Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini food security | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

ASPEK KEAMANAN DAN KELAYAKAN DALAM TELUR TETAS INFERTIL

Telur, sumber protein hewani paling ekonomis yang dapat dikonsumsi sehari-hari

Beberapa hari belakangan harga telur ayam ras kembali anjlok. Harga terendah sempat menyentuh angka Rp. 19.000 perkilogramnya di tingkat pasar atau eceran. Salah satu penyebab yang menjadi kambing hitam turunnya harga telur adalah beredarnya telur tetas (HE) infertil hasil afkir.

Beragam pro dan kontra mewarnai beredarnya telur HE ini. Ada satu komentar menarik di pemberitaan media mainstream terkait telur HE, yakni layakkah telur HE ini untuk dikonsumsi?. Bahkan sebuah portal berita online mengatakan bahwa telur HE tidak layak dikonsumsi karena ditengarai lebih cepat busuk dan mengandung lebih banyak bakteri Salmonella.

Beragam infografis terkait perbedaan antara telur tetas dengan telur ayam konsumsi. Bahkan bisa dibilang infografis tersebut terkesan timpang sebelah, menyudutkan telur tetas tetapi tidak sesuai dengan kaidah ilmiah, terutama dari segi kelayakan konsumsi.

Menanggapi hal tersebut, pakar sekaligus staff pengajar Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, Dr. Drh Denny Widaya Lukman ikut berkomentar. Menurutnya telur tetas (HE) masih aman dan layak dikonsumsi oleh manusia dan tidak membahayakan kesehatan konsumennya.

"Kita kan semua tahu kalau pangan asal hewan itu harus aman (safe) dan layak (suitable). Aman maksudnya tidak mengandung bahaya baik secara fisik, kimiawi, dan biologis. Layak artinya memiliki mutu yang baik, tidak bertentangan dengan kaidah agama, adat, dan budaya, serta memenuhi peraturan perundangan," tuturnya.

Untuk itu Denny mengatakan bahwa tidak benar kalau telur HE berbahaya dikonsumsi oleh manusia karena lebih banyak mengandung bakteri atau lebih cepat busuk. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan biosecurity di breeding farm yang pastinya lebih ketat ketimbang peternakan komersil.

Namun begitu jika merujuk aspek kelayakan, telur HE tidak layak untuk dikonsumsi. Ia menyebutkan bahwa ada peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait telur HE. 

"Kalau tidak salah di Permentan No. 32 tahun 2017 pasal 13 ayat (4) menyebutkan bahwa telur HE GPS dan PS tidak boleh diperjualbelikan. Artinya, jika ada aktivitas jual - beli telur HE, itu adalah peraturan melanggar hukum. Bukan telurnya yang salah, tetapi si oknum penjuanya," tukas Denny.

Ia juga membandingkan telur HE dan telur ayam kampung. Dimana telur ayam kampung yang dikonsumsi oleh masyarakat kebanyakan juga merupakan telur yang fertil.

"Kan banyak masyarakat yang pelihara ayam kampung, terus ketika sudah bertelur lalu dikerami sama induk betinanya, kadang telurnya diambil terus dikonsumsi. Itu juga telur angkrem kan telur yang fertil, tidak masalah toh?," kata dia.

Terkait selebaran, infografis, atau data apapun yang dirasa berat sebelah ia menyarankan kepada pihak yang membuatnya agar melakukan klarifikasi terutama pada aspek mengandung bakteri lebih banyak, memiliki daya simpan lebih pendek, dan membahayakan konsumen.

Namun ia juga tidak mendukung agar masyarakat dibiarkan mengkonsumsi telur HE yang beredar di pasaran. Karena telur - telur tersebut sejatinya ilegal dan tidak boleh diperjualbelikan, bukan karena aspek kemanannya tetapi karena aspek kelayakannya. (CR)





BIOSEKURITI TIGA ZONA, ALTERNATIF AMPUH NAIKKAN PERFORMA


Biosekuriti, aspek yang penting diaplikasikan dalam peternakan namun kurang dimaksimalkan oleh para peternak di Indonesia. Sejak beberapa tahun silam, FAO ECTAD giat mengkampanyekan sistem biosekuriti tiga zona, seperti apakah biosekuriti tiga zona?

Prinsip paling mendasar dari biosekuriti adalah mencegah penyakit agar tidak masuk dan keluar dari suatu peternakan. Penerapannya terserah kepada masing – masing peternak, namun begitu karena alasan budget rerata peternak abai terhadap aspek biosekuriti. Setidaknya minimal ada tujuh aspek yang harus dilakukan dalam menjaga biosekuriti di peternakan menurut Hadi (2010) yakni : (1) kontrol lalu lintas, (2) vaksinasi, (3) recording flok (4) menjaga kebersihan kandang, (5) kontrol kualitas pakan,(6) kontrol air dan (7) kontrol limbah peternakan. Sangat mudah diucapkan, namun sulit untuk diimplementasikan.

Mengganti alas kaki pada tiap zona, wajib hukumnya (Foto : CR)

3 Warna, 3 Zona

Kekhawatiran akan implementasi biosekuriti yang buruk di peternakan unggas Indonesia sudah lama dikhawatirkan oleh FAO ECTAD Indonesia. Terlebih lagi ketika AGP telah dilarang penggunaannya dalam pakan, bayang – bayang anjloknya performa makin menghantui peternak. Untungnya, kerumitan konsep biosekuriti bagi peternak berhasil disederhanakan oleh FAO ECTAD menjadi sistem biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut.

“Kami sudah beberapa tahun ini melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar atau workshop atau yang lain – lain, kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka mau,” papar Alfred.

Dalam konsep biosekuriti tiga zona. suatu peternakan dibagi menjadi tiga wilayah yakni zona merah, kuning dan hijau. Zona merah berada di area luar peternakan yang menjadi batas antara media kontaminan dan peternakan. Zona kuning adalah zona peralihan yakni perantara zona merah dan hijau. Dalam zona ini orang yang masuk ke peternakan harus didesinfeksi bila perlu mandi dan berganti baju kerja, termasuk alas kaki. Sementara zona hijau adalah lokasi peternakan dan pekerja/individu yang sudah steril.

“Kalau diperhatikan, sederhana ya sebenarnya ini penggabungan aspek kontrol lalu lintas dan hygiene personal saja. Namun hal ini kami rasa cukup efektif, karena beberapa data yang kami kumpulkan, metode ini dapat mengurangi penggunaan antibiotik sebesar 40% dan reduksi penggunaan desinfektan sebesar 30%,” kata Alfred. Selain itu Alfred juga mengklaim bahwa investasi yang dikeluarkan untuk pengaplikasian sistem ini dapat menghasilkan keuntungan hingga 1:10.” Ada peternak yang mengeluarkan modal Rp. 10 juta dalam membangun sarana biosekuriti 3 zona, dan dia untung sebesar Rp. 100 – Rp. 120 juta,” kata Alfred.

Fakta di Lapangan

Infovet berkesempatan mengunjungi Subadio, peternak layer asal Kecamatan Purbolinggo, Lampung yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona di peternakannya. Dirinya mengaku tertarik mengaplikasikan biosekuriti tiga zona karena dinilai menguntungkan. “Di Lampung ada pendampingan dan penyuluhan bagi peternak yang ingin mengaplikasikan sistem ini, kami dibimbing langsung oleh Dinas Peternakan setempat, FAO ECTAD, UNILA, Technical Service produsen pakan dan PPN (Pinsar Petelur Nasional) Lampung,” tutur Subadio.

Tanpa pikir panjang Subadio membangun fasilitas seperti yang disarankan oleh para mentornya. Walhasil, kandang layernya yang baru setahun enam bulan berdiri mengalami banyak kemajuan. “Kandang saya sebelumnya bukan yang di sini mas, ini kandang baru tetapi produksi, performa dan nilai rupiah yang di dapat sangat menjanjikan,” tukas Subadio kepada Infovet. Pernyataan Subadio tadi didukung oleh data yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya saja kini disaat ayam di kandangnya menginjak usia sekitar 29 minggu produksinya stabil di angka 90% lebih. Selain itu dalam data juga disebutkan bahwa tingkat kematian ayam di peternakannya sangat rendah, hanya 1% dari 30.000 ekor populasi. “Di farm sini per hari enggak melulu ada yang mati mas, enggak kaya di farm saya yang satunya yang belum saya bangun biosekuriti tiga zona,” pungkas Subadio.

Ketika ditanya mengenai penyakit dan wabah AI, Subadio juga mengatakan bahwa belum pernah kandang tersebut terjangkit wabah mematikan semisal AI. “Paling penyakit cuma nyekrek – nyekrek (CRD) saja mas, kalau AI mah engak pernah kan lihat sendiri tadi recording saya, kalau bisa jangan sampai kena AI deh,” tukas Subadio. Ia juga mengaku bahwa ketika terjadi penyakit, petugas kesehatan di farm-nya hanya memberikan terapi suportif berupa pemberian vitamin beserta suplemen pemacu sistem imun. “Kasus yang agak parah kemarin sih ada beberapa ekor yang kena fowl pox, sudah dibakar yang mati, terus sisanya kita pisahkan, isolasi dan kita vaksin ulang sambil diberikan terapi suportif mas,” kata Subadio.

Perihal dana yang dikeluarkan, Subadio enggan menyebut nominal angka yang ia gelontorkan untuk membangun sistem tersebut. “Yang jelas enggak sampai seratus juta mas untuk sistemnya saja, kurang dari itu deh. Tapi hasil yang saya dapatkan Alhamdulillah sudah bailk modal itu biaya pembuatan sistemnya dalam dua bulanan,” papar Subadio.

Hal yang berbeda nampak pada kandang milik peternak layer lainnya, H. Tumino yang berasal dari daerah yang sama. H. Tumino yang telah menjadi peternak sejak tahun 1988 tidak mengaplikasikan sistem biosekuriti tiga zona di kandang miliknya. Hasilnya tentu bisa ditebak, performa dari layer miliknya tidak sebaik milik Subadio. 

Biaya menjadi alasan utama bagi H. Tumino yang tidak meng-upgrade kandangnya dengan sistem biosekuriti tiga zona. “Anak saya ada tujuh mas, masih sekolah tiga, kalau saya keluarkan uang buat kandang nanti mereka bisa terhambat sekolahnya,” tutur H. Tumino. Walaupun begitu, H. Tumino mengakui bahwa dirinya juga mendapatkan pendampingan dan penyuluhan dari pihak yang sama terkait penerapan biosekuriti tiga zona, hanya saja H. Tumino belum bisa mengaplikasikan hal tersebut. “Mungkin nanti ketika anak saya sudah pada selesai sekolahnya, baru saya rehab ini kandang, sebenarnya saya tertarik mas, tapi memang masih mentok kalau dalam hitungan saya,” tukas H. Tumino.
           
Penyuluhan Berkelanjutan

Terlepas dari memiliki niat atau tidaknya peternak di Lampung dalam mengaplikasikan sistem biosekuriti tiga zona, hal yang dilakukan para stakeholder peternakan unggas di Lampung patut diapresiasi. Pemerintah Daerah di Lampung mencanangkan provinsi Lampung sebagai zona bebas flu burung pada tahun 2021. Salah satu upaya dalam mengendalikannya yakni dengan penerapan biosekuriti tiga zona pada peternakan ayam yang ada di Lampung. Selain itu dalam menjamin food safety & security bagi konsumen, peternak layer di Lampung diwajibkan memiliki NKV.

Drh Madi Hartono sebagai pendamping dari UNILA lebih jauh menjelaskan program yang ada di Lampung. “Nantinya farm yang sudah punya sistem biosekuriti tiga zona ini akan diwajibkan memiliki NKV. Syaratnya NKV kan salah satunya punya sistem biosekuriti yang bagus kan?. Dengan adanya NKV kan peternak nyaman, konsumen aman mas,” tukas pria alumni FKH UGM tersebut.

Madi menyebutkan bahwa dalam mendapatkan NKV, peternak akan dibimbing dan didampingi oleh PPN Lampung, Dinas Peternakan, Produsen Obat Hewan dan Sapronak, FAO dan UNILA dari awal sampai NKV tersebut terbit. “Pertama kita survey dulu kandangnya, kita bantu buatkan denah, sistem, dan cek kelayakan lainnya. Beberapa waktu kita pantau, dan kalau sudah layak kita minta Dinas Provinsi untuk datang dan mengaudit, ketika ada koreksi dan penyesuaian dari Dinas tetap kita damping sampai NKV-nya terbit,” tutur Madi.

Dalam pengurusan NKV, peternak tidak dipungut biaya sepeser pun oleh Dinas. Hal ini dikemukakakn oleh Drh Anwar Fuadi Kepala Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung. “Kita enggak pungut biaya sama sekali, karena kita sadar bahwa dengan begitu kita juga membantu peternak. Kalau peternak lebih semangat, punya NKV, produksinya meningkat, kualitasnya bagus, kan kita juga bangga, kalau bisa semua peternak di sini punya NKV,” pungkas Anwar.

Data dari PPN Lampung menyebutkan bahwa jumlah populasi layer di Lampung sekitar 4 juta ekor, dengan produksi telur 200 ton perhari, dengan jumlah peternak mencapai kurang lebih 1.000 peternak yang tersebar di 8 Kabupaten dan populasi terbanyak di Lampung Selatan dan Lampung Timur. Sebanyak 20 persen dari produksi tersebut telah dipasarkan ke Jakarta.

Sertifikasi NKV merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan keamanan pangan dalam aspek hygiene & sanitasi, dengan adanya sertifikat NKV, suatu unit usaha dinilai layak dari aspek keamanan pangan sebagai produsen pangan asal hewan.

Selain itu NKV juga menjadi bukti bahwa produk milik peternak memiliki daya saing dalam perdagangan baik nasional maupun internasional. Anwar berharap kedepannya peternak di Lampung semakin peduli dan concern dalam mendapatkan sertifikat NKV, karena nilai jual produk akan semakin bertambah. “Untuk mendapatkan NKV, biosekuriti harus baik, minimal mengadopsi sistem biosekuriti tiga zona, makanya saya berterimakasih atas apa yang dilakukan oleh teman – teman di lapangan dalam membantu dan membimbing peternak – peternak kita di Lampung ini,” tutup Anwar. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer