Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Bungaran Saragih | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BUNGARAN SARAGIH: SEKTOR HULU PAKAN TAK BERKEMBANG JADI TITIK LEMAH INDUSTRI UNGGAS

Prof Bungaran Saragih saat menjadi keynote speech dalam Forum Diskusi bertajuk “Penyediaan Jagung Pakan Sesuai Harga Acuan untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Ayam Nasional” di Menara 165 Jakarta. (Foto: Infovet/Ridwan)

Industri perunggasan merupakan bisnis besar di Indonesia. Sudah puluhan tahun bisnis ini diterpa masalah klasik yang selalu sama, seperti harga yang fluktuatif, produksi yang berlebih, hingga persoalan pakan yang membuat sektor perunggasan kurang memiliki daya saing.

Menurut mantan Menteri Pertanian, Prof Bungaran Saragih, titik lemah industri unggas salah satunya terletak pada kurang berkembangnya sektor hulu industri pakan. Padahal sektor perunggasan memiliki peranan strategis dalam perekonomian Indonesia dan menjadi penyumbang protein hewani terbesar 65%, serta mampu menyerap 2,5 juta tenaga kerja. 

“Masalah utama dari rendahnya daya saing industri unggas adalah tingginya biaya produksi. Salah satu penyebabnya karena mahalnya harga pakan, yakni jagung dan kedelai. Padahal biaya pakan merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi unggas,” kata Prof Bungaran dalam Forum Diskusi yang digelar Agrina, di Menara 165 Jakarta, Rabu (13/11/2019).

Ia menjelaskan, biaya pokok produksi unggas di Indonesia mencapai USD 1,1-1,3 per kg atau sebesar Rp 15.000-18.000 per kg. Jauh lebih tinggi daripada Brasil yang merupakan produsen unggas dan jagung dunia yang biaya produksi unggasnya hanya USD 0,5-0,6 per kg atau setara Rp 9.000-10.000 per kg.

Tanpa memiliki daya saing yang kuat, potensi besar pasar daging unggas Indonesia menjadi banyak incaran negara luar, salah satunya Brasil yang telah menggedor pintu impor Indonesia akibat kekalahan di WTO.

Prof Bungaran menilai, sejak dulu perkembangan industri unggas tak dibarengi dengan perkembangan sektor pakan, yang akhirnya berimplikasi pada ketergantungan impor bahan baku pakan dari negara lain. Tak pelak kondisi ini berubah menjadi polemik, apalagi sejak impor jagung akhirnya ditutup pada pertengahan 2016 silam. 

“Untuk menghadapi situasi ini kita harus membangun basis kuat industri pakan dalam negeri, dengan mengembangkan corn estate dan soy estate yang modern dan terintegrasi. Juga pemanfaatan bahan baku lokal seperti palm kernel meal (PKM) yang telah mampu diekspor sebagai bahan baku pakan. Kandungan dalam PKM dapat dimanfaatkan sebagai sumber vitamin untuk menghasilkan pakan yang bernutrisi,” jelasnya.

Selain basis kuat pengembangan industri pakan untuk daya saing perunggasan, perlu juga menyusun strategi pengembangan lokasi industri unggas di dekat sentra produksi pakan guna memangkas biaya logistik, sehingga biaya produksi unggas menjadi lebih kompetitif.

Kemudian, lanjutnya, perlu juga menyusun roadmap industri perunggasan secara komprehensif dan sistematis mulai dari hulu (bahan baku industri pakan, struktur pembibitan, budidaya) hingga hilir (pengolahan, ekspor) termasuk kebijakan dan tata kelola yang diperlukan.

Hal serupa juga disampaikan Dekan Sekolah Vokasi IPB, Arief Daryanto, yang menjadi pembicara dalam forum diskusi tersebut. “Dibutuhkan perencanaan yang matang dalam industri perungasan. Mulai dari efisiensi produk, efisiensi supply chain-nya, inovasi, hingga produksinya, agar industri ini bisa berdaya saing di pasar domestik maupun pasar internasional,” katanya.

Selain Arief, dalam forum tersebut juga menghadirkan pembicara diantaranya, Muhammad Gozali (Kasubdit Standarisasi dan Mutu Ditjen Tanaman Pangan), Johan (Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), Winarno Tohir (Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan) dan Idham Sakti Harap (dosen Fakultas Pertanian IPB). (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer