Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Penyaki Ternak | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

WASPADA PENYAKIT PESTE DES PETIT RUMINANTS (PPR)

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian mengeluarkan surat edaran dengan Nomor 24093/PW.020/F/03/2023 tanggal 24 Maret 2023 perihal Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Peste des Petit Ruminants (PPR). 

Penyakit Peste des Petit Ruminants (PPR) berpotensi menyebabkan wabah yang menyebar cepat dan menimbulkan kerugian bagi peternakan ruminansi kecil seperti kambing dan domba di Indonesia. Pada situasi terburuk, PPR memiliki tingkat kesakitan hingga 100% dan tingkat kematian 90% dari populasi rentan.

Kejadian penyakit PPR masih dilaporkan di dunia dan Asia yaitu negara Israel dan Mongolia. Di Indonesia, pada Maret 2023 telah dilaporkan dugaan kasus PPR yang terdeteksi secara serologis pada 2 (dua) kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Kabupaten Kulonprogo dan Bantul. 

Mengingat ancaman masuknya penyakit tersebut ke Indonesia cukup besar dan dapat berdampak kerugian ekonomi tinggi, maka diperlukan peningkatan kewaspadaan, tindakan monitoring, dan mitigasi risiko mencegah masuknya penyakit PPR ke wilayah Republik Indonesia.

Dengan demikian, antisipasi munculnya penyakit eksotis ini perlu dilakukan dan semakin ditingkatkan. Terutama kepada peternak kambing dan domba agar melaporkan kepada petugas dinas atau Puskeswan (Pusat Kesehatan Hewan) di wilayahnya jika ditemukan kasus sakit pada ternaknya.

Mengutip dari laman Balai Besar Veteriner Wates PPR pertama kali ditemukan pada tahun 1942 di Pantai Gading, Afrika Barat. PPR adalah penyakit virus yang menyerang ruminansia kecil. 

Virus PPR termasuk dalam genus Morbillivirus dan family Paramyxoviridae. Virus bermateri genetik RNA ini memiliki empat galur, dimana galur 1-3 mendominasi wilayah Afrika hingga Timur Tengah dan galur 4 yang mendominasi wilayah Asia.

Di wilayah Asia, PPR ditemukan di berbagai negara seperti China, India dan Mongolia. Pada bulan Februari 2021, kasus PPR dilaporkan di Thailand dan menjadi kasus PPR pertama di wilayah Asia Tenggara.

Morbiditas dan Mortalitas Tinggi

Office International des Epizooties (OIE) menetapkan PPR sebagai salah satu penyakit yang masuk dalam daftar penyakit yang wajib dilaporkan (OIE List of Notifable Diseases). Penyakit ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi sehingga sangat berpengaruh terhadap keadaan ekonomi wilayah yang bergantung pada produksi ruminansia, khususnya ruminansia kecil. Morbiditas PPR dapat mencapai 90% hingga 100% dan mortalitasnya dapat mencapai 50% hingga 100%. Morbiditas dan mortalitas PPR dilaporkan lebih tinggi pada ternak muda dan di wilayah non-endemik.

PPR tidak memiliki vektor atau tidak ditularkan secara mekanis. Penularan utama terjadi melalui aerosol dan kontak langsung terhadap ternak terinfeksi. Penularan juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui peralatan kendang, pakan, wadah air minum, dan peralatan lainnya.

Masa inkubasi PPR adalah 3-6 hari. Gejala awal yang muncul adalah demam dengan suhu mencapai 41 derajat celcius, diikuti dengan depresi atau ternak menunjukkan tanda-tanda gelisah dan anoreksia. Demam ini dapat terjadi selama 3 sampai 5 hari. Selain itu, ditemukan leleran hidung serous hingga mukopurulen, konjungtivitis, diare berat (dengan bentuk feses yang cair hingga berdarah), batuk, dispneu, dan stomatitis disertai halitosis. Setelah 5 hari, ternak akan mengalami dehidrasi berat, hipotermia, kesulitan bernapas yang berat dan berujung pada kematian. Pada kasus perakut (umumnya pada kambing), sering terjadi kematian mendadak yang ditandai dengan demam tinggi dan depresi.

Gejala Klinis

Tanda-tanda klinis PPR sangat mirip dengan penyakit rinderpest. Namun, pada PPR sering ditemukan krusta di sepanjang bibir ternak dan adanya pneumonia pada kasus akut. Dua gejala ini umumnya tidak ditemukan pada penyakit rinderpest.

Tanda klinis hewan terinfeksi PPR. Leleran hidung pada domba (a) dan kambing (b), leleran mukopurulen yang mongering pada kambing (c), diare pada domba (d) (Sumber: Kinimi et al., 2020)

Pada pemeriksaan post mortem, PPR ditandai dengan adanya hemoragi, ulser, erosi dan nekrosis pada usus, kongesti pada kolon dan rektum. DItemukan pula bronkopenumonia, ptekie pada hidung, laring dan trakea. Pada limpa dan hati dapat terjadi kongesti dan pembesaran.

Diagnosis PPR dilakukan berdasarkan pengamatan gejala klinis dan data historis terkait asal usul ternak. Namun, untuk mendapatkan diagnosis definitif harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi kasus PPR antara lain dengan deteksi gen virus PPR melalui RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction), isolasi dan identifikasi virus PPR dengan kultur sel, secara serologis melalui uji AGID (Agar Gel Immunodiffusion Assay), kompetitif ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), dan uji VN (Virus Neutralisation).

Sampel yang dapat digunakan antara lain swab konjungtiva, swab hidung, darah (whole blood), dan serum. Pada hewan mati dapat diambil sampel berupa limpa, paru-paru, usus halus, dan limfonodus khususnya limfonodus mesenterika dan bronkial.

Diagnosis banding dari PPR adalah Rinderpest, Contagious caprine pleuropneumonia, Bluetongue, Pasteurellosis (dapat terjadi bersama PPR), Contagious ecthyma, Foot and mouth disease, Coccidiosis dan keracunan mineral.

Hingga saat ini, tidak ada pengobatan spesifik untuk PPR. Namun, pengobatan untuk infeksi sekunder dan secara suportif dilaporkan dapat menurunkan tingkat kematian. Vaksin PPR tersedia sebagai bagian dari pencegahan.

Untuk wilayah yang belum ada laporan mengenai kasus PPR seperti Indonesia, sangat penting untuk melakukan tindakan pencegahan masuknya virus PPR, mengontrol lalu-lintas ternak, meningkatkan kapasitas pengujian dan diagnosis serta melakukan monitoring dan surveilans terhadap penyakit ini. (INF)

PENYAKIT TERNAK SAPI LUMPY SKIN DISEASE (LSD)

Lumpy Skin Disease (LSD) adalah penyakit pada ternak sapi yang disebabkan oleh virus dari famili Poxviridae genus Capripoxvirus. Virus ini dapat bertahan lama di lingkungan, terutama saat berada dalam keropeng kulit yang mengering. Penularan Virus LSD paling utama disebarkan oleh vektor serangga berupa nyamuk, lalat dan kutu. Tingkat kejadian penyakit (morbiditas) berkisar pada 10-20% sedangkan tingkat kematian (mortalitas) pada rentang 1-5%.

Penulis: drh Muhammad Munawaroh, MM

Penyakit ini tergolong sebagai Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan I serta Penyakit Hewan Menular Strategis yang belum ada di Indonesia. Namun, pada awal Tahun 2022 penyakit ini sudah terdeteksi pada ternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu kemudian menyebar ke Kabupaten lainnya di Provinsi Riau. Kejadian penyakit ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat peternak, serta dapat mengganggu target pencapaian program Pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi dalam negeri apabila semakin meluas penyebarannya ke Provinsi lain di Indonesia. Meski dalam hal ini, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah memberikan bantuan vaksin ke Provinsi Riau sebagai langkah pengendalian penyakit.

Sampai dengan saat ini, belum ada kejelasan mengenai asal mula terbawanya penyakit LSD tersebut ke dalam negeri. Pemerintah memiliki instrumen Badan Karantina Pertanian di Kementerian Pertanian yang memiliki tugas dan fungsi untuk mencegah masuknya penyakit dari luar negeri sesuai dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Informasi yang berkembang, LSD masuk ke Indonesia di Provinsi Riau diduga akibat adanya vektor yang terbawa oleh moda transportasi dari luar negeri ke Provinsi Riau. Berdasarkan peta penyebaran penyakit hewan dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (WAHIS-OIE, 2022), pada Tahun 2021 Thailand yang berbatasan darat langsung dengan Malaysia telah terkonfirmasi mengalami wabah LSD pada ternak sapi terlebih dahulu. 

Pencegahan terhadap masuknya penyakit hewan dari luar negeri harus menjadi perhatian serius dari Pemerintah. Perlu diketahui bahwa penyakit menular pada manusia 70% berasal dari penyakit hewan (Zoonosis). Sementara penyakit hewan yang tidak bersifat Zoonosis mampu menimbulkan kerugian yang besar secara ekonomi. Pemerintah harus bertindak strategis dan progresif dalam mencegah dan mengantisipasi masuknya penyakit hewan dari luar negeri karena hal ini dapat mengancam ketersediaan dan pemenuhan pangan hewani yang aman sehat utuh dan halal bagi rakyat. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang pernah terjadi di Indonesia pada masa lampau dan telah berhasil dieradikasi, jangan sampai masuk kembali dan menambah beban anggaran Pemerintah untuk melakukan pemberantasan. Badan Karantina Pertanian harus fokus dan benar-benar melakukan penyelenggaraan karantina berbasis analisis risiko melalui sinergi yang menyeluruh dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan serta instansi daerah dalam memastikan perlindungan dari serangan penyakit hewan dari luar negeri dijalankan sebagaimana mestinya.

Pendekatan ”One Health” harus dilaksanakan secara konkret dan masif oleh Pemerintah. Pelibatan banyak pihak dalam pengendalian COVID-19 dapat menjadi contoh bagi pengendalian penyakit hewan.

 Pustaka:

  1. OIE 2022
  2. UU No 21 Tahun 2019 Tentang Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan

TOXIN BINDER DAN PERANANNYA

Kualitas pakan secara fisik ataupun laboratories sangat menentukan seberapa perlu penggunaan toxin binder dan kriteria/jenis penggunaannya sesuai dengan keperluan. (Sumber: zootecnicainternational.com)

Indonesia adalah negara yang terletak di sepanjang garis khatulistiwa, beriklim tropis dengan kelembaban udara yang relatif tinggi dari waktu ke waktu (sehingga sering disebut sebagai negara dengan iklim tropis basah). Indonesia memiliki iklim laut yang sifatnya lembab dan banyak mendatangkan hujan. Pada musim penghujan jelas akan memberikan dampak signifikan terhadap kelembaban lingkungan dibanding saat musim kemarau. Hal ini juga karena Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana sebagian besar tanah daratannya dikelilingi lautan dan samudera. Sehingga potensi pembentukkan uap air jauh lebih tinggi dibanding negara yang daratan lebih besar.

Lembab dan Faktor Resiko Munculnya Jamur
Pola suhu dan kelembaban di Indonesia dalam 24 jam sangat menciri sekali. Dimana pada saat tengah malam menuju ke dini/pagi hari, rendahnya suhu lingkungan biasanya akan diikuti oleh tingginya kelembaban, dan sebaliknya saat tingginya suhu siang hari secara umum kelembaban akan menurun signifikan.

Salah satu keunikan yang terjadi di Indonesia adalah dijumpainya kemarau basah yang berkepanjangan. Tingginya cekaman panas pada musim kemarau akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya penguapan yang berlebihan dan berdampak pada terkumpulnya awan yang mengandung uap air yang pada titik kondensasi tertentu akan berubah menjadi hujan. Sehingga tidak jarang dijumpai kondisi pada saat cuaca panas, namun hujan turun yang menyebabkan kelembaban lingkungan semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pola kelembaban tidak hanya dipengaruhi rendahnya suhu pada malam hari, namunn juga suhu yang relatif tinggi yang berakibat penguapan berlebih pada saat siang hari.

Konsekuensi logis dari kondisi geografis tersebut membuat peternak harus lebih rinci dan detail dalam menjalankan aktivitas budidaya perunggasannya agar bisa meminimalkan efek atau resiko buruk dari kelembaban tinggi yang berdampak pada performa produksi ayam. Bahkan kelembaban relatif lingkungan bisa mencapai 100%. Tidak hanya sekedar dalam memainkan setting kipas dan tirai, upaya menjaga kualitas litter, mencegah adanya kepadatan semu, juga harus fokus terhadap ancaman penurunan kualitas pakan oleh adanya jamur dan mikotoksin. Mengingat efek yang dihasilkan sangat berbahaya dan merugikan, baik yang secara kasat mata mapun yang tidak.

Jamur dan Mikotoksin
Banyak para peternak yang belum bisa membedakan antara keduanya. Ada beberapa diantara peternak yang menganggapnya...

Drh Eko Prasetio
Commercial Broiler Farm Consultant


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2019.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer