Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Koksidiosis | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

POULTRY IMMUNOLOGY CLASS 2024, KUPAS TUNTAS PENGENDALIAN KOKSIDIOSIS

HIPRA Immunology Class 2024, Kupas Tuntas Koksidiosis
(Sumber : CR)

Koksidiosis merupakan salah satu penyakit yang kerap menghantui sektor budi daya unggas. Baik pada unggas komersil maupun breeding, koksidiosis masih menjadi momok yang menakutkan bagi para stakeholder

Dalam rangka mendalami pengendalian koksidiosis yang efektif, salah satu pelaku utama industri obat hewan yakni PT Hipra Indonesia menyelenggarakan sebuah acara yakni Poultry Immunololgy Class Coccidiosis 2024. Kegiatan tersebut berupa seminar dan workshop yang diselenggarakan di Surabaya pada 5-6 Maret 2024 lalu. Seminar berlangsung di Hotel Alana Surabaya pada (5/3), dan workshop berlangsung di FKH UNAIR pada (6/3).

Subsidiary Business Manager PT Hipra Indonesia, Franky Sihotang dalam sambutannya mengatakan bahwa selain sebagai ajang silaturahmi HIPRA dengan para customer dan calon customer, acara ini juga ditujukan untuk meningkatkan kompetensi customer HIPRA. 

"Kita di sini juga belajar koksidiosis lagi, bagaimana pentingnya mengendalikan parasit ini untuk mencegah kerugian yang lebih besar lagi, dan intinya juga menjadi refreshing ilmu di bangku perkuliahan, kami sangat peduli dengan ini dan selalu konsisten mengadakan event seperti ini," tutur Franky.

Refreshing Ingatan Koksidiosis

Didapuk sebagai salah satu pembicara yakni Prof Lucia Tri Suwanti selaku Guru Besar Departemen Parasitologi FKH UNAIR. Dalam pemaparannya Prof Lucia membuka kembali ingatan para peserta terkait koksidiosis, mulai dari agen penyebabnya, siklus hidupnya, serta prevalensi kejadian koksidiosis. 

Prof Lucia juga tidak lupa menyinggung mengenai berbagai faktor yang dapat meningkatkan kejadian infeksi, dan memperparah kasus koksidiosis pada ayam baik ayam petelur, pedaging, dan breederIa juga menyinggung soal penanganan koksidia menggunakan antibiotik yang dirotasi di peternakan di Indonesia beserta pro dan kontra yang juga menyertainya. Ia merasa vaksinasi terhadap koksidiosis akan lebih efektif dalam mengendalikan agen parasit tersebut.

"Penggunaan antibiotik sebaik apapun perlu diperhatikan, jangan - jangan nanti ada residu di dalam produknya, ujung - ujungnya produsen merugi karena tidak memenuhi syarat untuk ekspor, konsumen juga merugi karena akan mempertinggi kesempatan resistensi antibiotik," kata Prof Lucia.

Bukti bahwa vaksin koksidiosis betul - betul dapat menggantikan 100% antibiotik telah dibuktikan oleh HIPRA, hal tersebut disampaikan oleh Drh Aditya Fuad Risqianto Technical Service Manager PT HIPRA Indonesia. 

Dirinya beserta tim telah melakukan pembuktian di Indonesia sendiri dimana penggunaan vaksin kosidiosis dapat meningkatkan performa, keuntungan, mengurangi dampak resistensi antibiotik atau antikoksidia sehingga mereduksi penggunaan antikoksidiosis maupun koksidiostat sampai nol persen, yang berujung pada peningkatan keamanan manusia dan lingkungan.  


Peserta Juga Melakukan Workshop Nekropsi di Laboratorium
(Sumber : CR)


Evalon® dan Evant® Perlindungan Maksimal Dari Koksidia

HIPRA sendiri memiliki solusi dalam mengendalikan koksidiosis tanpa antibiotik . antikoksidia yakni melalui kedua produk vaksin mereka yakni Evalon® dan Evant®. Evalon® sendiri merupakan generasi pertama vaksin koksidiosis milik HIPRA yang hadir di Indonesia sejak tahun 2019, hal tersebut disampaikan oleh Dr Ong Shyong Wey selaku Regional Technical Marketing Manager, Asia & Oceania HIPRA.

Evalon® sendiri merupakan vaksin live attenuated yang mengandung ookista yang tersporulasi yang didapatkan dengan metode precociousness yang ditujukan untuk proteksi terhadap penyakit koksidiosis pada breeder dan layer.

"Didalam Evalon®  terkandung ookista dari beberapa strain Eimeria yang banyak ditemui pada ayam, yaitu E. acervulina, E. maxima, E. necatrix, E. brunetti dan E. tenella yang sangat penting pada ayam yang dipelihara dalam jangka panjang," tukas Dr Ong.

Sedikit berbeda dengan pendahulunya, Evant® merupakan vaksin live attenuated yang diperuntukkan untuk ayam dengan siklus umur yang lebih pendek, misalnya broiler. Hal tersebut disampaikan oleh Dr Joan Molist Badiola, selaku Global Product Manager Poultry HIPRA.

Meskipun berbeda, kedua produk tersebut kata Joan memiliki suatu kesamaan yakni kedua vaksin tersebut dilengkapi dengan teknologi HIPRAMUNE® T yang berisi tiga komponen utama yaitu colouring agent berwarna ungu muda, beraroma vanilla dan merupakan adjuvant bersifat imunomodulator. 

"Vaksin live yang diatenuasi dengan metode precocious dikombinasikan dengan imunomodulator di dalam HIPRAMUNE® T telah terbukti dapat meningkatkan respon imun seluler. Selain itu, penggunaan vaksin ini semakin efektif karena ditunjang dengan metode vaksinasi dan teknologi yang tepat dan dilakukan manajemen pascavaksinasi sesuai rekomendasi kami," tutur Joan. 

Berdasarkan pemaparan Franky Sihotang, sejak diluncurkan pada tahun 2019 yang lalu, Evalon® telah digunakan sebanyak lebih dari 65 juta dosis di Indonesia. Untuk Evant® sendiri sejak diluncurkan tahun 2021 juga telah digunakan sebanyak 19 juta dosis di Indonesia, hal ini merupakan pencapaian yang bagus.

"Acara ini juga menjadi semacam ajang re-launch Evant®, dimana pada tahun launching-nya, masih dalam keadaan pandemi Covid-19. Kami rasa ini juga sesuatu yang baik. Kami berfokus juga untuk membantu mereduksi penggunaan antibiotik di peternakan, dan keduanya telah berhasil melakukannya," kata Franky.

Selain seminar, peserta juga diajak kembali melakukan workshop melalui praktikum di FKH UNAIR pada (6/3). Di sana peserta melihat dan mengalami secara langsung seperti apa dampak buruk koksidiosis pada saluran pencernaan ayam yang telah diinfeksi dengan koksidia.

Peserta juga dapat menyaksikan langsung seperti apa kinerja vaksin antikoksidia yang baik dapat melindungi serangan koksidia pada ayam yang juga telah diinfeksikan oleh parasit koksidia. (Adv)

NE & KOKSIDIOSIS: DYNAMIC DUO PEMBAWA KERUGIAN

Perdarahan hebat pada usus, gejala klinis yang biasa diamati pada kasus NE. (Foto: Dok. Gold Coin)

Kombinasi dari dua jenis yang berbeda atau yang biasa disebut dengan istilah duet juga berlaku dalam penyakit unggas. Sangat familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E. coli. Tak kalah mematikan yakni duet antara nekrotik enteritis (NE) dan koksidiosis. Kombinasi keduanya “sukses” membuat peternak ketar-ketir.

Awal Mula
Jika peternak ditanya apakah ayamnya sudah pernah kena koksidiosis atau NE? Pasti peternak sepakat menjawab “Jangan sampai kena,”. Koksidiosis dan NE, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya disebabkan oleh protozoa (Eimeria sp.) dan bakteri (Clostridium perfringens).

Berdasarkan buku teks atau diktat perkuliahan penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk, dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis eimeria tersebut, ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella, dan E. hagani. Namun dari kesembilan spesies itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina, dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Serupa dengan koksidiosis, NE juga mengakibatkan kerusakan pada usus, penyakit bakterial ini bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan C. Seperti yang disebutkan di atas, di lapangan kasus koksidiosis dan NE biasanya berjalan seirama.

Hal ini bisa terjadi karena saat koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang men-trigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berujung pada serangan NE atau kematian jaringan usus.

Tak Kenal Ampun
Pada sebuah webinar beberapa waktu lalu, Drh Lussya Eveline, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan benar-benar merepotkan, terutama koksidia, karena protozoa itu berbeda dengan bakteri dan virus, jadi agak susah dieradikasi,” katanya. 

Ia melanjutkan, secara normal di dalam usus ayam yang sehat terdapat bakteri C. perfringens sebagai bakteri komensal (tidak menyebabkan terjadinya outbreak penyakit). Namun, hubungan ini bisa berubah menjadi parasitisme di saat kondisi ayam sedang buruk atau tidak fit dan didukung dengan kondisi lingkungan yang tidak nyaman (tantangan agen penyakit, stres, toksin, dan lain sebagainya), maka wabah NE dapat terjadi.

Pada ayam yang mati karena NE, jumlah C. perfringens yang dapat diisolasi pada usus ialah > 107-108 CFU per gram isi usus, sedangkan jumlah bakteri C. perfringens di dalam usus ayam pedaging yang sehat berkisar 0-105 CFU tiap gram isi usus.

Jika berbicara mengenai kerugian, serangan koksidiosis (apalagi kombinasi dengan NE) adalah jagonya. Tingkat kematian yang disebabkan bisa mencapai 80-90% dari total populasi pada ayam broiler. Sedangkan pada ternak layer, produksi telurnya sudah pasti terganggu. Seakan tidak puas sampai di situ, serangan koksidiosis juga akan menimbulkan efek imunosupresif yang menjadikan ayam rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Bagaimana bisa imunosupresif? Lussya menerangkan, hal pertama yang terjadi adalah kerusakan pada jaringan mukosa usus menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi tidak optimal. Akibatnya terjadi defisiensi nutrisi pembentukan antibodi jadi terganggu.

Kedua, Peyer's patches dan caeca tonsil  (organ pertahanan di mukosa usus) mengalami kerusakan, jika kedua organ ini rusak akan mengakibatkan ayam lebih rentan terinfeksi penyakit lainnya.

Ketiga, di sepanjang jaringan mukosa usus terdapat jaringan limfoid penghasil antibodi (IgA), dimana IgA akan terakumulasi di dalam darah. Kerusakan mukosa usus akan mengakibatkan keluarnya plasma dan sel darah merah, sehingga kadar IgA sebagai benteng pertahananan di lapisan permukaan usus menurun.

“Sudah menyebabkan kematian, produksi turun, imunosupresif, kurang mengerikan apalagi duet penyakit ini?,” ucap dia.

Kalau Sudah Kena, Harus Bagaimana?
Bagaimana cara mengobati koksidiosis? Apakah yang harus dilakukan jika di suatu peternakan terjadi wabah koksidiosis plus NE? Jawabannya sederhana, namun implementasi di lapangannya kadang sulit dilakukan.

Menurut Product Manager Pharmaceutical PT Agrinusa Jaya Sentosa, Drh Endah Soelistyowati, yang harus dilakukan utamanya adalah pencegahan. “Kalau ditanya peternak begitu, saya suruh afkir semuanya dulu. Karena jawaban saya adalah jangan sampai kena,” sergahnya.

“Memberantas gabungan koksidiosis dan NE bukannya mustahil, tetapi memakan banyak waktu, tenaga, dan tentunya biaya dengan hasil yang pasti tidak sebanding.”

Ia menjelaskan bahwa peternak harus mengetahui dengan pasti musuh sebenarnya. “Siklus hidup eimeria itu panjang untuk menjadi sebuah individu sempurna. Oleh karenanya, kita harus memotong rantai siklus hidupnya sehingga ia tidak bisa berkembang lebih lanjut,” paparnya.

Lebih lanjut, semua dimulai dari dari fase ookista. Ookista dikeluarkan bersama dengan feses ayam, jika lingkungan sekitar lembap dan basah, ookista akan terus berkembang dan bersporulasi hingga akhirnya mampu menginfeksi ayam. “Supaya ookistanya tidak lanjut bersporulasi, kuncinya peternak juga harus rajin, program biosekuriti secara ketat harus dijalankan,” ucapnya.

Jika ookista sudah dihentikan sporulasinya, siklus hidupnya tidak langsung berhenti. Perlu diketahui, ookista dari eimeria tahan terhadap disinfektan yang banyak dijual. Tidak hanya tahan terhadap banyak disinfektan, kata Endah, ookista berukuran sangat kecil sehingga ia mudah diterbangkan oleh angin dan tersebar. Ookista juga mudah terbawa peralatan kandang, manusia, transportasi, serangga, atau hewan lainnya untuk menyebar.

“Yang paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk memberantas ookista yakni memberikan kapur atau soda kaustik pada permukaan litter yang lembap dan basah,” jelasnya. Kapur dan soda kaustik merupakan bahan aktif yang bersifat basa. Ketika kedua bahan tersebut larut dalam air atau media yang basah (litter), maka akan menghasilkan suhu tinggi.

Sementara, ookista tidak tahan terhadap suhu ekstrim panas > 55° C. Ookista juga dapat mati jika berada pada kondisi suhu sangat dingin (suhu beku) dan kekeringan yang ekstrem. Inilah mengapa istirahat kandang juga menjadi poin penting dalam penyebaran ookista koksidia. 

Endah mengingatkan kepada peternak agar jangan lupa menerapkan manajemen pemeliharaan ayam yang baik dan benar. Karena ookista dapat berkembang dengan baik pada litter yang lembap, sebisa mungkin kualitasnya diperhatikan. Lakukan pembolak-balikan untuk mencegah litter basah.

“Pada masa brooding, kalau bisa litter sering dibolak-balikkan secara teratur setiap 3-4 hari sekali mulai umur 4-14 hari. Ini yang biasanya peternak suka malas lakukan,” tukasnya.

Litter basah dan menggumpal sebaiknya segera diganti. Jika gumpalan litter sedikit, maka dapat dipilah dan dikeluarkan dari kandang. Namun jika jumlah litter yang menggumpal atau basah banyak, sebaiknya tumpuk dengan yang baru hingga gumpalan tidak tampak.

Jika semua sudah dilakukan, namun serangan penyakit masih terjadi dan berulang, menurut beberapa literatur memang infeksi koksidia bisa menstimulasi pembentukan kekebalan. Namun, kekebalan akibat koksidia baru terbentuk setelah 3-4 siklus hidupnya di dalam tubuh ayam. Sedangkan terkadang kasus di lapangan baru satu siklus saja kebanyakan ayam sudah tepar.

Untuk kekebalan yang cukup instan di beberapa negara biasanya ada program vaksinasi koksidia. Pemberian vaksin juga salah satu cara pencegahan koksidiosis dengan dihasilkannya kekebalan dari koksidia dalam tubuh ayam, hanya saja vaksin juga memliki kelemahan, hal ini pernah diceritakan Prof Charles Rangga Tabbu.

“Enggak ada kekebalan silang antar spesies, jadi penggunaan vaksin koksidiosis tidak akan efektif kalau strain vaksin koksidiosis berbeda dengan strain yang menyerang. Kalau seperti ini identifikasinya harus benar,” katanya. (CR)

KENALI KOKSI, PAHAMI DAN SOLUSINYA

Eimeria acervulina yang ditemukan langsung di lapangan. (Foto: Istimewa)

Overview
Pantauan dari BMKG untuk cuaca di Oktober, terjadi kondisi hujan dengan intensitas sedang-tinggi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Temperatur secara umum di kisaran 28-30° C dengan kelembapan di atas 80%. Kondisi suhu dan kelembapan tersebut sangat ideal untuk sporulasi ookista dari parasit eimeria penyebab koksidiosis untuk tumbuh subur dan menyerang unggas, baik layer maupun broiler.

Sebagai catatan kondisi ventilasi di kandang yang buruk juga dapat menjadi kondisi ideal sporulasi ookista tersebut. Terkait ventilasi saat ini mayoritas kandang peternakan utamanya broiler adalah sudah banyak yang menggunakan sistem closed house, oleh karena itu penting sekali pemahaman terhadap operasional ventilasi kandang closed house agar sesuai dengan kebutuhan ayam. Berikut disajikan tabel kebutuhan suhu efektif ayam sesuai umurnya:

Umur (Hari)

Kebutuhan Suhu Efektif (Celsius)

0

30-33

1-2

30-32

3-4

30-31

5-7

29-30

8-11

29

12-16

28

17-20

27

21-25

26

26-30

25

31-panen

24


Pemenuhan kebutuhan efektif tersebut adalah salah satu… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2022.

Ditulis oleh:
Drh Sumarno Wignyo
Senior Manager Poultry Health
PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk

KOKSIDIOSIS YANG TETAP EKSIS


Koksidia adalah protozoa bersel tunggal yang bersifat parasit dari genus Eimeria spp. Koksidia ditularkan dari unggas ke unggas lainnya melalui rute fecal-oral dan memiliki siklus hidup dengan rata-rata selama tujuh hari. Spesies Eimeria spp. bersifat host-spesific. Koksidiosis pada unggas ditandai dengan adanya enteritis dan kerusakan jaringan intestinal. Kerusakan jaringan intestinal disebabkan oleh replikasi koksidia pada lapisan epitel saluran pencernaan. Infeksi koksidia menyebabkan feses berdarah, gangguan absorpsi nutrisi, penurunan performa dan kematian.

Pada industri peternakan rakyat saat ini, sangat banyak sekali penyakit-penyakit imunosupresif yang perlu diperhatikan penangananya agar tidak menimbulkan kerugian yang meluas. Koksidiosis termasuk salah satu penyakit penyebab imunosupresi, karena Eimeria spp. yang menginfeksi saluran pencernaan ayam dapat menyebabkan rusaknya dinding usus, sehingga fungsi dari sistem pertahanan lokal pada saluran pencernaan menjadi terganggu, serta tidak dapat berfungsi optimal menghasilkan zat kebal tubuh untuk memberikan perlindungan secara lokal, pada saluran pencernaan dari adanya infeksi agen penyakit lainnya.

Mekanisme lain terjadinya dampak imunosupresi yang ditimbulkan oleh infeksi kuman penyebab koksidiosis tersebut adalah karena sel-sel darah yang mengandung antibodi (zat kebal tubuh) dari hasil vaksinasi yang dilakukan/diberikan sebelumnya akan mengalami penurunan secara cepat dan drastis karena adanya rembesan darah yang keluar melalui dinding usus yang dirusak oleh infeksi Eimeria spp. penyebab koksidiosis.

Dampak imunosupresi yang ditimbulkan tersebut, menyebabkan ayam menjadi lebih peka terhadap infeksi penyakit yang disebabkan oleh virus maupun bakteri atau oleh agen infeksi lainnya. Pada kejadian lapangan, sering kali kejadian koksidiosis diikuti... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2022.
 
Ditulis oleh:
Drh Bayu Sulistya
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264, JAKARTA
Telp: 021-8300300

TERUS BERKUTAT DENGAN KOKSIDIOSIS

Makin tinggi kepadatan ayam, makin tinggi pula peluang ayam terserang koksidiosis (Foto: Istimewa)

Koksidiosis masih menjadi ancaman bagi peternakan unggas di Indonesia. Kerugian ekonomi akibat penyakit ini selalu membayang-bayangi peternak dalam menjalankan usaha budi daya unggas.

Sebagaimana diketahui, koksidiosis merupakan penyakit yang menyerang saluran pencernaan unggas yang disebabkan parasit dari spesies Eimeria sp. Penyakit ini dapat berdampak pada proses pencernaan dan penyerapan nutrisi menjadi tidak optimal, sehingga menyebabkan terganggunya pertumbuhan berat badan atau penurunan produksi telur (layer), yang berujung pada kematian.

Koksidiosis seolah tidak pernah hilang dari list penyakit yang perlu diwaspadai para peternak unggas. Pasalnya, jika unggas terserang koksidiosis sudah pasti terjadi kerugian dalam jumlah yang tidak sedikit. Berra (2010), menyebutkan dalam penelitiannya bahwa kerugian ekonomi akibat koksidiosis mencapai USD 3 miliar pada tahun tersebut. Kerugian berupa penurunan performa dan produksi ternak yang disertai dengan buruknya nilai FCR (feed conversion ratio).

Man Made Disease
Menurut Anggota Dewan Pakar ASOHI yang juga konsultan perunggasan, Tony Unandar, koksidiosis merupakan man made disease alias penyakit yang timbul karena domestikasi oleh manusia.

“Karena di alam kita jarang melihat kasus koksidiosis yang luar biasa hebatnya karena koksidiosis adalah self limiting disease, artinya kalau di-challenge dalam dosis yang rendah ayam justru akan membentuk imunitas, bukan penyakit. Tetapi dengan adanya kepadatan yang tinggi dalam suatu kandang maka total bibit koksidia lapangan dalam jumlah tinggi atau total inokulumnya sangat tinggi, maka akan menunjukkan gejala klinis yang jelas,” katanya.

Dari pernyataan tersebut bisa diketahui bahwa makin tinggi kepadatan ayam makin tinggi peluang untuk terkena koksidiosis. Pendapat tersebut juga disetujui Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Prof Drh Lucia Tri Suwanti.

”Kepadatan kandang sangat memengaruhi tentu, selain itu kita ambil contoh lain misalnya dari segi... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2022. (CR)

DENDANG LAWAS: KOKSIDIOSIS DAN RESPON IMUNITAS

Pada kandang dengan densitas ayam yang tinggi dan/atau diikuti dengan feeder space yang kurang, maka peluang untuk terjadinya ledakan kasus koksidiosis pasti sangat tinggi. Adanya level stres dan total inokulum ookista infektif yang tinggi menjadi argumentasi dibalik hal itu. (Sumber: Field data-Tony, 2008)

Oleh: Tony Unandar
Anggota Dewan Pakar ASOHI

Koksidiosis pada ayam modern adalah penyakit parasit terpenting yang disebabkan oleh sejenis Eimeria dari keluarga protozoa Apicomplexa. Mempunyai tropisma yang spesifik yaitu mukosa jaringan usus (khususnya sel-sel epitelium usus), baik usus halus maupun usus besar. Dalam tubuh ayam, karena siklus hidupnya yang sangat kompleks, agen penyebab bisa ditemukan dalam stadium intra dan ekstra seluler sel-sel epitelium usus dan berpotensi mengakibatkan respon peradangan kronis pada mukosa usus. Pada tataran lanjut dapat mengakibatkan kerusakan mukosa usus yang diikuti dengan kejadian stres oksidatif, peroksidasi lipid, diare berdarah, gangguan pertumbuhan dan meningkatkan kepekaan terhadap infeksi sekunder, serta kematian ayam (McDougald, 2003; Remmal et al., 2011).

Efisiensi Kebablasan
Di alam bebas, termasuk pada ayam kampung sekalipun, koksidia hampir tidak pernah mengakibatkan ledakan kasus koksidiosis dengan gejala klinis yang sangat nyata seperti pada peternakan ayam modern (Blake et al., 2020). Itulah sebabnya mengapa problem koksidiosis sering kali disebut sebagai problem yang disebabkan oleh “ulah” manusia (man made disease), dimana manusia selalu berusaha untuk mengeksploitasi segi efisiensi pada pemeliharaan ayam modern. Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan mengapa perbedaan ini terjadi:

1. Perbedaan jumlah bibit koksidia (ookista) yang tertelan dalam satuan waktu yang singkat. Secara normal, bibit koksidia ditularkan secara horizontal melalui material feses ayam yang terinfeksi. Di alam bebas, sangatlah kecil peluang ayam untuk mengonsumsi bibit koksidia pada konsentrasi tinggi dalam waktu singkat. Kondisi ini tentu tidak mampu menyebabkan kemunculan gejala klinis yang nyata, akan tetapi tantangan ringan (mild challenge) yang terjadi justru dapat menggertak pembentukan kekebalan terhadap spesies koksidia tersebut. Itulah sebab secara alamiah koksidiosis dikelompokkan dalam “self-limiting disease” (penyakit yang bisa sembuh sendiri). Di sisi lain, pada peternakan ayam modern tingginya kepadatan ayam dan tata laksana litter yang tidak optimal sangat memungkinkan ayam dapat mengonsumsi bibit koksidia (ookista) dengan jumlah sangat tinggi (total inokulum) dalam tempo singkat (Badran & Lukesova, 2006; El-Shall, 2015). Tegasnya, dalam mekanisme infeksi, salah satu faktor yang sangat menentukan kemunculan gejala klinis adalah faktor total inokulum per-satuan waktu.

2. Perbedaan keganasan (virulensi) koksidia yang ada. Pada peternakan ayam modern, model pemeliharaan multi-age (banyak umur ayam dalam satu lokasi peternakan), tidak cukupnya istirahat kandang dan program sanitasi yang ceroboh tentu… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2022. (toe)

WASPADA KOKSIDIOSIS, PRODUKTIVITAS BISA BERAKHIR TRAGIS

Kondisi perkandangan juga berkonstribusi pada terjadinya koksidiosis. (Foto: Shutterstock)

“Tahun 2022 ada peningkatan tren kejadian koksidiosis di Indonesia, ini menjadi peringatan buat kita untuk lebih berhati-hati lagi. Kalau berdasarkan jenisnya di broiler yang sering kita lihat adalah kejadian dari Eimeria Acervulina, Eimeria Maxima dan Eimeria Tenella. Dari ketiga jenis ini memang berfluktuasi, biasanya Acervulina kemudian akhir-akhir ini Maxima dan Tenella yang banyak terjadi,” Demikian Poultry Training Manager De Heus Indonesia, Drh  Kokot Februhadi, mengawali webinar bertema “Coccidiosis: How To Approach” yang diselenggarakan De Heus Indonesia, Selasa (30/8).

Koksidiosis dan Penyebabnya
Koksidiosis pada unggas adalah penyakit parasit yang memengaruhi terutama saluran usus inang. Disebabkan oleh eimeria, yang infeksinya tidak ada perlindungan silang. Artinya jika ayam terinfeksi satu spesies dia membentuk kekebalan pada spesies itu saja tapi tidak pada spesies lain.

Pada broiler ada tiga spesies kunci yang menyerang yaitu Eimeria Acervulina, Eimeria Maxima dan Eimeria Tenella. Ketiganya dapat menyebabkan kerusakan berupa lesi yang dapat dilihat mata.

Eimeria Acervulina adalah spesies yang paling umum ditemukan dan dapat menyebabkan naiknya FCR dan berkurangnya ADG. Gejala klinisnya ditemui lesi berwarna putih di permukaan mukosa usus, jika lebih parah garis-garis putih akan lebih banyak terlihat.

Eimeria Maxima mempunyai gejala petechiae atau bercak-bercak darah di luar dinding usus. Apabila lebih parah dinding usus akan lebih menebal dan petechiae lebih banyak ditemui. Jika lebih parah lagi usus akan menipis dan ditemui lendir kuning hingga oranye.

Sementara Eimeria Tenella menyebabkan anemia pada ayam dan kematian yang tinggi. Gejala klinisnya adanya warna merah hampir keunguan di luar dan di dalam sekum. Jika gejala lebih parah dinding sekum akan menebal dan petechiae akan lebih banyak ditemui.

“Ayam juga dapat terinfeksi dengan beberapa spesies secara bersamaan, hal ini dapat menyebabkan diagnosis yang menyesatkan,” menurut International Specialist Poultry Royal De Heus, Carlos Bilello.

Diagnosis dan Monitoring Koksidiosis
Gejala klinis koksidiosis dapat dilihat, namun… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2022. (NDV)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer