Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Gangguan Pencernaan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENEKAN GANGGUAN PENCERNAAN

Upaya menekan gangguan pencernaan pada ayam yang disebabkan agen infeksius maupun tidak, dalam penanganannya harus bersifat terpadu dan komprehensif. (Foto: Dok. Infovet)

Sampai saat ini masih banyak peternak yang mengeluhkan terjadinya gangguan pencernaan yang berakibat pada menurunnya produktivitas ayam yang dipeliharanya. Berbagai bentuk gangguan pencernaan tersebut dapat berupa meningkatnya konversi pakan, pertumbuhan terlambat, keseragaman berat badannya rendah dan terjadinya gangguan produksi seperti tertundanya waktu produksi, pencapaian puncak produksi tidak maksimal, ketahanan lamanya puncak produksi relatif singkat, serta pola produksi cenderung berfluktuasi.

Faktor yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan pencernaan pada ayam sangatlah banyak dan dapat bersifat kompleks, yakni mulai dari infeksi berbagai agen penyakit, rendahnya kualitas pakan, faktor budi daya terkait manajemen pemeliharaan, serta pengaruh iklim dan lingkungan sekitar/dalam lokasi peternakan. Mengenai mekanisme terjadinya problem pencernaan pada ayam dapat berupa terjadinya gangguan perkembangan organ terkait dengan sistem pencernaan dan gangguan fungsi akibat terjadinya kerusakan secara langsung pada organ pencernaan yang bersifat vital.

Beberapa penyakit yang secara langsung dapat merusak dan mengganggu fungsi sistem pencernaan diantaranya Newcastle Disease (ND), Koksidiosis, Kolibasilosis, Kolera, Salmonellosis, Nekrotik Enteritis (NE), Infectious Stunting Syndrome, Helminthiasis.

Beberapa penyakit atau faktor yang secara tidak langsung merusak fungsi organ pencernaan, akan tetapi mempengaruhi perkembangan organ pencernaan, diantaranya Chronic Respiratory Disease (CRD) atau penyakit pernapasan lain yang bersifat kronis, defisiensi nutrisi pakan, serta faktor yang berhubungan dengan praktik manajemen yang berpengaruh langsung pada kesehatan ayam.

Penanggulangan di Lapangan
Upaya menekan terjadinya gangguan pencernaan pada ayam yang disebabkan oleh agen infeksius maupun yang tidak bersifat infeksius, dalam penanganannya haruslah bersifat…

Oleh: Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264, JAKARTA
Telp: 021-8300300

BERANTAS TUNTAS GANGGUAN PENCERNAAN

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Data analisa BMKG untuk Agustus 2021, menunjukan bahwa curah hujan menengah dikisaran 100-300 mm dengan kelembapan di atas 80% dan suhu permukaan 23-29° C. Hal ini akan berdampak kondisi di Agustus relatif lebih dingin dan berkorelasi dengan strategi pengendalian manajemen dan kesehatan unggas. Pada kondisi tersebut, tantangan gangguan penyakit pencernaan sangat potensial terjadi mengingat kondisi lingkungan mendukung bibit patogen untuk tumbuh, berkembang dan menyebabkan gangguan sistem pencernaan.

Usus atau intestine terdiri dari usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) serta usus besar. Usus halus terbentang dari ventriculus sampai bagian ileosekal yang merupakan tempat pertautan sekum. Bagian setelah ileosekal menuju kloaka disebut usus besar. Dibagian usus halus terdapat sel-sel epitel vili yang berperanan dalam proses pencernaan dan penyerapan pakan. Sedangkan dibagian usus besar terjadi penyerapan air.

Sejumlah penyakit dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada usus halus. Sebagai contoh adalah infeksi protozoa. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan usus untuk mencerna dan menyerap nutrisi pakan, akibatnya bobot badan ayam menurun atau terjadi hambatan pertumbuhan (Zalizar et al., 2007).

Tantangan pengendalian gangguan pencernaan semakin kompleks pasca dicabutnya penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) dalam pakan sejak 2018. AGP secara umum digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam usus dan biasanya spesifik mengarah ke bakteri gram positif yaitu Clostrodium perfringens. Bakteri ini adalah agen penyebab penyakit Necrotic enteritis (NE). Dengan dilarangnya penggunaan AGP, maka kemungkinan besar kemunculan penyakit ini akan sering terjadi.

Menurut Paiva D. and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566), menyatakan bahwa kejadian NE meningkat setelah dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai AGP. Masih menurut Paiva D. and McElroy A J., bahwa kejadian NE yang bersifat sub klinis menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar. Kejadian NE seperti fenomena gunung es, dimana yang bersifat sub klinis justru lebih besar dibandingkan dengan klinisnya. Kejadian NE subklinis ditandai dengan ayam tampak tidak sehat, average daily gain (ADG) yang tidak tercapai dan feed conversion ratio (FCR) yang buruk.

Kejadian NE seperti fenomena gunung es. (Gambar: Istimewa)

Hubungan NE dan Koksidiosis, serta  Dampak Ekonominya
Kemunculan NE pada broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal yakni Koksidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang di keluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Agustus 2021.

Ditulis oleh:
Eko Prasetyo Bayu S Spt
(Staff Region PT Karya Satwa Mulia, Mustika Grup) dan
Drh Sumarno Wignyo
(Senior Manager AHS PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk)

Tangani Problem Gangguan Produksi dan Pencernaan pada Layer

Kasus penurunan produksi telur disebabkan beberapa faktor penting,
diantaranya pakan dan penerapan biosekuriti. (Foto: Aktual.com)
Problem/kasus gangguan produksi dengan pola 90/40, menyebabkan terjadinya penurunan produksi secara drastis, bahkan diawal produksi yang lebih dari 90% bisa turun dalam hitungan waktu yang sangat singkat menjadi sekitar 30%. Fenomena ini belakangan terjadi pada ayam petelur yang mendasarkan pada pengamatan dan analisa di beberapa peternakan/lokasi peternakan yang bermasalah dengan problem tersebut.

Penulis menyimpulkan ada beberapa faktor utama yang disinyalir menjadi akar masalah dan faktor pemicu kasus itu bisa terjadi, yakni 1) Berkenaan dengan kualitas pakan (dugaan mikotoksikosis yang menyebabkan terjadinya immunosupresi). 2) Lemahnya praktek biosekuriti yang diterapkan di lapangan sebelum terjadinya kasus. 3) Problem wet droping (kotoran cenderung basah) berkepanjangan dialami kelompok ayam yang bermasalah tersebut sebelum terjadinya kasus infeksi virus ditambah infeksi sekunder oleh bakteri.

Berkaitan dengan kualitas pakan yang disinyalir sebagai salah satu pemicu problem tersebut, dari analisa dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, ditemukan adanya cemaran beberapa jenis mikotoksin (aflatoksin, fumonisin, zearalenon, ochratoksin dan T-2 toksin) yang ada dalam sediaan pakan yang dibuat/diberikan pada ayam yang bermasalah dengan problem kasus 90/40. Adanya polikontaminasi mikotoksin dalam level rendah dari masing-masing jenis mikotoksin yang mencemari pakan tersebut dan diberikan dalam jangka waktu cukup panjang pada ayam, menyebabkan terjadinya gangguan stuktur dinding saluran pencernaan, gizzard erotion (lesi pada gizzard), gangguan fungsi hati dan juga gangguan fungsi organ penghasil zat kebal tubuh (limpa, timus dan sumsum tulang), sehingga menyebabkan terjadinya immunosupresi. Terjadinya immunosupresi karena mikotoksikosis menyebabkan ayam menjadi peka terhadap infeksi berbagai agen penyakit.

Faktor pemicu lainnya terjadi karena ayam mengalami gangguan pencernaan berkepanjangan, di mana ayam mengalami wet droping (kotoran basah), amoniak tinggi dalam lingkungan kandang dan populasi lalat yang tidak terkontrol sebagai vektor penyebaran agen penyakit, termasuk juga vektor dari cacing pita.

Lemahnya praktek biosekuriti yang semestinya secara konsisten harus dilakukan menyebabkan tingginya tingkat tantangan (challenge) agen penyakit yang ada di lingkungan peternakan, menyebabkan tingkat patogenitas dan virulensi virus penyebab infeksi penyakit menjadi meningkat, sehingga menyebabkan infeksi dan gangguan produksi pada ayam.

Dari adanya faktor pemicu tersebut di atas, membuat terjadinya penurunan status kekebalan tubuh ayam (immunosupresi), sehingga ayam menjadi sangat peka terhadap infeksi agen penyakit, baik yang disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri dan atau infeksi campuran oleh virus dan bakteri.

Penyebab sendiri dari agen infeksius yang menyebabkan gangguan produksi di mana produksinya turun secara signifikan mulai dari 90% menjadi 40% persen bahkan sampai turun menjadi 30%, diantaranya ada yang disebabkan oleh infeksi virus AI (H9N2 maupun H5N1), atau oleh infeksi virus IB, ND, EDS dan juga IBH, serta infeksi kuman Salmonella dan E. colli (Kolibasilosis) dan Coryza.

Penanganan dan Pencegahan
Solusi penanganan sekaligus mencegah problem tersebut di atas agar tak terulang bisa dilakukan dengan beberapa tindakan yang disarankan, diantaranya:

1. Jalankan praktek biosekuriti, yakni lakukan secara konsisten sanitasi agar terjaganya kebersihan lingkungan peternakan, membatasi pihak luar (manusia) untuk keluar masuk lokasi peternakan dan lakukan juga program disinfeksi secara rutin pada lingkungan sekitar peternakan untuk tujuan mengurangi cemaran kuman/virus yang ada di dalam kandang atau lingkungan peternakan, baik pada saat periode istirahat kandang maupun fase pemeliharaan.

2. Gunakan bahan baku pakan yang berkualitas baik untuk membuat ransum/pakan lengkap untuk ayam, seperti memilih dedak, MBM, Jagung dan bungkil kedelai yang berkualitas baik, agar meminimalisir cemaran toksinnya (seperti mikotoksin).

3. Tambahkan anti-mikotoksin/toxin absorbent yang punya kemampuan mengikat secara optimal semua jenis mikotoksin/toksin dalam campuran pakan untuk mencegah ayam dari efek mikotoksin/toksin yang menyebabkan immunosupresi (melemahnya sistem kekebalan tubuh ayam).

4. Untuk mengatasi dan mencegah wet droping (kotoran ayam yang keluar dari kloaka seperti diare/fesesnya pecah dan basah), melalui pakan (dicampurkan dalam sediaan pakan) disarankan pemakaian obat anti diare dan yang mampu menyerap racun dibarengi dengan pemberian zat yang mengandung sodium butyrate double buffer yang didesain khusus untuk pemakaian unggas dan hewan kecil, yang berfungsi  memperbaiki kondisi vili-vili usus yang rusak akibat keracunan atau pemberian antibiotik (AGP) secara terus menerus sebelumnya, serta dikombinasi dengan pemberian zat yang mengandung minyak esensial dan asam organik yang berfungsi sebagai pengganti AGP untuk menekan populasi kuman entero-patogen pada saluran pencernaan bagian bawah (illium dan colon).

5. Bila terjadi kasus 90/40 tersebut kuat dugaan-nya karena infeksi virus, maka untuk mempercepat proses kesembuhan ayam dari serangan virus IB tersebut, melalui air minum dapat diberikan produk minyak esensial sebagai antivirus dan sediaan antimikrobial untuk mencegah pembentukan eksudat pada saluran pernafasan, sehingga ayam mudah bernafas (untuk menghirup sebanyak mungkin oksigen).

6. Lakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin apapun yang berkualitas baik dan waktu vaksinasi yang sesuai anjuran.

7. Pastikan selalu memberikan air minum yang telah disterilisasi dengan cara klorinasi untuk mencegah penularan agen penyakit yang mencemari sumber air minum. Pastikan kadar aktif klorin tetap tersedia dalam air minum pada level minimum 0.5 ppm dan maksimum 1 ppm.

8. Bila penyebab gangguan produksi 90/40 karena infeksi bakteri, akan sangat dianjurkan melakukan pengobatan secara tuntas menggunakan antibiotik dengan kualitas terbaik dan disertai pemberian minyak esensial, yang membantu mencegah infeksi virus dan juga bakteri lain yang dapat memperparah problem pencernaan maupun pernafasan.

Demikian solusi komprehensif yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat membantu mengatasi, sekaligus mencegah problem kesehatan dan gangguan produksi yang dihadapi pengusaha peternakan ayam petelur di lapangan. ***

Drh Wayan Wiryawan
PT Farma Sevaka Nusantara,
Pengurus/anggota ADHPI
(Asosiasi Dokter Hewan
Perunggasan Indonesia)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer