Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Inovasi Teknologi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KENDALA BETERNAK DAN INOVASI MASA MENDATANG

Banyak peternak yang masih terkendala dengan usaha peternakannya. (Foto: Istimewa)

Pada webinar “Kendala-kendala Dalam Beternak dan Inovasi Peternakan di Masa Mendatang,” yang diselenggarakan Ternaknesia beberapa waktu lalu, Ridwan Munir, dari Bogoatta (Bogor Goat Ettawa) mengatakan bahwa peternak mempunyai kendala baik internal maupun eksternal.

Kendala Internal dan Eksternal
Faktor internal yang sangat berpengaruh adalah pengetahuan terhadap bibit ternak. Menurut Ridwan peternak ruminansia kecil kadang tidak paham mengenai bibit khusus untuk pedaging, susu, kontes, ataupun untuk kopulasi.

Pada manajemen hulu dan hilir kadang peternak ingin menguasai semuanya, dari pembuatan pakan hingga penjualan. Padahal masing-masih bidang membutuhkan spesifikasi atau keahlian khusus.

“Kemudian hasil ternaknya ingin diolah sendiri ini akhirnya waktunya terbuang, yang harusnya misal fokus harus menjaga ternak jadi terbengkalai karena ada kegiatan lain,” kata Ridwan.

Masalah mentalitas terutama anak-anak muda, mereka tidak suka dengan dunia peternakan karena dianggap low benefit, kurang bergengsi, harus kotor dan kepanasan.

Faktor eksternal antara lain izin usaha, legalitas, pasar hasil ternak, lahan peternakan, stabilitas harga dan efisiensi pakan berkualitas.

Banyak peternak yang masih terkendala dengan usaha peternakannya karena kepemilikan lahan yang terbatas, hanya ada di lahan pekarangan. Karena tidak ada izin usaha dan legalitas produk hasil usaha peternakan tidak bisa didistribusikan lebih jauh.

“Kualitas serta kontinuitas pakan perlu diperhatikan karena akan memengaruhi produktivitas,” terang Ridwan. “Untuk menghasilkan produk berkualitas pakan menjadi utama. Kalau pakan masih asal-asalan yang penting kambing kenyang tidak dihitung nutrisinya, tidak dihitung efeknya terhadap kesehatan akan memengaruhi kualitas susu.”

Hasil ternak ruminansia kecil memiliki pasar lebih spesifik, cara membidik pasar harus dilakukan dengan baik. Konsumen mau membeli produk hasil ternak dengan harga cukup tinggi jika kualitasnya bagus dan manfaatnya terasa.

Sementara untuk teknologi hulu maupun hilir pada ruminansia kecil cenderung kurang diperhatikan. Masih cukup mahal dan belum terjangkau, solusinya bisa dengan membeli secara patungan.

Ridwan menyarankan untuk efisiensi dan manajemen kandang sebaiknya bekerjasama dengan para ahli. Menurutnya, universitas adalah gudang ilmu yang tidak boleh diabaikan peternak. Pengolahan produk sebaiknya menerapkan HACCP meskipun belum mempunyai sertifikasinya. Selain itu ia juga menyarankan pemasaran online agar peternak bekerja sama dengan pihak yang kompeten dan tidak dikerjakan sendiri.

Belajar dari Negara Maju
Sementara itu Drh Deddy Fachruddin Kurniawan dari Dairy Pro Indonesia, menjelaskan di Indonesia terdapat tiga macam peternak. Pertama, peternak mikro yang secara ekonomi dan pendidikan biasanya menengah ke bawah. Semua pekerjaan beternak dikerjakan sendiri, dari mencari rumput, memerah susu, hingga penjualan.

Kedua, peternak kelas menengah yang secara ekonomi dan pendidikan biasanya menengah ke atas. Peternakan ini bukan pekerjaan utamanya, mereka tahu cara bisnis tetapi minim pengetahuan tentang bagaimana mengelola peternakan secara teknis. Biasanya sudah memiliki mindset sebagai seorang entrepreneur.

Ketiga, peternak korporasi yaitu peternakan yang sudah berbentuk perusahaan. Standar-standar pengelolaan sebuah perusahaan dengan berbagai aspek teknisnya termasuk bagaimana mengelola peternakannya diterapkan. Banyak prosedur dan performa indikator yang diterapkan.

“Di Indonesia sekitar 85-86% mungkin hampir 90% micro farmer. Corporate farmer tidak lebih dari 6-8%, sisanya sekitar 5-6% middle class farmer,” kata Deddy. “Jumlah middle class farmer semakin ke sini semakin banyak, micro farmer semakin sedikit, corporate farmer semakin banyak. Maka kita tidak bisa menyamaratakan berbagai macam inovasi sistem untuk semua modelnya.”

Deddy memaparkan, di negara maju bisnis terkuat di bidang pertanian dan peternakan bentuk organisasinya berupa koperasi. Misalnya es krim Campina di Belanda adalah sebuah koperasi, susu Anlene di New Zealand adalah sebuah koperasi bernama Fonterra.

Indonesia dalam peternakan masih tertinggal jauh dengan New Zealand dan Amerika Serikat. Di Amerika produksi susu dari 1940-an hingga 2010 naik lima kali lipat dengan jumlah sapi turun hingga seperempatnya. Hal itu bisa terjadi karena adanya mindset, inovasi, teknologi dan solusi terintegrasi.

“Jadi solusinya tidak bisa sendiri-sendiri. Solusi integrasi yang kita butuhkan dan ini tidak bisa diselesaikan dalam diskusi dua jam, tapi minimal memberikan inspirasi,” tutur Deddy. “Kita lihat cara USA dan New Zealand, kita perlu memformulasikan dalam bahasa kita di Indonesia tapi kita perlu memutuskan fokus kita apa.”

Deddy berharap teknologi pemerahan, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan reproduksi, pembuatan produk yang lebih efisien, pakan dan lainnya, dibuka semua ke peternak. Karena di Indonesia masih ada gap antara seorang yang paham/ilmuwan dengan peternak. Peternak dan akademisi harus disambungkan seintensif mungkin. Peternak harus dipaksa untuk pintar, yang akan membuat mereka terbuka dengan informasi.

Koperasi yang menaungi peternak sebaiknya juga memiliki business mindset, jangan hanya sebagai penyambung lidah antara peternak dengan industri, namun juga memiliki power.

Deddy menyoroti di Indonesia peternak, pengepul, koperasi, industri, hingga penjualnya adalah orang-orang yang berbeda. Maka struktur satu dengan struktur lainnya bisa saling menekan karena masing-masing menginginkan keuntungan sendiri.

Sementara di negara maju untuk jadi peternak tidak bisa langsung, peternak harus terintegrasi dengan pabrik, harus memiliki saham di pabrik. Sehingga peternak berkumpul dalam sebuah wadah koperasi membuat pabrik, sehingga ketika pabrik untung peternaknya pasti untung. Peternak fokus di kompetensinya sebagai peternak tetapi tidak ditekan oleh struktur di atasnya, baik koperasi maupun pabrik. Di Indonesia perlu diciptakan bagaimana mengintegrasikan peternak sampai ke industri supaya semua bisa saling support.

Deddy menceritakan sebelum menjadi eksportir sapi 1950-an, Australia adalah importir sapi. Negara itu kemudian fokus pada integrated database memastikan datanya akurat dan top down. Dalam waktu singkat yaitu sekitar 1970-1980, Australia menjadi eksportir. Sedangkan di Indonesia data dinilai masih kurang tepat akurasinya.

Realtime integration juga penting dilakukan. Menyambungkan antara peternak, bisnis transportasi, hingga legalitas dan standarisasi secara realtime. Genetik hewan ternak juga harus di-record dengan baik sehingga mudah untuk mengetahui genetik yang bagus dan tidak. Untuk melakukan recording diperlukan identifikasi ternak (animal ID) yang baik.

Selain itu, detecting tools juga menjadi inovasi yang penting. Agar beternak menjadi lebih praktis karena berbagai permasalahan bisa terdeteksi dengan cepat dan mudah. “Di luar sana banyak tools diciptakan hanya untuk satu tujuan yaitu deteksi birahi, sehingga mereka mengalami efisiensi reproduksi yang luar biasa,” terang Deddy.

Di Indonesia untuk mendapatkan pejantan yang proven butuh paling tidak tujuh tahun. Negara maju sudah menciptakan DNA proven sehingga bisa mengidentifikasi DNA yang terbaiknya untuk pedet yang usianya baru dua minggu.

“Peternak butuh bantuan bagaimana mengelola manajemen. Jadi peternak itu sudah berat kalau disuruh memikirkan bagaimana manajemen kesehatannya. Jangan disuruh membuat laporan rutin karena bukan kompetensinya, tapi mereka butuh batuan cara mengetahui bagaimana peternakannya ini sudah benar. Para ahli bisa kita sambungkan dengan peternak untuk melakukan hal itu, kalau peternak disuruh melakukan sendiri tidak bisa,” pungkas Deddy. (NDV)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer