Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Solusi Peternak Handal | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Seminar Nasional Bisnis Peternakan, 26 Nopember 2014

Sejak tahun 2005, ASOHI secara rutin menyelenggarakan Seminar Nasional Bisnis Perunggasan setiap akhir tahun. Tahun ini materi seminar akan diperluas, meliputi perunggasan dan bisnis peternakan lainnya. Seminar Nasional Bisnis Peternakan akan membahas Tema : ”Bisnis Peternakan di Era Pemerintahan Jokowi”

Seminar akan dilaksanakan pada Rabu, 26 Nopember 2014 jam 08.00-15.00 di Menara 165, Jl. TB Simatupang Kav. 1, Cilandak, Jakarta Selatan.

Akan hadir para pimpinan organisasi perunggasan dan peternakan yang akan menampilkan topik sesuai bidangnya, yaitu :
  1. Drs. Krissantono (Ketua Umum GPPU/Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas)
  2. Drh. Sudirman (Ketua Umum GPMT/Asosiasi Produsen Pakan Indonesia)
  3. Singgih Januratmoko SKH (Ketua Umum PINSAR Indonesia/Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia)
  4. Drh. Rakhmat Nuriyanto MBA (Ketua Umum ASOHI/Asosiasi Obat Hewan Indonesia.
  5. Ir. Teguh Boediyana (Ketua Umum  PPSKI/Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia)
  6. Dr. Ir. Suland Sinaga (Ketua Umum AMI/Asosiasi Monogastrik Indonesia).

Akan hadir juga pembicara tamu, Prof. Bustanul Arifin (Pakar Ekonomi Pertanian), untuk memberikan tentang Prediksi Pengembangan Pertanian di Era Pemerintahan Jokowi.

Biaya seminar Rp. 600.000,-/orang. Informasi selanjutnya hubungi ASOHI telp 021-70642812, 7829689, 78841279, atau SMS dengan Eka Hp. 081574756947, Aidah Hp. 081806597525. Konfirmasi Pendaftaran paling lambat hari Jum’at tanggal 24 Nopember 2014.

PENGEBALAN TERHADAP GUMBORO DENGAN VAKSIN YANG TIDAK MENIMBULKAN DAMPAK IMMUNOSUPRESI

Industri peternakan ayam ras yang cukup pesat perkembangannya di Indonesia, baik peternakan ayam petelur maupun pedaging, sampai saat ini masing cukup sulit untuk keluar dari masalah yang ditimbulkan oleh gangguan penyakit Gumboro, dimana penyakit tersebut secara ekonomis sangat merugikan, oleh karena gangguan pertumbuhan, inefesiensi pakan dan sejumlah besar kematian yang dapat ditimbulkan pada kelompok ayam yang terserang penyakit tersebut, serta meningkatnya biaya pemakaian obat-obatan dan disinfektan . Dampak lain yang tidak kalah pentingnya dari ayam yang pernah terserang Gumboro atau oleh karena pemakaian vaksin Gumboro yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain) berupa immunosupresi jangka panjang oleh karena terjadinya “deplesi” (kelainan) pada sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisiusnya.

Terjadinya dampak immunosupresi yang ditimbulkan oleh infeksi virus penyebab Gumboro atau oleh karena pemakaian vaksin Gumboro yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain), erat kaitannya dengan kelainan dan atau gangguan fungsi dari Bursa Fabrisius sebagai penghasil zat kebal tubuh. Adanya kelainan dan atau gangguan fungsi pada Bursa Fabrisius, menyebabkan kekebalan dari perlakuan vaksinasi yang diberikan pada tahap selanjutnya menjadi kurang optimal dan ayam relatif rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Penyakit Gumboro dan Dampak Immunosupresinya.

Bila virus Gumboro ganas (vv-IBD) asal lapangan menyerang ayam umur dibawah 3 (tiga) minggu, lebih banyak kecenderungannya akan timbul Gumboro bersifat subklinis, walaupun pada kasus tertentu dapat muncul dan diamati bentuk klinisnya. Pada kelompok ayam yang terinfeksi walaupun tidak menunjukkan gejala klinis, tetap berpotensi menimbulkan dampak immunosupresi, berupa kelainan dan atau gangguan fungsi dari organ limfoid primer seperti Bursa Fabrisius dan sel Thymus.

Kasus infeksi virus Gumboro ganas (vv-IBD) asal lapangan yang menyerang ayam umur diatas 3 (tiga) minggu kecenderungannya menampakkan gejala klinis yang sangat jelas, mulai dari adanya kelesuan dan ayam nampak menggigil, bulu berdiri dan cenderung bergerombol serta disertai adanya diare warna keputihan. Akibat diare, ayam menjadi dehidrasi, ayam nampak tremor dan sangat lemah sehingga berakhir dengan kematian.

Efek immunosupresi yang ditimbulkan, diawali dengan adanya infeksi virus vv-IBD yang secara langsung menginfeksi dan melakukan perbanyakan diri (depopulasi atau replikasi) pada Bursa Fabrisius dan Thymus sebagai organ target utamanya. Mekanisme terjadinya immunosupresi oleh karena infeksi virus Gumboro, kemungkinan besar terkait dengan adanya kematian sel-sel penghasil limfosit B, terutama yang terdapat pada Bursa Fabrisius.

Sel limfosit B merupakan salah satu calon pembentuk zat kebal tubuh. Adanya kerusakan sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius sebagai akibat infeksi virus penyebab Gumboro, mengakibatkan adanya penurunan jumlah produksi sel B oleh Bursa Fabrisius, yang selanjutnya akan berakibat pada terjadinya penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh dari perlakuan vaksinasi yang diberikan pada tahap selanjutnya. Atau karena adanya kerusakan folikel dari Bursa Fabrisius, menyebabkan kemampuan organ tersebut dalam menghasilkan zat kebal tubuh untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen lainnya menjadi kurang optimal, sehingga ayam menjadi peka dan mudah terserang berbagai macam penyakit.

Vaksinasi Gumboro dan Dampak Immunosupresinya

Pemakaian auto vaksin atau vaksin Gumboro dengan kandungan strain virus yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain) seringkali dapat menimbulkan terjadinya deplesi (kelainan) pada Bursa Fabrisius, sehingga berdampak pada berkurangnya kemampuan Bursa Fabrisius untuk memproduksi zat kebal tubuh. Bursa Fabrisius yang mengalami kelainan karena dampak dari pemakaian vaksin intermediate plus atau hot strain, menyebabkan ayam menjadi sensitif terhadap berbagai perlakuan manajemen dan stress serta infeksi agen penyakit lainnya. Adanya kelainan pada Bursa Fabrisius akan berdampak pada keberhasilan program vaksinasi terhadap penyakit yang lainnya (seperti terhadap ND, IB dll). Sehingga dapat berpengaruh pada performance ayam secara keseluruhan.

Pada ayam petelur dan breeder kurang dianjurkan pemakaian vaksin intermediate plus terlebih yang hot strain. Karena pemakaian vaksin Gumboro dengan kandungan virus vaksin jenis intermediate plus atau hot strain, dapat merusak sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius yang sedang pesat-pesatnya mengalami perkembangan untuk menghasilkan zat kebal tubuh (limfoblas  limfosit B  sel antibodi). Rusaknya sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius oleh virus vaksin yang cukup keras tersebut, akan menyebabkan berkurangnya kemampuan Bursa Fabrisius dalam menghasilkan zat kebal tubuh, sehingga respon terhadap jenis vaksinasi lainnya tidak bisa optimal dalam menghasilkan zat kebal tubuh (antibodi).

Pada ayam tipe petelur karena masa pemeliharaannya yang lebih lama dibandingkan dengan ayam pedaging, faktor dari Bursa Fabrisius sebagai organ limfoid primer memegang peranan sangat penting untuk menghasilkan zat kebal tubuh pada umur-umur awal dari perkembangan ayam, sampai pada akhirnya (umur 6 minggu keatas) peranan dari Bursa Fabrisius dalam menghasilkan zat kebal tubuh, diambil alih oleh organ limfoid sekunder (limpa, proventrikulus, sel-sel thymus, seca tonsil, sum-sum tulang) yang kian pesat perkembangannya.

Tanda – Tanda Immunosupresi Pada Ayam

1. Reaksi post vaksinasi meningkat, seperti setelah diberikan vaksinasi ND golongan La-Sota, nampak ayam bersin-bersin dan gejala gangguan sistem pernafasan lainnya.

2. Pada ayam yang mati bila dilakukan pembedahan, terlihat Atropi pada Bursa Fabrisius dan kebengkakan pada organ limfoid lainnya.

3. Ayam jadi mudah terserang penyakit, terutama penyakit yang menyebabkan gangguan produksi dan kematian yang tinggi.

4. Performance ayam secara keseluruhan menjadi suboptimal, seperti :

 Berat badan rendah dan pertumbuhan tidak merata

 Produksi telur cenderung berpluktuasi dan sulit mencapai puncak produksi

 Mortalitas cenderung tinggi bila terjadi infeksi penyakit

 Feed konversinya mengalami peningkatan


Kontrol dan Pencegahan Terhadap Gumboro

Sebagaimana halnya dengan kontrol dan pencegahanan terhadap penyakit lainnya pada peternakan ayam, kontrol dan pencegahan terhadap penyakit Gumboro juga harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi perbaikan semua aspek manajemen pemeliharaan ayam yang saling terkait satu sama lainnya.

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dan dilakukan guna mencegah dan melakukan kontrol serta meningkatkan daya tahan tubuh ayam terhadap serangan virus penyebab penyakit immunosupresi tersebut, diantaranya:

1. Menerapkan praktek manajemen yang baik, mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok ayam seperti udara yang kaya akan kandungan oksigennya, air yang berkualitas (bebas pencemaran logam berat dan mikroorganisme patogen serta pH-nya normal ; 6,5 – 7,2) dan Pakan yang berkualitas, dengan nilai gizi yang berimbang sesuai kebutuhan masing-masing tipe dan umur ayam.

2. Meningkatkan praktek sanitasi dan desinfeksi untuk menekan populasi dan keganasan virus penyebab Gumboro di lapangan.

3. Upayakan pemeliharaan ayam dengan system “ all in all out “ khususnya pada pemeliharaan ayam pedaging dan pada ayam petelur, sedapat mungkin pemeliharaanya dipisahkan dengan ayam remaja dengan jarak lokasi yang terpisah cukup jauh. Hal ini bertujuan mencegah penularan kedua penyakit tersebut dari ayam dewasa kepada ayam yang lebih muda.

4. Vaksinasi terhadap Gumboro dengan HIPRAGUMBORO-BPL2 atau HIPRAGUMBORO-I2 pada ayam induk, agar DOC yang dihasilkannya mempunyai kekebalan asal induk yang baik terhadap Gumboro. Tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi virus Gumboro asal lapangan pada 2 (dua) minggu pertama hidup anak ayam.

5. Vaksinasi dengan vaksin HIPRAGUMBORO-GM97 merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap infeski virus penyebab Gumboro ganas (vv-IBD).

Air minum
Diprogramkan pada daerah resiko tinggi terhadap vv-IBD.

Sesuaikan dengan level dan keseragaman maternal antibodi terhadap Gumboro yang dimiliki oleh anak ayam.



Adanya reaksi post vaksinasi yang dapat ditimbulkan dari pemakaian auto vaksin atau vaksin Gumboro dengan kandungan strain virus yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain), sudah tentu perlu dijadikan dasar pertimbangan dalam pelaksanaan dan pemilihan jenis vaksin Gumboro yang digunakan. Sebagai contohnya, vaksin Gumboro jenis “intermediate plus/hot strain” yang diberikan pada ayam umur muda (umur dibawah 12 hari), dapat menimbulkan deplesi pada sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius dan bersifat immunosupresi sebagai bentuk reaksi post vaksinasinya. Oleh karena itu dianjurkan pemakaian vaksin Gumboro, seperti HIPRAGUMBORO-GM97 yang aman terhadap Bursa Fabrisius dan organ limfoid lainnya, serta mampu menghasilkan kekebalan yang bersifat spesifik terhadap vv-IBD virus maupun virus IBD klasik.


Drh. Wayan Wiryawan
HIPRA –Spain
wayan@hipra.com

SINDROMA KERDIL KADANG MASIH USIL

Masih kerap terdengar bila kita melakukan kunjungan lapangan ke peternak – peternak ayam pedaging (broiler), adanya keluhan mengenai ketidak – seragaman ayam yang dipeliharanya. Menurut penuturan mereka, pada saat doc tiba kondisinya terlihat seragam, tetapi setelah ayam mulai menginjak usia di atas 14 hari, baru terlihat adanya ayam yang terlambat pertumbuhannya.

Pertumbuhan yang tidak seragam pada ayam broiler memang banyak penyebabnya seperti :
1. Doc berasal dari Bibit Muda atau Bibit Tua Sekali
2. Multi strain dalam satu flock / kandang
3. Kurang tempat pakan dan tempat minum
4. Kepadatan ayam di kandang yang terlalu tinggi
5. Penyakit infectious seperti Coccidiosis
6. Sindroma Kekerdilan pada Broiler ( Runting and Stunting Syndrome )

Pada umumnya para peternak berpendapat bahwa beberapa penyebab yang menyebabkan ayamnya tidak seragam seperti karena doc, multistrain dalam satu kandang, kurang peralatan makan dan minum, kepadatan ayam dalam kandang dan penyakit coccidiosis, mereka sudah dapat mengatasinya di lapangan. Tetapi untuk sindroma kekerdilan atau runting and stunting syndrome, para peternak masih meraba-raba penyebabnya, karena kejadian di lapangan kadang ada dan kadang tidak ada / hilang dengan sendirinya.

Sindroma Kekerdilan pada Broiler mempunyai berbagai ragam nama lain seperti :

√ Malabsorption Syndrome
√ Stunting Syndrome
√ Reovirus Malabsorption
√ Pale Bird Syndrome
√ Helicopter Disease
√ Brittle – bone Disease

Apa itu sindroma kekerdilan pada broiler ? dan apa saja penyebabnya ?

Sindroma kekerdilan didefinisikan sebagai : Sekelompok ayam (umumnya terjadi 5-40% populasi ) yang mengalami laju pertumbuhan yang kurang pada kisaran usia 4-14 hari. Dimana setelah pada awalnya pertumbuhan tertekan, kemudian kembali normal, tetapi tetap lebih kecil dari yang normal. (Nick Dorko, 1997).

Bila kondisi di atas dialami peternak broiler maka beberapa kerugian sudah nampak di depan mata seperti : tingginya ayam culling; tingginya fcr; rataan berat badan di bawah standar; berat badan yang sangat bervariasi, hal mana akan menjadi masalah bila ada kontrak dengan “slaughter house” / rumah potong ayam; masalah dengan penjualan karena banyaknya ayam yang kecil.

Pertanyaannya adalah apakah kejadian kekerdilan pada broiler ini hanya merupakan sindroma saja ataukah merupakan penyakit yang sangat banyak penyebabnya ? / Multifactorial Causative Disease ?
Beberapa ahli penyakit ayam menyatakan bahwa runting and stunting syndrome terdiri atas tiga bentuk yaitu Enteritic; Pancreatic dan Proventricular (yang mana hal tersebut lebih didasarkan kepada organ yang diserangnya), yang paling penting sindroma kekerdilan ini merupakan sindroma penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor.

PENYEBAB SINDROMA KEKERDILAN
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya yaitu :
• Penyebab berasal dari Pembibitan
• Penyebab berasal dari Penetasan / Hatchery
• Penyebab berasal dari Manajemen Produksi
• Penyebab berasal dari Pakan / Nutrisi
• Penyebab berasal dari Lingkungan
• Penyebab berasal Penyakit

1. Penyebab berasal dari Pembibitan
Beberapa hal yang berasal dari Pembibitan yang dapat menyebabkan doc yang dihasilkan mengalami sindroma kekerdilan antara lain :
 Telur tetas kecil (telur tetas yang berasal dari usia induk <> 30 % populasi dengan kategori BENCANA / MALAPETAKA

Biasanya terlihat pada usia 2 minggu :
 Bulu sekitar kepala dan leher tetap “ Yellow Heads”
 Bulu primer sayap patah / dislokasi “ Helicopter Birds “ / “ Stress Banding”
 Tulang kering / betis berwarna pucat
 Jika diperiksa kotorannya masih utuh / makanan hanya lewat saja

PATOLOGI ANATOMI
 Perubahan terutama terjadi pada usus seperti : pucat, tipis, berisi material cair sampai berlendir
 Kadang ada radang proventriculus
 Ada degenerasi pada pancreas
 Makanan pada usus bagian belakang masih utuh

PENGENDALIAN PENYAKIT
1. Pembibitan
 Induk harus dapat memberikan bekal maternal antibodi yang tinggi
 Hindari terinfeksi dengan Salmonella enteriditis
 Perbesar telur tetas dengan cara tunda awal produksi dini (pengaturan lighting), berat badan betina harus masuk berat standar, kebutuhan Kcal / protein / ayam terpenuhi. Tambahkan protein / asam amino pada pakan periode petelur dengan Methionine / Cysteine

2. Hatchery
 Hindari menetaskan telur tetas yang kecil
 Perpendek waktu koleksi telur tetas
 Jangan menetaskan telur tetas yang berbeda usia / ukuran dalam satu mesin
 Percepat proses seleksi doc dan secepatnya didistribusikan
 Pergunakan alat pengangkut doc dari hatchery sampai peternak dengan alat angkut yang representatif, terutama lengkapi dengan “Ventilator”

3. Farm Broiler
 Laksanakan proses biosecurity dengan baik dan benar, agar farm dapat seoptimal mungkin terbebas dari serangan infeksi penyakit pemicu terjadinya kekerdilan
 Penggunaan desinfektan yang mengandung antiviral seperti GLUTAMAS dan SEPTOCID sangat dianjurkan
 Usahakan satu unit farm diisi oleh ayam yang satu usia, karena jika ada serangan kekerdilan ayam yang ber-usia paling muda yang paling parah terkena infeksi
 Jika mendapat doc kecil / bibit muda / doc berasal dari telur tetas kecil, maka tatalaksana brooding harus sempurna; berikan pada minumnya multivitamin yang mengandung vitamin A, D dan E seperti VITAMAS; perhatian difokuskan kepada suhu sekitar brooding; pemberian pakan yang intensif dan mudah dijangkau ayam, demikian juga dengan air minum harus selalu tersedia dalam keadaan segar
 Bila kekerdilan sudah menyerang ayam di kandang, maka lakukan langkah :

1. Ayam yang hanya mencapai 40% dari berat badan standar dipisahkan / diculling
2. Lakukan desinfeksi area kandang secara rutin dengan GLUTAMAS atau SEPTOCID, dosis berikan sesuai petunjuk pembuatnya
3. Ayam yang ber-berat badan > 40% dari berat badan standar dan Normal berikan minum yang mengandung MASABRO atau HYPRAMIN – B, sesuai petunjuk pembuatnya
4. Pakan sebaiknya tetap menggunakan pakan starter sampai panen
5. Sebaiknya ayam di panen pada berat 1.0 – 1.2 kg saja

 Periksakan pakan secara periodik untuk kontrol kandungan mycotoxin
 Pastikan pakan kandungan bahan bakunya seimbang dan sesuai dengan peruntukan usia ayam


Drh Arief Hidayat
Technical Department
PT. Mensana Aneka Satwa

SWOLLEN HEAD SYNDROME (SHS)

SWOLLEN HEAD SYNDROME (SHS)
SALAH SATU PENYAKIT IMMUNOSUPRESI
PEMICU TIMBULNYA GANGGUAN PERNAFASAN KOMPLEKS
PADA AYAM


Kejadian penyakit pernafasan, baik bersifat ringan atau cukup berat hampir selalu terjadi pada setiap periode pemeliharaan ayam. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, dan dari banyak faktor yang ada tersebut, kebanyakan disebabkan oleh masih lemahnya paraktek manajemen dan upaya pengamanan biologis ditingkat peternak. Daya dukung lingkungan peternakan yang kurang memadai, menjadi salah satu faktor pendukung mudahnya ayam terinfeksi agen penyakit pernafasan tertentu yang bersifat immunosupresi, dimana penyakit pernafasan yang bersifat immunosupresi tersebut dapat memicu timbulnya infeksi penyakit pernafasan lain, sehingga gangguan pernafasan pada ayam yang terinfeksi cenderung menjadi lebih kompleks.
Salah satu penyakit dengan gejala kebengkaan pada kepala ayam, yang sering diistilahkan dengan “Swollen Head syndrome”, merupakan salah satu penyakit pernafasan yang disebabkan oleh virus jenis “Avian pneumovirus”. Pada dasarnya infeksi dari virus itu sendiri tidak menimbulkan adanya gejala kebengkaan pada daerah kepala dari ayam yang terinfeksi, akan tetapi adanya kebengkaan pada daerah kepala ayam yang terinfeksi, disebabkan oleh adanya infeksi sekunder dari kuman lain, seperti; Pasteurella, E.coli, Mycoplasma atau Haemophillus. Penyakit SHS sendiri digolongkan kedalam salah satu penyakit penyebab immunosupresi (lokal immunosupresi).
Pola kejadian penyakit SHS di lapangan kebanyakan bersifat musiman dan selalu muncul pada lokasi peternakan ayam dengan kondisi manajemen dan sistem pemeliharaanya yang kurang memadai. Belakangan ini kejadian penyakit SHS di lapangan, baik pada peternakan komersial broiler maupun layer serta pada beberapa breeding farm, mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Data mengenai kecenderungan meningkatnya kejadian SHS belakangan ini di lapangan, dapat penulis peroleh dari banyaknya laporan para “technical service” (TS), disamping juga pengamatan langsung di lapangan, serta didukung dengan data hasil pemeriksaan serologis terhadap SHS pada kelompok ayam dari lokasi peternakan yang tidak pernah divaksinasi terhadap SHS sebelumnya. Dimana hampir pada sebagian besar peternakan ayam yang diperiksakan titer antibodinya, sering mengeluhkan adanya gangguan penyakit pernafasan dan adanya sejumlah kegagalan vaksinasi terhadap Coryza yang sudah diberikan pada ayamnya (pada layer maupun beberapa pada breeder).
Meningkatnya kejadian SHS di lapangan, tidak terlepas dari masih lemahnya praktek manajemen, pengamanan biologis yang dijalankan peternak dan pola pemeliharaan ayam dengan banyak variasi umur dalam satu lokasi peternakan, serta kebanyakan peternak belum merasa perlu untuk melakukan vaksinasi terhadap SHS pada ayam yang dipeliharanya. Berkaitan dengan tidak diprogramkannya vaksinasi SHS oleh sebagian besar peternak, disebabkan masih adanya anggapan dari sebagian besar peternak, bahwa penyakit SHS tersebut merupakan penyakit yang bersifat musiman, tidak terlalu ganas dan tidak menimbulkan kematian yang tinggi, serta kurangnya pemahaman peternak, bahwa penyakit SHS dapat menjadi pemicu infeksi agen penyakit pernafasan lainnya.

Gejala klinis dan lesi-lesi dari ayam yang terserang SHS

Pada ayam broiler penyakit ini umumnya menyerang dan sering ditemukan pada umur antara 2 – 6 minggu. Faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya SHS lebih banyak disebabkan oleh daya dukung lingkungan peternakan yang kurang memadai, seperti sirkulasi udara yang kurang baik, kepadatan ayam cukup tinggi dan kandang yang pengap, serta tingginya kadar ammonia dalam kandang.
Gejala awal dari ayam yang terserang penyakit pernafasan secara umum hampir sama, yakni mulai dari adanya kelesuan, menurunnya tingkat konsumsi pakan, serta adanya gejala bersin-bersin dan mata berair. Namun ada gejala yang bersifat khas untuk ayam yang terserang SHS yakni adanya kebengkaan kelenjar air mata dan bila disertai adanya infeksi sekunder oleh kuman E.coli atau kuman lainnya dapat menyebabkan terjadinya “oedema subcutan” pada daerah kepala bagian atas sampai pada daerah 1/3 leher bagian atas. Kebengkakan biasanya mulai dari daerah sekitar kelopak mata bagian atas, kepala bagian atas, kemudian berlanjut ke jaringan “intermandibular” dan pial. Mata dari ayam yang menunjukkan kebengkaan di daerah fascialnya hampir tertutup, dengan pupil nampak mengalami dilatasi, sehingga nampak seperti melotot. Terkadang disertai adanya leleran pada mata dan hidung, bila diikuti oleh infeksi sekunder dari kuman penyebab penyakit Coryza atau CRD.
Pada ayam yang kepalanya bengkak tersebut, sering nampak lesu dengan meletakan kepalanya di lantai kandang, sehingga akan memperparah keadaanya. Pada ayam broiler, bila murni terinfeksi virus penyebab SHS kematiannya tergolong rendah berkisar antara 1 - 5%, kematian yang lebih tinggi dapat terjadi bila diikuti infeksi sekunder oleh kuman seperti E. coli atau Mycoplasma serta kuman atau virus yang bersifat ganas lainnya.
Pada ayam broiler yang terserang SHS, dapat menyebabkan terjadinya stagnasi dari penambahan bobot badannya. Bahkan pada kondisi yang sangat parah dapat menyebabkan terjadinya penyusutan bobot badan dibandingkan dengan berat badan sebelum terjadinya serangan. Pada ayam petelur, kebanyakan menyerang pada ayam pullet menjelang produksi atau ayam masa puncak produksi. Kematian dari ayam yang terserang SHS pada ayam tipe petelur sangat rendah, berkisar 0,1% - 0,5%, namun kerugian ekonomis yang cukup tinggi disebabkan oleh adanya gangguan produksi telur antara 5 – 30%, tergantung ada atau tidaknya infeksi sekunder serta daya dukung lingkungan peternakan.
Sesuai dengan target infeksi dari virus penyebab SHS, sangat terbatas jaringan atau organ tubuh ayam yang dapat diamati mengalami perubahan atau lesi-lesi. Bagian yang mengalami lesi sebagian terbesar ditemukan pada sistem pernafasan bagian atas dan daerah sekitar kepala bagian atas. Pada daerah kepala yang mengalami kebengkaan, ditemukan adanya “oedema” dan peradangan pada jaringan “subcutan” serta adanya timbunan eksudat mukus sampai mukopurulen, tergantung jenis kuman yang menjadi agen infeksi sekundernya. Pada bawah kulit kepala bagian belakang atau disekitar “kranium”, sering ditemukan adanya peradangan dan timbunan eksudat mukopurulen.

SHS salah satu pemicu timbulnya gangguan penyakit pernafasan

Swollen Head Syndrome sebagai salah satu penyakit pernafasan yang bersifat infeksius, dapat memicu timbulnya infeksi sekunder dari agen penyakit pernafasan lain, sehingga gangguan pernafasan yang timbul pada ayam yang terinfeksi SHS tersebut menjadi lebih kompleks. Hal ini dapat terjadi didasarkan atas sifat immunosupresi dan stress yang ditimbulkan oleh infeksi virus penyebab SHS tersebut. Penyakit SHS dinyatakan bersifat immunosupresi, karena infeksi yang ditimbulkan pada saluran pernafasan bagian atas, menyebabkan juga terjadinya kerusakan pada sistem dan kelenjar pertahanan lokal yang ada dalam saluran pernafasan bagian atas tersebut. Sehingga dengan adanya kelainan pada sistem pertahanan lokalnya tersebut, pada saat yang bersamaan akan memicu kuman lain yang ada dalam tubuh ayam mudah menjadi ganas dan menimbulkan infeksi serta kerusakan jaringan yang lebih luas dan parah. Dengan adanya infeksi sekunder pada ayam yang terinfeksi virus penyebab SHS tersebut dapat terlihat adanya gejala gangguan pernafasan yang lebih kompleks serta seringkali dibarengi dengan adanya gejala kebengkaan pada kepalanya.
Kelompok ayam yang sebelumnya tidak pernah diberikan vaksinasi terhadap SHS, dimana dari hasil pemeriksaan secara serologis terdeteksi adanya titer antibodi terhadap SHS serta didukung dengan adanya gejala klinis yang dapat diamati, seringkali pada kelompok ayam yang terinfeksi virus SHS tersebut, diikuti oleh adanya infeksi penyakit pernafasan lain, seperti CRD, Kolibasilosis atau Coryza.
Adanya infeksi sekunder menyebabkan ayam mengalami gangguan pernafasan yang lebih kompleks. Sehingga seringkali upaya pengobatan yang dilakukan di lapangan tidak membuahkan hasil memuaskan. Sebagai contoh yang sering dialami oleh peternak, bila ayamnya terserang SHS dimana terkomplikasi dengan Kolibasilosis, setelah dilakukan pengobatan ayam tersebut nampak sembuh, namun selang beberapa lama gejala yang sama kambuh kembali. Hal ini dapat terjadi, karena obat atau antibiotika yang diberikan sebagai pengobatannya, hanya menyembuhkan terhadap infeksi kuman penyebab Kolibasilosisnya saja, bukan terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus penyebab SHS-nya. Sehinga seringkali kesan yang timbul pada para peternak, menyatakan obat yang digunakan untuk pengobatan terhadap SHS kualitasnya kurang baik.
Dari ayam yang terinfeksi virus SHS, problem gangguan pernafasannya menjadi lebih kompleks dan cenderung jadi lebih parah serta sulit diatasi, bila pada saat bersamaan kondisi lingkungan peternakannya kurang mendukung, seperti kepadatan ayam dalam kandang cukup tinggi, kandang yang lembab dan pengap, atau sangat berdebu, sirkulasi udara yang kurang baik serta tingginya kadar ammonia dalam kandang.
Pada beberapa lokasi sentra peternakan ayam petelur, cukup banyak peternak melaporkan dan mengeluhkan terjadinya kebocoran vaksinasi terhadap Coryza yang telah dilakukannya. Dimana kebanyakan dari mereka menduga vaksin Coryza yang diberikan pada ayamnya sudah tidak protektif lagi. Sehingga kebanyakan dari mereka mencoba beralih menggunakan vaksin Coryza merk lain dari yang biasanya mereka sering pakai, bahkan mereka juga mencoba menggunakan vaksin Coryza dengan kandungan antigen-nya lebih lengkap, yakni mengandung 3 jenis antigen (serotipe A, B dan C), namun kenyataan yang dialaminya masih saja ditemukan adanya kebocoran terhadap Coryza dari vaksinasi yang telah dilakukannya tersebut.
Kasus SHS yang terjadi pada peternakan ayam petelur tersebut disinyalir sebagai pemicu terjadinya kegagalan vaksinasi terhadap Coryza yang telah dilakukan oleh peternak. Hal ini didukung dengan data hasil pemeriksaan kasus di lapangan dan hasil pemeriksaan serologis terhadap kelompok ayam yang mengalami kebocoran dari vaksinasi terhadap Coryza. Dimana kelompok ayam yang mengalami kegagalan vaksinasi terhadap Coryza tersebut, sebelumnya tidak pernah dilakukan vaksinasi terhadap SHS, akan tetapi dari hasil pemeriksaan serologisnya terkandung titer antibodi terhadap SHS pada serum darahnya.

Penanggulangan SHS di Lapangan.

Untuk menghindari ancaman atau gangguan terhadap penyakit apapun, pertahanan yang paling utama adalah dengan menjalankan praktek manajemen yang baik dibarengi dengan upaya sanitasi dan desinfeksi serta pengamanan biologis lainnya secara ketat, disamping juga memberikan program kesehatan dan vaksinasi secara memadai pada ayam yang dipelihara, tentunya disesuaikan dengan tingkat tantangan kuman atau virus penyakit yang ada dimasing-masing lokasi peternakan. Sanitasi dan desinfeksi dengan GLUTAMAS atau BIODES-100 sangat penting untuk dilakukan dan sedapat mungkin dilakukan secara lebih ketat guna mengurangi atau menekan tingkat keganasan agen penyakit yang ada di lapangan.
Untuk ayam broiler yang dipelihara pada daerah resiko tinggi dan sering terjadi infeksi virus SHS perlu dipertimbangkan untuk diprogramkan vaksinasinya. Pada ayam broiler umumnya diberikan vaksin aktif dengan vaksin HIPRAVIAR-SHS pada umur antara 4 – 14 hari, tergantung situasi dan kondisi lingkungan di masing-masing peternakan. Vaksinasi pada ayam petelur dengan HIPRAVIAR-SHS diberikan pada umur 8 – 12 minggu dan diulangi pada umur 17 - 18 minggu. Untuk ayam breeder, vaksinasi dengan HIPRAVIAR-SHS pada umur 8 – 12 minggu dan diulangi dengan pemberian vaksin HIPRAVIAR-TRT4 pada umur 16 – 18 minggu atau 4 minggu sebelum periode awal produksi.
Pengobatan terhadap SHS pada ayam yang terinfeksi, lebih ditujukan untuk mencegah dan sekaligus mengobati terjadinya infeksi bakterial seperti oleh E. coli, Pasteurell, Haemophilus atau Mycoplasma. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika seperti HIPRALONA-ENRO S atau HIPRALONA-NOR S. Suportive therapy dengan pemberian multivitamin + asam amino konsentrasi tinggi seperti HIPRACHOCK-AMINO, lebih ditujukan untuk mempercepat proses kesembuhannya.
Untuk mencegah infeksi sekunder yang lebih parah oleh kuman E. coli yang sering mengikuti infeksi virus penyebab SHS, disamping pemberian antibiotika seperti HIPRALONA-FLU S atau HIPRALONA-ENRO S sebagai pengobatan saat ayam terserang SHS, faktor kualitas air juga sangat perlu untuk diperhatikan. Air merupakan media yang sangat baik untuk berkembangbiak dan sekaligus penularan kuman E. coli, oleh karena itu sangat perlu untuk diperhatikan dan dilakukan sterilisasi, salah satunya dengan cara klorinasi untuk membunuh kuman E. coli maupun agen penyakit lainnya yang ada dalam air tersebut.



Drh. Wayan Wiryawan
HIPRA – Spain
wayan@hipra.com

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer