Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini WTO | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

DISERBU AYAM IMPOR BRASIL, BAGAIMANA NASIB SEKTOR PERUNGGASAN?




Kendati memenangkan gugatan di WTO, ayam Brasil belum tentu mudah masuk ke Indonesia (Foto: Google Image)


Oleh : Rivan Kurniawan - Indonesia Value Investor



Rivan Kurniawan
Belakangan ini muncul berita ke permukaan bahwa Indonesia akan kembali diserbu oleh ayam ras impor dari Brasil, pasca World Trade Organization (WTO) memenangkan gugatan Brasil terkait masalah impor daging ayam atas Indonesia. Tak pelak kondisi tersebut membuat sejumlah emiten di sektor poultry diprediksikan terimbas sentimen negatif, dan dikhawatirkan akan menjadi kendala bagi pertumbuhan sektor ini. Kira-kira dengan serbuan ayam impor Brasil tersebut, akan seperti apa pengaruhnya terhadap emiten di sektor perunggasan?

Tantangan yang dihadapi Brazil Untuk Mengekspor Daging Ayam ke Indonesia
Kendati Brasil dinyatakan memenangkan gugatan di WTO, nampaknya hal tersebut tak serta merta membuat produk ayam ras impor Brasil masuk dengan mudah ke Indonesia, karena Brasil masih harus berjuang menghadapi beberapa situasi yang berlaku di Indonesia, seperti:

Pertama, masalah distribusi yang terlalu jauh. Ayam ras impor mana pun termasuk dari Brasil biasanya akan masuk ke Indonesia dalam bentuk daging beku atau olahan turunan. Seperti halnya nugget ataupun sejenis frozen food lainnya. Hal itu terjadi karena permasalahan jarak yang terlalu jauh, sehingga tentu menyulitkan produsen ayam di luar negeri untuk menyediakan ayam yang masih segar. Tentu kondisi itu tidak sejalan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih dominan senang membeli ayam segar yang baru dipotong. Secara market share, sekitar 85% pasar ayam di Indonesia menyediakan produk ayam dalam bentuk fresh yang baru dipotong. Sedangkan sekitar 15% nya adalah daging ayam beku dan produk olahan turunannya.

Kedua, sertifikasi halal. Setiap emiten yang bergerak di sektor perunggasan di Indonesia sejatinya sudah memiliki senjata untuk mengatasi serbuan ayam-ayam impor dari negara lain. Di mana setiap produk yang dihasilkan oleh emiten sektor perunggasan di Indonesia sudah dilengkapi dengan sertifikasi halal, dan itu berlaku untuk menjamin lisensi kehalalan produk ayam yang dihasilkan. Apalagi jika melihat mayoritas penduduk Indonesia yang Muslim, tentu lisensi halal menjadi hal yang sangat sensitif. Demikian pula, proses pemotongan daging ayam juga harus sesuai dengan syariat Islam. Misalkan salah satu syarat pemotongan halal adalah menyayat 3 saluran, yaitu saluran nafas, saluran makan, dan pembuluh darah. Hal ini menjadi Pekerjaan Rumah tersendiri bagi Brasil, yang notabene mayoritas penduduknya bukan beragama Muslim.

Ayam Brasil Lebih Murah, Ancaman Bagi Indonesia ?

Meskipun menghadapi beberapa tantangan di atas, Brasil sendiri memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan emiten poultry di Indonesia. Seperti yang kita tahu bahwa sektor poultry di Indonesia masih sangat banyak menemui hambatan, seperti perlambatan pertumbuhan di tahun 2017 lalu yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah, di mana Kementerian Pertanian (Kementan) sudah tidak lagi mengeluarkan rekomendasi impor jagung untuk pakan ternak.

Hal tersebut membuat supply menjadi terbatas, dan membuat harga jagung merangkak naik. Permasalahan harga jagung cukup mempengaruhi pertumbuhan sektor poultry, mengingat bahan baku pakan ternak yang mahal adalah salah satu faktor utama yang mengakibatkan biaya produksi ayam ras lokal juga menjadi lebih tinggi sehingga tidak seunggul ayam ras impor. Apalagi hal tersebut diiringi dengan harga bibit ayam alias day old chick yang juga mahal. Dengan kondisi yang demikian, besar kemungkinan Indonesia ayam ras lokal akan menghadapi persaingan ketat dengan ayam ras Brasil. Lantaran industri unggas di Brasil sudah sangat efisien, sehingga harga ayamnya akan lebih murah.

Persaingan ini akan berdampak negatif pada harga jual ayam. Rata-rata jumlah produksi ayam ras lokal adalah sebesar 60 juta ton – 65 juta ton. Sedangkan kebutuhan konsumsi masyarakat terhadap ayam hanya sekitar 55 juta ton per/tahun. Artinya, jumlah produksi ayam ras lokal melebihi kebutuhan konsumsi ayam. Ditambah lagi dengan masuknya ayam ras impor secara berlebih, akan memicu oversupply di pasar. Supply meningkat, permintaan tetap. Akibatnya akan menurunkan harga ayam.

Antisipasi Emiten Sektor Poultry Di tengah Tantangan Serbuan Ayam Impor Brazil

Dengan mengetahui sejumlah kondisi yang akan mempengaruhi pasar ayam lokal di Indonesia, penting bagi kita untuk mengetahui juga seperti apa antisipasi yang dilakukan emiten sektor poultry menghadapi serbuan ayam impor ras Brasil untuk beberapa waktu ke depan. Secara umum, sejumlah emiten poultry tidak gentar dan tetap optimis menghadapi serbuan ayam dari Brasil.

Sebut saja PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA). Meskipun berada ditengah ketidakpastian pertumbuhan sektor poultry, langkah JAPFA dalam berekspansi sangat optimis. Terhitung sejak Juni 2019 saja, JAPFA sudah melakukan akuisisi terhadap perusahaan pengeringan jagung yakni PT Celebes Agro Semesta. Adapun akuisisi tersebut dilancarkan melalui dua anak usahanya PT Ciomas Adisatwa dan PT Santosa Utama Lestari. Akuisisi yang dilakukan JAPFA di bidang industri pengeringan jagung adalah untuk mengantisipasi kenaikan harga jagung akibat musim kering.

Pada Juli 2019 ini JAPFA juga melakukan ekspansi bisnis melalui peresmian anak usahanya PT Indojaya Agrinusa (Indojaya) di Kawasan Industri Modern 4 Deli Serdang – Sumatera Utara. Pabrik Indojaya tersebut adalah perluasan dari pabrik sebelumnya yang berada di wilayah Tanjung Morawa – Deli Serdang. Pabrik ini sebagai solusi kebutuhan pasokan pakan ternak di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Pekanbaru, dan Riau dengan kualitas produk berstandar internasional. Melalui pabrik ini JAPFA memperoleh peningkatan kapasitas produksi dari 20 ribu ton/bulan menjadi 40 ribu ton/bulan. Bahkan di area yang sama juga sedang dilakukan proses pembangunan pabrik pakan ikan dan udang dengan kapasitas produksi pakan ikan apung sebesar 9.500 ton/bulan, pakan ikan tenggelam sebesar 2 ribu ton/bulan, dan pakan udang sebesar 700 ton/bulan. Tentu langkah yang dilakukan JAPFA melalui anak usahanya ini adalah untuk menyiasati serbuan produk-produk impor, sehingga kualitas produknya akan lebih unggul.

Demikian halnya dengan PT Charoen PokPhand Indonesia Tbk, yang berencana memperbesar divisi pakan ternaknya melalui pembangunan dua pabrik anyar di tahun ini. Adapun pembangunan pabrik tersebut sudah dilakukan sejak tahun kemarin dan ditargetkan rampung pada kuartal III-2019 nanti, dengan lokasi berada di Semarang dan Padang. Melalui pabrik ini kapasitas produksi pakan ternak akan meningkat dari 5.5 juta ton/tahun menjadi 6.5 juta – 7 juta ton/tahun.

Sementara langkah berbeda lain, ditempuh oleh PT Sierad Produce Tbk yang lebih memilih untuk memaksimalkan kapasitas dan kemampuannya saat ini. Salah satunya dengan lebih banyak menjalin kemitraan dengan para peternak tradisional. Di mana hal itu akan lebih menguatkan brand produk olahan Bellfoods dan juga akan menguatkan supply chain.

Penanganan yang Perlu Dilakukan Pemerintah

Setelah kita mengetahui apa saja dampak dari adanya serbuan ayam impor ras Brasil ke depannya dan bagaimana emiten poultry mengantisipasi serbuan ayam impor ras Brasil ini, kita juga perlu meninjau kembali langkah pemerintah dalam mengatasi tantangan ayam impor ini. Apalagi jika serbuan ayam ras impor ini sudah tidak mungkin dapat dihindari, itu berarti pemerintah perlu membatasi jumlah ayam ras impor yang masuk ke pasar-pasar modern. Dalam waktu yang bersamaan, pemerintah juga harus menjaga pasar tradisional agar secara mayoritas produk yang dijual lebih didominasi oleh ayam ras lokal ketimbang impor. Bahkan pemerintah perlu mengupayakan peningkatan efisiensi produksi ayam nasional, salah satunya yang bisa dilakukan adalah dengan menyediakan pakan ayam yang stabil murah.

Berkaitan dengan kebutuhan pakan ayam yang sekitar 50% komposisinya masih berasal dari jagung, maka itu artinya pemerintah harus mampu menstabilkan harga komoditas jagung. Apalagi untuk bisa menjaga stok ketersediaan jagung yang habis, tidak ada salahnya pemerintah melakukan impor jagung, asal dilakukan secara terbatas. Jika tujuan pemerintah tidak lagi melakukan impor jagung untuk menjaga petani lokal, maka sebenarnya pemerintah bisa memberlakukan bea masuk bagi impor jagung yang nantinya bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas petani jagung lokal. **


Artikel ini telah terbit di Majalah Infovet edisi 302 - September 2019




MALINDO FEEDMILL TAK KHAWATIR ANCAMAN IMPORTASI AYAM BRASIL


Ilustrasi karung pakan PT Malindo Feedmill. (Foto: Malindo Feedmill)


Arus masuk importasi ayam dari Brasil diprediksi meningkat pasca kekalahan Indonesia atas gugatan Brasil di Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) World Trade Organization (WTO). Kendati demikian, PT Malindo Feedmill Tbk mengaku tidak khawatir soal potensi ancaman tersebut.

Andreas Hendjana selaku Corporate Secretary PT Malindo Feedmill Tbk Andre menilai arus importasi ayam dari Brasil belum tentu memiliki dampak yang signifikan bagi produsen ayam dalam negeri.

Menurut Andre, besar atau tidaknya dampak yang ditimbulkan sangat bergantung dari kemampuan produk-produk ayam dalam negeri untuk bersaing dengan produk ayam dari Brasil. Kemampuan ini dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu harga dan kualitas produk.

Untuk harga, Andre menilai bahwa perbandingan antara produk ayam dalam negeri dengan ayam impor yang berasal dari Brasil belum bisa diketahui karena belum ada informasi yang jelas soal berapa harga jual dari produk ayam Brasil pada nantinya.

Lanjut Andre, pihaknya akan membiarkan skema pasar yang ada untuk menentukan alur persaingan yang ada dari segi harga.

“Masalah harga nanti akan tercipta adjust secara otomatis, menyesuaikan saja antara penawaran dan permintaan,” ujar Andre, Sabtu (9/8).

Sementara itu dari segi kualitas, Andre menilai bahwa terdapat banyak faktor selain harga yang bisa mempengaruhi iklim persaingan di antara produk ayam dalam negeri dengan ayam impor dari Brasil.

“Contohnya masyarakat Indonesia lebih suka ayam fresh dibanding frozen,” jelas Andre.

Di samping itu, Andre menyataka PT Malindo Feedmill Tbk akan terus menjaga kualitas produk agar mampu bersaing di pasaran.

Dengan sejumlah alasan ini, Andre mengatakan pihaknya tidak merasa khawatir atas potensi ancaman yang berasal dari importasi ayam Brasil.

Selain itu, Andre juga menyatakan PT Malindo Feedmill Tbk yakin bahwa pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi industri peternakan lokal.

PT Malindo Feedmill Tbk sebelumnya telah mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebanyak 26% secara tahunan dari sebesar Rp 3,07 triliun di semester I-2018 menjadi Rp 3,87 triliun di semester I-2019.

Sebagian besar kontribusi dalam total pendapatan tersebut diperoleh dari penjualan pakan, yakni sebesar 65,41%. Selanjutnya, kontribusi pendapatan terbesar kedua diperoleh dari penjualan anak ayam/itik berusia satu hari sebesar 18,65%.

Adapun kontribusi penjualan ayam pedaging dalam total pendapatan yang diperoleh yakni sebesar 11,17%. Hal ini membuat penjualan ayam menjadi kontributor terbesar ketiga dalam total pendapatan yang diperoleh PT Malindo Feedmill Tbk.

Sementara itu, sebanyak 4,87% pendapatan sisanya diperoleh dari penjualan makanan olahan dan lain-lain. (Sumber: kontan.co.id)


AKHIRNYA RI BUKA PINTU IMPOR AYAM DARI BRASIL

Ilustrasi daging ayam (Foto: Pixabay)



Indonesia akan membuka kesempatan impor daging ayam dari Brasil. Kebijakan ini diambil untuk menyelesaikan sengketa dagang yang diadukan Brasil ke World Trade Organization (WTO).

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan kesempatan impor harus dibuka. Indonesia akan salah jika masih melarang impor daging dari Brasil.

"Intinya impor ke sini, itu harus ada karena tidak mungkin kita menyatakan tidak bisa. Kalau kita melarang, melanggar ketetapan WTO, ya kita pasti salah," jelas Enggartiasto usai rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu (7/8/.

Selain itu jika Indonesia masih menutup impor daging ayam dari Brasil, negara tersebut bisa saja menyerang balik ekspor Indonesia, dan langkah ini juga akan diikuti negara-negara lain. Enggar menegaskan, keran impor hanya dibuka jika ada permintaan dari dalam negeri.

"Kita juga harus lihat kalau misalkan ada permintaan dalam negeri atau tidak, tapi kita buka kalau ada yang mau minta silakan saja. Kalau tidak (membuka kesempatan impor), ya mereka punya hak melakukan retaliasi dengan berbagai produk yang sama atau produk lainnya, dan 19 negara lainnya akan ikut serta," katanya.

Direktur Perundingan APEC dan Organisasi Internasional Kemendag Antonius Yudi Triantoro menambahkan daging ayam dari Brasil tetap harus halal. Pihak Brasil akan berkerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) Kementerian Agama untuk menjamin kehalalan produk daging ayamnya.

Sebelumnya, Indonesia pernah digugat oleh Brasil perihal penolakan impor daging ayam. Brasil membawa permasalahan ini ke WTO pada 2014 lalu dan diputuskan memenangi gugatan pada 2017.
Brasil membuka panel untuk menyelidiki kebijakan Indonesia mengenai impor unggas dari negaranya. Sebagai informasi impor daging ayam asal Brasil tidak bisa masuk Indonesia, karena tidak memiliki sertifikasi sanitasi internasional serta sertifikat halal. (Sumber: finance.detik.com)

Keamanan Daging Sapi Brazil dari PMK Dipertanyakan

Daging impor.
Kemenangan Brazil dalam sidang banding di WTO (World Trade Organization/WTO), yang memenangkan sebagian gugatan Brazil atas Indonesia ternyata masih menyisakan tanda tanya dan kekhawatiran. Kekhawatirannya bukan lagi soal ancaman serbuan daging ayam ke pasar dalam negeri.

Dalam wawancara dengan Infovet, Syamsul Ma’arif, Direktur Kesmavet Ditjen PKH (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan) Kementerian Pertanian, menyebutkan, meskipun menang dalam sidang gugatan di WTO, Brazil tidak akan mengekspor daging ayam ke Indonesia. Sebagai gantinya, mereka meminta mengekspor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Indonesia.

Ini sesuai kesepakatan dengan tim Kementerian Pertanian Brazil yang bertemu dengan Menteri Pertanian Indonesia Februari 2018, telah diperoleh kesepahaman bahwa Brazil sangat memahami Indonesia yang sudah surplus daging ayam, sehingga bersedia untuk tidak akan mengekspor daging ayamnya ke Indoensia.

Keinginan Brazil untuk mengekspor daging sapi ke Indonesia memang sudah sejak lama disampaikan. Namun, isu penyakit mulut dan kuku (PMK) yang mewabah di Brazil pada 2008 menjadikan keinginan itu tertahan. Kini, kemenangannya dalam sidang gugatan tersebut menjadi momentum bagi Pemerintah Brazil untuk kembali menegaskan keinginannya itu.

Bagi pemerintah Indonesia impor daging sapi asal Brazil ini dilakukan guna menyediakan daging dengan harga murah bagi masyarakat. Konon, daging sapi dari Brazil akan dijual dengan harga Rp 80 ribu per kg. Artinya, harga daging sapi Brazil di pasaran lebih rendah dibandingkan daging sapi lokal yang berada di level Rp 120 ribu per kg dan daging kerbau India Rp 110 ribu.

Tapi benarkah saat ini Brazil sudah aman dari wabah PMK yang sangat berbahaya itu? Inilah yang menjadi kekhawatiran sejumlah importir dalam negeri jika memang akhirnya pemerintah membuka kran impor daging sapi dari “Negeri Samba” itu.

Niat pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil dikritik oleh para importir. Mereka menilai pemerintah lagi-lagi mengimpor daging dari negara yang belum ada kepastian bebas dari PMK.

Awal April lalu, Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring, kepada media menyebutkan Brazil merupakan salah satu eksportir daging sapi yang paling besar, tapi banyak daerahnya yang belum bebas dari PMK, sama dengan India.

Keputusan pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil memang sah-sah saja dilakukan. Sebab sudah ada payung hukumnya, yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun menurut Thomas,perlu diingatkan juga, di Brazil mayoritas daerahnya belum bebas dari PMK. Sehingga,perlu pengawasan pemerintah terhadap masuknya daging sapi Brazil ke dalam negeri diperketat.

Importir Masih Khawatir
Kekhawatiran para importir dan konsumen direspon pemerintah. Sebelum bulan Ramadan lalu, Kementerian Pertanian bergerak cepat dengan memberangkatkan tim audit ke Brazil yang bertugas mengecek kesehatan dan kesiapan daging sapi di Negeri Sepak Bola untuk segera diimpor ke Indonesia.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, waktu itu menyatakan pihaknya tetap membuka opsi impor dari negara lain supaya jangan terjadi monopoli.

Tim yang terdiri dari unit teknis dan komisi ahli memastikan kesehatan daging sapi, terutama dari penyakit mulut dan kuku agar daging sapi yang diimpor dari Brazil aman dikonsumsi masyarakat.Tak hanya itu, tim pemerintah yang total berjumlah 22 orang itu  juga menyertakan tim dari Majelis Ulama Islam (MUI) untuk memastikan sertifikasi halal daging impor serta tim dari industri.

Tim audit ini diketuai Tri Satya Putri Naipospos. Pemerintah bergerak cepat sehingga unit teknis dan komisi ahli dikirimkan bersamaan. Tim ini melakukan pemeriksaan yang ketat. Salah satu alasan utama pemeriksaan dilakukan secara ketat, karena sapi Brazil belum bebas penyakit mulut dan kuku, meski dalam 10 tahun terakhir, belum pernah ada kasus penyakit daging sapidi negara tersebut.

Brazil juga diketuhui telah mengajukan bebas penyakit berdasarkan vaksinasi kepada The World Organisation for Animal Health (OIE). Namun demikian, masih ada peluang untuk timbul ancaman yang bisa berakibat kepada Indonesia.

Bagaimana hasil kerja tim ini? Hingga berita ini ditulis, belum ada informasi kepastian jadi atau tidaknya mengimpor daging sapi asal Brazil.

Informasi yang terakhir yang disampaikan pihak Kementerian Pertanian, bahwa sesampai di Indonesia hasil kerja tim tengah dikaji oleh tim ahli yang apakah low risk atau high risk. Selain itu, pihaknya juga masih menunggu kabar dari Majelis Utama Indonesia (MUI) untuk rekomendasi halal. Sebab pihaknya menyatakan tidak akan melakukan impor bila tidak mendapatkan rekomendasi dari MUI.

Pihak Kementan menegaskan pada dasarnya kesepakatan tersebut masih bisa dibatalkan bila tidak memenuhi persyaratan dari Indonesia, yaitu berisiko dan tidak ada rekomendasi halal dari MUI.

Bargaining Power
Mencermati rencana pemerintah mengimpor daging sapi dari Brazil, Robby Agustiar, konsultan bisnis daging sapi, memiliki pendapat tersendiri. Menurutnya, rencana impor daging dari Brazil harus dilihat dulu apa maksud dan tujuannya.

“Kalau tujuannya untuk mengubah harga di pasar yang ada saat ini, saya yakin daging impor Brazil tidak akan bisamurah seperti yang disampaikan pemerintah, yaitu Rp 80 ribu per kg. Harga pasar sapi Brazil juga masih lebih mahal dari harga daging kerbau dari India,” ujarnya.

Daging yang dijual di pasar tradisional.
Harga daging kerbau India di pasaran saat ini masih di kisaran angka Rp 80 ribu per kg. Sementara untuk takaran pemerintah yang menyatakan harga sapi asal Brazil bisa Rp 80 ribu per kg, ditanggapi pesimis.

“Saya sih nggak yakin harga segitu. Karena perjalanan kargo dari Brazil untuk sampai ke Indonesia itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Sudah pasti biayanya pun akan tinggi,” katanya.

Robby menduga, rencana impor daging sapi dari Brazil, nantinya akan dijadikan bargaining power (kekuatan tawar) terhadap India, karena harga daging kerbau dari India akan naik. Momentum ini sangat klop dengan kesepakatan antara Pemerintah Brazil dan Pemerintah Indonesia, yang tidak akan mengeskpor daging ayam ke Indonesia. Sebagai gantinya, Brazil meminta aka mengeskpor daging sapi.

Sebelumnya diberitakan harga daging kerbau India sudah mulai naik, karena demand-nya sudah mulai bertambah ke negara-negara lain, seperti Malaysia. Dulu, impor daging kerbau hanya dilakukan oleh Indonesia.

“Saya nggak tahu apakah pemerntah ini akan membuka impor bebas semua importir atau hanya oleh Bulog saja yang mengimpor. Ini yang belum kita ketahui. Kalau Bulog sebagai distributor tunggal, maka kemungkinan besar rencana impor sapi dari Brazil ini bertujuan untuk menciptakan bargaining power kepada distributor dari India,” papar Robby.

Jika memang harus mengimpor dari Brazil, yang menjadi pertanyaan, benarkah daging sapi asal negara tersebut sudah benar-benar aman dari penyakit mulut dan kuku?  Ini memang menjadi kewenangan dokter hewanyang turut serta dalam tim tadi untuk menajawabnya. “Yang pasti, soal PMK ini, pemerintah harus tahu apa risikonya dan menyiapkan infrastruktur kalau ternyata PMK benar-benar terjadi,” harapnya.

Seperti diketahui tahun 2008 peternakan sapi di Brazil masih belum aman dari PMK. Untuk itu, Robby menyarankan persoalan PMK ini harus jelas dan aman lebih dulu, sebelum bicara soal harga daging sapi.

(Abdul Kholis)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer