan organ yang berperan dalam sistem imun ayam. Sistem imun yang berkembang baik dapat membantu ayam dalam mengatasi permasalahan infeksi penyakit di lapangan. Efeknya jelas saat terjadi penyakit maka produktivitas akan menurun. Melihat hal tersebut untuk mencapai performa produksi ayam yang optimal, kesehatan saluran cerna pastinya menjadi faktor krusial untuk diupayakan.

Menjaga kesehatan saluran cerna dari berbagai penyakit berbahaya penting untuk dilakukan. Secara umum, berbagai penyakit berbahaya yang bisa mengganggu saluran pencernaan adalah sebagai berikut:

Clostridium perfringens: Penyebab necrotic enteritis, rentan menyerang ayam broiler umur 2-5 minggu, sedangkan pada ayam petelur biasanya rentan umur 3-6 bulan. Serangannya mengganggu terutama di usus kecil yang menjadi rapuh dan berisi gas. Lapisan usus dilapisi oleh lapisan pseudomembran berwarna kuning. Ayam menjadi tidak nafsu makan dan diare.

Escherichia coli (E. coli): Penyebab colibacillosis yang dapat menyerang unggas pada berbagai tingkatan umur, tetapi lebih banyak terjadi pada ayam muda terutama umur 2-4 minggu. Bersifat oportunistik, infeksi yang hebat pada saluran pencernaan menyebabkan hemoragi petekie pada submukosa dan subserosa, gastritis, dan enteritis. Ayam menjadi lesu, ompalitis, oedema, dan jaringan sekitar pusar lembek.

• Newcastle disease: Paramyxovirus, ayam umur muda memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibanding ayam dewasa. Tipe velogenik viscerotropik menyebabkan gangguan organ saluran cerna. Tipe mesogenik memiliki tingkat kematian yang lebih rendah, namun hambatan pertumbuhan dan penurunan produksi dapat terjadi. Gangguan organ pencernaan seperti perdarahan bintik (petekie) pada proventrikulus, nekrosa pada usus, dan juga perdarahan pada secatonsil.

• Gumboro: Virus RNA dari genus Avibirnavirus. Ayam muda terutama umur 3-6 minggu memiliki kerentanan yang tinggi. Virus ini sebenarnya lebih berdampak pada sistem kekebalan tubuh karena target utamanya adalah sel pre-B pada bursa fabrisius sehingga menyebabkan terjadinya imunosupresif. Imunosupresif yang ditimbulkan akan meningkatkan kepekaan ayam terhadap agen patogen lainnya. Gangguan organ pencernaan dapat dilihat dari ditemukannya perdarahan pada mukosa dekat pertautan antara proventrikulus dengan ventrikulus.

Inclusion body hepatitis: Adenovirus dari famili Adenoviridae. Ayam muda umur 4-10 minggu. Perubahan anatomi organ lebih terfokus pada hati, dimana hati tampak membengkak, berwarna kuning kecokelatan, terdapat bercak, perdarahan di bawah membran, serta konsistensi terasa lebih lunak.

Helicopter disease: Virus utama yang menyebabkan penyakit ini di Indonesia adalah Reovirus. Rentan terhadap anak ayam terutama broiler. Anak ayam yang terinfeksi helicopter disease menunjukkan laju pertumbuhan yang lambat pada umur 5-7 hari sehingga bobot badan rendah. Selain itu, banyak ditemukan tungkai bulu sayap primer yang patah. Perubahan patologi anatomi pada organ pencernaan yang dapat teramati adalah peradangan pada usus dan proventrikulus, usus tampak berdilatasi dan pucat.

Pencegahan utama untuk melindungi berbagai penyakit pencernaan ini dapat dilakukan dengan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2024.

MENGHAMBAT PENYAKIT BAKTERIAL SEBELUM TERLAMBAT

Menjaga kesehatan ternak demi menuai performa yang produktif wajib hukumnya. (Foto: Freepik.com/Istimewa)

Dalam dunia mikroorganisme, bakteri merupakan salah satu yang paling sering dibicarakan. Terutama bakteri yang bersifat patogen. Celakanya, dalam dunia peternakan khususnya unggas, bakteri-bakteri patogen kerap menjadi permasalahan bagi peternak.

Menjaga kesehatan ternak demi menuai performa yang produktif wajib hukumnya. Terlebih lagi dalam perunggasan, selain penyakit non-infeksius, ada penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri yang kerap mewabah. Kadang wabah dari infeksi bakteri yang terjadi di suatu peternakan ayam dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Oleh karenanya, dibutuhkan trik jitu dalam menanganinya.

Karena Bakteri Jadi Merugi
Kesuksesan mengontrol bakteri patogen, menghindari kontaminasi, mencegah multifikasi, dan menyebabkan penyakit menurut Ensminger (2004), adalah salah satu kunci sukses menjaga performa dan produksi ternak. Namun tidak semua peternak mampu melakukannya. Cerita datang dari Junaidi, peternak asal Tanah Tinggi, Tangerang. Pernah ia mengalami kerugian akibat wabah penyakit chronic respiratory disease (CRD) kompleks beberapa tahun lalu.

Awal mula menjadi peternak broiler ia mengira bahwa memelihara ayam itu mudah, hanya tinggal memberi pakan dan menunggu saja, walaupun kenyataannya tidak. Dirinya baru mengetahui bahwa ayamnya terserang colibacillosis ketika ada staf technical service dari perusahaan obat mendatangi kandangnya.

“Saya enggak tahu-menahu awalnya, yang saya tahu penyakit ayam ya kalau enggak tetelo, flu burung,” tukas Junaidi. Ia kemudian perlahan belajar mengenai manajemen pemeliharaan yang baik dan benar dari berbagai sumber. Ketika diserang colibacillosis, kerugian ekonomi yang diderita Junaidi mencapai 50% dari total ayamnya.

Sementara kata Product & Registration Manager PT Sanbe Farma, Drh Dewi Nawang Palupi, bahwa infeksi bakteri sangat berbahaya dan merugikan. Penyakit bakterial seperti colibacillosis ditentukan oleh manajemen kebersihan kandang. Terlebih jika manajemen kebersihan kandang buruk dan tidak menerapkan sanitasi dalam kandang dan air minum.

“Kematian sekitar 1-2% dan bisa berlangsung lama bila tidak ditangani dengan baik. Jika terjadi di minggu pertama masa pemeliharaan, kematian bisa mencapai 10-15%. Jika kematian sampai 50% mungkin ada campur tangan penyakit lain (komplikasi),” katanya.

Walaupun begitu, ia menjelaskan bahwa colibacillosis sesungguhnya bukan penyakit yang serta-merta menyerang begitu saja. Kemungkinan jika ada kandang yang terserang colibacillosis itu hanya dampak sampingan saja.

E. coli itu bakteri komensal di usus dan organ pencernaan, jadi kalau tiba-tiba berubah jadi patogen pasti karena penyebab lain. Ini yang harus diwaspadai, sampingannya saja bisa berakibat begitu, apalagi bakteri patogen yang memang dapat menyebabkan penyakit secara langsung,” jelas dia.

Potensi Zoonotik
Selain kerugian pada hewan, yang tidak boleh dilupakan juga adalah beberapa penyakit infeksi bakterial pada unggas juga dapat menular ke manusia. Sebut saja penyakit salmonellosis, kadang banyak dilupakan bahwa penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. bisa menular kepada manusia dan penyebabkan penyakit pencernaan.

Bakteri Salmonella sp. sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 4971/2012 tentang Zoonosis Prioritas, bahwa salmonellosis menempati urutan kelima dan merupakan zoonosis yang banyak menyebabkan kasus pada manusia, salah satunya bersifat foodborne yaitu ditularkan melalui makanan.

Menurut pakar Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dr Drh Denny Widaya Lukman, beberapa zoonosis yang bersifat foodborne pada produk unggas (karkas dan telur) di antaranya diakibatkan oleh Salmonella enterica serotype (serovar) enteritidis (S. enteritidis), Salmonella typhimurium, Salmonella infantis, Salmonella reading, Salmonella blockey, Clostridium perfringens, Campylobacter jejuni, dan E. coli.

Denny menjelaskan, insidensi salmonellosis non-tifoid di dunia diperkirakan sekitar 1,3 miliar kasus dan 3 juta kematian setiap tahunnya. “Nah, kadang kita hanya berkonsentrasi di hulu saja, lupa akan hilir. Ini padahal juga kerugian yang diakibatkan oleh infeksi bakterial,” kata Denny.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa cara penularan Salmonella ke manusia umumnya melalui konsumsi makanan yang tercemar (jalur fekal-oral). Beberapa Salmonella memiliki sumber (reservoir) spesifik dan makanan tertentu sebagai media penularnya, misal Salmonella enteridis (SE) terkait dengan unggas dan produknya.

Secara gamblang Denny menjelaskan bahwa bakteri SE ditularkan dari induk ke telur secara transovarial, sehingga bakteri tersebut dapat ditemukan dalam isi telur dengan kondisi kerabang telur utuh. SE berkoloni di ovarium ayam petelur. Jika bakteri ini telah menginfeksi kelompok atau peternakan ayam maka sulit diberantas karena keberadaan bakteri ini dipelihara di lingkungan, pakan, dan rodensia di peternakan.

“Tidak usah jauh-jauh kita bicara mengenai ekspor produk unggas Indonesia dan flu burung. Produk kita sudah bebas dari yang tadi saya sebutkan semuanya belum? Jika sudah, apakah konsistensinya terjaga? Jangan sampai karena fokus di hulu kita lupa juga dengan sektor hilir,” tegasnya.

Pencegahan Sejak Dini
Banyak cara yang bisa dilakukan agar ayam selamat dari ancaman infeksi bakteri patogen. Sebenarnya, ayam memiliki sistem kekebalan sendiri di dalam tubuhnya. Oleh karenanya, harus dimaksimalkan hal tersebut. Bisa dibilang 70% dari sistem kekebalan tubuh ayam dibentuk pada minggu pertama (periode brooding). Karena itu, periode brooding merupakan masa yang menentukan tingkat keberhasilan pembentukkan sistem kekebalan tubuh ayam.

Marketing Manager PT Elanco Animal Health Indonesia, Drh M. Aura Maulana, mengingatkan bahwa, “Pada fase brooding, sel-sel ayam mengalami proliferasi atau perbanyakan. Semua sel tanpa terkecuali termasuk juga sistem imunitas. Maka kalau brooding bagus, nanti hasilnya pasti oke,” ujar Aura.

Pada masa brooding juga terjadi peralihan antara kekebalan pasif ke kekebalan aktif. Kekebalan pasif berasal dari penyerapan kantung kuning telur selama periode pengeraman dan beberapa hari setelah menetas. Kekebalan pasif mungkin cukup efektif untuk mencegah infeksi pada anak ayam, namun jangka waktunya pendek dan tingkat protektivitasnya akan terus menurun sejalan dengan waktu. Oleh karena itu, dibutuhkan kekebalan pengganti yaitu kekebalan aktif.

Hubungan antara penggertakan kekebalan aktif dan perkembangan organ kekebalan mendasari diperlukannya vaksinasi sebagai tindakan efektif menggertak kekebalan aktif. Rangsangan yang diberikan vaksin akan mempercepat pematangan sel-sel pertahanan tubuh milik anak ayam, sehingga merangsang terbentuknya kekebalan aktif lokal maupun seluruh tubuh.

Oleh karena itu, beberapa vaksinasi dilakukan pada periode awal misalnya ND (4 hari), IB (4 hari), Gumboro (7 atau 14 hari), serta AI (10 hari). Diharapkan ketika antibodi maternal sudah tidak protektif, antibodi aktif hasil gertakan vaksinasi sudah mampu melindungi ayam dari infeksi lapang.

Vaksinasi penyakit bakterial pada ayam broiler mungkin jarang atau tidak dilakukan sama sekali terkait dengan masa pemeliharaan yang singkat juga pertimbangan cost. Namun pada ayam layer, vaksinasi menjadi penting karena pemeliharaannya panjang. Banyak beredar program vaksinasi penyakit bakterial yang baik harus dapat memberikan protektivitas yang baik, serta disesuaikan dengan keadaan lapangan, juga pertimbangan biaya.

Selain itu, perkuat aspek higiene, sanitasi, dan disinfeksi. Apabila dilakukan dengan baik dan benar dapat mengurangi penularan penyakit, sehingga penggunaan antibiotik dapat dikurangi. ***

Ditulis oleh: 
Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer