Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Pakan Terapi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEMANFAATKAN HERBAL SEBAGAI TERAPI MEDIS PADA HEWAN

Indonesia memiliki potensi herbal yang dapat dimanfaatkan dalam terapi medis veteriner


Di masa kini tren gaya hidup manusia semakin berubah, termasuk dalam hal kesehatan. Manusia di masa kini banyak mengonsumsi obat - obatan herbal dan jejamuan dalam menunjang kesehatannya. Pada kenyataannya sediaan herbal juga dapat digunakan sebagai terapi dalam kesehatan hewan.

Hal ini dibahas secara mendalap pada webinar Dr. B The Vet show pada Minggu (29/11) melalui daring Zoom Meeting. Bertindak sebagai narasumber dalam webinar tersebut adalah Drh Slamet Raharjo, praktisi dokter hewan sekaligus peneliti dan staff pengajar dari FKH UGM. 

Menurut beliau, Indonesia sebagai salah satu negara mega biodiversity memiliki potensi yang besar karena keanekaragaman tanaman obatnya. 

"Ada ratusan bahkan ribuan jenis tanaman obat yang tersedia di negara ini dan banyak belum termanfaatkan dengan maksimal dalam hal ini pada sektor medis veteriner," tutur Slamet.

Pria kelahiran Kebumen tersebut kemudian menjelaskan beberapa penelitiannya yang bisa dibilang sederhana tapi mind blowing. Seperti misalnya ketika ia meneliti tentang potensi daun sambiloto pada luka iris pada beberapa jenis hewan seperti domba dan anjing.

"Ini berawal dari pengalaman pribadi saya, ketika mengalami kecelakaan, saya mencoba pada diri saya. Lalu berpikir bahwa seharusnya pada hewan juga memiliki efek yang sama, dan saya mencobanya, ternyata bisa," tutur dia.

Selain daun binahong, Slamet juga menyebut beberapa jenis tumbuhan obat lain yang telah banyak digunakan sebagai obat pada hewan. Misalnya kunyit dan meniran yang dikombinasikan sebagai imunomodulator pada ayam petelur yang telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan tubuh aya terhadap serangan AI.

Namun begitu Slamet juga menjelaskan hal - hal yang harus diperhatikan terkait penggunaan herbal sebagai media terapi pada hewan. Menurut dia, herbal digunakan sebagai terapi suportif, untuk itu penggunaan herbal akan lebih baik jika dikombinasikan dengan sediaan konvensional. 

Ia juga mengingatkan agar para dokter hewan untuk memahami jenis herbal yang digunakan serta spesies pasien yang akan diterapi dengan herbal, karena hal ini juga berkaitan dengan efek fisiologis dari pasien tersebut. Cara pemberian sediaan herbal juga harus diperhatikan, karena terkait dengan jenis herbal dan spesies yang diobati tadi.

Terakhir ia juga mengingatkan bahwa agar sediaan herbal memiliki khasiat obat, volume, konsentrasi, dan aplikasinya harus tepat dan digunakan sesuai kaidah medis.

"Jika volume kurang tidak berefek, jika berlebih bisa jadi toksik, oleh karena itu harus tepat. Lebih penting lagi, gunakan herbal yang memang sudah diteliti memiliki efek dan khasiat, jadi jangan serampangan juga menggunakan tumbuhan yang belum pernag diteliti di laboratorium," pungkasnya.

Dr. B The Vetshow sendiri merupakan sebuah media edukasi dan diskusi bagi para dokter hewan dari berbagai sektor yang digagas oleh Drh Ridzki Muhammad Firdaus Binol, seorang alumnus FKH IPB. Webinar tersebut merupakan seri ke-2 dari acara Dr. B The Vetshow. Untuk webinar, podcast , dan acara lainnya, lebih lengkap dapat dilihat pada instagram @Dr.b_thevetshow. (CR)


PAKAN TERAPI, ALTERNATIF NAIKKAN PERFORMA?

Self-mixing harus senantiasa dibimbing. (Sumber: Istimewa)

Fenomena pakan terapi (medicated feed) muncul setelah larangan penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP) diberlakukan setahun lalu. Kendati demikian, apakah penggunaan pakan terapi akan berpengaruh pada peningkatan performa ternak?

Pakan terapi merupakan pakan ternak yang dibuat khusus untuk mengobati ternak ketika terjadi penyakit yang ditemukan di kandang. Kandungan obat yang di masukkan dapat digunakan untuk mengobati penyakit infeksi, baik yang disebabkan bakteri maupun karena Koksidia. Di beberapa negara, aplikasi pakan terapi dalam penanggulangan infeksi utamanya Koksidia pada ayam dara (pullet) telah banyak dilakukan. Di Indonesia sendiri, pakan terapi benar-benar hal baru, karena kebijakan ini beriringan dengan pelarangan AGP pada pakan.

Aspek Teknis
Karena sifatnya yang dikhususkan untuk terapi atau tindakan kuratif, maka dosis antibiotik atau obat-obatan yang diberikan harus sesuai dosis pengobatan. Oleh karenanya, penggunaan dan pembuatan pakan terapi ini harus diawasi oleh dokter hewan.

Namun beberapa kalangan peternakan masih mengkhawatirkan proses pengawasan tersebut, salah satunya peneliti dari Balitnak Ciawi, Prof Budi Tangendjadja. Menurutnya, pengawasan dokter hewan mungkin akan ketat pada perusahaan produsen pakan, namun bagaimana di tingkat peternak mandiri yang meracik pakannya sendiri?

“Kalau menurut saya it’s ok pemerintah juga sudah mengatur, untuk perusahaan besar enggak perlu diragukan lagi aspek teknisnya, selain mesin untuk mixing terjamin, sumber daya manusianya juga ada, di perusahaan besar dokter hewannya pasti ada. Tapi kalau self-mixing gimana? Di Jawa Timur banyak self-mixing, siapa yang mengawasi mereka? Dinas? Technical service? Dari dulu kita lemah dalam fungsi pengawasan ini,” ujar Budi.

Kekhawatiran beliau memang cukup beralasan, karena berdasarkan pengamatan kemampuan peternak dalam memproduksi pakan self-mixing masih minim. Budi menjelaskan, kebanyakan peternak menggunakan mixer vertikal yang dipakai untuk mencampur konsentrat, jagung giling dan dedak padi dengan proporsi 35, 45-50 dan 15-20%. Cara kerja mixer tersebut sangat berbeda dengan mixer horizontal yang dimiliki pabrikan pakan, sehingga kemampuan untuk mencampur bahan dalam jumlah kecil diragukan.

Meskipun beberapa peternak mencoba membuat premix (pre-mixing), yaitu campuran imbuhan pakan dalam jumlah kecil menjadi campuran yang lebih besar (misalnya 50 kg per ton), untuk kemudian dimasukkan dalam mixer utama. Tetapi kemampuan mengaduk secara merata dari mixer vertikal yang berkapasitas 1-2 ton jarang diuji, sehingga tidak diketahui apakah ransum yang dibuat sudah homogen. 

Selain itu, Budi juga menekankan aspek... (CR) Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2019.

PASCA FREE AGP, KONSEKUENSI REGULASI DAN UPAYA MENJAGA PERFORMA AYAM DENGAN PAKAN TERAPI

Penggunaan antibiotik dalam pakan masih diperbolehkan melalui pakan terapi yang penggunaannya harus sesuai aturan pemerintah. (Foto: Dok. Infovet)

Kebijakan penggunaan antibiotik dalam dunia peternakan dua tahun terakhir ini benar-benar menjadi tema dan trending topik yang selalu seru untuk dikupas lebih rinci dan detail. Tidak hanya berdampak terhadap perubahan pola strategi dalam menyusun formula pakan, namun juga startegi tata cara pemeliharaan termasuk sistem biosekuritinya.

Zaman telah berubah, waktu berganti dan strategi untuk bisa bertahan hidup dengan efisiensi terbaikpun mengalami penyesuaian. Titik-tolak perubahan ini terjadi seiring dengan penegasan implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan pada bagian kelima. Kriteria obat hewan yang dilarang tercantum dalam Pasal 15 ayat 1. Kebijakan tersebut sesuai amanat Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Secara tersurat, esensi dari Permentan No. 14/2017 mengatur penggunaan antibiotik yang dicampur dalam pakan tidak lagi diperbolehkan. Kendati demikian, pencampuran antibitoik dalam pakan saat ini hanya boleh digunakan dengan resep dokter hewan dan dalam monitoring yang ekstra ketat. Berbeda dengan era sebelumnya dimana antibiotik masih diizinkan sebagai pemicu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP). Namun dengan adanya penegasan pemerintah terkait pelarangan penggunaan antibiotik, menjadi paradigma baru bagi industri peternakan khususnya untuk menyediakan produk-produk peternakan yang lebih ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal).

Konsekuensi yang harus dihadapi dari hal tersebut terjadi tidak hanya di kalangan peternak, namun juga terjadi di semua stakeholder yang berhubungan dengan industri peternakan (feed mill, breeding farm, perusahaan obat hewan dan imbuhan pakan, perusahaan penyedia bahan baku pakan dan sebagainya). Sehingga tantangan kuman penyakit, baik virus ataupun bakteri harus disikapi dengan melakukan antisipasi lebih dini dan lebih serius dibandingkan sebelumnya. Jangan sampai bakteri menjadi kebal (resistant) terhadap berbagai jenis antibiotik, sehingga akan menjadi bom biologis yang membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia.

Isu Resistensi Antimikroba (AMR/Antimicrobial Resistance)
Pada Juli 2014 silam pernah diadakan pertemuan global “The Review on Antimicrobial Resistance” dimana dari hasil pertemuan tersebut menyatakan bahwa kasus infeksi bakteri yang kebal/resisten terhadap antimikroba meningkat sangat signifikan. Di Eropa dan Amerika Serikat saja lebih dari 50.000 nyawa hilang tiap tahunnya karena kasus resistensi ini pada kejadian infeksi sekunder bakteri penyakit malaria, HIV/AIDS dan TBC.

Dari pertemuan itu juga para ahli memperkirakan jumlah korban meninggal secara global di seluruh dunia mencapai sedikitnya 700.000 setiap tahun. Pada 2050, jumlah ini diprediksi naik mencapai 10 juta orang, jauh lebih tinggi dibandingkan korban meninggal akibat kanker, diabetes, kecelakaan lalu lintas, kolera, tetanus, measles, diarea dan kolera.

Dari total jumlah tersebut, korban terbesar sekitar 4 juta orang dari Afrika dan Asia. Bahkan prediksi biaya kesehatan untuk mengatasi kasus resistensi ini mencapai hingga 100 triliun dolar AS per tahun. Selain itu resistensi antibiotik juga turut meningkatkan risiko kematian yang secara langsung berpengaruh pada menurunnya usia harapan hidup suatu negara.

• Konsekuensi di Kalangan Peternak
Terbukti semua peternak berbenah diri. Bagi para peternak yang mempunyai anggaran cukup, tidak tanggung-tanggung langsung menyulap kandangnya dari open house (kandang terbuka) menjadi semi closed house (tunel) bahkan full closed house (kandang tertutup) dengan evaporative cooling system.

Tantangan kuman dari luar bisa ditekan karena kandang dalam kondisi tertutup 24 jam, dimana hanya area inlet (tempat udara masuk) saja yang dibuka. Harapannya jumlah kontaminan bibit penyakit bisa di tekan seoptimal mungkin. Tidak hanya itu, di kalangan peternak yang masih menggunakan sistem kandang terbuka pun tidak mau kalah. Mereka mencari... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2019.

Oleh: Drh Eko Prasetio
Private Commercial Broiler Farm Consultant

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer