Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Sapi BX | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PENGEMBANGBIAKAN SAPI BX BUKAN DARI HARTA “GHANIMAH”

(Foto: pataka.or.id)

Oleh: Rochadi Tawaf (Dewan Pakar PB ISPI)

Program pembiakan sapi BX yang selama ini dintroduksikan adalah sebagai berikut, 1) Pembiakan dengan pola integrasi sapi sawit. 2) Pembiakan dengan pola penggembalaan di padang rumput. 3) Pembiakan dengan pola pemeliharaan intensif dikandangkan. 4) Pola pengembangan semi breedlot, yaitu pembiakan yang dilakukan oleh para pengusaha feedlot. Program ini dilakukan oleh Indonesia Australia Comercial Cattle Breeding (IACCB) sejak 2016 silam.

Pola pembiakan sapi BX yang dilakukan bersama dengan peternakan rakyat, telah dilaksanakan di Koperasi Petani Ternak Maju Sejahtera (Lampung Selatan), Koperasi Karya Baru Mandiri (Kotawaringin Barat Kalimantan Selatan) dan Sentra Peternakan Rakyat Mega Jaya (Bojonegoro). Program ini telah menghasilkan efisiensi teknis sosial dan ekonomis usaha ternak pembiakan di wilayah tersebut.

Pada 2015, 2016 dan 2018, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), memiliki program untuk meningkatkan populasi ternak dan produksi daging sapi melalui importasi sapi potong betina produktif dari Australia. Data dari Ditjen PKH menyatakan bahwa impor sapi potong betina produktif pada 2018 sebanyak 2.652 ekor sapi Brahman Cross dan telah didistribusikan ke kelompok ternak dan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah).
 
Pada akhir Juni 2019, Konsultan PT Mitra Asia Lestari (MAL) melakukan pemantauan perkembangan ternak sapi BX betina produktif yang telah didistribusikan ke beberapa kelompok dan UPTD di sembilan provinsi. Pemantauan difokuskan pada kondisi ternak, seperti tingkat kematian, nilai Body Condition Score (BCS), serta kondisi ketersediaan pakan di 41 kelompok dan empat UPTD (Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Laporan hasil pemantauan menyatakan bahwa dari jumlah tersebut ditemukan sebanyak 54 ekor ternak mati, 252 ekor ternak dalam kondisi yang sangat kurus dengan BCS 1 dan 352 ekor dengan BCS 2. Kesimpulan kajian tersebut, bahwa permasalahan utama adalah karena kurangnya ketersediaan pakan dan air bersih.

Berdasarkan data dan informasi di atas, PB ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) terpanggil untuk berkontribusi membantu kelompok peternak mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut, sehingga tujuan pengembangbiakan sapi BX dapat terealisasi dengan baik. PB ISPI bekerjasama dengan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) mengusulkan kegiatan yang dinamakan “Program Perbaikan Sapi Betina Produktif” atau “Improvement Program for Productive Female Cattle” yaitu program untuk memperbaiki kondisi sapi BX betina produktif yang sangat kurus atau kurus dengan cara meningkatkan BCS, sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat kematian ternak di kelompok.

Peradaban Baru Sapi BX
Di Jawa Barat, program ini diawali dengan melakukan rapid appraisal terhadap 24 kelompok peternak penerima sapi indukan. Hasilnya, ternyata sebagian peternak menyatakan bahwa selama setahun sejak sapi tersebut diterima, terdapat sapi yang bunting bawaan hanya 12,47% dan bunting hasil IB hanya 8,03%. Hal ini terutama disebabkan defisiensi pakan. Dampak selanjutnya sapi-sapi tersebut menjadi sulit bunting dan BCS di bawah angka dua sekitar 23%.

Berdasarkan hasil rapid appraisal, tim pendamping menargetkan bahwa sapi-sapi pada tiga kelompok fokus yang ditetapkan sebagai KPI-nya untuk angka kebuntingan minimal 70%, kematian maksimum 4% dan BCS di atas nilai 2,5.

Selanjutnya tim pembina melakukan pembinaan terhadap peternak dengan melakukan bimbingan teknis, melalui kerja sama dengan Balai Latihan Ketahanan Pangan dan Peternakan. Materi bimbingan merupakan pengetahuan praktis dalam mengatasi tiga permasalahan tersebut, yaitu kebuntingan, kematian dan BCS. Materi yang diberikan adalah bioteknologi pakan, reproduksi, manajemen kelompok dan analisis ekonomi bisnis usaha pembiakan.

Dari hasil pembinaan intensif yang dilakukan terhadap tiga kelompok fokus tersebut selama enam bulan, diakhir kegiatan kelompok binaan mampu melampaui target KPI yang ditetapkan, yaitu kebuntingan mencapai 66,6-73,3 %, kematian 0% dan BCS di atas nilai tiga (evaluasi 15 Juni 2020). Sesungguhnya, pada kasus ini telah terjadi “peradaban baru” bagi sapi-sapi BX yang semula dipelihara secara ekstensif di padang gembala, kini dipelihara secara intensif di kandang peternak rakyat yang ternyata mampu berproduksi seperti di tempat asalnya.

Breedlot pada Kelompok Peternak
Secara teknis kelompok peternak sejatinya telah mampu menunjukan keterampilannya melakukan kegiatan usaha pemeliharaan sapi indukan BX. Keberhasilan teknis yang dilakukan kelompok peternak rakyat tersebut sangat bermanfaat bagi Jawa Barat sebagai sentra konsumen yang berpotensi untuk melakukan pengembangbiakan sapi BX dengan pola “breedlot kelompok”.

Konsep breedlot kelompok adalah pola usaha pembiakan sapi BX yang diintegrasikan antara usaha pembiakan dengan usaha penggemukan. Namun, seberapa besar rasio antara kedua usaha tersebut yang ideal untuk direkomendasikan, ternyata belum terungkap dari hasil program ini. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan mendalam mengenai itu.

Keberhasilan kelompok fokus melampaui target yang ditetapkan sebelumnya, terutama disebabkan oleh tiga fakyor utama. Pertama, motivasi integritas peternak yang ditetapkan melalui pernyataan sikap untuk merealisasikan target yang dibuatnya. Kedua, intensifnya tim pembina lapangan (insemintor, tenaga penyuluh dan tenaga kesehatan hewan) dalam membimbing peternak kelompok. Ketiga, sikap pemerintah dalam hal ini adalah pimpinan dinas peternakan di tingkat kabupaten. Kekompakan tiga lembaga ini turut memberikan andil besar dalam proses inovasi teknologi pemeliharaan sapi indukan BX.

Bukan Harta “Ghanimah”
Keberhasilan kelompok dalam meraih target yang ditetapkan adalah akibat terjadinya hubungan yang harmonis antara tenaga lapangan (inseminator, penyuluh dan petugas kesehatan hewan) dan dinas peternakan dalam memainkan perannya dengan peternak rakyat. Pada dasarnya bagaimana agar intervensi teknologi beternak dapat diadopsi peternak dengan baik.

Pada kasus ini, peran pendamping peternak menjadi strategis dalam penyampaian inovasi. Di sinilah pentingnya peran tenaga pendamping dalam menyukseskan program-program besar seperti peningkatan populasi ternak dan lainnya. Namun demikian, peran ini menjadi tidak ada artinya tatkala sarana pendukungya tidak tersedia. Seperti sarana IB (semen beku) dan kesehatan hewan (obat-obatan dan vitamin/hormon).

Satu hal yang juga sebagai pendukung keberhasilan program perbantuan adalah, bahwa peternak harus punya “rasa memiliki” dari program tersebut. Bahwa ternak bantuan pemerintah bertujuan untuk pengembangan usaha, bukannya sebagai bantuan yang habis pakai. Hal ini terjadi karena di masyarakat telah berkembang sikap bahwa bantuan pemerintah adalah ibarat “harta pampasan perang (ghanimah)”. Jadi boleh dihabiskan tanpa pertanggung jawaban, karena tanpa pengawasan dan pembinaan.

Oleh karena itu, sebagai langkah awal yang perlu ditanamkan dalam pengembangan ternak bantuan pemerintah adalah dana yang digunakan berasal dari pajak rakyat yang dititipkan kepada mereka untuk dikembangkan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Semoga tulisan ini menginspirasi para penyuluh dan pembina peternak di lapangan. ***

PERADABAN BARU SAPI BX DI INDONESIA

Ternak sapi BX. (Foto: Kementan)

Heboh soal pemberitaan kantor berita ABC di berbagai media pada Desember 2019 lalu, bahwa ratusan sapi BX (Brahman Cross) asal Australia bantuan pemerintah Indonesia untuk program perbibitan sapi mengalami malnutrisi dan mati. Namun demikian hal itu dibantah pemerintah yang menyatakan bahwa sapi-sapi tersebut dalam kondisi baik.

Dalam kegiatan tersebut pemerintah menyalurkan sapi-sapi bantuan ini ke puluhan kelompok peternak dan UPTD disentra-sentra pengembangan sapi di Indonesia. Namun dikhawatirkan dampak dari pemberitaan tadi menjadi polemik baru mengenai hubungan dagang antara Indonesia dan Australia. Seperti yang pernah terjadi pada peristiwa pemotongan brutal terhadap sapi BX asal Australia di RPH Indonesia 2011 silam, yang berakhir dengan penyetopan impor sapi asal Australia dan mengharuskan mengikuti standarisasi rantai pasok ternak sapi Australia (Exporter Supply Chain Assurance System/ESCAS).

Pemeliharaan Ekstensif
Sapi BX ini merupakan jenis sapi hasil persilangan antara sapi Brahman dengan berbagai bangsa sapi seperti Santa Gertrudies, Limousine, Simental, Angus, Hereford dan lainnya. Sapi-sapi persilangan tersebut lebih dikenal dengan ACC (Australia Commercial Cross) atau BX jika sapi Brahmannya lebih dominan.

Sapi-sapi ini hidup dan dikelola dalam sistem ranch, yaitu pemeliharaan secara ekstensif dilepas-liarkan di padang penggembalaan. Sapi-sapi ini tumbuh dan berkembang, serta bereproduksi di alam bebas. Boleh disebut tanpa sentuhan teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan (IB) yang biasa dilakukan di dalam negeri.

Para peternak hanya menyiapkan makanan tambahan berupa mineral blok dan mengendalikan air yang berasal dari sumber air (embung) di tengah padang gembala. Pada musim tertentu mereka melakukan “mustering”, yaitu suatu periode untuk mengumpulkan ternak, menyeleksi, memilih, memisahkan ternak yang kecil dan besar, atau yang sakit, pemilihan jantan dan betina, untuk kemudian diatur kembali rasionya dalam kelompok ternak tersebut. 

Rasio lahan yang biasa digunakan di Australia bisa mencapai lebih dari 2 hektar per ekor. Bisa dibayangkan bila seorang peternak di Australia memiliki ternak 500 ekor, maka lahan yang dipakai tidak kurang dari 1.000 hektar. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Australia yang sekitar 24,5 juta orang, sedangkan jumlah populasi sapinya sekitar 25 juta ekor. Data ini bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia, dimana populasi penduduknya lebih dari 260 juta, sementara populasi sapinya hanya sekitar 16 juta ekor.

Kematian Sapi
Kematian sapi indukan dan anakannya yang terjadi selama ini pada kelompok peternak penerima bantuan, umumnya disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang dilakukan berbeda dengan pemeliharaan ternak tersebut di negara asalnya. Bisa dibayangkan bahwa sapi BX yang asalnya hidup di alam bebas, kini hidup dikurung dengan hidung yang dikeluh. Apalagi sapi ini juga memiliki sifat berahi tersembunyi (silent heat) yang akan sulit diketahui manusia. Biasanya peternak di Indonesia menyebut gejala birahi ini dengan 3B (Beureum, Bareuh, Baseuh). Jadi jika sapi-sapi ini minta kawin, hanya jantannya saja yang mengetahuinya. Kesimpulannya bahwa para peternak akan sulit mendeteksi sapi ini kapan akan dilakukan IB.

Selain itu, sapi BX ini juga ternyata memiliki sifat keibuan (mothering ability) yang rendah. Ditambah lagi jika sapi ini terlalu gemuk atau terlalu kurus, akan sulit bunting. Sifat-sifat inilah yang tidak dipahami peternak rakyat, sehinga sapi sulit bunting. Namun, seandainya sapi tersebut bunting (bawaan dari Australia) sampai melahirkan, ternyata pedet yang baru dilahirkan tersebut sudah mati di kandang, hal ini diakibatkan pedet terinjak-injak karena sifat mothering ability yang rendah.

Berdasarkan kondisi tersebut, sapi-sapi ini harus sangat diperhatikan agar pakan yang diberikan tidak menimbulkan kegemukan maupun kekurangan, serta diberikan kandang khusus untuk melindungi pedet dari sifat induknya yang agak liar. Hal ini berbeda dengan sapi-sapi lokal di Indonesia, khususnya sapi Bali, dalam kondisi apapun mereka tetap bisa bunting dan melahirkan pedet dengan baik.

Sebenarnya sapi BX lebih jinak ketimbang bangsa sapi lainnya. Namun pada kasus ini, dapat dibayangkan dari kehidupan bebas di alam terbuka tanpa hadirnya manusia, kini mereka dikandangkan yang serba tertutup dengan kesibukan manusia di sekitarnya.

Berdasarkan pengamatan, ternyata sebaiknya distribusi sapi kepada peternakan rakyat perlu dilakukan domestikasi terlebih dahulu oleh industri atau korporasi/lembaga peternakan yang memahami perilaku sapi BX. Sebab hasil dari domestikasi ini dipastikan anak keturunannya (pedet) sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan peternak sapi potong rakyat di Jawa, usahanya tidak berbasis lahan (non-land based). Peternak memberikan hijauan pakan dan konsentrat berasal dari hasil ikutan usaha taninya. Sebagian besar usaha ternak sapi potong di Jawa memberikan jerami padi sebagai hijauan pakan utamanya. Hanya sebagian kecil yang memberikan tambahan berupa ampas tahu, singkong (onggok), ataupun dedak padi. Pada kondisi ini para ahli pakan sudah menduga bahwa kasus kematian pedet dan indukan pasca melahirkan, utamanya disebabkan karena kualitas pakan yang tidak standar. Sehingga sapi-sapi terlihat kurus pasca melahirkan atau gemuk melibihi dari yang diharapkan bagi masa suburnya seekor sapi betina.

Peradaban Baru
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada kasus penyebaran sapi indukan dan ketidakberhasilan pengembangan sapi BX beberapa waktu lalu. Penulis menyimpulkan bahwa sapi BX asal Australia sesungguhnya tengah menjalani peradaban baru. Yaitu perubahan kultur atau budaya pemeliharaan yang bersifat ekstensif, dimana sapi-sapi bebas mencari pakan dan kawin, kini berada pada kultur budidaya intensif yang dikandangkan.

Perubahan ini telah disalahartikan oleh khalayak, bahwa sapi-sapi tersebut telah dibuat steril, diberikan sapi-sapi potong bukannya produktif dan sebagainya. Padahal sesungguhnya, sapi-sapi tersebut sedang melakukan proses adaptasi terhadap perubahan budaya pemeliharaan. Jika dibandingkan dengan sapi-sapi yang dipelihara di kebun sawit, tampak lebih banyak keberhasilan ketimbang yang dilakukan atau dipelihara secara intensif di kandang peternakan rakyat. Hal ini disebabkan perbedaan sistem pemeliharaan tidak terlalu signifikan dari negara asalnya.

Distribusi Sapi BX
Berdasarkan beberapa pengalaman baik dan buruknya sistem pemeliharaan sapi BX di tingkat peternak maupun perusahaan, kiranya perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, pengembangan sapi BX sebaiknya tidak diberikan kepada peternak rakyat secara langsung dari negara asalnya. Sapi-sapi ini perlu dilakukan domestikasi oleh korporasi yang kredibel. yaitu perusahaan/lembaga yang sangat paham terhadap pemerliharaan sapi BX sebagaimana di negara asalnya. Kondisi ini sesuai dengan amanat UU No. 41 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa perbibitan dan pengembangbiakan adalah tugas pemerintah. Oleh karenanya, kegiatan breeding dan pembiakan harus dilakukan oleh UPTD Pemerintah atau program sapi sawit yang dikelola pemerintah/swasta, kemudian anakannya (pedet) disebarkan kepada masyarakat peternak. Hal ini mengingat pemerintah bertekad bahwa pada 2020 ini akan melakukan importasi sebayak 1.500 ekor sapi betina bahkan bisa melebihi target.

Kedua, distribusi kepada peternak rakyat yang dilakukan secara intensif dalam kandang sebaiknya berupa sapi bakalan untuk penggemukan. Jadi pada masalah ini peternakan rakyat tidak dibebankan oleh usaha perbibitan dan pembiakan.

Ketiga, partisipasi menghasilkan pedet-pedet asal sapi BX impor dapat pula dilakukan oleh para pengusaha feedlot yang difasilitasi pemerintah sebagai insentif. Program ini akan mempercepat kehadiran sapi-sapi bakalan asal sapi BX bagi pengembangan peternakan sapi potong rakyat. Perusahaan feedloter nantinya dapat menghasilkan pedet-pedet jantan/betina yang didistribuskan kepada peternakan UPTD/sapi sawit maupun peternakan rakyat yang berminat.

Pola-pola pengembangan ini mungkin bisa menjadi jawaban atas ketidakberhasilan pengembangan sapi yang terjadi selama ini. Semoga pemerintah dapat mengkaji ulang arah pengembangan sapi potong di dalam negeri jika akan menggunakan sapi indukan BX sebagai salah satu model pengembangannya. ***

Rochadi Tawaf
Dewan Pakar Yayasan CBC Indonesia

BIMTEK PENGELOLAAN USAHA PEMBIAKAN SAPI INDUKAN BX

Rochadi Tawaf saat memberikan bimbingan kepada peternak. (Sumber: Istimewa)

Pada November 2018, Pemerintah Indonesia melalui melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementrian Pertanian (Kementan), telah membagi-bagikan ternak sapi indukan BX kepada peternak di Jawa Barat melalui 24 kelompok ternak di Kabupaten Sumedang, Bandung Barat, Cianjur, Subang, Cirebon, Indramayu, Ciamis, Tasikmalaya dan Pangandaran.

Berdasarkan kegiatan Rapid Apraisal terhadap 24 kelompok peternak penerima bantuan, ternyata pada umumnya sapi betina indukan BX mengalami kesulitan bunting, kurus dan sebagian mengalami kematian. Beberapa faktor penyebabnya yang paling dominan karena sapi-sapi tersebut tidak dipelihara sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidupnya. Misal, lemahnya manajemen pakan, kesulitan mengawinkan karena silent heat dan manajemen pengelolaan yang tidak sesuai dengan Good Farming Practices.

Selain masalah tersebut, juga karena lemahnya perencanaan bisnisnya maka ada sebagian anggota kelompok yang mengundurkan diri dalam mengelola sapi betina produktif tersebut. Hal ini berakibat terhadap sapi-sapi tersebut sehingga tidak mendapat pakan yang cukup, yang menyebabkan sapi tersebut anorexia (kekurangan pakan).

Dalam kerangka memperbaiki kondisi tersebut, Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI) menugaskan Program Manajemen Unit (PMU) wilayah Jawa Barat (Jabar) bekerja sama dengan Balai Pelatihan Peternakan dan Ketahanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (BPPKP DKPP) Provinsi Jabar mengadakan kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) pengelolaan usaha pembiakan sapi indukan BX, 4-5 Februari 2020. Ini juga merupakan “Improvement Program For Productive Female Cattle” (IP2FC), kerja sama PB ISPI-Gapuspindo didukung oleh Ditjen PKH Kementan.

Selanjutnya, setelah pelaksanaan Bimtek akan ditindaklanjuti dengan pembinaan dan bimbingan selama lima bulan terhadap kelompok peternak tersebut.

Adapun tujuan dari Bimtek ini untuk memperbaiki manajemen pakan, pola reproduksi dan manajemen usaha pembiakan sapi indukan BX sesuai prinsip Good Farming Practices bagi 24 kelompok peternak penerima sapi BX, sehingga di akhir program mampu meningkatkan kebuntingan, menurunkan tingkat kematian, memperbaiki performanya dan harmonisasi kelompok.

Ruang lingkup materi yang diberikan meliputi manajemen pakan (pengetahuan bahan baku pakan, manajemen HPT, menyusun ransum sederhana, pengawetan pakan dengan pola fermentasi dan praktek pembuatan ransum/pakan), sistem reproduksi (pengetahuan alat reproduksi dan sistem perkawinan), manajemen pencatatan dan rearing (teknik membuat catatan dan manajemen rearing/pedet), sos-ek peternakan (perencanaan bisnis, biaya produksi dan pemasaran hasil dan pemberdayaan kelompok peternak).

Peserta pelatihan terdiri dari 24 kelompok peternak masing-masing dua orang, perwakilan dinas kabupaten (sembilan kabupaten dan tenaga UPTD penerima sapi BX, jumlah seluruhnya 56 orang). Serta instruktur terdiri dari petugas BPPKP DKPP, dosen fakultas peternakan Universitas Padjajaran dan tokoh peternak di Jawa Barat. (INF)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer