Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Non AGP | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SIASAT PAMUNGKAS PASCA NON-AGP (BAG. I: GUT INTEGRITY)

Pasca non-AGP banyak pilihan produk suplementasi yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan ataupun merawat integritas saluran cerna ayam. (Sumber: Istimewa)

Oleh:
Tony Unandar (Konsultan Perunggasan & Anggota Dewan Pakar ASOHI)

“Semua penyakit dimulai dari usus” demikian postulat cemerlang yang dicanangkan oleh Hippocrates, bapa kedokteran universal dalam kurun waktu 400 tahun sebelum Masehi.  Mencermati gegap gembita situasi lapangan pasca non-AGP dan tingginya tuntutan pada proses pencernaan pakan yang cepat serta efisien dalam saluran cerna ayam modern, tampaknya kolega praktisi lapangan mesti melakukan refleksi mendalam atas postulat tersebut. Tulisan ini juga merupakan “oleh-oleh” dari IHSIG Symposium 6 di Roma awal April silam dan dilengkapi dengan beberapa data terkait hasil penelusuran jurnal ilmiah. Semoga membawa secercah pencerahan ataupun harapan buat kolega lapangan bagaimana membentuk dan merawat kesehatan saluran cerna suatu flok ayam modern, agar fungsi fisiologisnya prima dan ekspresi fenotifnya signifikan.

Kesehatan Saluran Cerna (Usus)
Pasca non AGP (antibiotic growth promoter), para ahli perunggasan global tidak bisa secara utuh memberikan definisi yang komprehensif dengan apa yang dimaksud “kesehatan saluran cerna”, khususnya usus. Terminologi “sehat” tidak selalu dimaknai dengan absennya penyakit, baik yang disebabkan oleh agen infeksius ataupun non infeksius, tetapi lebih merupakan suatu interaksi yang kompleks dan terintegral antara kondisi saluran cerna dengan mileu yang sangat dinamis dari isi lumen saluran cerna itu sendiri sehingga terjadi kondisi homeostasis yang dapat memberikan dampak produktivitas yang optimal sesuai dengan potensi genetik ayam yang ada. Disamping sebagai tempat proses pencernaan pakan, saluran cerna juga bertanggungjawab untuk penyerapan unsur-unsur nutrisi serta menjadi barrier selektif bagi patogen ataupun toksin yang mungkin dapat masuk ke dalam jaringan tubuh induk semang via usus (Dibner JJ et al., 2004).

Terkait kesehatan saluran cerna, keberadaan mikroba dalam saluran cerna ayam (microbiome) juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Selain lingkungan hidup ayam umumnya “kaya” dengan mikroba (litter, udara, air minum bahkan pakan), juga karakter ayam yang “doyan” mengkonsumsi kotoran alias fesesnya sendiri (coprophagic animals) menjadi penyebab kenapa kandungan mikroba saluran cerna ayam sangat tinggi dan dinamis (Apajalahti J et al., 2004). Perubahan kondisi fisiologis ayam akibat adanya faktor stres internal ataupun eksternal, selain mempengaruhi kondisi umum (sistem imunitas) ayam juga akan mengubah pola interaksi antara ayam dan mikroba (microbiome) yang ada dalam lumen usus (Oakley B dan Kogut MH, 2014). Tegasnya, dalam konteks diskusi kesehatan saluran cerna berarti meliputi sejumlah dinamika proses fisiologis, mikrobiologis dan fisik yang secara bersama-sama menjaga homeostasis saluran cerna secara berkesinambungan agar proses pencernaan dan penyerapan unsur nutrisi dapat berlangsung optimal (Dibner JJ et al., 2004; Polansky O et al., 2016). Cermati gambar 1 dan 2.


Oleh sebab itu, kondisi homeostasis alias optimal tidaknya fungsi saluran cerna (gut health = kesehatan saluran cerna) ditentukan oleh tiga komponen penting yang saling tergantung satu sama lainnya (inter-dependent), yaitu: (1) sistem imunitas lokal saluran cerna, khususnya pada tataran lapisan lendir dan sel-sel epitelium; (2) kondisi mikrobiota (microbiome) dalam lumen saluran cerna, khususnya usus; dan (3) asupan nutrisi (nutrient intake), yang selanjutnya akan mempengaruhi fisiologi dan metabolisme induk semang (ayam) secara keseluruhan. Mengingat keterbatasan halaman yang tersedia, maka tulisan pertama ini hanya akan membahas sekitar poin (1) saja, sedangkan poin (2) dan (3) akan dibahas pada tulisan berikutnya.


Sistem Imunitas Lokal Saluran Cerna
Terdiri dari dua buah komponen yang saling ada ketergantungan, yaitu lapisan lendir (mukus) dan sel-sel epitelium.

Suatu lapisan lendir (mucin; tepatnya mucin-2 atau MUC2) yang dihasilkan oleh sel-sel mangkok (Goblet cells) merupakan lapisan terdepan dari sistem imunitas lokal saluran cerna (first line of defence). Tujuannya adalah melindungi sel-sel epitelium usus dari material isi lumen yang tidak diharapkan seperti bahan-bahan yang bersifat iritan atau toksik, perlekatan (attachment) dan atau invasi suatu patogen yang merugikan induk semang (Kim J dan Khan W, 2013). Selain lendir, sel-sel mangkok juga menghasilkan senyawa terlarut protein sinyal (signaling protein) berupa Trefoil Factor (TFF) dan Resistin-Like Molecule-β (RELM-β) yang mempunyai peran penting dalam innate immune response (Sharma et al., 2010).

Sebenarnya, menurut Johansson dkk. (2011) komponen lendir pada permukaan saluran cerna, khususnya usus, terdiri atas dua buah lapisan, yaitu: (lihat juga gambar 3 dan 4)


(a) Lapisan lendir luar (outer mucous layer) dimana terdapat kolonisasi probiont (bakteri baik/good bacteria), Imunoglobulin-A (IgA), ion-ion tertentu seperti Cu+2, dan antimicrobial peptides (AMPs) yaitu sejenis peptida terlarut yang dihasilkan oleh sel-sel Paneth, sel-sel enterosit (enterocytes) dan beberapa jenis probiont (bakteri baik). Pada tingkat lumen usus, beberapa AMPs bersama dengan ion-ion tertentu (Cu+2) dapat membatasi replikasi patogen (patobiont) dalam lapisan lendir (bacteriocin effect), sehingga peluang sel-sel epitelium usus terserang patogen jauh lebih kecil dan reaksi radang pun sangat minim (Kim J dan Khan W, 2013).

(b) Lapisan lendir dalam (inner mucous layer) merupakan lapisan yang menempel langsung pada bagian apikal sel-sel epitelium dan selain lebih steril dibandingkan dengan lapisan lendir luar, juga lebih “kaya” akan AMPs, signaling proteins dan IgA. Pada kondisi tertentu, misalnya stres yang subkronis sampai kronis dimana sekresi lendir oleh sel mangkok sangat menurun, maka keberadaan mucus-associated microbiota (probiont) menjadi tumpuan untuk melindungi sel-sel epitelium agar terjaga integritasnya (Johansson MEV et al., 2008).


Selain lapisan lendir, sistem imunitas lokal saluran cerna juga ditentukan oleh adanya lapisan deretan sel-sel epitelium yang tebalnya kurang lebih 20 μm. Lapisan epitelium inilah yang menjadi barrier atau pembatas penting yang sifatnya masif tapi selektif antara isi lumen usus dengan jaringan tubuh induk semang dibawahnya yaitu jaringan ikat sub-epitelium (Ismail dan Hooper, 2005). Umumnya, sel-sel epitelium saluran cerna (usus) mempunyai dua kutub utama yaitu bagian apikal yang biasanya mempunyai mikrovilli dan berhadapan langsung dengan isi lumen usus serta bagian basolateral yang bersinggungan dengan sel tetangganya dan jaringan lain dibawahnya yaitu lamina propria dimana terdapat jaringan ikat, pembuluh darah dan sel-sel imunitas (kembali cermati gambar 3 dan 4).

Karena perannya sebagai barrier kompleks yang selektif, maka lapisan epitelium saluran cerna tidak hanya terdiri dari sel-sel epitelium usus (enterocytes), tetapi juga ada beberapa sel lain yang mempunyai tanggung jawab khusus misalnya sel-sel mangkok (Goblet cells) seperti yang sudah diterangkan diatas, sel-sel Paneth serta sel-sel M (Flier LG dan Clevers H, 2009).

Sel-sel Paneth umumnya banyak ditemukan pada usus halus dan bentuknya mirip seperti sebuah piramida. Dalam kripta usus halus, sel-sel Paneth merupakan bagian dari sistem pertahanan sel (innate immune system). Di dalam sitoplasma selnya banyak ditemukan granul-granul yang kaya akan enzim lisosim, alfa-defensin, dan “antimicrobial peptides” (AMPs). Senyawa AMPs inilah sangat penting dalam mempertahankan homeostasis sepanjang usus yakni untuk mengurangi reaksi peradangan akibat induksi pelbagai molekul ataupun mikroba yang ada dalam lumen usus. Disamping itu, sel-sel Paneth juga mampu menghasilkan beberapa sitokin (signaling proteins) yang sangat penting dalam komunikasi antara lapisan epitelium dan perangkat sistem imunitas yang ada di bawahnya, yaitu innate immune system yang selanjutnya dapat juga menggertak adaptive immune system (Porter EM et al., 2002).

Selain sel Paneth, juga sel-sel M bisa ditemukan diantara sel-sel epitelium usus (enterocytes), baik pada lapisan epitelium usus halus maupun usus besar. Keberadaannya biasanya tepat di atas dari jaringan GALT (gut-associated lymphoid tissues), terutama Peyer’s Patches. Secara histomorfologis, sel-sel M sebenarnya bagian dari GALT.  Bentuknya seperti kantung kecil yang kaya akan sel-sel limfosit di dalamnya.  Beberapa literatur menyebut sel M sebagai “intra-epitelial lymphocytes”. Material yang bersifat antigenik (misalnya: MAMPs = microbe-associated molecular patterns) yang ada di dalam lumen usus difasilitasi oleh sel M menuju sel-sel imunitas seperti makrofag dan atau sel dendritik yang berlokasi dalam jaringan sub-epitelial usus yang selanjutnya akan menginduksi sel limfosit-B untuk memproduksi IgA. Itulah sebabnya fungsi sel M sangat krusial bagi komunikasi antara keadaan dalam lumen usus dengan sistem imunitas lokal di tingkat jaringan usus (Kindt TJ et al., 2007; Miller H et al., 2007). Dalam satu dekade terakhir, penelitian produk-produk yang bersifat imunomodulator, selain melibatkan sel makrofag atau sel dendritik, juga mulai “dilirik” peran sel M dalam konteks “innate immune response” usus.

Selanjutnya, karena lapisan epitelium usus disamping fungsinya sebagai barrier yang selektif tetapi juga berperanan dalam absorpsi bahan-bahan nutrisi, maka peranan lapisan epitelium usus selain ditentukan oleh kualitas sel-sel epitelium itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh adanya protein hubungan khusus yang kompleks (selanjutnya disebut junctional complex atau JC) antar sel epitelium yang bersebelahan dalam rupa tight junction, adherens junction, desmosome dan gap junction (gambar 5). Jadi tegasnya, sel epitelium beserta kinerja kombinasi protein-protein hubungan khusus yang kompleks (junctional complex) tersebut, khususnya yang terpenting adalah “tight junction” inilah yang menentukan peran lapisan sel-sel epitelium sebagai barrier sekaligus juga peran absorpsi bagi unsur-unsur gizi dari dalam lumen usus (Dabrowski S et al.,2015).


Jika hubungan khusus yang kompleks ini terganggu, maka fungsi terutamanya sebagai barrier yang selektif pun mengalami kemunduran alias terjadi kebocoran (leakage). Kondisi inilah yang disebut gangguan integritas usus (gut integrity problem). Jika terjadi kebocoran, maka semua material dalam bentuk molekul terlarut ataupun cairan yang ada dalam lumen usus (patogen/patobiont, toksin ataupun iritan) dapat bebas masuk ke dalam jaringan dinding usus yang selanjutnya dapat terjadi secara sistemik via sistem sirkulasi darah.  Sebaliknya, dalam kondisi bocor semua komponen penting yang ada dalam jaringan dinding usus (cairan tubuh, bahan nutrisi, ion-ion tertentu) bisa keluar kembali ke dalam lumen usus (Tellez G Jr et al., 2017).

Karena keberadaan lendir sangat krusial dalam melindungi sel-sel epitelium dan keberadaan lapisan sel-sel epitelium itu sendiri selain sebagai barrier selektif juga peran absorpsi nutrisi pada permukaan saluran usus, maka ada beberapa tindakan lapangan yang bisa dilakukan agar secara imuno-fisiologis saluran cerna ayam tetap optimal, yaitu: 

1) Yang utama dan pertama adalah pastikan pertumbuhan awal yaitu pertumbuhan hiperplasia sel-sel dari sistem pencernaan ayam optimal (khususnya sampai dengan minggu kedua), karena sangat menentukan pertumbuhan anatomis saluran cerna, termasuk jumlah dan kualitas sel-sel epitelium maupun sel-sel mangkok, sel Paneth serta sel M sepanjang saluran cerna. Disamping itu, banyak penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa pemberian preparat probiotika tertentu (Abudabos AM et al., 2015; Salehimanesh A et al., 2015) ataupun prebiotika tertentu (Benites V et al., 2008; Shao et al., 2013) sejak awal DOC dapat meningkatkan pertumbuhan awal saluran cerna, baik itu dari aspek kuantitas (jumlah sel) maupun dari aspek kualitas (ukuran sel).

2) Yakinkan ayam selalu mendapatkan asupan nutrisi yang cukup, tidak hanya makronutrisi (sebagai sumber energi), tetapi juga mikronutrisi untuk menjaga integritas permukaan saluran cerna ayam agar tetap prima seperti vitamin tertentu (terutama vitamin A dan E) serta beberapa trace element tertentu misalnya Zn, Cu, Mn, Se dan Fe untuk mengurangi dampak stres oksidatif akibat proses pencernaan yang cepat dan “hidden heat-stress“ (Surai P et al., 2012; Panda AK dan Cherian G, 2014).

3) Minimkan faktor-faktor stres eksternal akibat lingkungan ayam yang tidak nyaman ataupun perlakuan yang tidak “lege artis”. Pada kondisi stres akut, maka sekresi lendir oleh sel mangkok akan berlebihan, sehingga pertumbuhan “mucolytic bacteria” seperti Clostridium perfringens akan meningkat tajam dan kasus NE (necrotic enteritis) pun mudah merebak. Sebaliknya pada kondisi stres subkronis sampai kronis, maka sekresi lendir oleh sel-sel mangkok akan menurun, dampaknya adalah kesehatan saluran cerna (gut integrity) akan terancam (Atuma C et el., 2001; Johansson MEV et al., 2008).

4) Karena protein tight junction sangat berperanan dalam menentukan permeabilitas lapisan epitelium usus, maka kualitas dan kinerjanya harus tetap prima. Secara in-vitro, kualitas dan kinerja protein tight junction dapat uji dengan “trans-epithelial electrical resistance”. Di lapangan, beberapa produk suplementasi seperti probiotika, asam lemah (acidifier), essential oils tertentu atau bahkan mineral dan trace elements (Ca+2, P dan Zn+2) dapat menjaga atau merawat kualitas serta kinerja tight junction (Menningen R et al., 2009; Amar J et al., 2011; Shen L et al., 2011; Su Li et al., 2011).

Kesimpulan
Keberadaan sel-sel epitelium permukaan saluran cerna beserta sel-sel pelengkap lainnya (sel Goblet, sel Paneth dan sel M), baik dari sudut kuantitas maupun kualitas, sangatlah menentukan kesehatan saluran cerna (usus) alias integritasnya prima. Jika integritas saluran cerna prima, maka perannya disamping sebagai barrier yang masif tapi selektif dan perannya dalam absorpsi unsur-unsur gizi akan berlangsung secara optimal. Lapisan lendir dan asesorinya serta tanggap kebal sistem imunitas lokal saluran cerna sangat ditentukan oleh kinerja dan produk yang dihasilkan sel-sel pada lapisan epitelium tersebut.

Pada faktanya, tergantung kondisi teknis yang ada di lapangan serta “kerelaan” peternak dalam merogoh kocek, pasca non-AGP banyak pilihan produk suplementasi yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan ataupun merawat integritas saluran cerna ayam modern agar performans akhir tetap “tokcer”. (toe)

Gambaran Dinamika Penyakit Unggas 2019

Penanganan penyakit menjadi kunci sukses usaha budidaya unggas. (sumber: Google)

Penyakit merupakan satu dari banyak tantangan yang akan terus merintangi usaha budidaya ternak. Perkembangan penyakit unggas di lapangan sangat dinamis dan terkadang sulit ditebak, bagaimana kira-kira prediksi penyakit unggas di 2019? Tentu akan sangat menarik untuk dicermati.

Hari berlalu tahun berganti, namun penyakit-penyakit unggas tetap terus menghantui. Jika budidaya ternak diibaratkan sebagai perang, penyakit merupakan musuh yang paling pantang menyerah dalam meneror usaha budidaya. Bagaimana tidak?, walaupun di kandang ayam terlihat sehat secara kasat mata, bisa jadi kondisi ayam tidak sepenuhnya sehat, oleh karenanya kewaspadaan diperlukan agar peternak tidak kecolongan.

Ngorok yang Tak Pernah Usai
Ada suatu kutipan dalam bahasa Inggris yang berbunyi, “nothing last forever”. Mungkin kutipan tersebut kurang tepat untuk beberapa jenis penyakit unggas. Pasalnya, beberapa penyakit unggas justru “long lasting forever”. Sebut saja penyakit CRD (Chronic Respiratory Disease), Coryza dan Colibacillosis. Entah bagaimana penyakit-penyakit tadi sangat betah menebar teror kepada para peternak di Indonesia.

“Setiap kandang dengan sistem open house pasti pernah kena CRD atau Coryza apalagi Colibacillosis, saya yakin banget,” ujar Prof I Wayan Teguh Wibawan, dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB sekaligus praktisi perunggasan. Menurutnya, CRD adalah penyakit “langganan” yang sudah mendarah daging di sektor perunggasan Indonesia.

Prof Wayan menegaskan, penyakit-penyakit tadi sangat sulit dieradikasi karena memang bukan hanya terkait dengan si agen infeksi, tetapi juga perkara manajemen pemeliharaan. “Sekarang begini, kita semua tahu bahwa negara ini kondisi iklimnya sangat mendukung untuk siklus hidup mikrobiologi patogen, tapi karena faktor kita yang lengah dan tidak peduli, siklus penyakit jadi sulit diputus, oleh karenanya kita juga harus eling bahwa kita jangan betah diteror penyakit,” ucap dia.

Yang kadang peternak luput adalah, penyakit-penyakit di atas tadi adalah pintu gerbang bagi agen patogen lainnya untuk masuk ke dalam kandang. “Kalau mereka sudah berkolaborasi, baru tuh mereka kalang-kabut kelabakan, saya sering banget ditanya harus seperti apa,” ungkap Prof Wayan.

Berkaitan dengan ketiga penyakit tadi, Prof Wayan merekomendasikan agar peternak tidak memaksakan diri dalam mengisi kandang. Artinya, ketika harga bagus peternak seringkali mengisi kandang overload, sehingga kandang terlalu padat, sirkulasi udara buruk dan kadar amoniak terlalu tinggi. Amoniak tadi akan mengiritasi ayam di dalam kandang terus-menerus dan menyebabkan peradangan pada slauran pernafasan. Dari situ mikroba patogen akan mengambil alih dan memperparah peradangan tersebut.

“Perbaiki cara pemeliharaan juga, ini berpengaruh. Mindset jangan hanya keuntungan saja, selain itu patuhi istirahat kandang. Jangan ketika harga (ayam) sedang oke, kandang dipaksa berproduksi terus, gawat itu,” tukas Prof Wayan. Menurut dia, apabila manajemen pemeliharaan yang buruk tetap dipertahankan, penyakit-penyakit tersebut di atas akan terus eksis sampai kapanpun.

Dampak Pelarangan AGP
Sejak diberlakukannya Permentan No. 14/2017 tentang pelarangan antibiotik sebagai imbuhan pakan, pro dan kontra di lapangan terus terjadi. Beberapa pihak mengklaim bahwa pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promotor) membuat ayam menjadi rentan terhadap penyakit, namun ada juga yang menganggap pelarangan penggunaan AGP tidak banyak membawa pengaruh pada kesehatan ayam.

Darmawan, peternak kemitraan asal Tuban, ketika ditemui Infovet menyatakan, sejak pelarangan AGP kandangnya sangat sulit untuk perform. “Sekarang beda, enggak pakai antibiotik ayam jadi mudah sekali mencret, sudah begitu tingkat kematiannya juga lumayan kalau enggak kita upayakan,” tutur Darmawan.

Hal senada juga diutarakan Jarwadi, salah satu peternak layer asal Lamongan. “Nyekrek dan mencret-nya jadi lebih sering, produksi telur juga turun entah mengapa, mungkin karena pakan non-AGP, yang jelas sekarang peternak harus punya lebih banyak jurus untuk menghadapi hal-hal seperti itu,” ucap Jarwadi.

Sementara, Pakar Kesehatan Unggas dan Konsultan Perunggasan, Tony Unandar, juga angkat bicara mengenai pelarangan AGP. Menurut Tony, ketika AGP dilarang, yang justru berbahaya dan dikhawatirkan adalah ancaman Koksidiosis. “Banyak yang bilang ke saya kalau semenjak pakan tidak diberi AGP, Koksidiosis marak terjadi. Sudah banyak yang konfirmasi juga ke laboratorium, kalau itu benar Koksidiosis,” ujar Tony.

Ia melanjutkan bahwa ketika AGP dilarang, yang justru berbahaya dan dikhawatirkan adalah ancaman... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

Berlomba Memacu Performa Genetik di Era Non Antibiotik

Kandang closed house.

Bicara perkara pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) pada pakan unggas seakan tidak ada habisnya. Pasalnya, setiap peternak banyak mengeluh mengenai performa yang kian anjlok. Apakah benar begitu adanya? Bagaimana agar performa stabil di era non-AGP?

Sejarah mencatat bahwa Indonesia melakukan impor ayam broiler secara komersil pada tahun 1967. Sejak saat itu usaha budidaya ayam broiler, baik skala kecil maupun besar terus berkembang hingga saat ini. Pada era tersebut, ayam broiler perkembangannya belum secepat ayam broiler zaman now. Namun kini, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, ayam broiler dapat dipanen kurang dari 30 hari dengan bobot badan lebih dari 1.000 gram. Sejalan dengan ayam broiler, ayam petelur atau biasa disebut layer juga mengalami hal serupa. Produksi ayam petelur zaman old versus zaman now tentunya sangat berbeda.

Bahkan karena cepatnya kedua jenis unggas tersebut berkembang, tidak jarang kalangan peternakan mendengar isu-isu miring mengenai hal tersebut. Mulai dari ayam disuntik hormon, obat kuat, sampai yang agak aneh mengenai telur palsu (plastik). Tentunya isu-isu miring seperti ini kian membuat gerah kalangan peternakan di Tanah Air.

Kemajuan Genetik
Jika masyarakat rajin membaca apalagi mengunjungi laman web para "provider" bibit-bibit ayam di luar negeri, mereka akan paham bahwa ayam modern dapat berkembang begitu cepat karena teknologi di bidang genetika. Bukan dari modifikasi genetik, melainkan pemuliaan demi pemuliaan yang dilakukan oleh para provider di laboratorium mereka masing-masing.

Hasilnya? Setelah lebih dari 100 tahun penelitian lahir lah ayam-ayam zaman sekarang yang perkembangannya sangatcepat. Menurut Prof Burhanudin Sundu, Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, ayam-ayam modern adalah “monster” yang sebenarnya.

“Bukan monster yang suka makan orang ya, tapi dari segi pertumbuhannya. Coba bayangkan, seekor DOC yang awalnya bobot badannya kurang lebih 40 gram, dalam 30 hari menjadi 1,5 kilogram bahkan ada yang hampir 2 kilogram. Itu kan artinya mereka menjadi besar sebanyak 150 kali lipat hanya dalam sebulan,” ujar Prof Burhanudin.

Begitu pula dengan ayam petelur, potensi bertelurnya setiap tahun akan terus meningkat seiring perkembangan di bidang genetika. “Kalau tidak percaya coba cari dan bandingkan misalnya performance ayam-ayam Cobb sebelum tahun 2000 sampai sekarang tahun 2018 ini, pasti berbeda,” tuturnya.

Namun begitu, lanjut Prof Burhanudin, tidak ada mahluk yang superior di dunia ini. “Ayam zaman now memang sangat superior dalam bidang performa produksi, namun sebagai kompensasinya gen-gen kekebalan terhadap penyakit yang ada pada tubuh mereka tidak se-superior performance-nya, sehingg aayam zaman now mudah sekali terserang stres dan penyakit,” jelasnya... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi September 2018.

Aplikasi Bakteriofag Sebagai Pengganti AGP

Gambar 1. Perbandingan ukuran bakteriofag dengan mikroorganisme lain.
((Dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan membuat produsen feed additive berlomba-lomba mencari penggantinya. Dari mulai acidifier, herbal, essential oil, probiotik dan lain sebagainya telah dicoba. Bagaimana dengan bakteriofag?))

Mungkin terdengar asing di telinga ketika berbicara mengenai bakteriofag, namun kalau ditelaah lebih dalam, bakteriofag bisa menjadi alternatif pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang menjanjikan. Di Indo Livestock 2018 yang lalu, penulis berkesempatan berbincang mengenai bakteriofag dengan Max Hwagyun Oh, PhD. Vet Med., peneliti bakteriofag sekaligus Managing Director CTCBio Inc. Korea. 

Bakteriofag
Dalam dunia mikrobiologi, tentu dikenal adanya bakteri, virus, kapang, khamir, protozoa, dan lain sebagainya. Ada satu hal yang mungkin terlewat dan kurang dipelajari, yakni bakteriofag. “Bakteriofag berasal dari kata Bacteria (bakteri) dan Phage (makan), jadi bakteriofag adalah mikroorganisme pemakan bakteri,” ujar pria yang akrab disapa Dr. Max Oh itu.


Dr. Max Hwagyun Oh
Ia melanjutkan, sejatinya bakteriofag adalah entitas umum yang ada di bumi, ukurannya lebih kecil daripada bakteri, sehingga dapat menginfeksi bakteri. Umumnya struktur tubuh bakteriofag terdiri atas selubung kapsid protein yang menyelimuti materi genetiknya.

“Jika dirunut sejarahnya, bakteriofag pertama kali ditemukan tahun 1896, kemudian di tahun 1917 seorang peneliti mikroba dari Kanada, Felix de Herelle, menemukan bahwa bakteriofag memakan bakteri disentri berbentuk bacillus,” katanya. Kemudian penelitian mengenai bakteriofag dilanjutkan sampai tahun 1940-an, namun ketika antibiotik ditemukan, penelitian mengenai bakteriofag sempat “mandek”, yang kemudian dilanjutkan kembali pada 1950-an hingga sekarang.

Sifat dan Cara Kerja Bakteriofag
Bakteriofag memiliki cara kerja yang hampir sama dengan enzim, yakni dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada permukaan tubuh bakteri, seperti peptidoglikan, lipopolisakarida dan lain sebagainya. Selain itu, membran kapsid pada bakteriofag tidak dapat mendegradasi membran sel hewan, sehingga dengan sifat ini bakteriofag hanya menyerang sel bakteri dan tidak berbahaya bagi hewan.

Dalam mengeliminasi bakteri, cara kerja bakteriofag sama seperti virus melisiskan sel, yakni melalui siklus litik dan lisogenik. Bakteriofag subjek penelitian Dr. Max Oh, bekerja melalui siklus litik. Siklus litik (sel lisis) dimulai dengan bakteriofag akan mengenali reseptor pada dinding sel bakteri dan menempel pada bakteri, bakteriofag akan melisiskan dinding sel bakteri (penetrasi) dan men-transfer materi genetiknya ke dalam sel bakteri.

Setelah berhasil menginjeksi materi genetiknya, bakteriofag akan menghasilkan enzim (dikodekan dalam genomnya) untuk menghentikan sintesis molekul bakteri (protein, RNA, DNA). Setelah sintesis protein dan asam nukleat dari sel bakteri berhenti, bakteriofag akan mengambil alih proses metabolisme sel bakteri. DNA dan RNA dari sel bakteri digunakan untuk menggandakan asam nukleat bakteriofag sebanyak mungkin. Selain itu, bakteriofag akan menggunakan protein yang terdapat pada sel inang untuk menggandakan kapsid.

Setelah materi genetik bakteriofag lengkap dan memperbanyak diri, sel bakteri akan dilisiskan oleh bakteriofag dengan bantuan depolimerase, yang diikuti kemunculan bakteriofag baru yang siap menginfeksi bakteri lainnya. Dr. Max Oh juga menjabarkan, kinerja bakteriofag sangat cepat, proses melisiskan sel bakteri hanya 25 menit.

“Bakteriofag sangat istimewa, mereka dapat mengenali bakteri-bakteri patogen yang spesifik, jadi mereka tidak akan menyerang bakteri baik maupun sel hewan itu sendiri,” jelas Alumnus Seoul National University itu. Dalam penelitiannya, bakteriofag yang ia gunakan diklaim dapat mengeliminasi bakteri patogen, seperti Salmonella choleraesius, Salmonella Dublin, Salmonella enteritidis, Salmonella gallinarum, Salmonella pullorum, Salmonella typhimurium, E. colli F4 (K88), E. colli f5  (K99), E. colli f6 (987P), E. colli (f18), E.colli (f41), Staphylococcus aureus dan C. perfringens (tipe A s/d E).


Gambar 2. Cara kerja bakteriofag melisiskan sel bakteri.
Hasil Uji Coba Bakteriofag di Lapangan

Hasil penelitian Dr. Max Oh dan timnya telah diujicobakan baik di laboratorium maupun di lapangan. Pada hasil ujicoba laboratorium (menggunakan metode yang sama dengan uji sensitivitas antibiotik), bakteriofag teruji dapat mengelminiasi bakteri-bakteri patogen, seperti terlihat pada (Gambar 3.) di bawah ini.


Gambar 3. Hasil uji lab aktivitas bakteriofag pada beberapa bakteri patogen.
Hasil trial bakteriofag di lapangan juga telah banyak dipublikasikan oleh Dr. Max Oh dan timnya, hasilnya sebagaimana pada Tabel 1. dan Tabel 2. di bawah ini:


Tabel 1. Pengaruh Pemberian Bakteriofag pada Produksi Telur
Usia
Prouksi Telur (%)
Kontrol
Prouksi Telur (%)
0,02% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,035% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,05% Bakteriofag
0-3 minggu
90,8
91
92
91,8
4-6 minggu
89,9
91,5
92,1
91,6
- Menggunakan 288 ekor Hy-line Brown kormersil (usia 36 minggu).
- Empat kali treatment selama enam minggu.
- Enam kali pengulangan.
      - 0,02 % = 200 gram/ton pakan, 0,035% = 350 gram/ton pakan, 0,05% = 500 gram/ton pakan.

      Tabel 2. Pengaruh pemberian bakteriofag pada performa broiler
   Treatment
       Bobot Badan (g)
     ADG   (g/hari)
       Feed Intake (g)
    FCR
        Mortalitas %
       Market Day
        Produksi (kg/m2)
      Kontrol
   2540
   54,22
   5359
   2,11
   16,86
   46,97
   23,4
     Treatment 1
   2540
   57,13
   4445
  1,75
   6,40
   44,45
   27,4
     Treatment 2
   2900
   60,21
   5191
  1,78
   4,70
   48,19
  29,7
- Menggunakan 744.000 ekor broiler (Ross 308) per kelompok treatment.
      - Selama 48 hari.
      - Treatment 1 dan 2 ditambahkan bakteriofag 0,03% (500 gram/ton pakan).

Dr. Max Oh menambahkan, bahwa hasil-hasil uji trial yang ia dan timnya lakukan telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional. “Memang penelitian mengenai bakteriofag ini kurang popular di Amerika, namun di Asia dan Eropa bagian Timur penelitian mengenai bakteriofag sudah sangat maju,” ucap Dr Max Oh.

Kata-kata Dr. Max Oh bukan tanpa alasan, awak Infovet mencoba menelusuri produk-produk bakteriofag di pasaran. Hasilnya, beberapa produk dengan bahan aktif bakteriofag sudah banyak digunakan di dunia, baik di bidang pertanian, peternakan, bahkan manusia.

Ia menegaskan, mengenai aspek keamanan produk bagi hewan dan manusia seharusnya tidak perlu dipertanyakan, sebab produk bakteriofag sudah banyak tersertifikat oleh asosiasi sekelas FDA. “Bakteriofag ini benar-benar natural, berasal dari alam, kami hanya memperbanyak, kami tidak menambahkan atau memodifikasi mereka, sehingga mereka bukan termasuk GMO (Genetic Modified Organism) yang banyak dikhawatirkan oleh masyarakat dunia,” tegas Dr. Max Oh.

Dari segi bisnis ia menyebut, kemungkinan dalam waktu dekat dirinya berniat menghadirkan produk bakteriofag ke Indonesia. “Saya rasa Indonesia merupakan pasar yang potensial dengan iklim seperti ini, ditambah lagi dengan dilarangnya penggunaan AGP, Saya rasa bakteriofag dapat menjadi solusi yang tepat dan natural dalam menggantikan AGP,” pungkasnya. (CR)

Gratis..! Download PDF Infovet Special Edition Indolivestock Expo 2018


Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kami selalu menerbitkan Infovet Edisi Khusus Indolivestock Expo untuk dibagikan cuma-cuma kepada pengunjung dan peserta Indolivestock Expo, yang juga dibagikan gratis secara online pada website www.majalahinfovet.com dan aplikasi android Majalah Infovet, sehingga  penyebarannya akan lebih luas dan tepat sasaran.

Silakan mendownload E-Magz Infovet Special Edition Indolivestock Expo di sini: https://www.mediafire.com/file/zblg51rlo8qfle8/Infovet_Special_Indolivestock_2018_-_Medium.pdf/file

Untuk mendapatkan PDF High resolution bisa menghubungi marketing.infovet@gmail.com

Dapatkan majalahnya secara gratis pada acara Indolivestock Expo 2018.
Kunjungi stand/booth kami : PFC 41

Terimakasih

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer