Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Avian Encephalomyelitis | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEWASPADAI AVIAN ENCEPHALOMYELITIS

Serangan AE kerap memiliki kemiripan dengan ND, karena ayam mengalami kelumpuhan. (Sumber: Istimewa)

Penyakit Avian Encephalomyelitis (AE) atau biasa disebut dengan epidemic tremor mungkin masih terasa asing di telinga. Penyakit AE jelas kalah populer jika dibandingkan dengan penyakit viral lainnya, seperti ND, IBD, maupun IB yang lebih populer di Indonesia.  Ketidakpopuleran AE ini membuatnya masih dipandang sebelah mata oleh para pelaku usaha perunggasan Indonesia, padahal AE merupakan salah satu penyakit viral yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar bagi peternakan ayam petelur dan breeding.

Masih Asing di Telinga
AE disebabkan oleh virus RNA dari genus enterovirus dan termasuk ke dalam famili Picornaviridae. Virus AE dapat menyerang ayam (buras dan ras), kalkun, burung dara dan burung puyuh. Strain virus lapangan yang pernah dikoleksi menunjukkan bahwa virus ini bersifat enterotropik (berkembang biak di dalam tubuh inang) dan memperbanyak diri di saluran pencernaan. Unggas yang terinfeksi menyebarkan virus melalui feses selama beberapa hari sampai beberapa minggu. AE biasanya dicirikan dengan adanya gejala kelainan syaraf seperti tremor, sebagai akibat adanya infeksi di Sistem Syaraf Pusat (SSP).

Transmisi penularan AE terjadi secara vertikal dan horizontal. Transmisi vertikal merupakan penularan infeksi yang terjadi dari induk ayam kepada anak ayam (transovarial).  Transmisi vertikal terjadi jika induk unggas terinfeksi AE pada masa produksi telur, sehingga virus menular pada anak ayam. Transmisi horizontal adalah penularan infeksi yang terjadi dari ayam yang terinfeksi ke ayam yang belum terinfeksi melalui lingkungan, makanan dan air minum yang terkontaminasi feses.  

Gejala Klinis
Masa inkubasi AE bervariasi, mulai dari 5-14 hari tergantung dari rute infeksi. Masa inkubasi melalui rute infeksi transovari berkisar antara 1-7 hari, sedangkan masa inkubasi melalui rute oral mencapai lebih dari 10 hari.

Gejala klinis pada anak ayam yang terinfeksi secara vertikal biasanya muncul pada minggu pertama setelah menetas, sedangkan gejala klinis pada anak ayam yang terinfeksi secara horizontal muncul setelah anak ayam berumur 2-4 minggu. Gejala klinis utama yang muncul pada anak ayam yang terinfeksi secara horizontal maupun vertikal adalah ataksia dan kelemahan kaki. Kelemahan kaki ini bervariasi, mulai dari duduk di atas persendian tarsus, sampai paresis yang mengarah pada kelumpuhan total maupun parsial, dengan gejala klinis berupa berbaring di salah satu sisi tubuh (recumbency). Tremor (gemetaran) di kepala dan leher juga merupakan gejala klinis yang sering muncul pada kasus AE, sehingga penyakit AE sering disebut dengan epidemic tremor. Tremor di kepala dan leher terlihat jelas pada saat anak ayam terkejut atau pada saat anak ayam ditaruh secara terbalik di atas tangan. Gejala klinis AE ini hanya muncul pada saat ayam berumur kurang dari empat minggu.

Gejala klinis lain yang biasanya muncul antara lain, bobot badan kurang dari standar, sebagian DOC mengalami leher yang terpuntir ke bawah (tortikolis), lemah dan lama-kelamaan ambruk diakhiri dengan kematian. Dari hasil bedah anak ayam yang sakit, ditemukan perdarahan pada otak, peradangan pada laring dan trakea, serta bursa fabricius membengkak. Diagnosis terhadap kasus ini pun akhirnya beragam, antara lain dugaan akibat kualitas DOC yang buruk, serta dugaan serangan penyakit Gumboro, ND , AI, Marek's, serta AE.

Pada ayam dewasa infeksi AE biasanya bersifat subklinis (tidak terlihat secara kasat mata). Infeksi AE pada ayam dewasa menyebabkan penurunan produksi telur serta penurunan daya tetas telur. Penurunan produksi telur akibat infeksi AE terjadi secara mendadak sebesar 5-10%, tetapi setelah dua minggu produksi telur akan kembali normal, serta tidak ditemukan adanya kelainan pada kerabang telur.

Pada ayam breeder, penurunan daya tetas telur dapat mencapai angka 5% sebagai akibat kematian embrio ayam. Pada beberapa kasus, beberapa minggu setelah infeksi, kekeruhan dari lensa mata (katarak) dapat terjadi pada ayam yang bertahan atau selamat dari infeksi. Tingkat kesakitan dan tingkat kematian akan bervariasi tergantung dari jumlah telur yang terinfeksi dan status kekebalan tubuh dari ayam. Pada beberapa kasus outbreak yang pernah terjadi di sebuah breeding farm, tingkat morbiditas dan mortalitas mencapai lebih dari 50%. Artinya, penyakit ini sangat merugikan peternak secara ekonomi. Belum lagi apabila datang penyakit lain yang bersifat oportunistik, tentunya dengan berkurangnya kinerja sistem pertahanan tubuh ayam pada saat terserang AE, ayam akan sangat rentan terserang oleh agen penyakit lain.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof I Wayan Teguh Wibawan, mengatakan bahwa secara praktis, gejala klinis AE pada ayam telah banyak dicurigai dan mirip dengan ND. Namun pada AE ada penekanan respon imun, hal ini terlihat dari penurunan titer antibodi ND, IB atau AI secara cepat dibandingkan biasanya.

“Secara ilmiah, diperlukan peneguhan diagnosa yang kompleks agar benar-benar jelas titik permasalahannya. Karena gejala klinis AE dan ND sangat mirip, sehingga keduanya kerap dikelirukan,” kata Wayan kepada Infovet. Yang paling sering ia soroti yakni adanya gejala klinis berupa gangguan koordinasi, sangat mirip dengan gejala ND tipe syaraf. Perbedaannya adalah derajat kematian pada ayam tidak setinggi pada serangan ND.

Jika titer antibodi ND pada kelompok ayam secara umum masih protektif (nilai HI di atas 64), tetapi ada peningkatan kematian yang signifikan dengan gejala tortikolis, maka penyakit AE perlu dipertimbangkan. Kerugian yang ditimbulkan juga bisa sangat besar, tidak hanya berupa kematian, tetapi juga mengganggu performa produksi dan meningkatkan kepekaan ayam terhadap berbagai macam penyakit.

Teknik Diagnosis
Pada pemeriksaan patologi anatomi ayam yang terinfeksi AE tidak ditemukan adanya kelainan anatomi mencolok yang menjurus kepada penyakit AE. Kelainan anatomi yang mungkin ditemukan adalah titik berwarna abu-abu atau putih pada permukaan otot gizzard (ampela). Pada pemeriksaan histologi, lesio mikroskopik pada SSP ditemukan di otak (cerebellum dan batang otak) dan spinal cord (sumsum tulang belakang). Lesio ini berupa degenerasi dan nekrosis sel syaraf (neuron), serta gliosis.

Diagnosa pada kasus AE dilakukan berdasarkan sejarah, gejala klinis, serta pemeriksaan histopatologis otak dan batang otak. Cara terbaik dalam melakukan diagnosa AE adalah dengan melakukan isolasi dan indentifikasi virus. Virus diisolasi dari otak dan duodenum beserta pankreas. Pada ayam dewasa atau ayam produksi, diagnosa AE dapat dibantu dengan melakukan pemeriksaan titer antibodi terhadap virus AE. Selain itu, dapat pula digunakan uji serologis berupa uji ELISA dalam mendeteksi “tamu tak diundang” ini.

Diferensial diagnosa dari gejala syaraf yang muncul pada kasus AE di anak ayam adalah encephalitis yang disebabkan oleh bakteri dan jamur. Infectious Bronchitis (IB), lentogenik Newcastle Disease (ND) dan Egg Drop Syndrome 76 (EDS 76), serta defisiensi vitamin A, E dan Riboflavin juga dapat dijadikan diferensial diagnosa dari kasus AE.
  
Oleh karenanya dibutuhkan pengujian lebih lanjut dalam meneguhkan diagnosis AE. Uji yang dapat mendukung peneguhan diagnosis diantaranya Isolasi dan identifikasi virus dengan PCR (Polymerase Chain Reaction), uji serologis (untuk mengukur titer antibodi AE) berupa ELISA, Virus Neutralization Test, maupun Flourescent Antibody Test.

Pencegahan
Tidak ada tindakan pengobatan yang terbukti efektif untuk mengobati infeksi AE. Apabila ada ayam yang dicurigai terinfeksi AE, ayam segera diisolasi atau dimusnahkan. Ayam yang diisolasi dapat diberikan berupa terapi suportif, seperti pemberian vitamin dan antibiotik tetapi pemberian antibiotik tidak terlalu direkomendasikan, kecuali apabila ditemukan penyakit bakterial lainnya yang juga menginfeksi ayam secara bersamaan.

Namun begitu, AE dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi. Program vaksinasi dilakukan pada saat pullet breeder atau pullet layer berumur 9-15 minggu tergantung kondisi ayam dengan menggunakan vaksin aktif komersial. Vaksin yang seringkali penulis temukan di lapangan adalah kombinasi vaksin fowl pox dan AE. Selain itu, perlu juga diterapkan biosekuriti yang ketat dan konsisten agar tidak menulari ternak yang sehat.

Pemberian immunostimulan seperti vitamin E juga dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh ayam, sehingga dihasilkan titer antibodi yang maksimal setelah vaksinasi dilakukan. Program vaksinansi AE di breeding sangat penting untuk mencegah terjadinya transmisi vertikal dan memastikan anak ayam memiliki maternal antibodi. ***


Drh Cholillurrahman
Redaksi Majalah Infovet

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer