Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Gizi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MELAWAN TRADISI “NGASREP” DENGAN TELUR

Telur ayam merupakan sumber gizi yang sangat baik dan dibutuhkan bagi kaum ibu yang baru melahirkan atau sedang masa menyusui. (Foto: Istimewa)

Ngasrep atau hanya makan nasi putih masih menjadi tradisi sebagian orang di desa-desa. Meski edukasi tentang nutrisi digencarkan, namun tak mudah menghilangkan lelakon yang sudah jadi tradisi.

Dina Nuraini merasa khawatir dengan kondisi bayinya yang baru berumur tiga bulan. Maklum sejak lahir, berat badan anaknya hanya bertambah 1 ons. Air susu ibu (ASI) yang diberikan tak terlalu banyak. Meski secara fisik terlihat sehat dan ia termasuk ibu muda, namun produksi ASI-nya tergolong kurang.

Usut punya usut, ternyata warga Kampung Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, ini sedang menjalani tradisi ngasrep. Tradisi yang hanya mengonsumsi nasi putih tanpa lauk sama sekali. Kalaupun ditambah lauk, porsinya sangat sedikit.

Kepada Infovet Dina menceritakan sudah tiga bulan lebih dirinya hanya makan nasi putih dan jarang sekali mengonsumsi lauk, baik ikan, daging, ataupun sayur-sayuran. Lelakon ngasrep ini ternyata bukan kemauan Dina sendiri. “Ini yang suruh ibu saya, masih ngikutin kebiasaan orang zaman dulu di kampung sini. Katanya sudah tradisi orang-orang di sini sejak dulu,” tuturnya.

Lantaran tak tahan tiap hari ngasrep, Dina mensiasati agar tetap bisa menikmati menu lainnya. Perempuan berusia 29 tahun ini mengaku sering “kucing-kucingan” dengan ibunya soal urusan makanan. Contohnya saat sang ibu tak ada di rumah, Dina kerap mengambil lauk dan memakannya.

Sebab ia mengaku sering lemas dan produksi ASI-nya tak sebanyak ibu-ibu lain yang juga baru melahirkan. Agar bayinya tak menangis karena haus, Dina memberikan susu formula sebagai tambahan. Ini pun juga atas saran dari sang ibu.

Penasaran dengan tradisi ngasrep, Infovet mencoba mengorek informasi dari warga lainnya di kampung tempat tinggal Dina. Ada seorang tukang pijat bayi, Sumiyati (70), yang menceritakan bahwa ngasrep sudah menjadi tradisi di lingkungannya untuk perempuan yang baru melahirkan. “Tapi enggak semua orang mau jalani tradisi ini. Ada juga yang makan bebas, enggak ada pantangan,” ujarnya.

Menurut perempuan yang sudah menekuni profesi tukang pijat bayi selama 10 tahun lebih ini, ngasrep tidak selalu hanya makan nasi putih saja. Tetapi bisa juga diganti dengan singkong atau ubi. Yang pasti tidak memakan lauk. “Orang zaman dulu nyebutnya mutih, makan makanan yang warna putih,” ungkapnya.

Sumiyati mengaku tidak tahu persis sejak kapan tradisi ngasrep berlaku di kampungnya. Ia hanya menyebut sudah turun-temurun. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, tradisi ngasrep perlahan makin sedikit yang menjalaninya. Hanya orang-orang yang masih percaya saja yang melakoninya. “Sekarang zamannya beda, orang sekarang pada pinter soal urusan makanan. Tapi masih tetap ada yang jalani tradisi ini,” ucapnya.

Jika ditelisik asal mula tradisi ngasrep yang juga masih terjadi di beberapa daerah, ternyata ini ada kaitannya dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia. Banyak literatur yang menuliskan riwayat tradisi ngasrep.

Seperti diketahui, penjajah Belanda dikenal licik dalam mengelabuhi rakyat Indonesia. Konon, tradisi ngasrep merupakan taktik penjajah yang diterapkan kepada rakyat Indonesia. Setiap wanita yang baru melahirkan hanya disuruh makan nasi, singkong, atau ubi saja. Tidak diperbolehkan mengonsumsi sayuran atau makanan lainnya yang bergizi.

Tujuannya jelas, dengan ngasrep maka asupan gizi anak-anak pada masa itu sangat sedikit. Pertumbuhan anak hingga dewasa menjadi kurang dan tubuh menjadi lemah. Dengan begitu, generasi muda Indonesia pada masa itu mudah dikalahkan pasukan penjajah Belanda.

Sayangnya, taktik tersebut malah menjadi tradisi oleh sebagian masyarakat hingga sekarang. Mungkin saja ini ada kaitannya dengan orang-orang Indonesia zaman dulu yang sedang lelakon untuk ilmu yang berkaitan dengan supranatural. Untuk mencapai puncak kekuatan fisiknya (bisa dibilang sakti) salah satu syaratnya adalah puasa dan berbuka hanya dengan ngasrep. Puasa ngasrep, begitu orang zaman dulu menyebutnya.

Mitos Ngasrep
Yang pasti tradisi ngasrep ini sungguh miris. Di era yang sudah maju dan informasi seputar gizi mudah didapat, mengonsumsi makanan minim gizi masih berlaku bagi sebagian masyarakat. Semestinya masyarakat yang masih bersikeras menjalankan tradisi ini mulai sadar bahwa kebutuhan gizi tidak bisa dianggap sepele.

Apalagi bagi kaum ibu yang baru saja melahirkan, ini akan berbahaya bagi pertumbuhan sang anak yang membutuhkan asupan gizi cukup. Tradisi ngasrep ini tak cuma mengganggu pertumbuhan, namun bisa menimbulkan efek kesehatan bagi anak dan ibunya.

Anak bisa mengalami masalah stunting atau kekerdilan pertumbuhan. Daya tahan atau imun juga akan rendah karena terbatasnya asupan gizi. Sementara ibunya juga akan sedikit produksi ASI-nya.

Ada mitos kuat yang masih berlaku di kampung ini, tentang seorang ibu menjalani tradisi ngasrep. Sumiyati juga sempat menyebutkan dengan ngasrep maka bayinya akan keliatan putih bersih kulitnya.

Selain itu, jika sang ibu mengonsumsi telur dikhawatirkan anak akan bisulan. Begitu juga kalau makan lauk lainnya, seperti daging ayam, daging sapi, ikan, atau lauk lainya, akan berdampak buruk bagi bayinya. Ini benar-benar pemahaman yang sungguh keliru.

Telur dan daging ayam merupakan sumber gizi yang sangat baik dan dibutuhkan bagi kaum ibu yang baru melahirkan atau sedang masa menyusui. Fakta membuktikan, konsumsi telur ayam bagi wanita yang baru melahirkan membuat produksi ASI melimpah.

Konsumsi telur ayam juga sangat diperlukan, khususnya untuk wanita yang baru saja melahirkan melalui bedah sesar. Fungsinya untuk mempercepat penyembuhan bekas luka jahit dan lainnya.

Harga telur ayam masih di bawah harga makanan lainnya yang kandungan gizinya sangat minim. (Foto: Dok. Infovet)

Mitos Bisul
Mitos tentang konsumsi telur bisa mengakibatkan bisul pada anak-anak juga terkadang diperparah oleh pendapat segelintir dokter anak yang “mengiyakan” mitos tersebut. Dokter anak yang masih menganut pemahaman keliru macam ini sudah selayaknya segera diluruskan.

Menurut dokter spesialis anak, dr Triza Arif Santosa, kekhawatiran munculnya bisul pada anak bukan semata-mata karena mengonsumi telur. Diakui, memang ada beberapa anak yang alergi terhadap telur. “Tapi bukan semata-mata karena konsumsi telur, lalu keluar bisul,” ujarnya dalam Diskusi secara online tentang “Pentingnya Nutrisi dan Pertumbuhan Anak”.

Ahli gizi ini menjelaskan, pemberian telur satu butir setiap hari pada bayi usia 6-9 bulan dapat mencegah gangguan pertumbuhan dan stunting. Penelitian dari Washington University, bayi-bayi dengan rentang usia tersebut yang diberikan satu butir telur setiap hari, kadar kolin dan DHA-nya lebih tinggi dibandingkan pada bayi-bayi yang tidak diberikan telur.

Konsumsi telur untuk ibu menyusui juga berkhasiat untuk menjaga daya tahan tubuh. Vitamin A, B12, dan selenium di dalam telur penting untuk sistem pertahanan tubuh. Nutrisi ini penting agar ibu menyusui tidak mudah sakit meski harus sering begadang mengurus bayi.

Di zaman yang sudah maju sekarang ini sudah seharusnya para orang tua tak lagi memercayai mitos-mitos yang tak jelas sumbernya. Sekali lagi, telur merupakan sumber nutrisi penting yang dibutuhkan oleh anak balita dengan harga terjangkau.

Jika dihitung, harga telur ayam masih di bawah harga makanan lainnya yang kandungan gizinya sangat minim. Edukasi tentang pentingnya mengonsumsi telur dan daging ayam kepada masyarakat tampaknya masih harus terus digalakkan. Maraknya bergam jenis kuliner berbahan daging ayam dan telur mestinya menjadi media edukasi yang efektif. ***

Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet, tinggal di Depok

MENANGKAL ISU DAGING AYAM BERHORMON

Ilustrasi daging ayam. (Foto: Istimewa)

Pemilihan Umum 2024 tinggal menghitung waktu, meskipun Komisi Pemilihan Umum menetapkan bahwa kampanye baru boleh dimulai tahun depan. Kendati demikian, ada saja kampanye hitam yang terus konsisten digaungkan. Korbannya bukan Capres dan Cawapres, melainkan daging ayam.

Terakhir jagat maya dihebohkan dengan pernyataan seorang dokter di media sosial yang secara eksplisit mengatakan bahwa daging ayam broiler mengandung hormon yang membahayakan kesehatan manusia.

Black campaign seperti ini tentu tak asing untuk masyarakat, bagi yang berkecimpung di sektor peternakan awalnya mungkin marah dan jengkel, namun lama-kelamaan menjadi bosan mendengarnya. Beragam upaya juga telah ditempuh oleh stakeholder perunggasan untuk menampik hal ini, namun isu-isu seperti itu selalu saja ada setiap tahun.

Seakan-akan semua yang dilakukan oleh para stakeholder kurang efektif untuk menangkal kampanye hitam. Bahkan profesi sekelas dokter saja masih banyak yang menganggap bahwa ayam broiler tumbuh secara cepat akibat diberikan asupan hormon pertumbuhan.

Dari sini kita harus mengintrospeksi diri, sudah efektifkah sosialisasi yang kita lakukan? Mengapa hal ini terus berulang? Mengapa isu ini tidak pernah berakhir? Bagaimana meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa daging ayam broiler tidak mengandung hormon? Kamipun mencoba menganalisisnya dan mungkin ini bisa menjadi masukan bagi para stakeholder di dunia perunggasan.

Selama isu-isu ini beredar dan terus menyebar, apa yang dilakukan oleh stakeholder kebanyakan adalah menangkalnya dengan halus, seperti melakukan kampanye gizi, membuat sanggahan (counter) berita, seminar, dan lain sebagainya. Namun pernahkah ada upaya untuk menggandeng pihak-pihak penyebar hoaks tersebut?

Sebab selama ini banyak isu ayam berhormon dari kalangan  dokter, intelektual, bahkan influencer sosial media. Seharusnya stakeholder misalnya PDHI atau ISPI berkolaborasi dengan swasta mengajak asosiasi seperti IDI, atau influencer media sosial, artis, orang terkenal, bahkan si penyebar hoaks untuk melakukan semacam pertemuan ilmiah yang diakhiri dengan kunjungan ke farm.

Dari situ bisa dibeberkan semua data-data mengenai daging ayam. Jika memungkinkan bisa sekaligus dilakukan open kitchen agar mereka bisa mengetahui bagaimana “dapur peternakan” kita dengan melihat sendiri proses produksinya dan bisa bertanya mengenai setiap detailnya dari hulu sampai hilir.

Dengan harapan mereka menjadi tahu dan mengubah pola pikirnya bahwa daging ayam broiler sama sekali tidak mengandung hormon. Pertemuan tersebut bisa menjadi berita besar yang disebar melalui media massa dan media sosial. Hal itu tentu akan lebih mudah menyebar ke masyarakat luas, karena orang-orang yang berpengaruh tadi turut diajak bekerja sama untuk berkomitmen menyebarkannya di media sosial mereka bahwa daging ayam broiler aman untuk dikonsumsi.

Lalu mengapa kita tidak menggunakan para ahli dari sektor kita? Dari segi expertise ilmu mungkin mereka lebih hebat, namun dari segi pengaruh kepada masyarakat dan faktor ketenaran, bukan apple to apple untuk dibandingkan. Contohnya begini, kita sudah sangat mengenal Dr Tony Unandar sebagai salah satu pakar kesehatan unggas, namun masyarakat akan lebih kenal dengan Atta Halilintar.

Karena menurut pengamatan kami tren yang ada saat ini cenderung begitu, masyarakat akan lebih berkenan mengikuti para influencer yang sudah sangat terkenal di media sosial, layar kaca, dan sebagainya. Memanfaatkan ketenaran mereka sebagai media kampanye tentu akan lebih mudah dalam manggaet atensi masyarakat.

Selain itu, konsep mengubah lawan menjadi kawan seharusnya sangat menguntungkan bagi stakeholder di perunggasan. Kampanye yang sangat massif dapat terus digaungkan dan diramaikan tanpa henti, tinggal di klik dan share saja.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dibutuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu untuk dapat melakukannya. Namun hal tersebut tak ada salahnya dicoba demi menangkal isu-isu negatif soal perunggasan yang terus ada tiap tahunnya dan kerap berulang.

Kami mengutip salah satu pepatah dari Afrika yang berbunyi “If you want to go fast, go alone. But if you want to go far, go together”. Oleh karena itu, jika perunggasan ingin terus melangkah jauh, berkolaborasilah, agar perunggasan Indonesia tetap lestari. ***

Ditulis oleh Drh Cholillurahman
Redaksi Majalah Infovet

SOSIALISASI GIZI KEPADA PENGIDAP PENYAKIT AUTOIMUN

Foto Bersama KABR 

Pada Sabtu 3 Juni 2023 yang lalu di Restoran BTS Bogor, PT Inovasi Pangan Global dengan Komunitas Autoimun Bogor Raya (KABR) mengadakan kegiatan sosialisasi pentingnya asupan gizi untuk penderita penyakit autoimun. 

Ketua KABR Retno Deasy Titisari dalam sambutannya mengatakan bahwa acara tersebut rutin dilaksanakan oleh komunitasnya minimal sekali dalam sebulan. Tema yang disajikan pun berbeda tiap pertemuan namun masih berkaitan dengan autoimun. Selain menjadi ajang silaturahmi, kegiatan tersebut juga bertujuan untuk berbagi informasi, tips, cerita, dan berbagai unek - unek kepada sesama penderita autoimun. Kali ini tema yang dibahas adalah gizi.

Dalam kesempatan itu, turut mengundang PT Inovasi Pangan Global (IPG) yang bergerak di sektor hilirisasi produk pangan asal hewan. Dalam acara itu, manajemen PT IPG memberikan edukasi dan kampanye gizi kepada pasien autoimun.

Febroni Purba selaku CEO & Co Founder PT Inovasi Pangan Global menyatakan bahwa daging ayam kampung merupakan sumber protein yang baik untuk penderita autoimun. Hal tersebut karena mengandung cukup banyak protein, daging ayam kampung juga tidak menyebabkan alergi yang memicu kinerja sistem imun pada penderita autoimun. Selain itu, harganya juga lebih murah ketimbang sumber protein hewani lainnya. Fakta tersebut diperkuat oleh Dr Hermanto selaku dokter sub spesialis penyakit autoimun RSIA Hermina Bogor.

Lebih lanjut pria alumnus Fakultas Peternakan Universitas Andalas tersebut juga menyinggung bahwa sepatutnya masyarakat tidak perlu takut untuk mengonsumsi daging dan telur ayam terutama akan banyaknya berita bohong (hoax) yang beredar mengenai daging dan telur ayam. Terutama mengenai daging ayam yang mengandung hormon. 

Selain itu, acara juga dimeriahkan dengan lomba karaoke, demo masak daging ayam kampung, serta pembagian door prize. PT IPG juga membagikan produknya kepada peserta yang hadir sebagai bentuk kepedulian mereka kepada penderita autoimun. 

PT IPG memiliki produk andalan dengan brand Ayam Kampung Andalas yang sudah berdiri sejak awal tahun 2020. Saat ini, fokus bisnis PT IPG adalah pemrosesan ayam kampung untuk menyasar konsumen yang mengingingkan pola hidup sehat. (CR).

KETAHANAN PANGAN & GIZI BERBASIS KONSUMSI DAN KELUARGA

Webinar ketahanan pangan dan gizi, berlangsung interaktif


Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir sepanjang tahun 2020 menimbulkan dampak serius pada banyak sektor, termasuk pada kemampuan masyarakat dalam menyediakan, menjangkau, dan memanfaatkan bahan pangan bagi keluarga.

Dengan kondisi ini, yang harus dikedepankan untuk dicapai adalah ketahanan pangan dan gizi berbasis konsumsi pangan keluarga. Demikian disampaikan Ketua IPB SDGs (Sustainable Development Goals) Network, Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, dalam acara Bincang-Bincang Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (BBA) Volume 3 dengan topik “Ketahanan Pangan di Masa Pandemi” hari Sabtu, 12 Desember 2020. 

“Dua pertiga urusan kelaparan berhubungan dengan cukup konsumsi pangan dan gizi, terutama pada seribu hari pertama kehidupan,” ujar pria yang pernah menjabat Wakil Menteri Perdagangan (2011-2014) ini. Berbeda dengan aspek produksi, permasalahan konsumsi pangan --khususnya kecukupan gizi seperti ancaman stuting (kekurangan gizi kronis pada anak)-- berada di tingkat keluarga. Pembicaraan soal pemenuhan gizi keluarga tidak sebatas membahas aspek sosial-budaya dan selera makan, melainkan juga terkait pengetahuan dan kesadaran akan gizi.

Dalam hal ini, peran ibu menjadi sangat penting. Pendapatan keluarga juga menjadi hal kritikal untuk memastikan agar makanan sehat dapat tersaji setiap hari. Di luar itu, pemahaman soal sistem pangan (food system), memegang peran penting, mengingat ketahanan pangan bukan hanya masalah produksi, melainkan juga distribusi, pengolahan, penyimpanan, hingga konsumsi.“

Ketahanan pangan, menurut UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan sendiri dipengaruhi setidaknya lima faktor, yakni kondisi ekonomi, politik, sosial, dan keamanan. 

Adanya pandemi ini memaksa pemerintah menerapkan pembatasan dalam berbagai bidang. Kebijakan tersebut ikut mempengaruhi ketahanan pangan, khususnya ketersediaan dan kemudahan akses terhadap pangan oleh masyarakat. 

Pembicara lainnya, sosiolog Dr. Imam Prasodjo, menjelaskan adanya dikotomi para developmentalist yang mengagungkan pertumbuhan versus para konservasionis yang mendesak perlunya melestarikan sumber daya alam, mengurangi pemanasan global, dan pemulihan layanan ekosistem. “Yang adil adalah dengan menerapkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development),” kata Imam. Ia juga menekankan bahwa paradigma pembangunan tidak semata-mata hanya soal pertumbuhan (growth) melainkan juga soal kebahagiaan (human-eco happiness) atau ecosystem well-being.  Dalam hal ini, Imam melihat IPB University seharusnya menjadi tulang punggung dalam konteks eco-happiness.  

Imam Prasodjo, yang merupakan direktur Yayasan Nurani Dunia, melihat bahwa anak-anak muda masa kini, khususnya generasi milenial, lebih pro pencegahan perubahan iklim, sehingga mereka perlu dirangkul dan diberdayakan agar menjadi penggerak pembangunan berkelanjutan. Ia berpendapat, kebangkitan ketahanan pahan dapat dilakukan melalui pertanian rumah tangga (home farming) dan pertanian komunitas (communities farming).  Petani yang termarjinalkan harus didampingi oleh orang kota yang terdidik karena pertumbuhan pertanian tidak produktif tak lain disebabkan tenaga kerja yang tidak terdidik. 

Ia memaparkan inisiatif yang digagas Yayasan Nurani Dunia yaitu Kampung Ilmu, yang membangkitkan keluarga dan komunitas berusaha di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan.  “Pendidikan harus di hubungkan dengan usaha kecil dan kepada para champion.  Harus ada pendekatan praktisi dan ilmuwan secara multidisiplin,” ujarnya.  

Di sisi lain, Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ibnu Khajar, mengungkapkan pandemi Covid-19 tidak hanya bicara soal kesehatan melainkan juga soal ketersediaan pangan. “Yang mengagetkan, banyak rumah sakit menelepon kami bahwa tenaga medis tidak punya suplai makanan,” ujarnya. Call Center ACT yang sebelumnya masyarakat hubungi untuk konfirmasi donasi, kini 70 persen lebih menanyakan bantuan pangan. Termasuk pula mesjid-mesjid mitra ACT, mayoritas menghubungi untuk menginformasikan bahwa jamaah mereka amat membutuhkan bantuan pangan karena persediaan menipis. 

ACT mendistribusikan bantuan pangan menggunakan armada rice truck dan water truck.  Operasi Makan Gratis dilakukan menyasar pekerja informal, ojek online, dan buruh yang di-PHK. Mereka meneruskan program Lumbung Beras Wakaf di Blora yang membina pengelolaan 1.000 hektare sawah, dan ditingkatkan menjadi 5.000 hektare. Mereka berkolaborasi dengan YP3I (Yayasan Penguatan Pesantren Indonesia) dalam aktivasi lahan pertanian di 28.000 pesantren di Indonesia untuk program ketahanan pangan. 

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) juga melakukan hal mirip melalui pendekatan mengembalikan daya beli, melalui Bantuan Tunai Mustahik (BTM) untuk 20.000 keluarga dan dukungan paket logistik keluarga. Ada pula Program Bank Makanan yang bekerja sama dengan pengelola hotel-hotel untuk membantu masyarakat sekitar yang terancam kebutuhan pangannya. Di saat sama, Kepala Lembaga Pemberdayaan Peternak Mustahik (LPPM) BAZNAS, Ajat Sudarjat, memaparkan program pendayagunaan pangan, mulai dari Lumbung Pangan, Kebun Keluarga Indonesia, Pertanian Terpadu, hingga Balai Ternak buat masyarakat di berbagai daerah. 

Beberapa alumni IPB juga berbagi pengalaman terkait perjuangan usaha mereka terdampak pandemi Covid-19. Anni Nuraini, pengusaha travel di Bogor, mengakui dunia pariwisata amat terpengaruh, hampir semua sektor pariwisata mati dan bangkrut. Usaha Anni sendiri akhirnya banting setir ke agribisnis berupa budidaya organik ubi jepang demi karyawannya tetap bertahan. 

Deddy Fakhruddin, pengusaha sapi perah dan potong domisili Malang, yang belakangan terjun di bisnis edu-wisata. Ia mengaku sedikit beruntung karena bisnisnya tidak satu jenis. “Don’t put your money in one basket,” katanya memberi tips. Saat pandemi melanda, ia memutuskan segera banting setir ke sektor konsultasi dan edukasi digital, dan kini menjadi penopang utama. Ia beruntung tidak mengurangi gaji ataupun memberhentikan karyawannya.  

Sementara Purwo Hadi Subroto, petani dan pengusaha agribisnis di Pekanbaru, Riau, mengelola bisnisnya secara terpadu. Awalnya, produksi buah dan sayuran, termasuk ikan dan ayam, masih melimpah saat pandemi mulai melanda, namun daya beli menurun. Mereka melakukan efisiensi dan penurunan harga modal, termasuk memasak di rumah menggunakan tungku, 60 persen lebih hemat daripada menggunakan gas, untuk menyiasati biaya sehari-hari. Strategi menambah jenis tanaman juga dilakukan karena permintaan produk tertentu terdampak. Contohnya pepaya, yang biasanya satu supermarket menyerap hingga 200 kilogram, saat awal pandemi turun menjadi hanya 30 -  100 kilogram. Purwo dan para petani lokal juga berusaha memperluas pasar produk pertanian tersebut. (CR)

HARI PANGAN SEDUNIA 2019 : MARI PERBAIKI KUALITAS MAKANAN KITA

Peringatan Hari Pangan Sedunia 2019 : Mari Perbaiki Kualitas Makanan Kita

Hari Pangan Sedunia (World Food Day) diperingati setiap tanggal 16 Oktober dengan menyoroti perlunya upaya yang lebih keras untuk mengakhiri kelaparan dan bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya. Peringatan ini juga diadakan untuk memastikan keamanan pangan dan pola pangan sehat tersedia untuk semua orang. Tema Global Hari Pangan Sedunia tahun ini adalah “Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat, untuk  #Zerohunger ”

“Mencapai “Tanpa Kelaparan” (Zero Hunger) tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi. Tahun ini, Hari Pangan Sedunia menyerukan tindakan lintas sektor untuk membuat pola pangan yang sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Kita mengajak semua orang untuk mulai berpikir tentang apa yang kita makan,” kata Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Stephen Rudgard. Hari Pangan Sedunia dirayakan setiap tahun, tepat pada hari lahir FAO. Hari ini adalah salah satu hari terbesar dalam kalender PBB. Peringatan ini diadakan pada lebih dari 150 negara yang menyatukan pemerintah, sektor bisnis, LSM, media, komunitas  dan menyerukan aksi untuk mencapai SDG2 - Zero Hunger.

Dalam beberapa dekade terakhir, secara dramatis kita telah mengubah pola pangan sebagai akibat dari globalisasi, urbanisasi dan bertambahnya pendapatan. Kita telah beralih dari pangan musiman, terutama produk nabati yang kaya serat, pada makanan yang kaya akan pati, gula, lemak, garam, makanan olahan, daging dan produk hewani lainnya.  Waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makanan di rumah semakin sempit. Konsumen, terutama di daerah perkotaan, semakin bergantung pada supermarket, gerai makanan cepat saji, makanan kaki lima dan makanan pesan antar.

Kombinasi dari pola pangan yang tidak sehat serta gaya hidup yang kurang aktif telah menjadi faktor risiko pembunuh nomor satu di dunia. Kebiasaan ini telah membuat angka obesitas melonjak, tidak hanya di negara maju, tetapi juga di Negara - negara berpendapatan rendah,  di mana kekurangan dan kelebihan gizi sering terjadi bersamaan.  Saat ini, lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak perempuan dan laki-laki (5–19 tahun) mengalami obesitas, dan lebih dari 40 juta anak balita kelebihan berat badan, sementara lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan. Di Indonesia, 30,8% anak tergolong stunting (kekerdilan), 10,2% anak-anak di bawah lima tahun kurus dan 8% mengalami obesitas.

Hari Pangan Sedunia 2019 menyerukan aksi untuk membuat pola pangan sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Untuk ini, kemitraan adalah hal mendasar. Petani, pemerintah, peneliti, sektor swasta dan konsumen, semua memiliki peran untuk dimainkan,”kata Rudgard.

Kementan memberikan perhatian khusus soal ini dengan sebuah program untuk mendorong pemenuhan kebutuhan pangan nasional pada skala terkecil rumah tangga dengan nama Obor Pangan Lestari (Opal)”, tegas Kuntoro Boga Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian. Hal ini sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah stunting yang terjadi di Indonesia. Opal juga dirancang untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga, meningkatkan akses pangan keluarga, konservasi sumberdaya genetik lokal dan mengurangi jejak karbon serta emisi gas pencemar udara.

Pola Pangan Sehat Harus Bisa Diakses Semua orang

Pola Pangan sehat adalah pola pangan yang memenuhi kebutuhan gizi individu dengan menyediakan makanan yang cukup, aman, bergizi, dan beragam untuk menjalani kehidupan yang aktif dan mengurangi risiko penyakit. Ini termasuk, antara lain, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, dan makanan yang rendah lemak (terutama lemak jenuh), gula dan garam. Makanan bergizi yang merupakan pola pangan sehat hampir tidak tersedia atau terjangkau bagi banyak orang.

Hampir satu dari tiga orang mengalami kekurangan atau kelebihan gizi . Berita baiknya adalah ada solusi yang terjangkau untuk mengurangi semua bentuk kekurangan dan kelebihan gizi tersebut, tetapi hal ini membutuhkan komitmen dan tindakan global yang lebih besar. Program Opal memiliki kerangka jangka panjang untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan keluarga yang Beragam, Seimbang dan Aman (B2SA),” Boga menambahkan.

Opal dirancang sebagai salah satu langkah konkrit pemerintah dalam mengintensifkan peta ketahanan dan kerentanan pangan atau food security and vulnerability atlas (SFVA). FAO dengan badan-badan PBB lainnya dan kementerian terkait akan merayakan Hari Pangan Sedunia dalam serangkaian acara termasuk perayaan nasional di Kendari, Sulawesi Tenggara yang dipimpin oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Sulawesi Tenggara pada 2-5 November dan Festival Kaki Lima Jakarta “Pangan Sehat, siap santap” pada 10 November. Tema Nasional di Indonesia sendiri mengusung, Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045. (FAO/CR)

Jadilah Konsumen Ayam Beku yang Baik

Ayam beku. (Sumber: laman PT Karya Pangan Sejahtera)

((Proses pembekuan daging ayam hanya akan menurunkan kualitas kandungan gizi antara 5-10%. Namun, jika daging ayam beku langsung dipanaskan akan menurunkan kandungan gizi antara 20-30%, bahkan bisa sampai 40%.))

Ini fakta yang terjadi di masyarakat, pada awal Agustus lalu. Dua orang ibu rumah tangga sedikit ‘berdebat’ saat membeli daging ayam untuk menu jelang akhir pekan di Pasar Depok Jaya, Depok, Jawa Barat. Terjadi pendapat yang paradoks antara dua wanita itu dalam memilih daging ayam, pilih daging ayam segar atau daging ayam beku.

Sutinah (32 th), warga Perumnas Pancoran, Depok, memilih daging ayam beku, karena harga lebih murah dibanding dengan daging ayam segar. Ia membandingkan, harga daging ayam segar di Pasar Depok Jaya saat itu Rp 39.000 per ekor, sedangkan daging ayam beku hanya Rp 36.500 per ekor, dengan ukuran tak jauh beda.

Sementara Lina (41 th), juga warga Perumnas Pancoran, tetangga Sutinah, lebih memilih daging ayam segar, dengan alasan dagingnya lebih berkualitas dibandingkan dengan daging ayam beku. Bagi ibu rumah tangga ini, selisih harga Rp 3.000 tak dipersoalkan, asalkan ia mendapat kualitas belanjaan yang lebih baik.

Bagi sebagian kaum ibu rumah tangga, selisih harga Rp 1.000 atau Rp 2.000 memang kadang jadi persoalan. Namun bagi sebagian lagi, alasan kualitas kadang mengalahkan selisih harga.

Persoalan dua daging ayam yang berbeda ‘kutub’ (kutub beku dan kutub segar) ini seringkali menjadi perdebatan di masyarakat. Menurut Prof Dr Ir Ali Khomsan, Ahli Gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Jawa Barat, sebenarnya proses yang merusak gizi pada pengolahan daging ayam beku terjadi dalam proses pemanasan, bukan pada saat proses pembekuan.

Proses pembekuan memang dapat mengubah kandungan gizi, namun tidak banyak. Jika pada proses pemanasan bisa merusak kandungan gizi antara 20-30%, bahkan bisa mencapai 40%, pada proses pembekuan hanya sekitar 5-10%.

Ia berpendapat, pembelian ayam beku itu adalah untuk ketersediaan dalam masa-masa tertentu, di saat orang mengalami kesulitan. Misalnya, dia tidak bisa belanja setiap hari, maka daging ayam beku menjadi pilihan untuk ketersediaan. “Tapi bagi orang yang memiliki banyak waktu, membeli daging ayam segar tentu menjadi pilihan utama, karena gizinya masih tetap dan tidak banyak mengalami perubahan. Jadi, beli ayam beku atau segar itu pilihan saja,” ujarnya.

Minimnya Edukasi 
Masih banyaknya anggapan masyarakat bahwa daging ayam beku memiliki kualitas lebih rendah memang tak bisa disalahkan. Bisa jadi ini karena masih minimnya edukasi massal terhadap masyarakat oleh para produsen daging ayam beku. Maka, perlu adanya pencerahan yang lebih, yakni edukasi produsen atau distributor daging ayam beku kepada konsumen perlu digalakkan.

Sebagai informasi, proses daging ayam segar adalah hasil pemotongan yang fresh dari supplier ayam. Misalnya, pukul 06:00 pagi dipotong, langsung tersaji di lapak penjualan. Namun, setelah empat jam kemudian daging sudah terlihat berwarna hijau dan mulai membusuk.

“Salah satu cara mengawetkannya adalah dengan dibekukan. Semua daging hewan yang sudah dipotong dan tidak terkecuali ayam, dagingnya harus dipertahankan dengan rantai dingin, di bawah empat derajat celcius,” ujar Ahli Gizi Universitas Gadjahmada (UGM), Dr Ir Edi Suryanto.

Menurutnya, daging ayam segar yang tanpa pengawet dengan daging ayam beku sama sehatnya. Memang ada kemungkinan daging ayam beku tak bebas dari bakteri maupun kuman, karena ayam tidak langsung diolah atau karena sebab lain. Tetapi, selama penanganannya baik, maka bakteri dan kuman tidak akan bertambah.

Penanganannya bisa berupa daging yang dikemas dengan baik pada suhu konstan, serta tidak terpapar suhu di atas 10°C, sebab jika di atas suhu tersebut akan menjadikan kuman dan bakteri mulai tumbuh dan berkembang. Maka, bisa dibayangkan bagaimana daging ayam segar yang dijajakan hingga berjam-jam terbuka di pasar tradisional. Jika sudah sampai sore daging kelihatan masih segar, maka perlu diwaspadai.

Kualitas daging ayam beku juga sangat dipengaruhi oleh perlakuan dalam penyimpanannya. Kembali menurut Ali Khomsan, ayam beku yang sudah dicairkan sebaiknya segera diolah, jangan dibekukan kembali. “Ini yang tidak diperkenankan, karena kualitasnya tidak bagus lagi,” ujarnya.

Karena itu, ia menyarankan, agar mencairkan daging ayam beku sesuai takaran kebutuhan, untuk menghindari pengulangan pembekuan di freezer.

Pasar ayam beku. (Sumber: Humas Pemkot Bandung)

Cairkan dengan Benar
Lantas bagaimana perlakuan daging ayam beku yang baik? Menurut Ali Khomasan, sudah pasti harus ada perlakuan beda dalam mengolah daging ayam beku, sebelum sampai ke meja makan. Pemilihan daging ayam segar atau daging beku, sangat tergantung pada waktu pengolahan. Jika memang akan langsung diolah dan dikonsumsi pada hari itu juga, maka daging segar menjadi pilihan yang baik.

Akan tetapi saat ini, berbelanja tak hanya dilakukan setiap hari, namun juga mingguan atau bahkan bulanan. Karena itu, daging ayam beku bisa menjadi pilihan.

Berapa lama daging ayam dapat disimpan dalam kondisi beku? Sebuah artikel di laman PT Karya Pangan Sejahtera, distributor daging ayam beku di Bogor, Jawa Barat, menyebutkan, daging ayam beku memiliki waktu penggunaan. Untuk daging ayam beku utuh dalam kondisi mentah dapat disimpan hingga 12 bulan, sedangkan potongan daging ayam beku mentah dapat disimpan sekitar sembilan bulan.

Untuk menjaga kandungan vitamin dan rasa dari daging ayam beku, perhatikan pula cara penyimpanannya. Disarankan untuk menyimpan daging ayam beku pada suhu  di bawah nol derajat celsius, yakni sekitar -15°C sebelum dicairkan dan diolah.

Membekukan daging ayam atau membeli daging ayam beku memang efektif untuk menjaganya tetap awet. Namun, perlu diperhatikan cara mencairkannya agar tetap aman saat dikonsumsi.

Ali Khomsan menyarankan, proses pencairan daging ayam beku dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, bisa disimpan di ruang suhu kamar, maka daging beku akan kembali menjadi daging segar untuk siap diolah. Kedua, ada juga mencairkan daging beku dengan cara direndam di dalam air biasa, sehingga lama-kelamaan bekuan es-nya akan mencair.

Selama ini, masih ada masyarakat yang melakukan pencairan daging ayam beku langsung dengan merendam atau menyiramkan air panas. Memang, cara ini mempercepat waktu melelehkan bekuan es pada daging. Namun, cara ini sangat tidak disarankan. “Sebaiknya pencairan daging beku tidak dengan merendam pada air panas, karena performa dan tekstur dagingnya menjadi beda. Pencairan yang baik ya bertahap, melalui rendaman air biasa atau di ruang suhu kamar,” pungkasnya.

Jika pencairan dilakukan dengan cara memanaskan daging beku, maka akan merusak performa dan tekstur daging ayam. Selain itu, kandungan gizi pada daging akan mengalami  penuruann drastis. (Abdul Kholis)

Membangkitkan Selera Makan dengan Telur

Telur merupakan sumber gizi yang lengkap,
cara pengolahannya pun mudah dan praktis.

((Nyaris
semua manusia di bumi ini adalah pengkonsumsi telur ayam. Sebab, selain sebagai sumber zat gizi yang bagus dan lengkap, telur juga praktis dari sisi penanganan dan cara pengolahannya. Itulah sebabnya telur acap menjadi sarana pembangkit selera makan, terutama bagi mereka yang susah dalam hal urusan ”makan-memakan”.))

Cara memasak yang berbeda akan memberi sensasi yang berbeda juga dalam aroma dan cita rasanya. Dengan diolah dan dimasak bersama sedikit minyak goreng misalnya, akan mengeluarkan cita rasa yang berbeda dan khas, yang bisa membangkitkan selera untuk segera mengkonsumsinya. Telur menjadi pengundang cita rasa karena aromanya sangat sedap dan hal itu banyak disukai banyak orang. Bahkan jika telur disajikan tanpa diberikan bumbu pun sudah enak dikonsumsi. Mengapa telur bisa sedemikian nikmat? Hal tersebut dikarenakan kandungan zat gizi yang lengkap, terutama kandungan asam amino yang berupa rangkaian peptida yang bila diolah lebih lanjut, maka rangkaian peptida akan terurai sehingga memunculkan cita rasa gurih dan lezat.

Namun yang patut diingat, telur ada baiknya diolah dan dimasak hingga matang sempurna. Jika telur telur dikonsumsi setengah matang, atau bahkan telur mentah yang dicampur dengan ramuan tertentu sebagai jamu, maka sebaiknya berhati-hati, karena bisa jadi sangat bahaya. Telur memang mengandung berbagai zat gizi tinggi seperti protein, fosfor, zinc dan vitamin A, D, E, serta B. Tetapi hal itu akan menjadi masalah jika penyajiannya dalam keadaan mentah atau setengah matang. Telur adalah penyebab keracunan makanan pada banyak orang karena adanya bakteri salmonella, yakni bakteri patogen yang berasal dari kotoran ayam. Usus unggas adalah salah satu sumber utama bercokolnya bakteri salmonella. Bakteri tersebut bisa saja menempel pada kulit telur dan sangat mungkin masuk ke dalam telur melalui pori-pori kulit pada kondisi kulit telur retak, pecah, atau lembab.
Terdapat berbagai jenis salmonella yang terdapat pada isi telur, walaupun pada kulit  kerabangnya bersih dan terlihat normal. Namanya Salmonella enteritidis, yang bisa menginfeksi ovarium induk ayam dan bahkan bisa mengkontaminasi telur sebelum kulit terbentuk.
Oleh karenanya, ketika seseorang mengonsumsi telur mentah atau setengah matang yang banyak mengandung salmonella, bakal menyebabkan sakit perut ringan atau bahkan bisa lebih serius.  Racun enterotoksin yang menyerupai racun kolera yang dihasilkan salmonella saat memasuki saluran pencernaan manusia, akan terlepas ke dalam lambung dan menyebar ke tubuh. Ada beberapa gejala yang bisa jadi ditimbulkan setelah mengkonsumsi telur tersebut, diantaranya diare, muntah, demam, kedinginan, kejang perut dan sakit kepala.
Adanya bakteri salmonella dalam telur bukan berarti tidak boleh menikmati sumber protein yang satu ini. Untuk membunuh bakteri tersebut, cukup dengan cara pemanasan. Hal itu berarti, dalam memasak dan mengolah telur, harus benar-benar matang agar bakteri beserta racunnya dapat dilumpuhkan. Jangan biarkan racun menyebar dalam tubuh demi kenikmatan sementara. Yang harus selalu diingat adalah masak hingga matang telur yang akan dikonsumsi.

Cara Sehat Memasak Telur
Tidak hanya bermanfaat untuk menjaga tubuh dari berbagai serangan penyakit, membangun otot-otot tubuh dan membangun sistem kekebalan, telur juga membuat pengkonsumsinya tetap aktif. Beberapa cara sehat untuk memasak dan mengonsumsi telur, selain menyerap nutrisi dan proteinnya adalah dengan cara direbus, rebus tidak utuh, orak-arik, dadar, ceplok dan sebagainya.
Telur rebus merupakan cara memasak yang sangat dianjurkan untuk kesehatan pengkonsumsinya. Telur rebus membantu menurunkan berat badan karena dapat membakar kalori dan lemak tubuh. Cara berikutnya yakni rebus tidak utuh, misalnya dengan memasukkan telur ke dalam rebusan mi instan.

Untuk pemasakan dengan cara orak-arik, cara memasak seperti ini adalah yang terlezat untuk memasak telur, namun zat gizi relatif tidak rusak. Orak-arik telur memiliki kandungan zat gizi seperti protein dan mineral, misal zinc, vitamin B, vitamin E dan sebagainya. Untuk mempertahankan zat gizi tinggi telur, dalam memasak dengan cara orak-arik ini, masaklah dengan minyak goreng sawit dan jangan menggunakan mentega apalagi minyak zaitun atau minyak jagung. Kedua jenis minyak tersebut tidak stabil dalam proses pemanasan, sehingga justru menjadi tidak sehat untuk digunakan sebagai sarana menggoreng atau membikin orak-arik telur.
Adapun pengolahan telur dengan didadar dan omelet, hidangan seperti itu menjadi  salah satu menu sarapan favorit banyak orang. Hal itu disebabkan dadar dan omelet telur merupakan menu lezat, sehat dan praktis. Dalam mengkonsumsinya, bisa ditambahkan lada bubuk dan keju untuk menambah varian cita rasanya. (ASI)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer