Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Parasit Unggas | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KENDALIKAN PARASIT AGAR KERUGIAN TAK MEMBELIT

Ascaridia galli pada usus ayam. (Foto: Ist)

Tidak mudah memang mengendalikan penyakit parasitik. Hingga kini masalah satu parasit saja masih menghantui peternak di Indonesia. Bagaimanakah kelanjutannya?

Tidak susah menyebut penyakit parasit apa yang dapat merugikan ternak terutama unggas. Langsung saja ke intinya, Koksidia, dijamin peternak maupun praktisi perunggasan masih geleng-geleng kepala kalau mendengar penyakit ini. Nyatanya memang hingga kini Koksidiosis masih menjadi penyakit parasitik yang sukses meneror peternak.

Merusak dari Dalam
Dijelaskan oleh Prof Umi Cahyaningsih dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), menyatakan bahwa penyakit parasit seperti Leucocytozoonosis dan utamanya Koksidiosis merupakan pembunuh senyap yang menjadi biang keladi kerugian peternak di satu waktu.

“Biasanya enggak banyak yang mikir sampai kesitu, padahal harusnya dicek, itu penyakit juga berbahaya untuk ayam sama peternaknya,” tutur Umi. Berbahaya bukan karena penyakit bersifat zoonotik, melainkan dapat menyebabkan kematian tinggi dan produktivitas menjadi terhambat.

Peradangan usus akibat koksidiosis dan NE. (Foto: Ist)

Penurunan produktivitas tersebut dapat berupa pembengkakan nilai FCR (feed conversion ratio), pertumbuhan terhambat, sampai terjadinya penurunan produksi telur dan tingkat pengafkiran yang tinggi. Tingkat kematian ayam rata-rata berkisar antara 10-80%, terdiri dari kematian DOC sebesar 7-50% dan ayam dewasa 2-60%.

Lebih lanjut Umi menjelaskan, gejala penyakit ini (Leucositozoonosis) bersifat akut, proses penyakit berlangsung cepat dan mendadak. Suhu tubuh ayam akan sangat tinggi pada 3-4 hari post infeksi, kemudian diikuti dengan anemia akibat rusaknya sel-sel darah merah, kehilangan nafsu makan (anoreksia), lesu, lemah dan lumpuh.

Ayam yang terinfeksi parasit protozoa dapat mengalami muntah darah, mengeluarkan feses berwarna hijau dan mati akibat perdarahan. Infeksi Leucocytozoon dapat mengakibatkan muntah darah dan perdarahan atau kerusakan yang parah pada ginjal. Kematian biasanya mulai terlihat dalam waktu 8-10 hari pasca infeksi. Ayam yang terinfeksi dan dapat bertahan akan mengalami infeksi kronis dan selanjutnya dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan produksi.

Oleh karena itu, lanjut Umi, sangat penting untuk mengendalikan vektor penyakit tadi, karena kerugiannya akan sangat besar bagi peternak. Belum lagi jika berbicara penyakit endoparasitik lain seperti Koksidia dan bahkan kecacingan.

“Koksidia tidak usah ditanya lagi kerugiannya gimana, yang pasti sangat besar. Selain itu, yang saya soroti sebenarnya penyakit cacingan ini yang juga masih di-underestimate,” ungkapnya.

Ia memaparkan data dari USDA berupa kerugian akibat serangan penyakit parasitik di AS yang mencapai USD 240 juta/tahun, angka tersebut lebih tinggi ketimbang kerugian akibat penyakit infeksius lainnya yang hanya mencapai setengahnya.

“Rata-rata penyakit bakterial dan viral kan akut, ternak matinya cepat, kerugiannya juga sedikit karena kematian. Namun kalau parasit ini beda, ternak dibuat enggak produktif, stres, makan tetap tapi hasil berkurang, pengobatan jalan, tapi ujungnya banyak yang mati juga, berkali-kali lipat itu kerugiannya,” ucapnya.

Tidak berbeda jauh dengan Leucocytozoonosis, Koksidiosis juga merupakan penyakit yang sudah sering... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2020) (CR)

JANGAN SAMPAI PARASIT MEMBUAT KITA PAILIT

Kutu busuk pada kandang ayam layer. (Foto: Ist)

Apa yang terbersit dalam benak ketika mendengar kata parasit? Tentu perasaan tidak enak akan langsung menghampiri. Pada kenyataannya, parasit memang menjadi permasalahan hingga kini dan cukup sulit untuk dikendalikan.

Dalam ilmu biologi, parasit merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut makhluk hidup yang hidupnya tergantung pada makhluk hidup lainnya. Kata parasit berasal dari bahasa Yunani yakni “Parasitos” yang artinya di samping makanan (para = di samping/di sisi, dan sitos = makanan).

Parasit hidup dengan menempel dan mengisap nutrisi dari makhluk hidup yang ditempelinya. Makhluk hidup yang ditunggangi parasit disebut dengan istilah inang. Secara umum, keberadaan parasit pada suatu inang akan merugikan dan menurunkan produktivitas inang. Karena selain menumpang hidup, parasit juga mendapatkan nutrisi dan sari makanan dari tubuh inangnya. Hal seperti ini akan menyebabkan tubuh inang mengalami mal nutrisi yang akan mempengaruhi metabolisme tubuhnya.

Dalam ilmu kesehatan hewan, parasit identik dengan organisme penyebab penyakit pada hewan. Sebagian penyakit yang menyerang hewan disebabkan oleh parasit yang hidup dan berkembang biak dalam tubuhnya.

Dalam dunia “perparasitan” digunakan dua istilah, yakni infeksi dan infestasi. Perbedaannya, infeksi adalah ketika sejumlah kecil dari suatu parasit dapat menimbulkan respon seluler atau imunologi tubuh maupun kerusakan pada inang. Sedangkan infestasi, mulai digunakan ketika sejumlah kecil parasit tidak dapat menimbulkan kerusakan pada inang, atau dengan kata lain sejumlah besar parasit yang dapat menimbulkan kerusakan pada tubuh inang.

Ektoparasit
Digolongkan dari tempat hidupnya ada dua jenis parasit, yaitu parasit yang hidup di luar tubuh inang (ektoparasit) dan parasit yang hidup di dalam dalam tubuh inangnya (endoparasit). Keduanya sama-sama merugikan apabila menyerang inangnya, dalam hal ini hewan ternak.

Berbicara mengenai ektoparasit, Prof Upik Kesumawati dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) angkat bicara. Menurutnya, beberapa jenis arthtropoda merupakan ektopasarit yang penting dan berperan atas kerugian berupa penurunan produktivitas pada ayam.

“Kita ambil contoh misalnya kutu ayam dari spesies Menopon gallinae yang biasa menjadi ektoparasit pada ayam, mulanya satu atau dua, namun lama-kelamaan kutu tersebut akan berkembang biak dan mengisap darah dalam jumlah besar pada ayam,” tutur Upik.

Kutu busuk Chimex Hemipterus. (Foto: Ist)

Lebih lanjut dijelaskan, dengan keberadaan dan aktivitas kutu di tubuh sang inang akan membuatnya tidak nyaman. Gigitan dari kutu menyebabkan rasa gatal. “Selain stres akibat tidak nyaman, nutrisi dari inang juga otomatis terhisap, hal ini tentunya menjadikan produktivitas menurun dan imunitas juga turun akibat stres,” jelasnya.

Adapun ektoparasit lain yang kerap ditemukan pada ayam ialah tungau dari spesies Megninia sp. dan Knemidokoptes sp. Kedua ektoparasit tersebut memang tidak mengisap darah seperti halnya kutu, namun tungau… (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juni 2020) (CR)

MEWASPADAI PARASIT PADA UNGGAS

Penyakit parasit yang menyerang ternak ayam dapat menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. (Foto: istimewa)

Kata parasit seringkali didengar dalam kehidupan sehari-hari, tentunya dengan konotasi yang selalu negatif. Pada kenyataannya memang begitu, organisme parasit memang selalu merugikan inang yang ditumpanginya, baik pada manusia maupun hewan. 

Dalam kamus biologi, paarasit merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut makhluk hidup yang hidupnya tergantung pada makhluk hidup lainnya. Kata parasit berasal dari bahasa Yunani ‘Parasitos’ yang artinya di samping makanan (para = di samping/di sisi, dan sitos = makanan).

Parasit hidup dengan menempel dan menghisap nutrisi dari makhluk hidup yang ditempelinya. Makhluk hidup yang ditunggangi parasit disebut dengan istilah inang. Secara umum, keberadaan parasit pada suatu inang akan merugikan dan menurunkan produktivitas inang. Karena selain menumpang hidup, parasit juga mendapatkan nutrisi dan sari makanan dari tubuh inangnya. Hal seperti ini akan menyebabkan tubuh inang mengalami mal nutrisi yang akan mempengaruhi metabolisme tubuhnya.

Dalam ilmu kesehatan hewan, parasit identik dengan organisme penyebab penyakit pada hewan. Sebagian penyakit yang menyerang hewan disebabkan oleh parasit yang hidup dan berkembang biak dalam tubuhnya. Dalam dunia “perparasitan” digunakan dua istilah, yakni infeksi dan infestasi. Perbedaannya, istilah infeksi adalah ketika sejumlah kecil dari suatu parasit dapat menimbulkan respon seluler atau imunologi tubuh maupun kerusakan pada inang. Sedangkan infestasi, mulai digunakan ketika sejumlah kecil parasit tidak dapat menimbulkan kerusakan pada inang, atau dengan kata lain sejumlah besar parasit yang dapat menimbulkan kerusakan pada tubuh inang.

Ektoparasit dan Endoparasit
Digolongkan dari tempat hidupnya ada dua jenis parasit, yaitu parasit yang hidup di luar tubuh inang (ektoparasit) dan parasit yang hidup di dalam dalam tubuh inangnya (endoparasit). Keduanya sama-sama merugikan apabila menyerang inangnya, dalam hal ini hewan ternak. 

Berbicara mengenai ektoparasit, Prof Upik Kesumawati dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) angkat bicara. Menurutnya, beberapa jenis arthtropoda merupakan ektopasarit yang penting dan berperan atas kerugian berupa penurunan produktivitas pada ayam.

“Kita ambil contoh misalnya kutu ayam dari spesies Menopon gallinae yang biasa menjadi ektoparasit pada ayam, mulanya satu atau dua, namun lama-kelamaan kutu tersebut akan berkembang biak dan mengisap darah dalam jumlah besar pada ayam itu,” tutur Upik.

Lebih lanjut dijelaskan, dengan keberadaan dan aktivitas kutu di tubuh sang inang akan membuatnya tidak nyaman. Gigitan dari kutu menyebabkan rasa gatal. “Selain stres akibat tidak nyaman, nutrisi dari inang juga otomatis terhisap, hal ini tentunya menjadikan produktivitas menurun dan imunitas juga turun akibat stres,” jelasnya.

Adapun ektoparasit lain yang kerap ditemukan pada ayam ialah tungau dari spesies megninia sp. dan Knemidokoptes sp. Kedua ektoparasit tersebut memang tidak mengisap darah seperti halnya kutu, namun tungau memakan sel-sel kulit pada ayam dan dapat menggali terowongan di bawah kulit ayam. Aktivitas menggali terowongan tersebut menyebabkan rasa gatal dan neyri pada ayam dan juga mengakibatkan kerusakan kulit yang biasa disebut kaki berkapur (scaly leg).

“Dampaknya akan sama seperti infestasi kutu tadi, ayam akan stres sehingga imunitasnya turun, tentunya ini mengakibatkan ayam mudah terserang penyakit infeksius lainnya,” terang Upik.

Selain kutu dan tungau, lanjut dia, serangga seperti lalat, kumbang franky dan nyamuk juga patut diwaspadai keberadaanya. Sebab, baik nyamuk maupun lalat berpotensi menjadi vektor penyakit lain.

“Kumbang franky atau kutu franky terbukti bisa menjadi vektor penyakit Gumboro, sementara nyamuk merupakan vektor penyakit parasitik lainnya yakni Leucocytozoonosis (malaria-like disease) yang disebabkan oleh protozoa yakni Leucocytozoon sp.,” tukasnya.
Sementara mengenai parasit internal (endoparasit), dijelaskan oleh Prof Umi Cahyaningsih yang juga dari FKH IPB, menyatakan bahwa penyakit parasit seperti Leucocytozoonosis sekarang ini masih diremehkan.

“Biasanya enggak banyak yang mikir sampai ke situ, padahal harusnya dicek, itu penyakit juga berbahaya untuk ayam sama peternaknya,” tutur Umi. Bahaya di sini maksud Umi bukan karena penyakit bersifat zoonotik, melainkan dapat menyebabkan kematian tinggi dan produktivitas menjadi terhambat.

Penurunan produktivitas tersebut dapat berupa pembengkakan nilai FCR (feed conversion ratio), pertumbuhan terhambat, sampai terjadinya penurunan produksi telur dan tingkat pengafkiran yang tinggi. Tingkat kematian ayam rata-rata berkisar antara 10-80%, terdiri dari kematian DOC sebesar 7-50% dan ayam dewasa 2-60%.

Lebih lanjut Umi menjelaskan, gejala penyakit ini bersifat akut, proses penyakit berlangsung cepat dan mendadak. Suhu tubuh ayam akan sangat tinggi pada 3-4 hari post infeksi, kemudian diikuti dengan anemia akibat rusaknya sel-sel darah merah, kehilangan nafsu makan (anoreksia), lesu, lemah dan lumpuh.

Ayam yang terinfeksi parasit protozoa dapat mengalami muntah darah, mengeluarkan feses berwarna hijau dan mati akibat perdarahan. Infeksi Leucocytozoon dapat mengakibatkan muntah darah dan perdarahan atau kerusakan yang parah pada ginjal. Kematian biasanya mulai terlihat dalam waktu 8-10 hari pasca infeksi. Ayam yang terinfeksi dan dapat bertahan akan mengalami infeksi kronis dan selanjutnya dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan produksi.

Oleh karena itu, lanjut Umi, sangat penting untuk mengendalikan vektor penyakit tadi, karena kerugiannya akan sangat besar bagi peternak. Belum lagi jika berbicara penyakit endoparasitik lain seperti Koksidia dan Cacingan. 

“Koksidia tidak usah ditanya lagi kerugiannya gimana, yang pasti sangat besar. Selain itu, yang saya soroti sebenarnya penyakit Cacingan ini yang juga masih di-underestimate,” ungkapnya.

Ia memaparkan data dari USDA berupa kerugian akibat serangan penyakit parasitik di AS yang mencapai USD 240 juta per tahun, angka tersebut lebih tinggi ketimbang kerugian akibat penyakit infeksius lainnya yang hanya mencapai setengahnya.

“Rata-rata penyakit bakterial dan viral kan akut, ternak matinya cepat, kerugiannya juga sedikit karena kematian. Namun kalau parasit ini beda, ternak dibuat enggak produktif, stres, makan tetap tapi hasil berkurang, pengobatan jalan, tapi ujungnya banyak yang mati juga, berkali-kali lipat itu kerugiannya,” ucap Umi.

Ancaman Nyata, Harus Dicegah
Jika melihat ke website Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), dapat diakses data-data dari berbagai negara mengenai penyakit parasitik, berbeda jika di Indonesia yang masih sulit untuk mencari data seperti itu. Hal ini tentunya juga merupakan suatu bukti bahwa Indonesia belum serius dalam menangani penyakit parasitik. Padahal kerugian akibat penyakit parasit tidak sedikit, namun masih banyak yang terkesan acuh.

Drh Agus Prastowo, dari PT Elanco juga berkomentar bahwa amatlah sulit mengobati penyakit yang disebabkan parasit, terutama endoparasit. Karena organisme parasit memiliki struktur yang lebih kompleks ketimbang bakteri sehingga ketahanan dan resistensinya terhadap sediaan-sediaan anti-protozoa juga tergolong baik. “Tidak usah jauh-jauh, Koksidia saja dulu masih pakai koksidiostat saja masih sering jebol, apalagi tidak?,” kata dia.

Ia melanjutkan, bahwa penyakit-penyakit seperti ini seharusnya dicegah, bukan diobati. “Kenapa harus menunggu terinfeksi dulu baru diobati kalau sebisa mungkin kita cegah,” ucapnya kepada awak Infovet.

Ketika ditanya mengenai prescription diet untuk ayam, Agus berkata, ada baik dan buruknya. Sisi baiknya mungkin sediaan antibiotic growth promoter yang bisa menyebabkan residu jadi tidak ada di produk, tapi hal buruknya kemungkinan untuk terinfeksi menjadi tinggi.

“Menyoroti kebijakan pakan terapi kan sudah diatur pemerintah, namun akan lebih baik kalau memang diadakan dulu serangkaian uji dan pemeriksaan, jangan serta-merta langsung diputuskan untuk digunakan begitu saja,” tukasnya. Adapun mencegah penyakit parasit seperti Koksidiosis dengan menggunakan vaksin bisa saja dilakukan, namun biaya yang dikeluarkan juga tinggi. 

Ia pun mengimbau agar peternak, serta divisi animal health di suatu peternakan serius dalam mencegah penyakit parasit, baik ektoparasit maupun endoparasit. Karena serangan keduanya sangat berbahaya dan berdampak serius.

“Perlu dilakukan pencegahan yang serius, berkesinambungan dan terencana, karena kerugiannya enggak main-main,” tandas Agus.

Pencegahan penyakit parasit dapat dilakukan secara sederhana, misalnya mengaplikasikan light trap untuk mencegah infestasi lalat berlebih di kandang, atau melakukan fogging dengan pestisida setiap chick-in maupun selesai periode kandang. Rutin melakukan pemeriksaan darah juga dapat menjadi salah satu metode pencegahan sekaligus monitoring apakah ternak-ternak bebas dari parasit darah. Memang membutuhkan tenaga dan biaya, namun demi mencegah kerugian tidak ada salahnya. (CR)

PARASIT PADA UNGGAS "POTENSI CACING MENDEGRADASI KESEHATAN UNGGAS"

Prevalensi infestasi cacing pada ayam cenderung relatif tinggi terjadi pada ayam layer komersial. (Sumber: serfonteinpoultry.co.za)
Infestasi atau infeksi cacing pada ayam komersial tidak hanya menyebabkan penghambatan produktivitas semata. Namun mempunyai dampak lain yang bersifat indirect dan jauh lebih merugikan secara ekonomis. Bentuk nyatanya berupa respon yang cenderung lemah terhadap serangan infeksi agen penyakit bakterial maupun viral. Manifestasi yang dapat dimonitor antara lain dengan adanya kegagalan program vaksinasi dan terhambatnya pertumbuhan, serta produktivitas ayam, seperti disampaikan Drh Zahrul Anam, kepada Infovet.

Menurut teknisi kesehatan unggas lapangan dari PT Sanbe Cabang Yogyakarta ini, bahwa selama ini mainstream kuat tentang dampak buruk umumnya selalu mengarah langsung terhadap produktivitas ayam. Padahal tidak sedikit dampak ikutan lainnya yang jauh lebih dahsyat, yaitu terhadap status kesehatan dan stamina kesehatan unggas secara integral.

“Ayam yang mengalami infestasi cacing selalu membawa akibat berupa lemahnya respon dan terganggunya proses kekebalan tubuh yang muncul, sehingga berujung pada situasi dan kondisi kurang optimalnya kesehatan ayam,” ujar Zahrul.

Lebih lanjut, program vaksinasi yang dijalankan akan kurang berhasil dan berimplikasi pada ayam, sehingga menjadi rentan dan mudah mengalami sergapan penyakit. “Adanya cacing di dalam tubuh ayam, dalam status infeksius, akan menyebabkan ayam menjadi kurang tanggap terhadap serangan anekan agen penyakit. Hal ini dimulai dengan kurang berhasilnya program vaksinasi,” jelas dia.

Ia menambahkan, dengan adanya infestasi parasit cacing pada organ usus dalam derajat yang sedang hingga berat, berakibat pada rusaknya dinding dan vili-vili pada usus. Akibat kerusakan tersebut, mengganggu proses metabolisme tubuh. Hal ini diawali dengan terganggunya absorbsi nutrisi untuk membantu proses produksi zat kebal, selain menurunnya nafsu makn maupun minum. “Jika hal ini berlangsung dalam jangka waktu lama, sudah pasti akan bermuara pada lemahnya mekanisme respon sel tubuh dalam memproduksi zat kebal,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan, akibat adanya infestasi parasit cacing di dalam tubuh ayam, juga akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan tubuh. Kemunculan stress merupakan manifestasi lain dari akibat gangguan tersebut. Karena itu, perlu penelusuran secara cermat jika menjumpai ayam yang semakin berkurang nafsu minum dan makannya. “Ini juga bisa menjadi awal adanya infestasi cacing. Selama ini banyak yang kurang memperhitungkan itu,” ucapnya.

Biasanya prevalensi (tingkat kejadian) infestasi cacing pada ayam cenderung relatif tinggi terjadi pada ayam komersial petelur, dengan derajat keparahan rendah hingga menengah. Zahrul menyebut, potensi gangguan penyakit belum begitu mengkhawatirkan dan umumnya diketahui pada derajat keparahan di tingkat menengah. Sedangkan pada ayam potong (broiler), relatif lebih kecil prevalensinya. “Akan tetapi jika dijumpai kasus infestasi dalam skala atau derajat tinggi, bisa mengarah pada kualitas sumber air minum maupun pada gudang pakan yang kurang higienis,” katanya.

Berkaitan dengan lemahnya respon tubuh ayam terhadap semua program vaksinasi, menurut ayah tiga anak ini, ketidak-optimalan hasil program pengebalan mempunyai peran yang besar. Dari hasil pengamatannya di lapangan, umumnya akibat yang timbul yakni rendahnya pencapaian target performa pertumbuhan dan produktivitas unggas.

“Dan ini selalu diketahui setelah ayam masuk dalam tahap produksi. Keterlambatan ini memang nyaris terjadi karena program pemberantasan cacing masih kurang mendapatkan perhatian. Walau dilakukan pengobatan hasilnya juga kurang maksimal,” tukasnya. Oleh karena itu, program pemberantasan cacing harus secara simultan dilakukan dengan program-program lainnya, agar hasil optimal dan terbaik yang akan dicapai. (iyo)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer