Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini gejolak harga ayam dan telur | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PABRIK PAKAN BARU DI KALTENG DIHARAPKAN DAPAT MENEKAN HARGA PRODUK PERUNGGASAN

Pakan, Komponen Biaya Utama Dalam Budi Daya Peternakan

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng melalui Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) menyampaikan bahwa penyebab utama kenaikan harga daging dan telur ayam ras adalah karena naiknya harga pakan ternak.

Kepala Dinas TPHP Provinsi Kalteng, Sunarti membenarkan hal tersebut berdasarkan hasil pemantauan satuan tugas (satgas) pangan beberapa hari lalu.

“Berdasarkan pemantauan, tingginya harga pakan memang menjadi penyebab utama kenaikan harga daging ayam dan telur di Kalteng," katanya, Minggu, 24 Desember 2023.

Ia memaparkan, tingginya harga pakan, terjadi karena peternak lokal saat ini masih bergantung pada pasokan pakan dari luar daerah, seperti dari Pulau Jawa dan Kalimantan Selatan (Kalsel). 

Oleh karena itu, pihaknya bersama-sama melakukan langkah jangka panjang, membangun pabrik pakan di Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur. 

"Pabrik pakan ini diyakini mampu memproduksi pakan ternak dengan kapasitas produksi 30 ton per jam. Sehingga, peternak kita tidak bergantung lagi pada pakan dari luar daerah," ungkapnya. (INF)

Menaik dan Menukik, Sama Salahnya



Daging ayam ras dan telur ayam ras termasuk volatile food. Di pasar, harga bahan pangan ini fluktuatif. Dalam waktu singkat, bisa menaik dan menukik. Dinamika naik-turunnya bukan dalam hitungan minggu, bisa harian, bahkan hitungan jam. Pagi harganya masih baik, sorenya bisa saja tertukik.

Begitu pula sebaliknya. Pada momen-momen tertentu, menjelang Lebaran misalnya. Harga yang tadinya rendah atau wajar-wajar saja, bisa melonjak naik. Kenaikan harga yang fantastis itu membuat napas konsumen seolah-olah tercekik. Dan menjadikan banyak pihak terjangkiti penyakit panik.

Dalam konferensi pers di kantornya, Senin (4/6), Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), mengingatkan pemerintah agar mewaspadai kenaikan harga daging ayam dan telur ayam menjelang Idul Fitri tahun ini. Menurut pantauan BPS, komoditas yang harganya naik signifikan sehingga memberikan kontribusi inflasi tinggi adalah daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar dan bawang merah.

Merujuk pada data inflasi Mei 2018 sebesar 0,21%, kenaikan harga daging ayam memberikan andil 0,07% terhadap besaran inflasi bulan tersebut. Sedangkan naiknya harga telur ayam berkontribusi 0,06%. Andil kenaikan harga ikan segar dan bawang merah pada inflasi Mei itu masing-masing 0,03% dan 0,02%.

Pergerakan harga daging ayam ras dan telur ayam ras di pasar, memang perlu diantisipasi. Seperti halnya Lebaran tahun-tahun sebelumnya, demand terhadap kedua komoditas tersebut biasanya akan terus meningkat hingga Idul Fitri tiba. Ujung-ujungnya, jumlah duit yang di keluarkan untuk membeli kedua komoditas kaya zat gizi ini bertambah banyak. Akibat dari harga yang melonjak naik.

Kepanikan Musiman

Kenaikan harga bahan pangan pokok dan penting menjelang Idul Fitri, biasanya memang menimbulkan nuansa panik. Kepanikan musiman. Padahal, pola dan trend-nya selalu berulang dan sama. Namun, respon terhadap kejadian itu yang beraneka ragamnya. Bahkan, tak jarang timbul silang pendapat.

Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), salah satu penyebab naiknya harga beberapa komoditas pangan itu adalah lambannya pemerintah dalam merespon peningkatan permintaan pasar. Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, menyatakan, kenaikan beberapa komoditas pangan bukan karena praktik persaingan tidak sehat, tapi kekurangan suplai.

Kenaikan harga tersebut lebih disebabkan lambannya respon pemerintah dan suplai dari produsen dalam menanggapi kenaikan permintaan konsumen menghadapi Ramadan dan Lebaran, ungkap Komisioner KPPU itu di kantornya yang berlokasi di jalan Ir. Juanda, Jakarta.

Saat dilakukan penelusuran lapangan, beberapa penjual daging ayam ras di pasar-pasar sejumlah kota besar menyampaikan keluhan. Pasokan daging ayam ras tidak optimal, pasokannya menurun. Tentu saja, berimbas pada meningkatnya harga.

Ketika dikejar dengan pertanyaan kenapa demikian. Para penjual daging ayam ras itu menjawab, tidak tahu persis mengapa pasokan daging ayam ras berkurang. Pengepul yang memasok komoditas daging ayam ras juga tidak memberikan penjelasan.

Operasi Pasar

Menyikapi dan menyiasati naiknya harga daging ayam ras, Kementerian Perdagangan akan menggelontorkan daging ayam ras beku. Caranya dengan melakukan Operasi Pasar (OP) di daerah-daerah. Keputusan itu disampaikan oleh Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita. Mendag RI menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi Kesiapan dan Pengamanan Hari Raya di Mabes Polri, Selasa (5/6).

Menindaklanjuti keputusan tersebut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Timur, melakukan OP daging ayam ras. Pelaksanaannya selama seminggu (5-12 Juni) di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Bangkalan. Selain itu, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur juga mengadakan pasar murah produk peternakan 5-6 Juni di Surabaya.

OP merupakan katub pengaman instan guna menetralisir peningkatan harga daging ayam ras di pasar. Untuk jangka menengah dan panjang, harus dilakukan perbaikan pola distribusi (pemerataan dan peningkatan konsumsi). Juga wajib dilaksanakan pembenahan manajemen stok (kuantitas dan kualitas produksi). Ketiga program tersebut harus dirancang secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan.

Namun sayangnya, berdasarkan pengamatan dan pengalaman, program yang selalu dilaksanakan adalah OP. Menjelang Ramadan dan Lebaran (juga hari-hari besar Keagamaan lainnya). Dari tahun ke tahun yang dilakukan OP, OP dan OP lagi. Padahal pelaksanaan OP ibaratnya tindakan pemadam kebakaran.
Memang terlihat ada efek serta hasilnya, dan itu tercatat sebagai suatu prestasi dalam rangka menstabilkan harga bahan pangan pokok dan penting. Namun, sadarkah bahwa hal itu merupakan prestasi sesaat. Prestasi yang bukan sebagai solusi guna mengatasi akar permasalahannya.

Sudah saatnya bagi segenap pemangku kepentingan (khususnya bidang perunggasan) untuk merapatkan barisan dan bersatu-padu. Mari duduk bersama guna menyusun konsep dan strategi program penstabilan harga produk perunggasan. Tentu saja konsep/program yang komprehensif dan berjangka panjang, bukan yang sesaat dan singkat.

Bila tidak memiliki konsep/program penstabilan harga yang komprehensif dan berjangka panjang, maka tahun depan dan ke depannya kita akan terkejut dan terheran-heran kembali. Kepanikan, kehebohan dan kegaduhan akibat fluktuasi harga berjangkit lagi. Harga menaik salah, menukik pun salah.

Dewan Pakar Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia,
tinggal di Surabaya

Refleksi Majalah Infovet Edisi Juli 2018

Hilirisasi, untuk Stabilitas Harga dan Kesehatan Unggas





Saat tulisan ini disusun, harga daging ayam di pasar tradisional di wilayah Jakarta sekitar Rp 37 ribu per kg, harga telur ayam Rp 24 ribu per kg. Berbagai media memberitakan, memasuki bulan puasa, masyarakat mengeluh harga terus melonjak. Pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementan tampak sibuk mengupayakan agar harga kebutuhan pokok masyarakat tidak mengalami kenaikan.

Dalam kasus ini, peternak unggas mendapat bagian yang disalahkan karena dianggap menjual ayam dan telur dengan harga terlalu tinggi. Padahal fakta di lapangan tidak demikian. Harga telur di Blitar Rp 17 ribu per kg, di Pakanbaru bahkan hanya Rp 16 ribu per kg. Ini adalah harga yang normal, tidak ada lonjakan sama sekali, bahkan pakanbaru harga lebih rendah dari harga normal. Memang, menjelang bulan Puasa, harga di peternak sempat mengalami kenaikan, namun masuk pekan kedua sudah mulai kembali ke harga normal. Bahkan, dibanding dengan harga acuan Kementan sebesar Rp 18 ribu per kg untuk telur maupun ayam hidup, harga di peternak di sebagian daerah masih di bawah harga acuan pemerintah.

Pelaku usaha peternakan sebagai produsen sejatinya wajar jika berharap adanya kenaikan harga di waktu permintaan naik. Setidaknya bagi mereka, ada saatnya untuk menikmati untung, karena di bulan-bulan lain meskipun harga jatuh, mereka tetap berkomitmen tidak melakukan mogok produksi. “Meski rugi, saya tetap pelihara, untuk menjaga kelangsungan hubungan bisnis,” ujar para peternak.

Ingat kasus 2014 hingga 2016, harga ayam dan telur berada di bawah harga pokok produksi selama berbulan-bulan. Sebagian peternak yang tidak kuat untuk menanggung kerugian terpaksa mengistirahatkan kandangnya, bahkan ada yang berhenti total dan mengupayakan mengais rejeki dengan upaya lainnya.

Publik mungkin kurang paham bahwa menjalankan usaha “barang hidup” dalam sebuah negara kepulauan yang sangat luas ini sangat berbeda dengan memproduksi barang manufaktur.  Produsen peralatan rumah tangga dapat melakukan proyeksi bahwa di bulan tertentu misalkan menjelang lebaran dan saat tahun baru, terjadi lonjakan permintaan alat rumah tangga. Hal ini dapat diantisipasi dengan jumlah produksi yang sesuai kebutuhan pasar. Jika di saat tertentu terjadi oversupply juga tidak terlalu menjadi masalah karena barang yang diproduksi dapat disimpan di gudang dan dapat di jual kembali di saat permintaan melonjak.

Menjalankan usaha peternakan, tidak bisa dijalankan seperti memproduksi alat rumah tangga. Prediksi naik turunnya permintaan harus lebih cermat. Supply demand sepanjang tahun di sebuah negara harus dianalisa sehingga dapat diprediksi pergerakan naik turunnya permintaan.  Pertumbuhan ekonomi wilayah, laju inflasi dan tingkat kesadaran masyarakat akan konsumsi protein hewan ikut mempengaruhi permintaan. Pergerakan permintaan juga harus dilihat per daerah, karena Indonesia memiliki adat konsumsi protein hewani yang berbeda-beda waktunya.  Musim hajatan di berbagai daerah yang waktunya tidak seragam biasanya ikut berkontribusi meningkatkan konsumsi protein hewani.

Sementara itu dari sisi produksi juga ada beberapa aspek yang harus dikaji agar bisa menyediakan produk peternakan sesuai permintaan. Misalkan saja wabah penyakit hewan, kelangkaan produksi bibit, musim kemarau panjang, pasokan bahan baku pakan dan sebagainya, akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas produksi.
Ini semua tidak bisa bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Jika produksi peternakan diserahkan ke mekanisme pasar, resikonya adalah produksi tidak bisa terkendali. Ketika diprediksi bahwa saat tertentu akan terjadi lonjakan permintaan semua pelaku usaha akan berlomba memproduksi, hingga akibatnya terjadi oversupply dan harga anjlok.

Tahap berikutnya, karena harga jatuh, pelaku usaha akan mengurangi produksi. Sebagian di antaranya berhenti total. Selanjutnya karena para pelaku usaha mengurangi produksinya maka pasokan berkurang hingga di bawah permintaan. Harga menjadi naik kembali. Demikian seterusnya, setelah harga naik, gairah usaha peternakan kembali meningkat hingga kembali terjadi oversupply.

Kejadian ini berputar-putar terus dengan skala gejolak yang makin membesar, akibat konsumsi protein dan jumlah penduduk terus meningkat. Untuk memudahkan pemahaman terhadap permasalahan unggas, Dr Soehadji (Dirjen Peternakan 1988-1996) menggambarkan masalah ini sebagai lingkaran siput.

Bagaimana mengatasi semua ini? Sebagaimana disebut di muka, manajamen pengendalian produksi tetap harus dilakukan oleh pemerintah. Adanya tim ahli Dirjen PKH saat ini sebagai tim untuk menganalisa supply demand unggas, adalah langkah yang baik. Hendaknya kita tidak apriori dengan upaya ini. Publik harus mendukung dan mengkritisi jika ada kekurangan.

Langkah ini perlu dilanjutkan dengan langkah lain untuk mengurangi gejolak, yaitu hilirisasi perunggasan. Gagasan hilirisasi sudah cukup lama bergaung, namun belum berjalan optimal. Maksud hilirisasi adalah upaya memperkuat industri hilir perunggasan mulai dari pemotongan, penyimpanan dan pengolahan. Asumsi bahwa gejolak akan semakin besar adalah apabila industri hilir tidak digarap. Jika mayoritas masyarakat membeli ayam harus dalam bentuk ayam hidup, maka gejolak akan terus membesar. Itu sebabnya masyarakat harus dibiasakan membeli ayam beku, ayam dingin segar dan hasil olahannya.

Dengan indusri hilir yang baik, keuntungannya bukan hanya pada stabilitas harga, tapi juga kesehatan unggas dan juga kesehatan konsumen. Penyebaran penyakit AI (dan beberapa penyakit lain) akan lebih terkendali jika peredaran perdagangan ayam bukan lagi ayam hidup.

Pekerjaan rumah berikutnya adalah bagaimana agar konsumen membeli ayam dengan harga yang wajar dan seirama dengan harga di peternak. Kementerian Perdagangan perlu mengurai masalah ini dengan secermat-cermatnya. Jangan seperti sekarang, konsumen membeli produk unggas dengan harga mahal, padahal peternak tidak menikmati harga yang melonjak tinggi. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 288/Juli 2018

HARGA AYAM DAN TELUR JEBLOK, RIBUAN PETERNAK GERUDUK ISTANA NEGARA



JAKARTA, Kamis 30 Maret 2013. Ribuan peternak ayam pedaging (broiler) dan petelur (layer) hari ini menggelar aksi di depan Istana Merdeka. Mereka menuntut pemerintah segera turun tangan membantu mengendalikan harga ayam dan telur yang terpuruk sejak tahun 2013.
Sugeng Wahyudi, Koordinator Sekretariat Bersama Aksi Penyelamatan Peternak Rakyat dan Perunggasan Nasional (PPRPN), mengatakan anjloknya harga ayam dan telur terjadi karena kelebihan pasokan di pasar, sehingga membuat harganya turun di bawah harga pokok produksi (HPP).
"Jika kondisi terpuruk ini terus berlanjut, bisa dipastikan peternak unggas rakyat yang merupakan aset bangsa dalam memproduksi pangan protein hewani yang terjangkau akan hilang dari Indonesia, akibat usaha peternak unggas rakyat bangkrut," kata Sugeng dalam keterangannya kepada wartawan Infovet di sela aksi.
Sedikitnya 3.000 peternak melakukan aksi damai menuntut
perhatian pemerintah atas anjloknya harga komoditas unggas. 
Dalam aksi ini, sedikitnya 3.000-an peternak ayam baik pedaging maupun petelur memadati lokasi yang dijadikan tempat aksi. "Ada sekitar 3.500 yang ikut aksi," tutur Sugeng.
Ribuan peternak ini berasal dari berbagai wilayah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten. Sebagian lagi datang dari Kalimantan Selatan, Lampung, dan Sumatera Selatan. Mereka tiba di Lapangan IRTI Monas pada pukul 09.00 WIB.
Selain berdemo di depan Istana Merdeka, ribuan peternak ini akan berjalan kaki ke Kantor Kementerian Perekonomian di Lapangan Banteng, Kantor Kementerian Perdagangan di Tugu Tani, dan kemudian melanjutkan dengan menumpang bus untuk berdemo di Kementerian Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan sampai sore hari.

Perwakilan peternak diterima Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita
dan Dirjen PKH Kementan I Ketut Diarmita. 
Bawa Empat Tuntutan
Sehari sebelumnya sebanyak 20 Armada bus membawa 1.500 peternak ayam petelur dari Blitar menuju Jakarta. Mereka seluruhnya adalah peternak dari Malang, Madiun, Solo, Yogya, Bogor dan Bandung dengan tujuan untuk menemui Presiden Jokowi dan berdialog terkait makin terpuruknya kondisi peternak di Indonesia.
Rombongan yang direncanakan tiba Jakarta Kamis pagi (30/3/2017) ini membawa empat tuntutan. Yakni hentikan integritor, hentikan peredaran telur tunas di pasaran, sediakan jagung dengan harga murah dan stok cukup serta berlakukan larangan import tepung telur, sehingga pengusaha kue bisa membeli telur fresh dari para peternak.
"Kami mohon presiden menemui kami walaupun hanya sebentar. Biar tahu kondisi yang sebenarnya, jangan hanya menerima laporan baik-baik saja. Kami menuntut copot Mentan Amran yang membiarkan kami peternak makin sekarat," teriak koordinator aksi, Sukarman saat orasi jelang keberangkatan di depan SPBU Srengat Kab Blitar, Rabu (29/3/2017).
Menurut Sukarman, kinerja mereka hanya sebatas pencintraan. Ini terbukti dengan naiknya harga jagung sebagai pakan ternak di kisaran Rp 4.400 per kg.
"Kondisi kami makin parah dengan naiknya harga jagung. Belum lagi aturan yang masih memperbolehkan telur tunas dijual ke pasar 'becek' (Istilah pasar tradisional)," katanya.
Saat ini, jelas dia, harga telur di tingkat peternak masih dikisaran Rp 14.200/kg. Sementara berdasarkan hitungan matematis, peternak bisa mendapat keuntungan jika harga telur sama dengan 3,5 kali harga pakan.
"Jadi kalau diambil rata-rata harga pakan Rp 5 ribu/kg, peternak baru untung jika harga telur Rp 17.500/kg," tuturnya kepada wartawan.
Peternak menuntut dihentikannya budidaya yang dilakukan oleh perusahaan Integrator. 
Kerugian Rp 3.300/kg ini harus ditanggung peternak sejak Desember 2016, hingga banyak dari peternak yang harus menggadaikan harta benda mereka.
"Ini sudah banyak yang sertifikat rumah, tanah dan kandangnya yang masuk pegadaian dan bank. Buat nambah kredit modal biar mampu bertahan. Tapi kalau kondisi seperti ini belum berubah, bulan depan peternak sudah tidak bisa bayar cicilan, sekarat semua," tambah Rofi Yasifun, peternak ayam petelur.
Sebelumnya, pada 8 Maret 2016 lalu Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) diundang Kementan di Jakarta untuk forum grup diskusi membahas revisi Permentan No 61 tahun 2016.
Saat itu disepakati bahwa pembagian DOC (Day Old Chick: bibit ayam petelur) untuk layer yang keluar dari breding farm integrated. Peternak minta DOC 2% untuk internal integrated test farm, dan 98% untuk peternak rakyat atau UMKM koperasi. Namun sampai saat ini, ternyata aturan itu belum ditandatangani Kementan.
Sebelum berangkat, seorang peternak membanting beberapa telur sebagai simbol makin terpuruknya kondisi peternak, tidak hanya di Blitar namun seluruh Indonesia. Sekitar pukul 09.00 wib, satu per satu bus yang membawa rombongan peternak mulai berjalan untuk memulai perjalanan menuju Jakarta. (RBS,WK/detik.com)

BEGINI LANGKAH KEMENTAN ATASI GEJOLAK HARGA DAGING DAN TELUR AYAM

JAKARTA, 30 Maret 2017. Dalam rangka mengatasi permasalahan perunggasan di Indonesia saat ini, terutama terkait adanya penurunan harga ayam hidup (broiler dan jantan layer) serta telur dibawah harga pokok produksi, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 3035/Kpts/PK010/F/03/2017 tentang Pengurangan DOC FS Broiler, DOC FS Jantan Layer dan FS Ayam Layer tanggal 29 Maret 2017.
“Ini merupakan kebijakan pemerintah di bagian hulu untuk menata bisnis perunggasan di Indonesia, dengan tujuan melakukan supply management (manajemen pasokan). Pemerintah bersama-sama dengan Tim Analisis dan Tim Asistensi perunggasan dengan mempertimbangkan kondisi pasar saat ini, maka perlu mengatur kembali pasokan bibit agar sesuai dengan naik turunnya permintaan, sehingga tidak terjadi over supply,” ungkap Dirjen PKH I Ketut Diarmita.
Dirjen PKH Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita
siap mendampingi pihak Istana menerima
perwakilan peternak yang berdemo siang ini Kamis, (30/3).  
Tujuh (7) langkah yang dilakukan Kementan untuk mengatasi masalah perunggasan di bagian hulu yaitu: 1). Penerbitan Permentan Nomor 61 Tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras; 2). Pembentukan Tim Analisis, Tim Asistensi dan Tim Pengawas dalam mendukung pelaksanaan Permentan Nomor 61 Tahun 2016; 3). Analisis daging dan telur ayam ras; 4). Pertemuan dengan stakeholder terkait dengan dinamika perunggasan nasional; 5). Pemantauan ke pelaku usaha terkait pelaksanaan Permentan Nomor 61 Tahun 2016 oleh Tim Pengawas Ayam Ras dalam kesiapan Sertifikasi Produk DOC FS; 6). Penerbitan Surat Edaran Dirjen PKH No. 02926/SE/PK.010/F/03/2017 tentang Pengurangan DOC FS Broiler, dan SE Dirjen PKH Nomor 03035/SE/PK.010/F/03/2017 perihal Pengurangan DOC FS Jantan Layer; 7). Penerbitan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3035/Kpts/PK010/F/03/2017 untuk menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan pengurangan DOC FS Broiler, DOC FS Jantan Layer dan FS Ayam Layer.
Menurut I Ketut Diarmita, kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan harga Live Bird Broiler dan Live Bird Jantan Layer yang berada di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) dan berdasarkan rekomendasi dari Tim Analisis dan Tim Asistensi pada tanggal 22 Maret 2017, sehingga pada tanggal 24 Maret 2017 dikeluarkan Surat Edaran (SE) Dirjen PKH tentang Pengurangan DOC FS.
Kebijakan ini diputuskan dengan mempertimbangkan perhitungan potensi produksi DOC FS Broiler rata-rata 63.000.000 ekor/minggu, sehingga perlu dilakukan pengurangan produksi DOC FS Broiler sebanyak 5.000.000 ekor/minggu secara nasional dari Pembibit PS Broiler yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan suplai dan demand. Oleh karena itu, peningkatan populasi ayam ras harus diimbangi dengan seberapa besar kebutuhan atau permintaan untuk menghindari terjadinya penurunan harga akibat over supply daging ayam.
“Para Pembibit Parent Stock (PS) Broiler untuk melakukan pengurangan produksi DOC FS sebanyak 8% dari total produksi di perusahaan melalui setting telur tertunas. Selain itu juga,  Pembibit PS Jantan Layer untuk melakukan pengurangan produksi DOC FS Jantan Layer sebanyak 20% dari total produksi,” kata I Ketut Diarmita.
Perwakilan peternak yang diterima di Istana Negara. 
Lebih lanjut disampaikan, dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian tersebut juga disebutkan mengenai pengurangan FS layer dilakukan melalui afkir FS layer usia diatas 70 minggu pada peternak yang memiliki FS layer di atas 100.000 ekor.
“Pengurangan ini dilakukan secara bertahap mulai tanggal 27 Maret 2017 dan akan ditinjau kembali setiap 2 minggu oleh Ditjen PKH. Selanjutnya para pelaku usaha dalam melaksanakan pengurangan DOC FS Broiler dan DOC FS Jantan Layer serta FS Layer wajib menyampaikan laporannya secara tertulis kepada Dirjen PKH,” jelas I Ketut Diarmita.
“Saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang melaporkan ke kami bahwa mereka sudah mulai melaksanakan himbauan seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Dirjen PKH. Beberapa perusahaan memanfaatkan dana CSR mereka dengan cara membagikan telur ke panti asuhan, panti jompo, pondok pesantren dan lain-lain,” tambahnya.
“Pengawasan akan dilakukan cross monitoring oleh Tim Analisis dan Pengawas Bibit Ternak Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya,” ungkap I Ketut Diarmita.
Langkah-langkah yang akan dilaksanakan Ditjen PKH selanjutnya, yaitu: 1) Revisi Permentan Nomor 61 Tahun 2016 dengan memasukkan pengaturan terhadap distribusi DOC Layer; 2). Pemantauan terhadap pengurangan produksi DOC FS di perusahaan PS di sentra produksi utama (hatchery); 3). Evaluasi dampak pengurangan produksi DOC FS; 4). Perbaikan data dari sumber data yang dapat dipertanggungjawabkan; 5). Penyusunan Road Map Ras Pedaging dan Petelur Tahun 2017-2019; 6). Pemetaan wilayah produksi dan distribusi Ayam Ras Pedaging dan petelur yang disinkronkan dengan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota terkait.
Sedangkan untuk di hilir, Ditjen PKH juga terus mendorong tumbuhnya usaha pemotongan, penyimpanan dan pengolahan. Sehingga hasil usaha peternak tidak lagi dijual sebagai ayam segar atau telur segar melainkan ayam beku, ayam olahan, tepung telur ataupun inovasi produk lainnya. “Hal ini mengingat pasar untuk komoditi unggas di Indonesia didominasi fresh commodity, sehingga produk mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply demand menjadi faktor penting penentu harga, sehingga intervensi pemerintah perlu dilakukan dari hulu hingga hilir”, tambah Dirjen PKH menjelaskan.
Lebih lanjut I Ketut Diarmita, MP menghimbau agar peternak memperbaiki manajemen pemeliharaan dan menerapkan prinsip-prinsip animal welfare, biosecurity dan treacibility. Selain itu juga perlu modernisasi supply chain from farm to table. I Ketut Diarmita menyampaikan, saat ini perusahaan yang memiliki Rumah Pemotongan Ayam (RPA) telah melakukan penyimpanan dengan fasilitas cold storage, hanya mampu menampung stock sebesar 15-20% dari total produksi.
“Peternak mandiri maupun integrator saat ini sama-sama menjual ayam hidup, maka keduanya terjebak pada commodity trap (jebakan komoditi dimana harga tergantung pada supply demand), sehingga jika harga jatuh, peternak dengan modal kecil yang umumnya tidak memiliki cadangan dana ketika harga jatuh akan mudah mengalami kebangkrutan,” ungkap I Ketut Diarmita.
Untuk itu, Pemerintah telah mewajibkan bagi pelaku usaha dengan kapasitas produksi produksi paling sedikit 300.000 (tiga ratus ribu) per minggu harus mempunyai Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) yang memiliki fasilitas rantai dingin. Sehingga angka penjualan ayam beku dapat ditingkatkan untuk mengurangi terjadinya commodity trap yang terjadi selama ini.
“Pemerintah melalui Ditjen PKH juga terus melakukan kampanye Ayam Dingin Segar yang sudah dilakukan di 20 titik untuk wilayah Jabodetabek saat ini,” kata I Ketut Diarmita. “Selain itu juga Ditjen PKH terus mendorong perusahaan integrator untuk membuka pasar di luar negeri. Para pelaku industri perunggasan diharapkan dapat menjual produk daging ayamnya ke pasar di luar negeri, sehingga pasar dalam negeri dapat diisi oleh peternakan unggas rakyat,” kata I Ketut Diarmita menambahkan.
Dirjen PKH menjelaskan, untuk daging ayam olahan kita juga sedang mengupayakan dan mendorong agar beberapa unit usaha pengolahan daging ayam yang telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Jepang agar segera merealisasikan ekspornya. “Hal ini tentunya diharapkan dapat menyusul keberhasilan Indonesia ekspor ke PNG saat ini, dan sejak tahun 2015 Indonesia juga telah mengekspor telur ayam tetas (Hatching Eggs) ke negara Myanmar,” ungkap I Ketut Diarmita.
“Jika semua sudah berjalan sebagaimana mestinya, cara ini tentunya akan efektif untuk mengurangi gejolak harga yang tidak wajar,” ujar I Ketut Diarmita. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer