Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Sapi Sawit | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

RAKORNAS GAPENSISKA : PERKOKOH KONTINUITAS SISKA SECARA NASIONAL

Rakornas GAPENSISKA : Fokus Menyukseskan Program SISKA ke Seluruh Indonesia
(Sumber : Istimewa)

Kamis, 21 Maret 2024 yang lalu berlokasi di IPB International Convention Center Bogor, Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sawit-Sapi (GAPENSISKA, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan dukungan SISKA Supporting Program(SSP-IARMCP) mengelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas). Topik yang dibahas yakni mengenai pengembangan SISKA meliputi kebijakan dan strategi pengembangan, potensi investasi (IPRO), dan pedoman teknis implementasinya.

Wahyu Darsono selakuTeam Leader SISKA Supporting Program (SSP), Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISKA) memegang peranan strategis dalam mengembangkan sektor perkebunan dan peternakan di Indonesia serta mendukung Rencana Aksi Nasional Kebun Sawit Berkelanjutan (RAN KSB).

“Hingga saat ini SISKA Supporting Program telah mendukung pengembangan SISKA di Kalimantan Selatan (26 Klaster SISKA KU INTIP) Kalimantan Barat (13 Klaster SISKA MEMBARA), Kalimantan Timur (9 Klaster SISKA NUSANTARA), dan Riau (7 Klaster SISKA MANDIRI) agar terus berjalan berkelanjutan dan berorientasi secara komersial,” kata Wahyu saat pembukaan Rakernas.

Menurutnya, tujuan utama SISKA (Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit) adalah untuk mengintegrasikan budidaya sapi dengan perkebunan kelapa sawit. Dengan program ini, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung perkebunan sawit berkelanjutan.

“Sayang, implementasi SISKA ini masih terbatas di beberapa daerah dan belum merata di seluruh Indonesia. Padahal, potensi SISKA sangat besar mengingat luasnya lahan perkebunan kelapa sawit dan jumlah populasi sapi di Indonesia,” katanya.

Untuk itu, lanjut Wahyu, perlu ada strategi untuk mempercepat perluasan implementasi SISKA agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi petani, lingkungan, dan perekonomian yang sejalan dengan prinsip-prinsip perkebunan sawit berkelanjutan.

Wahyu menjelaskan, SISKA mendorong implementasi integrasi sawit sapi, mendorong kapasitas dan penyiapan pelaku integritas sawit sapi. Kemudian mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menentukan kebijakan integritas sawit sapi yang ada di daerah, salah satunya pada Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Untuk mendorong keberlangsungan SISKA, sejak tahun 2021, pihaknya membentuk SISKA Supporting Program (SPP) untuk mendukung pemerintah provinsi di empat provinsi untuk mengembangkan sektor SISKA mereka sendiri.

“Hingga saat ini, SSP telah mendukung pengembangan klaster SISKA di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Riau, yang mendukung mata pencaharian peternak,” kata Wahyu.

Pendahulu SSP, program Indonesia Australia Commercial Cattle Breeding Program (2016-2021), membuktikan bahwa model SISKA layak secara komersial, dan sebagai hasilnya mampu menawarkan peluang untuk memperluas pembiakan sapi di area perkebunan kelapa sawit yang sesuai. Kelapa sawit saat ini mencakup 16 juta hektar lahan di Indonesia, sehingga peluang pertumbuhan SISKA sangat besar.

Dalam mendorong perluasan SISKA, SSP berfokus pada dukungan pembentukan kemitraan atau klaster SISKA, pengembangan kapasitas untuk mengembangkan tenaga kerja SISKA, dan mendorong kemitraan sektor swasta dan publik melalui advokasi oleh Gabungan Pelaku dan Pemerhati SISKA (GAPENSISKA).

Menurut wahyu, dari sisi peningkatan produksi sawit, dampaknya kebun sawit dapat memanfaatkan bahan organik (kotoran sapi, pelepah sawit, tandan buah kosong) sebagai kompos, baik sebagai pupuk maupun pembenah tanah.

Dengan memelihara sapi di kebun sawit dapat mengendalikan gulma, karena gulma bisa menjadi pakan ternak. Sedangkan dampak terhadap lingkungan adalah, berkurangnya penggunaan pupuk kimia non organik, berkurangnya residu herbisida dan berkurangnya limbah yang menjadi sumber penyakit tanaman. Penggunaan pupuk kimia juga berkurang dan meningkatkan absorsi pupuk kimia.

Sedangkan dampak terhadap pengembangan ternak sapi adalah ketersediaan lahan dan pakan untuk pengembangan sapi. Bahkan bisa didorong dalam pengembangan industri pakan. Dampak lainnya adalah meningkatnya jumlah pengelola sapi dan meningkatnya populasi sapi yang berkualitas.

“Keuntungan lain dari intergrasi sawit-sapi adalah bisa meningkatkan pendapatan petani. Petani mendapat tambahan pendapatan dari hasil menjual bahan organik (kotoran sapi dan kompos). Pengurangan penggunaan herbisida juga mengurangi tenaga kerja untuk pengendalian gulma, sehingga pengeluaran petani pun berkurang,” katanya.

Prof Ali Agus, Staf Ahli Menteri Bidang Hilirisasi Kementerian Pertanian menambahkan, perkebunan sawit bisa menjadi lokomotif dalam mendukung ketahanan pangan. Luas kebun sawit yang mencapai 16 juta hektare (ha) memiliki potensi yang besar dalam menyediakan pangan berupa daging sapi bagi bangsa Indonesia.

“Perkebunan sawit berpotensi menjadi lokomotif penyediaan pangan bagi masyarakat luas. Dengan luas 16 juta ha, perkebunan sawit bisa diintetegrasikan dengan peternakan sapi dan tanaman pangan untuk mendukung swasembada daging dan pangan,” kata Ali Agus.

Ali Agus menambahkan, pemenuhan atau swasembada pangan hingga saat ini masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah sulitnya pengadaan lahan. Adanya lahan sawit dengan kerapatan tanaman yang cukup lebar bisa diberdayakan dengan berbagai tanaman untuk pakan sapi dan sebagai ladang pengembalaan yang bagus.

“Perkebunan sawit dengan jarak tanam yang luas bisa menjadi altenatif lahan untuk pemenuhan pakan ternak dan tanman pangan,” jelasnya.

Dukungan Penuh Dari Pemerintah

Pemerintah yang dalam hal ini diwakili Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah menegaskan, bahwasanya mereka sangat mendukung penuh program Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (SISKA yang mengintegrasikan ternak sapi dengan tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit dengan konsep menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak tanpa mengurangi aktivitas dan produktivitas tanaman.

“Sistem usaha integrasi sapi sawit ini akan memberikan tambahan keuntungan bagi perusahaan dan juga berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan peternak di sekitar perkebunan atau pekebun binaan/plasma. Karena peternak dapat memanfaatkan hasil samping perkebunan untuk pakan ternak. Selanjutnya, perusahaan sawit dapat memanfaatkan kotoran ternak untuk pupuk tanaman,” paparnya.

Namun, lanjutnya, masih sedikit perusahaan yang belum menerapkannya. Menurutnya, banyak pengusaha sawit yang belum mengetahui keuntungan yang bisa didapatkan dengan mengikuti program SISKA.

Nasrulah berharap program SISKA bisa masuk dalam Undang-Undang (UU) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang akan direvisi oleh DPR sehingga tak perlu lagi membuat regulasi baru.

“Kalau masuk UU tentu lebih kuat dan lebih mudah dalam sosialisasi dan implementasinya,” kata Nasrullah.

Menurut Nasrullah, kebutuhan pangan setiap tahun terus meningkat, terutama beras dan daging sapi sebagai sumber protein hewani. Namun, penyediaan daging sapi masih banyak kendala, diantaranya ketersediaan sapi bakalan. Apalagi, saat ini sistem pemeliharaan sapi di Indonesia, didominasi oleh peternakan rakyat dengan pola usaha semi intensif dan intesif dengan rata-rata kepemilikan 2 (dua) ekor per peternak.

“Selain itu, masih sedikit lahan khusus bagi usaha peternakan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem usaha pembiakan sebagai penghasil sapi bakalan di negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Brazil dan Argentina yang memiliki lahan penggembalaan yang luas,” kata Nasrullah.

Di sisi lain, lanjutnya, Indonesia memiliki perkebunan sawit yang luasnya mencapai 16,38 juta Ha. Dengan luas perkebunan kelapa sawit tersebut, terdapat potensi lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai padang penggembalaan (ranch) maupun sumber pakan untuk pengembangan ternak sapi. Anggap saja jika 1 ekor sapi membutuhkan 2 Ha lahan perkebunan sawit, maka misalnya diambil 20% saja dari total area kebun sawit tersebut, akan dapat dikembangkan lebih kurang 1,6 juta ekor sapi.

“Saya telah melihat sendiri pengembangan sawit sapi ternyata mampu menghasilkan ternak yang berkualitas bagus, dan tidak merusak kebun sawit. Bahkan usaha integrasi sawit-sapi dapat berkontribusi positif bagi pengembangan perkebunan berkelanjutan dan memberikan citra positif bagi komoditas kelapa sawit Indonesia yang saat ini mengalami kampanye hitam (black campaign) dalam tataran global,” jelasnya.

Dia menjelaskan, melalui sistem integrasi sawit-sapi, penggunaan herbisida kimia dan pupuk anorganik dapat dikurangi, sehingga mengurangi biaya produksi dan menjadikan sistem pertanian yang ramah lingkungan.

“Selain itu sistem integrasi sawit-sapi dapat menjadi alternatif sumber pendapatan saat dilakukan replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Nasrullah mengapresiasi kinerja Siska Supporting Program (SSP), yang telah mendorong upaya perluasan implementasi SISKA sebagai upaya percepatan swasembada daging sapi. Dengan terus melakukan perluasan model SISKA pola inti plasma terus dilakukan di luar Kalsel, yaitu Kaltim, Kalbar, dan Riau atas komitmen dan inisiatif pemprov setempat. Diharapkan program model seperti ini dapat menjadi role model dan direplikasi oleh provinsi yang lain.

“Komitmen dan dukungan dari berbagai pihak terus berdatangan untuk mendukung suksesnya program ini, baik dari Pemerintah Provinsi, CSR perusahaan, hingga perbankan. Dukungan yang diberikan berupa modal fisik, seperti alat pagar listrik (electric fence), mesin chopper, portable feed bunk, portable yard, hingga penanaman HPT serta pendampingan teknis dari Siska Supporting Program Indonesia,” jelasnya.

Menurut Nasrulah,  pihaknya juga perusahaan yang telah mengembangkan integrasi sawit sapi ini termasuk memberikan fasilitasi berupa CSR bahkan bersedia menjadi avalis KUR sehingga dapat memberikan peluang pengembangan usaha bagi pekebun/peternak untuk menaikkan skala usaha. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pihak yang telah mendukung integrasi sawit sapi termasuk pihak bank, akademisi, asosiasi dan pemerhati sawit sapi dan tak lupa para pekebun-peternak.

“Saya mengimbau para pemilik perusahaan perkebunan sawit yang belum melaksanakan integrasi sawit sapi, untuk segera bergabung dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional dan mewujudkan perkebunan berkelanjutan,” pungkasnya. (CR)

FKH UNAIR DUKUNG PETERNAKAN INTEGRASI SAPI SAWIT DI KALBAR

Kadisbunnak Kalbar, Heronimus Hero saat melihat Langsung Kegiatan Pelatihan Pengolahan Pakan Ternak dan Penanganan Gangguan Reproduksi Sapi. 
(Sumber : Antara)

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga mendukung program peternakan terintegrasi sapi sawit di Kalbar sebagaimana yang tengah digalakkan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalbar.

"Luasnya perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalbar memberikan peluang yang besar untuk peningkatan populasi ternak sapi. Kami tertarik akan hal itu terutama dalam mendukung program pengembangan dan peningkatan produksi peternakan sapi yang terintegrasi sawit di Kalbar yang saat ini sedang gencar dilakukan," ujar Tim Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Universitas Airlangga Dr. Nanik Hidayatik di Pontianak, Sabtu (22/7).

Ia menjelaskan dengan potensi luas lahan sawit dan pihak yang melibatkan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalbar menghadirkan pelatihan pengolahan pakan ternak dan penanganan gangguan reproduksi di daerah peternakan sapi terintegrasi kelapa sawit di Kalbar.

Materi yang diberikan yaitu penyuluhan dan pelatihan pembuatan pakan berupa silase, Urea molases blok atau UMB dan penanganan gangguan reproduksi. Beberapa gangguan reproduksi dapat terjadi karena kurangnya asupan nutrisi pada ternak. Misalnya hipofungsi ovarium.

Pakan perlu mengandung gizi yang mencukupi untuk kebutuhan hidup dan produksi suatu ternak. Seekor sapi membutuhkan pakan hijauan sekitar 10 persen dari beratnya.

"Untuk lokasinya kami bersama Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalbar memilih Desa Tonang, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Untuk pelaksanaan pelatihan Jumat-Sabtu, 21-22 Juli 2023," ucap dia.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalbar Heronimus Hero menyambut baik PKM Universitas Airlangga yang ikut memberikan perhatian program integrasi sawit sapi.

"Pelatihan pengolahan pakan dan penanganan masalah reproduksi sapi sangat penting. Ini tentu dibutuhkan peternak termasuk dalam program integrasi sawit sapi di Landak," kata dia.

Ia menjelaskan bahwa potensi pengembangan program sistem integrasi sawit sapi di Kalbar mencapai 2,9 juta ekor sapi. Menurutnya, berdasarkan hasil analisis tim penyusun peta jalan, potensi daya dukung lahan untuk integrasi dengan kriteria sesuai dan sangat sesuai seluas 2.156.406 hektare.

Hal itu dapat menampung hingga 2,9 juta ekor sapi baik yang dipelihara dengan pola ekstensif, intensif, maupun semi intensif.

"Nah, apabila provinsi menargetkan populasi 500 ribu ekor sapi potong di 2032, maka hanya 25 persen lahan kebun sawit yang diperlukan untuk menjadi tempat yang layak bagi berkembangnya sapi di Kalbar. Oleh karena itu kegiatan ini menjadi program yang relevan untuk diimplementasikan di Kalbar dengan sumber daya yang tersedia di kebun sawit," ucap dia. (INF)

KENALI PENYAKIT SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT

Hamparan perkebunan sawit di Indonesia memiliki potensi juga sebagai lahan pengembangan peternakan sapi

Indonesia memiliki potensi perkebunan kelapa sawit yang besar, tersebar luas di Sumatra dan Kalimantan. Luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 15,08 juta hektare pada 2021, naik 1,5% dari tahun sebelumnya. Perkebunan Swasta Besar (PBS) memegang sebanyak 55,8% luas perkebunan sawit, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,8 juta hektare (40,34%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 ribu hektare (3,84%).

Konsumsi produk kelapa sawit untuk konsumsi naik 6%, oleo chemical naik 25% dan untuk biodisel naik 2% pada 2021. Pada tahun ini, konsumsi produk kelapa sawit diprediksi naik menjadi 800 juta ton/bulan. Produk kelapa sawit berupa CPO dan PKO memiliki potensi besar dalam menyumbang devisa dari ekspor. Dari produksi sebanyak 53,8 juta ton, terserap konsumsi lokal sebesar 20,59 juta ton dan ekspor sebesar 33,21 juta ton (Palm Oil Association, 2021).

Hamparan perkebunan sawit di Indonesia memiliki potensi juga sebagai lahan pengembangan peternakan sapi dan ternak lainnya seperti di Malaysia. Perkebunan sawit mampu menyediakan pasokan pakan dari rumput yang ada di bawah, sekitar pohon, hijauan dari daun sawit, maupun rontokan biji sawit serta produk samping dari pengolahan minyak sawit.

Masyarakat petani sawit di beberapa daerah Indonesia telah memanfaat perkebunan sawit untuk pengembangan sapi. Ras sapi Bali, PO atau silangan mudah di dapati di lokasi transmigrasi sawit. Sapi berkembang baik dan kondisinya relatif didominasi dengan kondisi tubuh yang sedang-gemuk, yang menandakan kecukupan pakan.

Beberapa perusahaan besar kelapa sawit telah mengembangkan sapi di perkebunan sawit di beberapa kabupaten. Sapi Brahman Cross (BX), telah mereka kembangkan untuk breeding dan fattening. Integrasi pemeliharaan sapi dalam perkebunan sawit oleh perusahaan besar sapi bisa dijumpai di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kotawaringin  Timur di Kalimantan Tengah dan Tanah Bumbu serta Kabupaten Tabalong di Kalimantan Selatan.

Dalam pemeliharaan sapi di perkebunan sawit ada beberapa penyakit yang potensial bisa timbul, membawa kerugian ekonomi dan bahkan mematikan sapi. Kecacingan atau infestasi parasit gastrointestinal merupakan salah satu contoh penyakit pada sapi yang klasik dan mesti dikendalikan tiap tiga bulan sekali agar pertumbuhan dan pertambahan bobot badan sapi bisa optimal sesuai volume dan kualitas pakan yang diberikan dan diharapkan.

Beberapa penyakit penting pada sapi yang ditemukan pada di perkebunan sawit seperti yang terjadi di Kalimantan adalah… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2022

Ditulis oleh:
Sulaxono Hadi
Medik Veteriner Ahli Madya
Balai Veteriner Banjarbaru

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer