Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Survei | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Hasil Survei: Masyarakat Lebih Pilih Pulsa Dibanding Daging

Daging ayam. (Sumber foto: meatworld.co.za)
Pantauan tim Infovet di lapangan membuktikan bahwa beberapa masyarakat Indonesia kini lebih cenderung gemar “mengonsumsi” pulsa ketimbang protein hewani.

Hal ini dibuktikan dari salah satu narasumber yang Infovet temui di daerah Depok, Jawa Barat. Irawan (30) saat berbincang dengan Infovet mengaku, rata-rata mengeluarkan tak kurang dari Rp 200 ribu per bulan untuk membeli “amunisi” telepon seluler miliknya. “Kadang bisa lebih,” ungkapnya.

Ketika ditanya, seberapa sering ia membeli daging ayam untuk konsumsi dalam sebulan, pekerja pabrik garmen di kawasan Ciputat ini hanya tersenyum. Ia mengatakan, jarang mengonsumsi daging ayam. Ia lebih suka membeli ikan air tawar. Kalau dirata-rata membeli daging ayam, katanya, hanya sekitar Rp 30 ribu per bulan. Artinya, perbandingan antara biaya beli pulsa dan beli daging ayam Irawan dalam sebulan adalah 200:30.

Di lain kesempatan, Infovet mencoba untuk mencari perbandingan dengan narsumber lain. Kali ini sasarannya seorang karyawati minimarket yang lokasinya masih berada di kawasan Depok. Yulianti-nama narasumber ini, mengaku dalam sebulan rata-rata mengeluarkan biaya lebih dari Rp 100 ribu untuk membeli pulsa.

Untuk membeli daging ayam ia mengaku kurang begitu suka. Wanita ini lebih sering mengonsumsi mie instan, atau makanan olahan instan lainnya yang ia stok dalam sebulan. “Sesekali aja mengonsumsi ayam, paling dua atau tiga kali dalam sebulan. Kurang begitu suka,” katanya.

Anggap saja, sekali membeli sepotong daging ayam goreng, Yulianti mengeluarkan uang Rp 12 ribu. Maka, dalam sebulan ia hanya membeli daging ayam Rp 36 ribu per bulan, perbandingan yang didapat dengan pembelian pulsa adalah 100:36. 

Data BPS Membuktikan
Dari contoh dua narasumber di atas, membuktikan bahwa konsumsi pulsa lebih tinggi daripada mengonsumsi daging ayam. Fenomena ini sebenarnya sudah diendus dalam beberapa tahun oleh para peneliti dan surveyor di Indonesia.



Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas, BPS) 2016 menunjukkan, dalam enam tahun terakhir, biaya pengeluaran pulsa bulanan masyarakat Indonesia terus meningkat. Rata-ratanya mengalahkan jumlah pengeluaran pembelian buah dan daging (termasuk daging ayam).

Jumlah rata-rata pengeluaran pulsa secara nasional per bulan pada 2016 mencapai Rp 22.182 per kapita. Sedangkan pengeluaran buah Rp 19.268 dan daging Rp 20.526 per kapita. Meski begitu, nilai pengeluaran pembelian pulsa belum mengalahkan rata-rata pengeluaran bulanan untuk kebutuhan pokok seperti beras, sebanyak Rp 64.566.

Dengan selisih sedikit berbeda, biaya pengeluaran pulsa telepon bulanan ini lebih tinggi dari biaya rata-rata pengeluaran SPP bulanan anak sekolah, yakni sebesar Rp 21.276 per kapita pada 2016. Dengan pengeluaran sebesar itu, kini posisi pulsa dalam masyarakat Indonesia bukan lagi kebutuhan tersier, melainkan kebutuhan sekunder-setelah terpenuhinya kebutuhan pokok.

Dalam sebuah rilis Kementerian Keuangan empat tahun lalu menyebutkan, membanjirnya ponsel di Indonesia mendorong tingginya konsumsi atau pembelian pulsa di masyarakat. Peningkatan jumlah kepemilikan telepon seluler terlihat paling tidak dalam dua tahun terakhir. Pada 2015, persentase kepemilikan mencapai 56,9%, sedangkan pada 2016 mencapai 58,3% atau sebanyak 137 juta jiwa.

Kalangan berumur 18-55 mendominasi kepemilikan telepon seluler. Sebanyak 76,2% diantaranya memiliki ponsel. Sedangkan usia di atas 55 tahun yang memiliki telepon seluler sebanyak 32,4% dan rentang usia 5-17 tahun sebanyak 32,1%.


Ilustrasi (Sumber: Google)
Dari 34 provinsi di Indonesia, kepemilikan telepon seluler terbanyak di DKI Jakarta (75,78%), Provinsi Kalimantan Timur (74,47%), Kepulauan Riau (73,77%), Kalimantan Utara (68,72%), Bali (65,19 %). (lihat kartogram warna skala merah).

Perputaran Uang Pulsa vs Daging 
Fenomena konsumsi pulsa jauh lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging ayam mendapat perhatian dari para pakar gizi. Pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto, menyebutkan, fenomena semacam ini sungguh miris. Kebutuhan asupan gizi dikalahkan oleh kebutuhan pulsa hanya untuk gaya hidup.


Yuny Erwanto
“Dapat dibayangkan dengan Rp 20 ribu daging, berarti kalau diasumsikan sebagai daging unggas atau ayam hanya sekitar 0,5 kg sebulan. Kalau diasumsikan dengan daging sapi malah prihatin lagi, 20 ribu hanya setara dengan 200 gram per bulan per kapita,” ujar Erwanto.

Dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini berpendapat, perputaran uang untuk biaya komunikasi, dalam hal ini pulsa, hanya akan berputar pada kurang dari 10 perusahaan besar saja. Sementara untuk konsumsi daging perputaran uangnya sangat luas, mulai dari petani jagung dan bahan pakan lain, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha restoran, usaha pemotongan hewan, beserta jalur pasar yang mereka lewati melibatkan banyak pelaku usaha.

“Artinya, kalau semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk daging akan mempunyai daya ungkit bagi usaha yang terlibat dan akan membuka lapangan kerja yang jauh lebih besar dibandingkan dengan uang yang berputar untuk biaya pulsa,” ungkapnya.

Erwanto tak sependapat dengan anggapan peningkatan daya beli pulsa masyarakat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Sederhananya, masyarakat mau makan pulsa atau makan daging yang akan meningkatkan produktivitas? Jadi tidak ada hubungannya antara biaya pulsa yang tinggi dengan tingkat kesejahteraan.

Menurutnya, kalangan yang menggunakan telepon atau data internet dalam rentang yang panjang dan kadang tidak terkontrol dapat terjadi pada semua segmen ekonomi. Bahkan, sampai yang tidak punya uang sekalipun, bila ada kesempatan mereka kadang akan menggunakan pulsa dan data tanpa kendali. “Pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan budaya kita memang lebih suka ngobrol dan kurang produktif,” ucapnya.

Melihat kondisi di atas, lanjut dia, idealnya adalah seluruh komponen bangsa melakukan rekonstruksi ulang dan perubahan tata nilai, serta memulai sesuatu dengan budaya literasi atau pengetahuan yang semakin diperkuat. Selama pengetahuan masyarakat tidak dibimbing kepada faktor pemahaman yang lebih mendasar, maka mereka akan terjebak pada pragmatis, serta budaya melihat dan berbicara, bukan budaya berpikir dan membaca. “Kalau budaya berpikir, membaca dan berdiskusi semakin meningkat, maka perlahan budaya ngobrol akan berkurang,” jelas dia.

Menurut pakar gizi ini, penyebab rendahnya konsumsi masyarakat terhadap daging ayam tidak sekadar karena faktor pengetahuan atau pemahaman. Kalau pengetahuan dan pemahaman lebih cenderung keseimbangan gizi yang sering tidak dipahami. Namun dalam kasus daging, faktor utamanya adalah pendapatan. Semakin maju negara, maka semakin meningkat konsumsi dagingnya.

Seperti diketahui, saat ini konsumsi Indonsesia untuk total daging sekitar 10 kg, Malaysia sekitar 50 kg dan negara maju sekitar 100 kg per kapita per tahun. Secara karakter makanan yang lebih bercita rasa akan dihargai lebih tinggi, karena manusia membutuhkan lebih dibanding yang kurang bercita rasa. (Abdul Kholis)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer