Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini antimicrobial resistance | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENGHAYATI PENTINGNYA PERAN TECHNICAL SERVICE DALAM MEMINIMALISIR AMR

Foto Bersama Para Peserta


Sabtu 17 Juni 2023 yang lalu di Hotel Oak Wood Taman Mini Indonesia Indah digelarlah Lokakarya Nasional Aksi Bersama Mencegah AMR Bagi Tenaga Pelayan Teknis (Technical Services) Peternakan Unggas di Indonesia.

Acara tersebut terselenggara berkat kolaborasi dari beberapa stakeholder di dunia peternakan seperti Asosiasi Dokter hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI), Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), Food and Agriculture Organization (FAO), World Animal Health Organization (WOAH), dan tentu saja Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Dalam sambutannya Ketua Umum ADHPI, Drh Dalmi Triyono menyampaikan bahwa sejatinya penggunaan antibiotik di bidang kesehatan manusia dan hewan adalah keniscayaan. Namun kurang bijak dan sesuainya penggunaan antibiotik menyebabkan terjadinya resistensi antimikroba (AMR). 

"Salah satu bidang pekerjaan dokter hewan di perunggasan misalnya, Technical Service. Mereka merupakan garda terdepan untuk mengedukasi peternak, bukan hanya menjual produk saja, tetapi harus lebih banyak memberikan pengetahuan dan mengubah mindset peternak khususnya dalam penggunaan antibiotik," tutur Dalmi.

Dalam kesempatan yang sama secara daring Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nuryani Zainuddin menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia sebagai pemangku kebijakan juga telah melakukan berbagai upaya pengendalian AMR melalui penetapan peraturan yang mendorong AMU yang bijak dan bertanggung jawab.

Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan salah satu indikator pengendalian AMR 2020-2024 adalah tercapainya penurunan 30% penggunaan antimikroba untuk tujuan profilaksis di peternakan unggas pedaging pada tahun 2024. Dengan mulai terbukanya pasar negara lain terhadap produk unggas Indonesia, tata laksana terapi antimikroba yang baik bukan saja mendukung target pemerintah dalam pengendalian AMR, tetapi juga mendukung usaha dalam memperluas pasar produk perunggasan Indonesia.

Sedangkan Tikiri Priyantha yang merupakan perwakilan WOAH mengatakan bahwa resistensi antimikroba menjadi permasalahan bersama secara global dan merupakan sepuluh besar ancaman yang membutuhkan perhatian serius. Menurutnya AMR bisa membahayakan semua makhluk, tak hanya hewan, namun juga manusia hingga lingkungan, Untuk itu sebuah gerakan bersama pengendalian AMR, untuk meningkatkan kesadaran di antara para pemangku kepentingan menjadi sebuah hal yang penting. (CR)


RESISTENSI ANTIMIKROBA: SANG PANDEMI SENYAP

Yang ditakutkan adalah apabila resistensi antimikroba benar-benar sudah terjadi pada semua jenis antimikroba, sehingga tidak ada sediaan yang efektif dalam mengendalikan mikroba patogen. (Foto: Dok. Infovet)

Selain penyakit-penyakit yang telah disebutkan, nyatanya ancaman juga datang dari resistensi antimikroba (AMR). Bukan hanya sektor peternakan yang terancam, tetapi juga kesehatan manusia dan lingkungan.

Resistensi antimikroba kini sudah menjadi isu yang mendunia, bahkan dalam KTT G20 yang berlangsung di Bali, hal itu dibahas para pemimpin dunia yang hadir. Tentunya ini harus menjadi perhatian lebih dari para stakeholder, baik di bidang kesehatan manusia maupun hewan.

Isu Global Ditakuti di Seluruh Dunia
Team Leader FAO ECTAD Indonesia, Dr Luuk Schoonman, mengatakan bahwa sektor peternakan berkontribusi dalam masalah AMR. Berdasarkan data yang ia dan timnya kumpulkan, pada 2017 saja sekitar 93.000 ton antimikroba diberikan kepada hewan, dimana 73%-nya merupakan hewan yang didayagunakan sebagai pangan (ternak).

“Selain itu 76% antimikroba yang digunakan pada hewan ternak juga digunakan pada manusia. Ini tentu mengkhawatirkan, oleh karenanya resistensi antimikroba ini juga tanggung jawab bagi para stakeholder di dunia kesehatan hewan,” kata Luuk.

Yang ditakutkan menurut Luuk adalah apabila resistensi antimikroba benar-benar sudah terjadi pada semua jenis antimikroba, sehingga tidak ada sediaan yang efektif dalam mengendalikan mikroba patogen yang mungkin dapat menyebabkan kematian pada hewan dan manusia.

Beradasarkan data WHO yang dijabarkan oleh Luuk, sekitar 700.000 orang meninggal akibat resistensi antimikroba di 2014. Ia juga membuka data dari The Lancet pada Januari 2022, dimana pada 2019 sekitar... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2022. (CR)

MENGGUNAKAN ANTIMIKROBA SECARA CERDAS BERSAMA BETTER PHARMA

Dr Kanjana Imslip Melakukan Presentasi Secara Online

Isu resistensi antimikroba sudah menjadi isu global yang bahkan hendak dibahas dalam pertemuan G-20. Sektor peternakan menjadi sorotan karena dinilai menyumbang persentase yang tinggi karena praktik penggunaan antimikroba yang serampangan.

Better Pharma selaku perusahaan obat hewan terkemuka menggelar webinar bertajuk "Antibitotic Smart Used, Could Be Done?" melalui daring Zoom Meeting pada Senin (25/4). Dalam webinar tersebut yang bertindak sebagai narasumber yakni Dr Kanjana Imslip dari Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Kasetsart University, Bangkok.

Dalam presentasinya kita dibawa kembali mempelajari mata kuliah farmakologi. ia menjelaskan lebih detail mengenai berbagai hal terutama aspek farmakodinamik dan farmakokinetik dari suatu sediaan. Selain itu Dr Imslip juga menjelaskan terkait faktor - faktor yang mempengaruhi bioavabilitas dan distribusi sediaan antimikroba.

"Terdapat banyak sekali faktor yang menjadi pertimbangan dalam memilih sediaan antimikroba yang tepat untuk pasien kita, diataranya adalah spesies hewan, rute pemberian, serta faktor psikokimia lainnya, nah ini yang harus kita pertimbangkan," tuturnya.

Selain itu Dr Im juga menjelaskan juga interaksi antar antimikroba, mana saja yang sinergis bahkan yang antagonis. Ini juga merupakan pertimbangan dari seorang dokter hewan dalam mengombinasikan antimikroba (bila perlu).

Terakhir yang menjadi perhatian akan isu resistensi antimikroba dan residu antimikroba adalah tatacara dan waktu penggunaan. Dr Im mengingatkan pada para petugas medis agar bijak dalam menggunakan antimikroba, selain menjadi senjata terakhir, penggunaan antimikroba juga harus mempedulikan withdrawal time dari sediaannya.

"Agar tidak terjadi residu, sebainya diperhatikan waktu panen dan waktu paruh obat. Contoh misalnya pada ayam, jika waktu ayam dipanen sediaan antimikrobanya belum melewati withdrawal time, ini bahaya pasti akan ada residu di produk hewannya, nah ini makanya harus diperhatikan" tutupnya (CR)

WAAW 2021: MENTAN TEGASKAN PENDEKATAN ONE HEALTH DIBUTUHKAN UNTUK KESEHATAN DUNIA

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo pada puncak acara WAAW 2021. (Foto: Infovet/Ridwan)

Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia (World Antimicrobial Awareness Week/WAAW), yang diperingati setiap tahunnya pada 18-24 November, merupakan momentum penting untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat dunia dalam pengendalian resistensi antimikroba/antimicrobial resistance (AMR) dengan pendekatan one health.

“Pendekatan one health sangat dibutuhkan untuk kesehatan dunia, mengingat saat ini masalah kesehatan dengan adanya pandemi COVID-19 dan AMR membuat tren kemunduran dalam ketahanan pangan. Oleh karena itu, semua sektor harus terlibat aktif dan bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan dan ketahanan pangan,” ujar Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, dalam kegiatan puncak Pekan Kesadaran Antimikroba 2021 yang diselenggarakan secara hybrid di Provinsi Bali, Rabu (24/11/2021).

Lebih lanjut dijelaskan, AMR menjadi isu yang santer dibicarakan di seluruh dunia karena diprediksi menjadi pembunuh nomor satu pada 2050 mendatang dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa pertahun dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.

“Prediksi tersebut bisa saja terjadi apabila kita tidak melakukan pengendalian secara konkrit. Untuk itu komitmen kita dalam mengendalikan AMR bersama-sama menjadi bagian penting,” imbuh Mentan Syahrul.

Untuk mengantisipasi dampak tersebut dan meningkatkan ketahanan pangan, lanjut Syahrul, pihaknya telah melakukan beberapa strategi diantaranya meningkatkan kapasitas produksi berkelanjutan, penguatan diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik, pengembangan pertanian modern dan dukungan Gratieks.

“Melalui strategi ini kita transformasikan kemandirian sistem pangan secara holistik, berintegrasi dan berkelanjutan. Saya berharap ada kesatuan emosional bahwa masalah kesehatan adalah ujung yang sangat penting melalui ketahanan pangan. Saya percaya kita semakin mempertajam program bersama lembaga dunia sebagai upaya gerakan antimikroba di Indonesia untuk kontribusi pada kepentingan dunia,” ucap dia.

“Mari kita bekerjasama saling bertukar pikiran cerdas kita dengan pendekatan intelektual melalui referensi dunia yang bisa kita pelajari bersama untuk kesehatan manusia, hewan dan lingkungan di masa mendatang.”

Konsep one health didefinisikan sebagai upaya kolaboratif dan komunikatif dari berbagai sektor, utamanya kesehatan manusia, hewan dan lingkungan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk mencapai kesehatan optimal. Pengendalian penyakit zoonosis, AMR dan penggunaan antibiotik yang bijak memerlukan kolaborasi multisektor, tidak hanya terbatas pada kesehatan dan pertanian, tetapi juga kehutanan, lingkungan dan pendidikan. (RBS)

SOSIALISASI PENINGKATAN KESADARAN PENATAGUNAAN ANTIMIKROBA

Dirkeswan Nuryani Zainuddin saat memaparkan presentasinya dalam Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Penatagunaan Antimikroba untuk Dokter Hewan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Antimikroba merupakan penemuan besar yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan lingkungan. Kendati demikian, antimikroba bagai pedang bermata dua, penggunaannya yang tinggi dan tidak bijak memacu meningkatnya resistansi mikroba atau antimicrobial resistance (AMR).

Data WHO 2014, menunjukkan kejadian AMR sudah merenggut 700 ribu jiwa dan diperkirakan meningkat 10 juta jiwa pada 2050 apabila tidak dikendalikan. Sementara survei AMU 2020, menunjukkan antibiotik enrofloxacine, amoxicillin, colistin, sulfadiazine, trimethoprim, ciprofloxacin dan tylosin masih cukup tinggi digunakan di enam provinsi di Indonesia.

Dari latar belakang tersebut, dilaksanakan Sosialisasi Peningkatan Kesadaran Penatagunaan Antimikroba untuk Dokter Hewan, Selasa (5/10/2021), atas kerja sama Kementerian Pertanian, FAO, USAID dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).

Dalam kegiatan tersebut dijelaskan, salah satu dampak residu antibiotik yang tertinggal di bahan pangan asal hewan sangat berbahaya bagi manusia. Hal tersebut bisa mengakibatkan reaksi alergi, toksisitas, memengaruhi flora usus, pengaruh buruk pada respon imun dan resistensi pada mikroorganisme.

“Selain berbahaya bagi kesehatan, residu antibiotik juga berpengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi,” papar Prof Ida Tjahajati dari Universitas Gadjah Mada yang menjadi narasumber.

Ida menjelaskan, faktor pendorong terjadinya resistensi antimikroba pada sektor peternakan akibat dari penggunannya yang berlebihan, tidak sesuai dosis dan waktu henti, penerapan sanitasi dan higiene yang buruk, minimnya kesadaran, serta lemahnya kepatuhan dan kontrol penggunaan antimikroba.

Oleh karena itu, kesadaran masyarakat di sektor peternakan dan kesehatan hewan menjadi sangat penting dalam menegakkan penatagunaan antimikroba. Hal itu ditegaskan Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Nuryani Zainuddin.

Ia menjelaskan, tujuan penatagunaan antimikroba adalah untuk mengurangi kerusakan berkelanjutan akibat AMR pada hewan, manusia dan lingkungan, serta mengurangi konsumsi dan biaya antimikroba tanpa meningkatkan mortalitas. “Juga mengoptimalkan biaya perawatan kesehatan pada manusia maupun hewan,” katanya.

Lebih lanjut, adapun strategi penatagunaan antimikroba di bidang peternakan dan kesehatan hewan bisa dilakukan dengan menerapkan good farming practices, biosekuriti, biosafety, vaksinasi dan praktik kedokteran hewan yang baik. Dengan begitu, lanjut dia, bisa dipastikan penggunaan antimikroba dan risiko perpindahan mikroorganisme akan menurun.

“Penting juga untuk melakukan diagnosis tepat terhadap suatu kasus penyakit dan peresepan yang bertanggung jawab dari dokter hewan. Hal ini menjadi pendorong penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab,” pungkasnya. (RBS)

PASCA FREE AGP, KONSEKUENSI REGULASI DAN UPAYA MENJAGA PERFORMA AYAM DENGAN PAKAN TERAPI

Penggunaan antibiotik dalam pakan masih diperbolehkan melalui pakan terapi yang penggunaannya harus sesuai aturan pemerintah. (Foto: Dok. Infovet)

Kebijakan penggunaan antibiotik dalam dunia peternakan dua tahun terakhir ini benar-benar menjadi tema dan trending topik yang selalu seru untuk dikupas lebih rinci dan detail. Tidak hanya berdampak terhadap perubahan pola strategi dalam menyusun formula pakan, namun juga startegi tata cara pemeliharaan termasuk sistem biosekuritinya.

Zaman telah berubah, waktu berganti dan strategi untuk bisa bertahan hidup dengan efisiensi terbaikpun mengalami penyesuaian. Titik-tolak perubahan ini terjadi seiring dengan penegasan implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan pada bagian kelima. Kriteria obat hewan yang dilarang tercantum dalam Pasal 15 ayat 1. Kebijakan tersebut sesuai amanat Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Secara tersurat, esensi dari Permentan No. 14/2017 mengatur penggunaan antibiotik yang dicampur dalam pakan tidak lagi diperbolehkan. Kendati demikian, pencampuran antibitoik dalam pakan saat ini hanya boleh digunakan dengan resep dokter hewan dan dalam monitoring yang ekstra ketat. Berbeda dengan era sebelumnya dimana antibiotik masih diizinkan sebagai pemicu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP). Namun dengan adanya penegasan pemerintah terkait pelarangan penggunaan antibiotik, menjadi paradigma baru bagi industri peternakan khususnya untuk menyediakan produk-produk peternakan yang lebih ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Konsekuensi yang harus dihadapi dari hal tersebut terjadi tidak hanya di kalangan peternak, namun juga terjadi di semua stakeholder yang berhubungan dengan industri peternakan (feed mill, breeding farm, perusahaan obat hewan dan imbuhan pakan, perusahaan penyedia bahan baku pakan dan sebagainya). Sehingga tantangan kuman penyakit, baik virus ataupun bakteri harus disikapi dengan melakukan antisipasi lebih dini dan lebih serius dibandingkan sebelumnya. Jangan sampai bakteri menjadi kebal (resistant) terhadap berbagai jenis antibiotik, sehingga akan menjadi bom biologis yang membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia.

Isu Resistensi Antimikroba (AMR/Antimicrobial Resistance)
Pada Juli 2014 silam pernah diadakan pertemuan global “The Review on Antimicrobial Resistance” dimana dari hasil pertemuan tersebut menyatakan bahwa kasus infeksi bakteri yang kebal/resisten terhadap antimikroba meningkat sangat signifikan. Di Eropa dan Amerika Serikat saja lebih dari 50.000 nyawa hilang tiap tahunnya karena kasus resistensi ini pada kejadian infeksi sekunder bakteri penyakit malaria, HIV/AIDS dan TBC.

Dari pertemuan itu juga para ahli memperkirakan jumlah korban meninggal secara global di seluruh dunia mencapai sedikitnya 700.000 setiap tahun. Pada 2050, jumlah ini diprediksi naik mencapai 10 juta orang, jauh lebih tinggi dibandingkan korban meninggal akibat kanker, diabetes, kecelakaan lalu lintas, kolera, tetanus, measles, diarea dan kolera.

Dari total jumlah tersebut, korban terbesar sekitar 4 juta orang dari Afrika dan Asia. Bahkan prediksi biaya kesehatan untuk mengatasi kasus resistensi ini mencapai hingga 100 triliun dolar AS per tahun. Selain itu resistensi antibiotik juga turut meningkatkan risiko kematian yang secara langsung berpengaruh pada menurunnya usia harapan hidup suatu negara.

• Konsekuensi di Kalangan Peternak
Terbukti semua peternak berbenah diri. Bagi para peternak yang mempunyai anggaran cukup, tidak tanggung-tanggung langsung menyulap kandangnya dari open house (kandang terbuka) menjadi semi closed house (tunel) bahkan full closed house (kandang tertutup) dengan evaporative cooling system.

Tantangan kuman dari luar bisa ditekan karena kandang dalam kondisi tertutup 24 jam, dimana hanya area inlet (tempat udara masuk) saja yang dibuka. Harapannya jumlah kontaminan bibit penyakit bisa di tekan seoptimal mungkin. Tidak hanya itu, di kalangan peternak yang masih menggunakan sistem kandang terbuka pun tidak mau kalah. Mereka mencari... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2019.

Oleh: Drh Eko Prasetio
Private Commercial Broiler Farm Consultant

ZOETIS ANTIBIOTIC STEWARDSHIP SEMINAR

Foto bersama seluruh peserta dan panitia seminar Zoetis di Senayan, Jakarta. (Foto: Infovet/Ridwan)

Antimicrobial Resistance (AMR) atau resistensi antimikroba telah muncul sebagai salah satu tantangan kesehatan terbesar di berbagai belahan dunia. Persoalan tersebut terus menjadi isu hangat yang dibicarakan dan semakin menyita perhatian para pemangku kepentingan maupun industri yang bidang peternakan di seluruh dunia.

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri,  virus, jamur dan parasit mengalami perubahan, sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan menjadi tidak efektif. Contoh dari resistensi antimikroba adalah penggunan antibiotika yang tidak bijak, di peternakan khususnya industri perunggasan salah satunya penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) yang saat ini sudah dilarang pemerintah awal 2018 kemarin.

PT Zoetis Animalhealth Indonesia yang merupakan perusahaan kesehatan hewan global, terus berkontribusi memberikan edukasi dan informasi terbaru dalam rangka meminimalisir adanya AMR di Indonesia dengan menggelar “Zoetis Responsible Use of Antibiotics Stewardship Seminar” secara maraton pada 17-18 Juli 2019.

“Topik AMR terus berkembang dan menjadi pembicaraan di berbagai tempat di dunia. Di Indonesia aturan mengenai AMR sudah diatur pemerintah awal 2018 kemarin, kita tentunya berusaha untuk mengimplementasikan peraturan tersebut,” ujar General Manager Zoetis Indonesia, Drh Ulrich Eriki Ginting, saat menyambut peserta seminar, Kamis (18/7/2019), di Mulia Hotel, Senayan, Jakarta.

Ia mengatakan, pihaknya terus memberikan komitmennya dalam membantu sektor perunggasan yang bijak dalam menggunakan antibiotik. “Zoetis berkomitmen untuk memberikan informasi baru yang relevan terkait AMR, sehingga efektivitas atau produktivitas di industri peternakan bisa dicapai. Kami juga terus berdiskusi bersama pemangku kebijakan, sebab komunikasi menjadi hal penting untuk membawa perubahan  yang lebih baik,” katanya.

Pada seminar tersebut menghadirkan tiga pembicara yang ahli dibidangnya, diantaranya Ben Santoso (Senior Analyst - Animal Protein Raboresearch Food & Agribusiness), Dr Jeffrey L. Watts, PhD (Research Director External Innovation - Anti-Infectives Zoetis Inc) dan Dr Choew Kong Mah DVM (Director International COE Outcomes Research Zoetis Inc), serta dimoderatori Prof Wayan T. Wibawan (Guru Besar FKH IPB).

Sehari sebelumnya, pada Rabu (17/7/2019), Zoetis Indonesia juga melaksanakan agenda serupa dengan mengundang instansi pemerintah yang bergerak di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Seminar digelar di Aston Hotel TB Simatupang. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer