Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Hemifilia | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

DETEKSI MUTASI PADA GEN bFXI, PENYEBAB PENYAKIT HEMOFILIA PADA SAPI

Untuk mencegah penyakit hemofilia pada sapi penting melakukan deteksi mutasi gen bFXI pada sapi calon pejantan dan calon induk. (Foto: Dok. Infovet)

Hemofilia merupakan salah satu penyakit kelainan genetik yang dapat diderita oleh manusia dan beberapa spesies hewan. Kelainan genetik ini menyebabkan defisiensi gen faktor tertentu yang dapat menentukan jenis hemofilia.

Hemofilia tipe A disebabkan oleh defisiensi faktor VIII (antihemophilic factor) yang menjadi penyebab paling umum hemofilia pada anjing, kucing, serta beberapa spesies kuda dan sapi. Hemofilia tipe A muncul dari mutasi spontan pada gen faktor VIII yang terletak pada kromosom X.

Sedangkan hemofilia tipe B disebabkan oleh defisiensi faktor IX (chrismast factor) yaitu kelainan hemoragik yang berhubungan dengan kromosom X, mirip dengan hemofilia tipe A. Kelainan ini menyerang terutama pada hewan dengan jenis kelamin jantan. Hemofilia tipe B bukan penyebab umum seperti hemofilia tipe A, namun pada kasus yang parah dapat menyebabkan kematian pada anak anjing dan kucing.

Kemudian hemofilia tipe C terjadi akibat defisiensi faktor XI (plasma thromboplastin antecedent). Kasus ini jarang terjadi dan hanya terekspresi pada spesies hewan tertentu, seperti jenis anjing Springer Spaniel, Great Pyrenees, Weimaraner dan Kerry Blue, kemudian sapi dengan jenis Friesian Holstein (FH). Cara pewarisan penyakit ini bersifat autosomal, sehingga dapat berpengaruh pada semua jenis kelamin, namun belum diketahui secara pasti apakah gen tersebut bersifat dominan atau resesif (Eclinpath 2013).

Kasus hemofilia pada sapi pertama kali dilaporkan pada tahun 1969 menyerang sapi FH di Amerika Serikat. Saat ini diketahui bahwa penyakit hemofilia pada sapi disebabkan karena terjadi kelainan genetik terutama pada gen bovine Deficiency Factor XI (bFXI). Gen bFXI berfungsi untuk menghasilkan protein serine protease factor XI (thromboplastin) yang penting untuk proses pembekuan darah. Gen bFXI pada sapi terletak di kromosom 27 dengan panjang 19.150 pasang basa (pb), serta terdiri dari 14 intron dan 15 ekson.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa terjadi mutasi insersi sepanjang 76 pb di bagian ekson 12 dari gen bFXI (Marron et al, 2004; Meydan et al, 2009; Eydivandi et al, 2011) seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Insersi basa sepanjang 76 pb diposisi antara basa ke 9401 dan 9402 pada intron 12 gen bFXI. Terdapat sekuen insersi spesifik (tanda garis bawah) yang sama seperti sekuen normal  (Sumber: GenBank: AH013749.2).

Mutasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya beberapa penyakit pada sapi, antara lain hemofilia dan gangguan reproduksi (Ghanem et al, 2005). Sapi yang normal bergenotip DD dan sapi yang carrier bergenotip DI. Sedangkan sapi yang bergenotip II merupakan sapi dengan kelainan genetik (mutan). Ketiga tipe genotip tersebut dapat diidentifikasi dengan mudah menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil PCR pada gen bFXI menunjukkan tiga tipe genotip DD (normal), DI (carrier) dan II (mutant). M: marker DNA 100 bp. (Sumber: Dr. P.A. Gentry dalam Marron et al, 2004).

Menurut Meydan et al. (2009), hewan penderita hemofilia tipe C masih dapat bertahan hidup hingga bertahun-tahun tanpa gejala klinis yang jelas, sedangkan pada sapi carrier terlihat gejala hemofilia ringan (Khade et al. 2016). Gejala klinis hemofilia tipe C pada sapi berupa perdarahan yang timbul karena trauma atau pembedahan, terkadang terjadi perdarahan spontan. Pada beberapa kasus, perdarahan terjadi hingga empat hari sejak prosedur pembedahan.

Pada kondisi faktor XI yang mengalami defisiensi, koagulasi darah tidak disertai dengan thrombin cukup. Thrombin berfungsi memperkuat jalur aktivasi faktor XI, namun dalam jumlah kecil tidak cukup untuk mengaktifkan inhibitor fibrinolitik atau tissue factor pathway inhibitor (TAFI). Hal ini mengakibatkan fibrinolisis dari koagulan yang awalnya terbentuk, sehingga menyebabkan perdarahan terjadi selama beberapa hari (Eclinpath 2013).

Selain itu, pada sapi carrier yang sedang bunting gejala klinis dapat berupa abortus dan mumifikasi fetus. Sapi mutan dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun namun disertai dengan perdarahan pada tali pusar, mudah sakit (morbiditas) dan hidung berdarah atau epistaxis (Gambar 3 A). Pada sapi mutan dan carrier dapat terjadi anemia, prevalensi kawin berulang yang tinggi, pneumonia, mastitis, metritis, folikel ovarium mengecil, proses luteolisis lambat dan kadar estradiol saat ovulasi rendah (Liptrap et al, 1995; Kumar et al, 2011, Meydan et al. 2009). Penelitian Moritomo et al. (2008) melaporkan kajian patologi-anatomi sapi mutan bergenotipe heterozigot berupa kebengkakan pada rahang bawah, leher dan dada (Gambar 3 B). Setelah dilakukan pembedahan, didapatkan pendarahan yang masif di daerah periesofageal yang meluas ke rongga dada (Gambar 3 C). Selain itu, organ parenkim seperti hati dan ginjal juga berubah warna yang menunjukkan bahwa hewan menderita anemia.

Gambar 3. Gejala klinis sapi yang mengalami hemophilia tipe C: A. Epistaxis akibat penyakit hemofilia pada sapi (Sumber: Areshkumar, 2019). B. Adanya kebengkakan di rahang bawah, leher dan dada pada sapi mutant. C. Perdarahan subkutan (hematoma) pada sapi mutant di daerah periesofageal setelah dilakukan pembedahan (Sumber: Moritomo et al. 2008).

Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit hemofilia pada sapi adalah dengan deteksi mutasi gen bFXI pada sapi calon pejantan (stud) dan calon induk (heifer). Selain itu, penerapan manajemen recording yang baik juga penting dilakukan untuk mencegah terjadinya mutasi pada gen bFXI akibat perkawinan inbreeding dalam waktu yang lama.

Hasil penelitian Siswanti et al. (2014), melaporkan bahwa tidak ditemukan adanya mutasi pada gen bFXI sapi Bali yang berasal dari sejumlah pusat pembibitan di Indonesia. Hal itu dapat disebabkan karena pusat pembibitan tersebut sudah melakukan proses seleksi ternak dan manajemen recording yang baik. Pemberian plasma segar, plasma segar-beku, atau cryosupernatant dengan infus secara intravena juga dapat dilakukan terhadap sapi penderita hemofilia tipe C sebagai salah satu upaya perawatan pada sapi hemofilia (Eclinpath 2013). ***

Widya Pintaka Bayu Putra MSc & Drh Mukh. Fajar Nasrulloh
Pusat Penelitian Bioteknologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer