Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Integrasi Sapi-Sawit | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

RAKORNAS GAPENSISKA : PERKOKOH KONTINUITAS SISKA SECARA NASIONAL

Rakornas GAPENSISKA : Fokus Menyukseskan Program SISKA ke Seluruh Indonesia
(Sumber : Istimewa)

Kamis, 21 Maret 2024 yang lalu berlokasi di IPB International Convention Center Bogor, Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sawit-Sapi (GAPENSISKA, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan dukungan SISKA Supporting Program(SSP-IARMCP) mengelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas). Topik yang dibahas yakni mengenai pengembangan SISKA meliputi kebijakan dan strategi pengembangan, potensi investasi (IPRO), dan pedoman teknis implementasinya.

Wahyu Darsono selakuTeam Leader SISKA Supporting Program (SSP), Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISKA) memegang peranan strategis dalam mengembangkan sektor perkebunan dan peternakan di Indonesia serta mendukung Rencana Aksi Nasional Kebun Sawit Berkelanjutan (RAN KSB).

“Hingga saat ini SISKA Supporting Program telah mendukung pengembangan SISKA di Kalimantan Selatan (26 Klaster SISKA KU INTIP) Kalimantan Barat (13 Klaster SISKA MEMBARA), Kalimantan Timur (9 Klaster SISKA NUSANTARA), dan Riau (7 Klaster SISKA MANDIRI) agar terus berjalan berkelanjutan dan berorientasi secara komersial,” kata Wahyu saat pembukaan Rakernas.

Menurutnya, tujuan utama SISKA (Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit) adalah untuk mengintegrasikan budidaya sapi dengan perkebunan kelapa sawit. Dengan program ini, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mendukung perkebunan sawit berkelanjutan.

“Sayang, implementasi SISKA ini masih terbatas di beberapa daerah dan belum merata di seluruh Indonesia. Padahal, potensi SISKA sangat besar mengingat luasnya lahan perkebunan kelapa sawit dan jumlah populasi sapi di Indonesia,” katanya.

Untuk itu, lanjut Wahyu, perlu ada strategi untuk mempercepat perluasan implementasi SISKA agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi petani, lingkungan, dan perekonomian yang sejalan dengan prinsip-prinsip perkebunan sawit berkelanjutan.

Wahyu menjelaskan, SISKA mendorong implementasi integrasi sawit sapi, mendorong kapasitas dan penyiapan pelaku integritas sawit sapi. Kemudian mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menentukan kebijakan integritas sawit sapi yang ada di daerah, salah satunya pada Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Untuk mendorong keberlangsungan SISKA, sejak tahun 2021, pihaknya membentuk SISKA Supporting Program (SPP) untuk mendukung pemerintah provinsi di empat provinsi untuk mengembangkan sektor SISKA mereka sendiri.

“Hingga saat ini, SSP telah mendukung pengembangan klaster SISKA di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Riau, yang mendukung mata pencaharian peternak,” kata Wahyu.

Pendahulu SSP, program Indonesia Australia Commercial Cattle Breeding Program (2016-2021), membuktikan bahwa model SISKA layak secara komersial, dan sebagai hasilnya mampu menawarkan peluang untuk memperluas pembiakan sapi di area perkebunan kelapa sawit yang sesuai. Kelapa sawit saat ini mencakup 16 juta hektar lahan di Indonesia, sehingga peluang pertumbuhan SISKA sangat besar.

Dalam mendorong perluasan SISKA, SSP berfokus pada dukungan pembentukan kemitraan atau klaster SISKA, pengembangan kapasitas untuk mengembangkan tenaga kerja SISKA, dan mendorong kemitraan sektor swasta dan publik melalui advokasi oleh Gabungan Pelaku dan Pemerhati SISKA (GAPENSISKA).

Menurut wahyu, dari sisi peningkatan produksi sawit, dampaknya kebun sawit dapat memanfaatkan bahan organik (kotoran sapi, pelepah sawit, tandan buah kosong) sebagai kompos, baik sebagai pupuk maupun pembenah tanah.

Dengan memelihara sapi di kebun sawit dapat mengendalikan gulma, karena gulma bisa menjadi pakan ternak. Sedangkan dampak terhadap lingkungan adalah, berkurangnya penggunaan pupuk kimia non organik, berkurangnya residu herbisida dan berkurangnya limbah yang menjadi sumber penyakit tanaman. Penggunaan pupuk kimia juga berkurang dan meningkatkan absorsi pupuk kimia.

Sedangkan dampak terhadap pengembangan ternak sapi adalah ketersediaan lahan dan pakan untuk pengembangan sapi. Bahkan bisa didorong dalam pengembangan industri pakan. Dampak lainnya adalah meningkatnya jumlah pengelola sapi dan meningkatnya populasi sapi yang berkualitas.

“Keuntungan lain dari intergrasi sawit-sapi adalah bisa meningkatkan pendapatan petani. Petani mendapat tambahan pendapatan dari hasil menjual bahan organik (kotoran sapi dan kompos). Pengurangan penggunaan herbisida juga mengurangi tenaga kerja untuk pengendalian gulma, sehingga pengeluaran petani pun berkurang,” katanya.

Prof Ali Agus, Staf Ahli Menteri Bidang Hilirisasi Kementerian Pertanian menambahkan, perkebunan sawit bisa menjadi lokomotif dalam mendukung ketahanan pangan. Luas kebun sawit yang mencapai 16 juta hektare (ha) memiliki potensi yang besar dalam menyediakan pangan berupa daging sapi bagi bangsa Indonesia.

“Perkebunan sawit berpotensi menjadi lokomotif penyediaan pangan bagi masyarakat luas. Dengan luas 16 juta ha, perkebunan sawit bisa diintetegrasikan dengan peternakan sapi dan tanaman pangan untuk mendukung swasembada daging dan pangan,” kata Ali Agus.

Ali Agus menambahkan, pemenuhan atau swasembada pangan hingga saat ini masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah sulitnya pengadaan lahan. Adanya lahan sawit dengan kerapatan tanaman yang cukup lebar bisa diberdayakan dengan berbagai tanaman untuk pakan sapi dan sebagai ladang pengembalaan yang bagus.

“Perkebunan sawit dengan jarak tanam yang luas bisa menjadi altenatif lahan untuk pemenuhan pakan ternak dan tanman pangan,” jelasnya.

Dukungan Penuh Dari Pemerintah

Pemerintah yang dalam hal ini diwakili Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah menegaskan, bahwasanya mereka sangat mendukung penuh program Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (SISKA yang mengintegrasikan ternak sapi dengan tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit dengan konsep menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak tanpa mengurangi aktivitas dan produktivitas tanaman.

“Sistem usaha integrasi sapi sawit ini akan memberikan tambahan keuntungan bagi perusahaan dan juga berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan peternak di sekitar perkebunan atau pekebun binaan/plasma. Karena peternak dapat memanfaatkan hasil samping perkebunan untuk pakan ternak. Selanjutnya, perusahaan sawit dapat memanfaatkan kotoran ternak untuk pupuk tanaman,” paparnya.

Namun, lanjutnya, masih sedikit perusahaan yang belum menerapkannya. Menurutnya, banyak pengusaha sawit yang belum mengetahui keuntungan yang bisa didapatkan dengan mengikuti program SISKA.

Nasrulah berharap program SISKA bisa masuk dalam Undang-Undang (UU) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang akan direvisi oleh DPR sehingga tak perlu lagi membuat regulasi baru.

“Kalau masuk UU tentu lebih kuat dan lebih mudah dalam sosialisasi dan implementasinya,” kata Nasrullah.

Menurut Nasrullah, kebutuhan pangan setiap tahun terus meningkat, terutama beras dan daging sapi sebagai sumber protein hewani. Namun, penyediaan daging sapi masih banyak kendala, diantaranya ketersediaan sapi bakalan. Apalagi, saat ini sistem pemeliharaan sapi di Indonesia, didominasi oleh peternakan rakyat dengan pola usaha semi intensif dan intesif dengan rata-rata kepemilikan 2 (dua) ekor per peternak.

“Selain itu, masih sedikit lahan khusus bagi usaha peternakan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem usaha pembiakan sebagai penghasil sapi bakalan di negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Brazil dan Argentina yang memiliki lahan penggembalaan yang luas,” kata Nasrullah.

Di sisi lain, lanjutnya, Indonesia memiliki perkebunan sawit yang luasnya mencapai 16,38 juta Ha. Dengan luas perkebunan kelapa sawit tersebut, terdapat potensi lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai padang penggembalaan (ranch) maupun sumber pakan untuk pengembangan ternak sapi. Anggap saja jika 1 ekor sapi membutuhkan 2 Ha lahan perkebunan sawit, maka misalnya diambil 20% saja dari total area kebun sawit tersebut, akan dapat dikembangkan lebih kurang 1,6 juta ekor sapi.

“Saya telah melihat sendiri pengembangan sawit sapi ternyata mampu menghasilkan ternak yang berkualitas bagus, dan tidak merusak kebun sawit. Bahkan usaha integrasi sawit-sapi dapat berkontribusi positif bagi pengembangan perkebunan berkelanjutan dan memberikan citra positif bagi komoditas kelapa sawit Indonesia yang saat ini mengalami kampanye hitam (black campaign) dalam tataran global,” jelasnya.

Dia menjelaskan, melalui sistem integrasi sawit-sapi, penggunaan herbisida kimia dan pupuk anorganik dapat dikurangi, sehingga mengurangi biaya produksi dan menjadikan sistem pertanian yang ramah lingkungan.

“Selain itu sistem integrasi sawit-sapi dapat menjadi alternatif sumber pendapatan saat dilakukan replanting atau Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Nasrullah mengapresiasi kinerja Siska Supporting Program (SSP), yang telah mendorong upaya perluasan implementasi SISKA sebagai upaya percepatan swasembada daging sapi. Dengan terus melakukan perluasan model SISKA pola inti plasma terus dilakukan di luar Kalsel, yaitu Kaltim, Kalbar, dan Riau atas komitmen dan inisiatif pemprov setempat. Diharapkan program model seperti ini dapat menjadi role model dan direplikasi oleh provinsi yang lain.

“Komitmen dan dukungan dari berbagai pihak terus berdatangan untuk mendukung suksesnya program ini, baik dari Pemerintah Provinsi, CSR perusahaan, hingga perbankan. Dukungan yang diberikan berupa modal fisik, seperti alat pagar listrik (electric fence), mesin chopper, portable feed bunk, portable yard, hingga penanaman HPT serta pendampingan teknis dari Siska Supporting Program Indonesia,” jelasnya.

Menurut Nasrulah,  pihaknya juga perusahaan yang telah mengembangkan integrasi sawit sapi ini termasuk memberikan fasilitasi berupa CSR bahkan bersedia menjadi avalis KUR sehingga dapat memberikan peluang pengembangan usaha bagi pekebun/peternak untuk menaikkan skala usaha. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pihak yang telah mendukung integrasi sawit sapi termasuk pihak bank, akademisi, asosiasi dan pemerhati sawit sapi dan tak lupa para pekebun-peternak.

“Saya mengimbau para pemilik perusahaan perkebunan sawit yang belum melaksanakan integrasi sawit sapi, untuk segera bergabung dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional dan mewujudkan perkebunan berkelanjutan,” pungkasnya. (CR)

MENINJAU INTEGRASI SAPI-SAWIT PT SISKA

Kunjungan Lapang ke PT SISKA, Kalimantan Selatan

Swasembada daging sapi sudah digaungkan sejak tahun 2000. Saat itu pemerintah memperkirakan pada tahun 2005 Indonesia akan mampu mencapai swasembada daging sapi. Namun hingga kini, impian Indonesia belum tercapai dalam hal tersebut. 

Hal tersebut dikatakan oleh Prof Nachrowi, Ketua Centras IPB sekaligus Guru Besar IPB University pada kunjungan bersama para stakeholder (perguruan tinggi, LSM, dan media)Kegiatan tersebut diinisasi oleh Center for Tropical Animal Studies (CENTRAS) IPB berkolaborasi dengan SISKA Supporting Program (SPP).

Mereka menggelar kegiatan Field Visit integrasi Sawit Sapi di PT. Simbiosis Karya Agroindustri (SISKA), yang berlokasi di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Kegiatan tersebut berlangsung selama Rabu – Kamis, 20 - 21 Desember 2023. Kegiatan tersebut bertema "Revitalisasi Pastura untuk Perbanyakan Sapi Pedaging".

Prof. Nahrowi kemudian mengatakan, bahwa tujuan utama dari kegiatan ini adalah memberikan wawasan mendalam terkait model bisnis budidaya sapi yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit dengan PT SISKA sebagai salah satu role model.

“Peternak dihadapkan dengan berkurangnya luas dan kualitas lahan untuk budidaya sapi pedaging di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Kami melakukan langkah strategis dalam bentuk revitalisasi pastura menjadi kunci penting untuk meningkatkan efisiensi produksi dan memperkuat ketahanan pangan nasional,” kata dia.

Ia mengharapkan agar kegiatan ini dapat menjadi inspirasi dan potensi lokasi riset yang dapat meningkatkan produksi sapi pedaging secara berkelanjutan, sehingga mimpi swasembada daging sapi bisa diwujudkan. 

Selain itu nantinya menurut Nahrowi para dosen dan peneliti diharapkan dapat melakukan replikasi program SISKA dengan menjadi penggerak dan pendorong di daerahnya masing - masing, sehingga menimbulkan harmonisasi dalam program SISKA. 

Nahrowi juga menambahkan bahwa nantinya mahasiwa akan dilibatkan dalam kegiatan tersebut secara mendalam dengan menggelar workshop, pelatihan, maupun magang terkait budidaya sapi terintegrasi sawit. Sehingga nantinya mahasiswa akan lebih tertarik dan memiliki kompetensi ketika nantinya mereka lulus dan bekerja di sektor tersebut. 

Keterlibatan lembaga lain seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) juga diharapkan dapat memberikan perspektif lain yang dapat bermanfaat dari sisi sosial. Sinergi dan harmonisasi ini tentunya akan menghadirkan banyak manfaat bagi perkembangan industri peternakan sapi serta pemberdayaan masyarakat. (CR)

 

 

 


PENGELOLAAN PAKAN HIJAUAN UNTUK SAPI DI LAHAN SAWIT

Integrasi sapi-sawit. (Sumber: iaccbp.org)

Integrasi ternak dalam usaha perkebunan sawit adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak tanpa mengurangi aktivitas dan produktivitas kebun, bahkan keberadaan ternak tersebut dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sekaligus produksi ternaknya. Integrasi ternak tersebut bertujuan agar terjadi sinergi saling menguntungkan yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi biaya produksi.

Hal itu diuraikan oleh Ranch Manager Palm Cow Integration Dept, PT Buana Karya Bhakti, Wahyu Darsono, dalam sebuah seminar online tentang sistem pemberian pakan untuk sapi induk yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Jumat (15/5/2020). 

Wahyu mengatakan bahwa dalam integrasi sapi sawit maka kebun sawit harus diperankan sebagai lahan gembalaan atau sebagai pasture untuk pembiakan sapi atau produksi sapi grassfed. Dengan demikian, kebun atau pabrik sawit berperan menyediakan bahan pakan yang berkelanjutan bagi ternak, khususnya ternak ruminansia.

“Pengelolaan pasture di kebun sawit sebagai sumber pakan berkelanjutan perlu dilakukan secara terkontrol dengan alokasi paddock sesuai dengan grup atau status sapi dan berdasarkan stocking rate potensi biomass,” kata Wahyu. 

Demikian juga dengan optimalisasi pemanfaatan vegetasi gulma sebagai sumber pakan,  perlu didukung komitmen dan sinergi yang kuat antara kegiatan perkebunan dan kegiatan penggembalaan sapi, terutama pada aspek pemupukan, penanggulangan gulma dan panen TBS, serta pemanfaatan areal terbuka untuk introduksi tanaman hijauan pakan berkualitas.

“Untuk memenuhi kecukupan nutrisi sapi sesuai dengan status sapi dan pengaruh iklim terutama curah hujan, perlu diberikan pakan tambahan sebagai sumber protein, energi dan mineral,” pungkasnya. (IN)

ARESIASI BALITBANGTAN UNTUK KOMISI IV DPR

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI berbincang dengan salah satu peternak


Komisi IV DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IV Dedi Mulyadi SH didampingi Kepala Badan litbang Pertanian (Balitbangtan) Dr Fadjry Djufry melakukan kunjungan kerja ke Kecamatan Sungai Selan Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, Selasa (3/3).

Lokasi tersebut merupakan kampung integrasi sawit sapi binaan Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian. Di tempat ini, rombongan bertemu serta berbincang dengan beberapa petani peternak yang menjadi percontohan dalam program ini.

Dalam sambutannya Dr Fadjry Djufry menyampaikan bahwa Kelompok Tani Tunas Baru merupakan Laboratorium Lapang kegiatan integrasi Sawit Sapi sejak 2015. Badan Litbang Pertanian melakukan pembinaan dengan mengenalkan inovasi teknologi, khususnya pemanfaatan potensi biomassa yang melimpah yang bisa menjadi sumber pakan ternak, seperti pelepah sawit dan hijauan dibawah tanaman kelapa sawit.

Selain limbah pelepah sawit ada hasil samping industri kelapa sawit berupa lumpur sawit (solid decanter), bungkil inti sawit (palm kernel cake) yang dapat digunakan tambahan sebagai bahan baku pakan ternak. Mendengar penjelasan tersebut, Wakil Ketua Komisi IV memberikan apresiasi pada Balitbangtan yang telah memberikan inovasinya kepada petani dan peternak. "Balitbang Pertanian, sangat penting artinya untuk upaya peningkatan produksi pertanian," ungkap Dedi.

Fadjry juga menambahkan bahwa untuk kedepannya petani dan peternak harus dapat memanfaatkan program pemerintah, seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dapat membantu menambah modal dalam usaha taninya.

“Pengguliran dana KUR menjadi salah satu solusi untuk memberikan akses permodalan kepada peternak. KUR itu tanpa agunan dan ada asuransinya, sehingga tidak ada ruginya, minimal dua hektar sawit satu ekor sapi,” tukas Fadjry. Ia tidak lupa menyarankan agar para peternak membentuk kelompok, sehingga perencanaan menjadi lebih mudah. 

Ketua kelompok tani Tunas Baru, Nurrohim dalam kesempatan yang sama menjelaskan proses kelompok tersebut menjadi salah satu kelompok yang menerapkan integrasi sawit sapi. “Kelompok Tani Tunas Baru kini menjadi percontohan kawasan integrasi sawit sapi, dan sudah melakukan Sekolah Lapang kepada kelompok tani lainnya, yang sampai saat ini sudah lebih 20 kelompok ikut menerapkan inovasi integrasi sawit sapi,” urai Nurrohim. Sementara, sampai saat ini jumlah sapi di kelompok mencapai lebih dari 200 ekor dan masih berpeotensi untuk menaikkan populasinya. (CR)

Menantang Peluang Usaha Integrasi Sawit-Sapi

Integrasi usaha perkebunan kelapa sawit dan usaha budidaya sapi potong
memberikan harapan meningkatnya produksi dan produktivitas kedua komoditas tersebut.

((Perkebunan kelapa sawit merupakan lumbung pakan yang melimpah. Dengan pola pemeliharaan ekstensif, yakni dengan digembalakan, maka sangat mungkin untuk bisa menghasilkan sapi bibit atau bakalan. Dengan pola pemeliharaan intensif atau semi intensif, yakni dengan program penggemukan, dapat menghasilkan daging.))

Integrasi ternak dalam suatu usaha tani tanaman adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktvititas tanaman, bahkan dengan adanya ternak diantara tanaman, harus dapat meningkatkan produktivitas tanaman sekaligus produksi ternaknya. Integrasi ternak tersebut bertujuan agar terjadi sinergi saling menguntungkan dan pada akhirnnya dapat membantu mengurangi biaya produksi.

Dalam sebuah pelatihan tentang budidaya sapi di kebun sawit di Banjarmasin, Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu, Pengurus Pusat Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Dr Mursid Ma’sum, menjelaskan integrasi usaha sawit-sapi, tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas kebun kelapa sawit melalui pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik, meningkatkan pemanfaatan hasil samping kebun kelapa sawit sebagai pakan, membantu pekebun dalam pemeliharaan kebun dengan memanfaatkan ternak sebagai tenaga kerja.

Tujuan lainnya adalah melakukan efisiensi biaya produksi kebun dengan memanfaatkan pupuk kandang, serta dapat mengembalikan kesuburan tanah. Integrasi ini juga dimaksudkan agar dapat tercapai kesejahteraan pekebun dengan adanya pertambahan kepemilikan ternak. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan yakni konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia perkapita relatif masih rendah dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Proporsi konsumsi daging sapi terhadap keseluruhan daging sebagai hasil ternak, relatif kecil, yaitu hanya 19%. Bandingkan dengan daging ayam yang mencapai 52%. Selain itu, keterbatasan lahan di Jawa dengan terkonsentrasinya kebun sawit di pulau Sumatera dan Kalimantan, telah membuka kemungkinan berkembangnya usaha budidaya sapi terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Usaha budidaya sapi memerlukan lahan dan perkebunan sawit menyediakan lahan tersebut, baik sebagai basis ekologis budidaya sapi maupun penyediaan pakannya.

Perkebunan kelapa sawit bahkan merupakan lumbung pakan yang melimpah. Dengan pola pemeliharaan ekstensif, yakni dengan digembalakan, maka sangat mungkin untuk bisa menghasilkan sapi bibit atau bakalan. Dengan pola pemeliharaan intensif atau semi intensif, yakni dengan program penggemukan, dapat menghasilkan daging. Penelitian tentang integrasi sawit-sapi pun telah banyak menghasilkan, utamanya dalam hal penyediaan pakan, baik menyangkut jumlahnya maupun kandungan nutrisinya. Begitu juga, telah tersedia teknologi pengolahan produk samping industri sawit, seperti batang, pelepah dan daun, tandan kosong, lumpur sawit dan bungkil inti sawit, menjadi bahan pakan ataupun pakan.

Mursyid mengungkapkan, penelitian tentang potensi pakan yang tersedia dari usaha perkebunan sawit dan pabrik pengolahan sawit telah banyak dilakukan. Penelitian ini tidak saja menyangkut jumlah (kuantitas) pakan yang dapat dihasilkan, tetapi juga kandungan nutrisi untuk masing-masing jenis bahan pakan yang berasal dari kelapa sawit. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa satu ha perkebunan sawit dapat menampung dua ekor sapi. Namun, banyak diantara kita “menyederhanakan” perhitungan potensi kapasitas tampung lahan sawit ini hanya berdasarkan pada luas perkebunan sawit. Sehingga, potensi sapi yang bisa dibudidayakan di perkebunan sawit mencapai sekitar 23 juta ekor sapi (11,91 juta ha x 2 ekor sapi).

Konsentrasi perkebunan sawit 95% ada di luar Jawa, yaitu Sumatera 62,46% (sekitar 7,0 juta ha) dan Kalimantan 32,99% (sekitar 3,7 juta ha). Data per regional (pulau) dapat dilihat pada table berikut:

Luas Perkebunan Sawit, Populasi Sapi dan Pemotongan Sapi
No
Regional
Kebun Sawit
Populasi Sapi
Pemotongan Sapi
Luas (ha)
%
Ekor
%
Ekor
%
Ekor/hari
1
Sumatera
7.032.856
62,46
3.075.135
19,94
459.643
21,14
1.259
2
Jawa
33.367
0,30
6.699.037
43,44
1.140.619
52,45
3.125
3
Bali-Nusra
0
0
2.498.189
16,20
152.554
7,02
418
4
Kalimantan
3.714.292
32,99
507.960
3,29
155.477
7,15
426
5
Sulawesi
367.877
3,27
2.294.530
14,88
222.571
10,23
610
6
Maluku-Papua
111.883
0,99
344.832
2,24
43.796
2,01
120
Nasional
11.260.275
100,00
15.419.719
100,00
2.174.660
100,00
5.958

Sumber: AINI, diolah dari Statistik Perkebunan (2016) dan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2016).

Potensi perkebunan sawit yang dapat diintegrasikan dengan budidaya sapi adalah berdasarkan luas tanaman yang telah menghasilkan (TM). Saat ini, luas tanaman TM secara nasional adalah sekitar 7,8 juta ha. Sedangkan proyeksi tahun 2018 sekitar 7,9 juta ha dan 8,1 juta ha untuk 2019 mendatang, atau sekitar 66,6% dari luas perkebunan sawit seluruhnya. Jadi, berdasarkan luasan tanaman sawit yang telah menghasilkan tersebut, maka potensi ternak sapi yang bisa diintegrasikan dengan perkebunan sawit berkisar antara 15-16 juta ekor.

Dari tabel terlihat bahwa terjadi kesenjangan antara wilayah perkebunan sawit (sebagai sumber pakan) dengan konsentrasi populasi sapi saat ini. Luas perkebunan sawit di Jawa hanya 0,3% mempunyai populasi sapi 43,4 %. Sementara pulau Sumatera yang mempunyai luas kebun sawit sebesar 62,46% memiliki populasi sapi hanya 19,94%. Begitu juga Kalimantan, yang mempunyai luas kebun sawit 32,99%, populasi sapinya hanya 3,29%. Tabel tersebut juga menggambarkan perbandingan antara populasi sapi per regional (pulau) dengan jumlah pemotongan sapi (sebagai representasi permintaan daging sapi ataupun pasar sapi). Di sini,  menunjukkan proporsi distribusi pasar yang tidak merata. Pasar sapi ataupun dagingnya masih terkonsentrasi di pulau Jawa (52,45%) dan Sumatera 21,14%.

Integrasi sawit-sapi makin menjadi usaha yang diharapkan dan pemerintah pun mendorong terlaksananya usaha integrasi ini dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 105 tahun 2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong. Regulasi tersebut diperkuat dengan permentan yang baru,  yakni Peraturan Menteri Pertanian No. 49 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Negara. Peraturan tersebut menetapkan bahwa importir sapi bakalan diwajibkan memasukkan sapi indukan dengan rasio 20% bagi pelaku usaha dan 10% bagi koperasi peternak dan kelompok peternak. Peraturan ini mengakibatkan praktisi feedloter harus mencari cara yang paling efisien agar tidak rugi dalam memelihara sapi indukan.

Dalam simulasi perhitungan kasar dari beberapa ahli menunjukkan, bahwa pemeliharaan sapi indukan akan rugi sebanyak minimal Rp 3.000.000 per ekor per sembilan bulan jika dipelihara secara intensif. Dengan demikian, praktisi feedlot yang impor sapi sebanyak 10.000 ekor akan mengalami kerugian sebesar 30 milyar rupiah per sembilan bulan.

Sementara itu, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Dalam kajian yang dilakukan oleh AINI, setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini terjadi peningkatan luasan area perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebesar 46%, dengan luas area pada 2015 mencapai 11.300.370 ha. Peningkatan ini tentunya diikuti dengan meningkatnya kebutuhan pupuk dan herbisida untuk pemberantasan gulma. Jika diteliti lebih lanjut, perkebunan kelapa sawit sangat berpotensi sebagai penyedia pakan bagi ruminansia. Pakan dapat tersedia dari vegetasi tanaman sela atau hijauan antar tanaman/bagian bawah pohon yang bersifat gulma, daun kelapa sawit dan pelepah batang kelapa sawit.

Untuk meningkatkan efisiensi pemeliharaan sapi indukan sekaligus meminimalkan biaya pupuk sawit, maka sistem integrasi sapi-sawit merupakan konsep yang tepat. Konsep ini memberikan keuntungan bagi praktisi feedlot diantaranya harga pakan menjadi murah, biaya tenaga kerja berkurang, sapi menjadi sehat dan mudah beranak. Dari segi animal welfare, dapat dikatakan bahwa sapi dalam tingkat sejahtera. Bagi pihak perkebunan sawit juga mendapatkan keuntungan diantaranya mengurangi biaya pemupukan, mengurangi biaya herbisida dan upah tenaga kerja. Selain itu, perkebunan sawit dalam jangka panjang dapat menghasilkan minyak organik.

Integrasi usaha perkebunan kelapa sawit dan usaha budidaya sapi potong memberikan harapan meningkatnya produksi dan produktivitas kedua komoditas tersebut. Walaupun usaha ini telah menjadi program pemerintah untuk mendukung kedaulatan pangan, Mursyid menandaskan, tentang masih banyak tantangan yang dihadapi oleh para pelaku di lapangan agar program ini berhasil dengan baik. Oleh karena itu, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh perusahaan kelapa sawit swasta, BUMN, pekebun rakyat untuk melakukan usaha integrasi sawit-sapi ini secara empiris bisa menjadi basis lesson learn bagi semua pihak. Begitu juga hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi maupun balai atau pusat penelitian, bisa dijadikan landasan teori untuk menerapkan integrasi sawit-sapi.


Andang S. Indartono
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia (AINI) 
IG: @and4ng
email: andang@ainionline.org


ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer