Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini September 2007 | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

NAMBAH MODAL atau NAMBAH AKAL

Oleh: Drh Agus Wahyudi B

Diera tahun 80-an peternak layer memelihara ayam sangat sederhana. Kandang Pullet model postall begitu juga diperiode layer ayam dipelihara didalam batery bambu dengan tempat pakan berupa kotak terbuat dari kayu. Permasalahan yang muncul sangat komplek dari pakan berjamur dalam kotak pakan, Coccidiosis, Kolera, telur kotor, puncak produksi hanya 82 %, dan dicapai pada umur 28 minggu.

Diera tahun 90-an peternakan ayam petelur terhitung maju pesat. Kandang pullet sudah model slate, tempat minum beel-drinker. Pemeliharaan di layer sudah menggunakan batery kawat, tempat pakan pakai pralon PVC. Strain ayam sudah banyak pilihan dan performance produksinya lumayan dengan puncak produksi 87 %, dicapai umur 26 minggu.

Diera milenium peternakan layer dipuncak kemajuan. Kandang pullet sudah dibagi menjadi dua fase. Fase pertama biasa disebut fase starter (umur 1 minggu s/d umur 5 minggu) dan fase grower ( umur 6 minggu s/d umur 17 minggu). Kandang grower sudah menggunakan batery kawat sehingga waktu pindah ke kandang layer faktor stressingnya bisa minimal. Kandang layer sudah banyak ditawarkan kandang closed house dengan dalih lebih efisien dan sebagainya. Puncak produksi dicapai umur 23 minggu lama puncak 16 s/d 20 minggu dengan rate 93%.

Bagi peternak yang berduit perkembangan teknologi yang ujungnya nambah modal tidak akan menjadi masalah namun bagaimana bagi peternak dengan modal serba mepet. Kemajuan teknologi tidak berarti tidak membawa dampak negatif apabila tidak dipahami dan dimengerti dengan baik dan dijalankan oleh tenaga yang potensial. Begitu juga dengan peternak yang ketinggalan teknologi yang selalu mempertahankan pola manajemen kuno yang selalu cukup dan dihitung sudah untung paradigma ini juga mesti berubah.

Dalam mengambil suatu pilihan dan untuk memutuskan memang faktor modal menjadi pertimbangan utama. Misalkan pilihan untuk memutuskan perlunya pembuatan kandang grower di budidaya Pullet. Kandang grower akan menghasilkan pullet yang seragam, status kesehatan yang homogen, deplesi rendah, perlakuan baik di bidang budidaya maupun kesehatan lebih mudah di tangani dan dimonitoring, pencapaian berat badan dan uniformity lebih mudah dicapai dan periode layer tidak late produksi. Namun biaya untuk pengadaan kandang tersebut tidak murah barang kali secara global non tanah membutuhkan biaya Rp18.500/ekor.

Kandang grower bisa menghasilkan produksi pullet dan performa produksi lebih baik karena :

 Kepadatan ayam per m2 lebih longgar
 Feeder dan drinker space lebih panjang
 Stres ayam waktu perlakuan baik program budidaya maupun kesehatan bisa diminimal.

Kelebihan lainnya :
 Tenaga kerja menangani populasi ayam lebih banyak
 Akurasi penghitungan populasi sangat tepat.
 Replacement dan hasilan jumlah produksi pullet bisa optimal

Kelebihan-kelebihan yang dihasilkan kandang grower bisa disiasati dengan tanpa harus menambah modal banyak. Ikhtiar yang bisa dilakukan adalah :
 Kurangi kepadatan ayam misalkan 1m2 untuk 12 ekor menjadi 10 ekor/m2
 Standarisasi jumlah tempat pakan dan minum ditambah. Misalkan satu bell drinker/galon untuk 80 ekor diubah menjadi 60 ekor, satu tempat pakan kapasitas 10 kg untuk 50 ekor diubah menjadi 40 ekor
 Pelatihan untuk tenaga kusus/tim khusus yang menangani program budidaya dan kesehatan. Materi pelatihan dititikberatkan tentang cara handling ayam yang baik. Misalkan program seleksi, program potong paruh dan lain sebagainya. Pelatihan ini bisa dikerjakan sendiri atau kerja sama dengan suplier obat atau pakan (contoh Medion).
 Penghitungan populasi real bisa dilakukan 3 (tiga) kali yaitu pada saat potong paruh, vaksin coriza, dan vaksin triple ( ND, IB dan IBD kill).
 Jumlah produksi pullet yang dihasilkan relatif lebih sedikit. Hal ini bisa diakali dengan penambahan lokasi kandang.

Sekarang mulai kita berhitung perlukah mengeluarkan modal untuk pembuatan kandang grower atau cukup dengan akal merekayasa budidaya yang telah dibahas diatas. Ada hal yang sangat penting yang tidak didapat dikandang grower yaitu exercise. Ayam petelur membutuhkan tulang yang kuat. Kekuatan tulang tidak hanya terletak pada faktor nutrisi namun juga harus dilatih dengan exercise.

Dan perlu diingat ayam petelur berada di cages selama 70-an minggu dengan posisi menahan tubuh (karena tatakan telur mempunyai kemiringan kurang lebih 20o) sehingga faktor tulang sangat penting agar culling ayam karena lumpuh tidak terjadi.

Tips penanganan lalat yang mujarab (Buat Box sendiri dalam artikel ini)

Dipergantian musim biasa akan terjadi peningkatan populasi lalat. Hal ini bisa disadari karena setiap makhluk hidup mempunyai siklus hidup dalam perkembangannya, dan salah satu faktor yang menentukan perkembangannya adalah kelembapan dan suhu yang cocok. Ada beberapa cara menangani lalat yaitu :

a. Lewat pakan, dengan memberi Cyromazine. Pilih produk yang baik, karena bisa berefek kepenurunan %HD. Penggunaan cyromazine tergantung kebutuhan, sebaiknya tidak digunakan terus.
b. Spray manure, dengan menggunakan Dichlorvos. Agar lebih tahan efek dari dichlorvos bisa ditambahkan detergen sebagai surftaktan. Waktu menyemprot jangan sampai kena ayam, pakan, dan tempat minum.
c. Pasang bambu yang telah dibelah menjadi 8 (delapan) bagian, dengan panjang 1 meter dan tancapkan di daerah antar kandang. Bambu diolesi kecap untuk merangsang lalat hinggap dimalam hari. Semprot lalat pada malam hari dengan Cyperkiller, Nuvantop atau Butox.

Semoga cara tersebut diatas bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan lalat dari fase larva hingga lalat dewasa.

Opini

[Edisi 158 September 2007] SOSIS DAN CHICKEN NUGGET GIZI VS MURAH

BAGAIMANA MENGENALI DAN MENGATASI IMUNOSUPRESI ?

Pertahanan tubuh merupakan fungsi fisiologis yang amat penting bagi mahluk hidup. Dengan pertahanan tubuh berjalan optimal, mahluk hidup dapat tumbuh berkembang, bereproduksi dengan optimal. Bila berbicara mengenai pertahanan tubuh, perlu diketahui pula ancaman-ancaman penyakit yang dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh sehingga perkembangan tubuh dan produksi menjadi terganggu.

Imunosupresi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi. Jadi, sangatlah penting untuk mengenali dan mengetahui imunosupresi.

Pertahanan tubuh Ayam

Pertahanan tubuh ayam dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertahanan tubuh non spesifik dan pertahanan tubuh spesifik.

Sistem pertahan tubuh non spesifik merupakan sistem pertahanan tubuh yang melindungi dari berbagai ancaman secara umum. Sistem pertahan non spesifik berupa : hambatan mekanik, seperti kulit, mukosa, mukus dan silia pada saluran pernafasan. Selain itu berupa fagositosis, sistem komplemen dan sel pembunuh.

Sistem pertahanan tubuh spesifik, berkaitan dengan adanya respon kekebalan tubuh yang dapat berperantara seluler maupun humoral. Respon kekebalan tubuh berperantara humoral dapat bersifat aktif maupun pasif. Sistem ini mampu mengenali antigen sebagai benda asing. Mempunyai spesifitas tertentu dan mempunyai memori atau ingatan terhadap antigen.

Respon kekebalan tubuh yang bersifat aktif merupakan hasil vaksinasi, dan materi yang berkaitan dengan repon kekebalan humoral aktif adalah antigen, epitop, antibodi dan limfosit.

Respon kekebalan tubuh yang bersifat pasif merupakan hasil transfer atau perolehan kekebalan asal induk. Perolehan kekebalan pasif yang didapatkan anak ayam dari induknya biasanya tidak seragam. Kekebalan yang diperoleh tergantung dari titer antibodi induk dan akan habis dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal inilah yang perlu diperhitungkan dalam menyusun program vaksinasi.


Parameter Imunosupresi

Kemampuan mengetahui tanda-tanda terjadinya imunosupresi sangat penting. Dengan mengetahui tanda-tanda imunosupresi, maka penanganannya akan menjadi efektif karena tepat pada sasaran.

Tanda-tanda terjadinya kasus imunosupresi adalah performa produksi yang jelek dari suatu flok peternakan, yang dapat disebabkan oleh adanya kematian yang sangat tinggi, pencapaian berat badan yang rendah, konversi pakan yang tinggi dan keseragaman pertumbuhan berat badan ayam yang rendah, banyaknya ayam yang kerdil. Tanda lain kasus imunosupresi adalah meningkatnya reaksi pernafasan, misal setelah melakukan vaksinasi dan terjadinya outbreak penyakit pada suatu peternakan. Hal tersebut dapat disebabkan adanya reaksi suboptimal terhadap vaksinasi. Gambaran perubahan patologi anatomi untuk kasus imunosupresi adalah terjadinya atrofi pada bursa fabricius dan rasio perbandingan ukuran antara bursa fabrisius dengan limpa. Bila ukuran bursa fabrisius sama atau lebih kecil dari limpa, pada 5 minggu pertama umur ayam, dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi kasus imunosupresi.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ayam antara lain : rusaknya organ limfoid primer ataupun sekunder karena infeksi virus dan mikotoksin, rusaknya organ limfoid sekunder karena infeksi bakterial, stress yang mempengaruhi fungsi organ limfoid primer, dan efek nutrisi dan manajemen yang dapat mempengaruhi organ limfoid primer maupun sekunder. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan sistem pertahanan tubuh, organ limfoid penghasil sistem kekebalan tubuh harus dijaga.

Organ Pertahanan Tubuh.

Organ tubuh ayam yang memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh ayam adalah bursa fabricius dan thymus. Kedua organ ini merupakan organ primer atau utama dalam sistem kekebalan. Bursa fabricius akan tumbuh cepat dalam 3 minggu pertama umur ayam. Ukuran bursa akan lebih besar dari lien kurang lebih 5 minggu pertama kehidupan ayam dengan rasio ukuran bursa sebanding dengan ukuran berat badan tubuh. Bursa akan mengalami regresi dimulai pada umur 8 minggu.

Organ lain yang berperan dalam sistem kekebalan adalah limfa, lempeng peyer pada mukosa usus, tonsil sekalis, struktur limfoid sepanjang saluran pernafasan, kelenjar harder dan konjungtiva mata.


Penyakit Penyebab Imunosupresi.

Kejadian imunosupresi disebabkan oleh kerusakan dan terjadinya gangguan fungsi organ limfoid. Penyakit yang merusak struktur dan fungsi organ limfoid primer adalah gumboro, mareks, mikotoksikosis, infeksi reovirus, infeksi chicken anemia dan infeksi ALVJ. Sedangkan penyakit yang dapat merusak struktur dan fungsi organ limfoid sekunder adalah Newcastle disease, Avian Influenza, Swollen Head Syndrome, Infeksius bronchitis, Infeksius Laryngotracheitis, pox bentuk basah, aspergillosis, koksidiosis, mikoplasmosis, snot, kolibasilosis, kolera unggas, salmonellosis dan helmintiasis.

Lisovit, Optimalkan Fungsi Kekebalan

Sudah dapat dipastikan bahwa pencegahan penyakit lebih baik dari pada pengobatan. Praktek pencegahan penyakit yang baik dapat diilustrasikan seperti sebuah rantai sepeda yang akan bekerja dengan baik apabila keseluruhan bagian menyatu. Praktek pencegahan penyakit di peternakan dapat di bagi dalam beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut adalah : Pencegahan stress pada ayam, manajemen pemeliharaan, kualitas dan suplai air minum, test serologi, sanitasi, vaksinasi, pencegahan parasit dan pengendalian polutan.

Masalah imunosupresi berkaitan dengan upaya untuk penanganan dan kontrol penyakit harus dapat diatasi secara serius karena hal tersebut dapat mengganggu konsep pengebalan ayam dan konsep optimalisasi kesehatan ayam yang telah disusun dengan baik. Selain dengan mengeliminasi dan memperbaiki penyebab utama timbulnya kasus imunosupresi, seperti pemberian antibiotika untuk penyebab imunosupresi asal bakteri ataupun penggunaan berbagai jenis vaksin sebagai pencegahan penyakit pencetus timbulnya imunosupresi, perlu suatu upaya untuk memperkuat status kekebalan ayam, atau mempercepat status perbaikan kekebalan ayam yaitu dengan pemakaian Lisovit® .

Lisovit® memiliki kandungan ensim muramidase yang memiliki dua efek yaitu efek anti bakterial karena kemampuannya memecah dinding sel bakteri di saluran pencernaan ayam dan kemampuan menstimulasi kekebalan tubuh ayam karena mampu memproduksi fragmen peptidoglikan, sehingga mampu meningkatkan aktivitas makrofag dan mampu untuk menstimulasi pembentukan limfosit.

Lisovit® memiliki kandungan ensim peroksidase yang memiliki efek katalisa oksidasi dari donor hidrogen untuk mendukung proses generasi molekul oksigen reaktif yang dapat menginaktivasi substansi asing.

Lisovit® mengandung ekstrak tanaman berkhasiat (Echinaecea) yang berperan menstimulir kekebalan seluler dengan meningkatkan aktifitas phagositik dari makrofag dan kecepatan pembentukan limfosit, serta meningkatkan aktifitas Sel T sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh.

Lisovit® juga mengandung dua macam vitamin, yaitu : vitamin E sebagai antioksidan yang mampu mempengaruhi berbagai sel dari system kekebalan seperti limfosit dan makrofag untuk menghasilkan interferon yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Yang kedua, vitamin C yang berperan dalam proses reduksi oksidasi di dalam tubuh yang mentransfer hidrogen dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan berbagai keadaan stress.

Berdasarkan mekanisme kerja yang terdapat di dalamnya, maka Lisovit® mampu mengoptimalkan vaksinasi, meningkatkan daya tahan tubuh ayam terhadap stress dan serangan penyakit, serta tidak kalah penting dapat meningkatkan daya kerja antibiotika golongan betalactam (amoxicillin, ampicillin, dll). Maka dengan pemberian Lisovit®, kasus-kasus imunosupresi dapat segera dipercepat pemulihannya dan dapat menstimulir timbulnya respon kekebalan sehingga konsep pengebalan ayam dan konsep optimalisasi kesehatan ayam dapat berjalan dengan baik.

Cara pemberian Lisovit® pada ayam pedaging, ayam petelur dan ayam bibit diberikan selama 3 hari berturut-turut dengan selang waktu 1 hari, pada saat vaksinasi atau kejadian stress. Dosis untuk ayam pedaging di minggu pertama 30 gram/1000 ekor, minggu kedua 50 gram/1000 ekor dan di minggu ketiga 100 gram/1000 ekor. Dosis untuk ayam petelur dan ayam bibit 100 gram/1000 ekor.


Drh Nur Vidia Machdum
Technical Department Manager
PT. ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl DR Saharjo No 266
JAKARTA. Telp.021 8300300

PENGEBALAN TERHADAP GUMBORO DENGAN VAKSIN YANG TIDAK MENIMBULKAN DAMPAK IMMUNOSUPRESI

Industri peternakan ayam ras yang cukup pesat perkembangannya di Indonesia, baik peternakan ayam petelur maupun pedaging, sampai saat ini masing cukup sulit untuk keluar dari masalah yang ditimbulkan oleh gangguan penyakit Gumboro, dimana penyakit tersebut secara ekonomis sangat merugikan, oleh karena gangguan pertumbuhan, inefesiensi pakan dan sejumlah besar kematian yang dapat ditimbulkan pada kelompok ayam yang terserang penyakit tersebut, serta meningkatnya biaya pemakaian obat-obatan dan disinfektan . Dampak lain yang tidak kalah pentingnya dari ayam yang pernah terserang Gumboro atau oleh karena pemakaian vaksin Gumboro yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain) berupa immunosupresi jangka panjang oleh karena terjadinya “deplesi” (kelainan) pada sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisiusnya.

Terjadinya dampak immunosupresi yang ditimbulkan oleh infeksi virus penyebab Gumboro atau oleh karena pemakaian vaksin Gumboro yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain), erat kaitannya dengan kelainan dan atau gangguan fungsi dari Bursa Fabrisius sebagai penghasil zat kebal tubuh. Adanya kelainan dan atau gangguan fungsi pada Bursa Fabrisius, menyebabkan kekebalan dari perlakuan vaksinasi yang diberikan pada tahap selanjutnya menjadi kurang optimal dan ayam relatif rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Penyakit Gumboro dan Dampak Immunosupresinya.

Bila virus Gumboro ganas (vv-IBD) asal lapangan menyerang ayam umur dibawah 3 (tiga) minggu, lebih banyak kecenderungannya akan timbul Gumboro bersifat subklinis, walaupun pada kasus tertentu dapat muncul dan diamati bentuk klinisnya. Pada kelompok ayam yang terinfeksi walaupun tidak menunjukkan gejala klinis, tetap berpotensi menimbulkan dampak immunosupresi, berupa kelainan dan atau gangguan fungsi dari organ limfoid primer seperti Bursa Fabrisius dan sel Thymus.

Kasus infeksi virus Gumboro ganas (vv-IBD) asal lapangan yang menyerang ayam umur diatas 3 (tiga) minggu kecenderungannya menampakkan gejala klinis yang sangat jelas, mulai dari adanya kelesuan dan ayam nampak menggigil, bulu berdiri dan cenderung bergerombol serta disertai adanya diare warna keputihan. Akibat diare, ayam menjadi dehidrasi, ayam nampak tremor dan sangat lemah sehingga berakhir dengan kematian.

Efek immunosupresi yang ditimbulkan, diawali dengan adanya infeksi virus vv-IBD yang secara langsung menginfeksi dan melakukan perbanyakan diri (depopulasi atau replikasi) pada Bursa Fabrisius dan Thymus sebagai organ target utamanya. Mekanisme terjadinya immunosupresi oleh karena infeksi virus Gumboro, kemungkinan besar terkait dengan adanya kematian sel-sel penghasil limfosit B, terutama yang terdapat pada Bursa Fabrisius.

Sel limfosit B merupakan salah satu calon pembentuk zat kebal tubuh. Adanya kerusakan sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius sebagai akibat infeksi virus penyebab Gumboro, mengakibatkan adanya penurunan jumlah produksi sel B oleh Bursa Fabrisius, yang selanjutnya akan berakibat pada terjadinya penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh dari perlakuan vaksinasi yang diberikan pada tahap selanjutnya. Atau karena adanya kerusakan folikel dari Bursa Fabrisius, menyebabkan kemampuan organ tersebut dalam menghasilkan zat kebal tubuh untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen lainnya menjadi kurang optimal, sehingga ayam menjadi peka dan mudah terserang berbagai macam penyakit.

Vaksinasi Gumboro dan Dampak Immunosupresinya

Pemakaian auto vaksin atau vaksin Gumboro dengan kandungan strain virus yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain) seringkali dapat menimbulkan terjadinya deplesi (kelainan) pada Bursa Fabrisius, sehingga berdampak pada berkurangnya kemampuan Bursa Fabrisius untuk memproduksi zat kebal tubuh. Bursa Fabrisius yang mengalami kelainan karena dampak dari pemakaian vaksin intermediate plus atau hot strain, menyebabkan ayam menjadi sensitif terhadap berbagai perlakuan manajemen dan stress serta infeksi agen penyakit lainnya. Adanya kelainan pada Bursa Fabrisius akan berdampak pada keberhasilan program vaksinasi terhadap penyakit yang lainnya (seperti terhadap ND, IB dll). Sehingga dapat berpengaruh pada performance ayam secara keseluruhan.

Pada ayam petelur dan breeder kurang dianjurkan pemakaian vaksin intermediate plus terlebih yang hot strain. Karena pemakaian vaksin Gumboro dengan kandungan virus vaksin jenis intermediate plus atau hot strain, dapat merusak sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius yang sedang pesat-pesatnya mengalami perkembangan untuk menghasilkan zat kebal tubuh (limfoblas  limfosit B  sel antibodi). Rusaknya sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius oleh virus vaksin yang cukup keras tersebut, akan menyebabkan berkurangnya kemampuan Bursa Fabrisius dalam menghasilkan zat kebal tubuh, sehingga respon terhadap jenis vaksinasi lainnya tidak bisa optimal dalam menghasilkan zat kebal tubuh (antibodi).

Pada ayam tipe petelur karena masa pemeliharaannya yang lebih lama dibandingkan dengan ayam pedaging, faktor dari Bursa Fabrisius sebagai organ limfoid primer memegang peranan sangat penting untuk menghasilkan zat kebal tubuh pada umur-umur awal dari perkembangan ayam, sampai pada akhirnya (umur 6 minggu keatas) peranan dari Bursa Fabrisius dalam menghasilkan zat kebal tubuh, diambil alih oleh organ limfoid sekunder (limpa, proventrikulus, sel-sel thymus, seca tonsil, sum-sum tulang) yang kian pesat perkembangannya.

Tanda – Tanda Immunosupresi Pada Ayam

1. Reaksi post vaksinasi meningkat, seperti setelah diberikan vaksinasi ND golongan La-Sota, nampak ayam bersin-bersin dan gejala gangguan sistem pernafasan lainnya.

2. Pada ayam yang mati bila dilakukan pembedahan, terlihat Atropi pada Bursa Fabrisius dan kebengkakan pada organ limfoid lainnya.

3. Ayam jadi mudah terserang penyakit, terutama penyakit yang menyebabkan gangguan produksi dan kematian yang tinggi.

4. Performance ayam secara keseluruhan menjadi suboptimal, seperti :

 Berat badan rendah dan pertumbuhan tidak merata

 Produksi telur cenderung berpluktuasi dan sulit mencapai puncak produksi

 Mortalitas cenderung tinggi bila terjadi infeksi penyakit

 Feed konversinya mengalami peningkatan


Kontrol dan Pencegahan Terhadap Gumboro

Sebagaimana halnya dengan kontrol dan pencegahanan terhadap penyakit lainnya pada peternakan ayam, kontrol dan pencegahan terhadap penyakit Gumboro juga harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi perbaikan semua aspek manajemen pemeliharaan ayam yang saling terkait satu sama lainnya.

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dan dilakukan guna mencegah dan melakukan kontrol serta meningkatkan daya tahan tubuh ayam terhadap serangan virus penyebab penyakit immunosupresi tersebut, diantaranya:

1. Menerapkan praktek manajemen yang baik, mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok ayam seperti udara yang kaya akan kandungan oksigennya, air yang berkualitas (bebas pencemaran logam berat dan mikroorganisme patogen serta pH-nya normal ; 6,5 – 7,2) dan Pakan yang berkualitas, dengan nilai gizi yang berimbang sesuai kebutuhan masing-masing tipe dan umur ayam.

2. Meningkatkan praktek sanitasi dan desinfeksi untuk menekan populasi dan keganasan virus penyebab Gumboro di lapangan.

3. Upayakan pemeliharaan ayam dengan system “ all in all out “ khususnya pada pemeliharaan ayam pedaging dan pada ayam petelur, sedapat mungkin pemeliharaanya dipisahkan dengan ayam remaja dengan jarak lokasi yang terpisah cukup jauh. Hal ini bertujuan mencegah penularan kedua penyakit tersebut dari ayam dewasa kepada ayam yang lebih muda.

4. Vaksinasi terhadap Gumboro dengan HIPRAGUMBORO-BPL2 atau HIPRAGUMBORO-I2 pada ayam induk, agar DOC yang dihasilkannya mempunyai kekebalan asal induk yang baik terhadap Gumboro. Tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi virus Gumboro asal lapangan pada 2 (dua) minggu pertama hidup anak ayam.

5. Vaksinasi dengan vaksin HIPRAGUMBORO-GM97 merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap infeski virus penyebab Gumboro ganas (vv-IBD).

Air minum
Diprogramkan pada daerah resiko tinggi terhadap vv-IBD.

Sesuaikan dengan level dan keseragaman maternal antibodi terhadap Gumboro yang dimiliki oleh anak ayam.



Adanya reaksi post vaksinasi yang dapat ditimbulkan dari pemakaian auto vaksin atau vaksin Gumboro dengan kandungan strain virus yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain), sudah tentu perlu dijadikan dasar pertimbangan dalam pelaksanaan dan pemilihan jenis vaksin Gumboro yang digunakan. Sebagai contohnya, vaksin Gumboro jenis “intermediate plus/hot strain” yang diberikan pada ayam umur muda (umur dibawah 12 hari), dapat menimbulkan deplesi pada sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius dan bersifat immunosupresi sebagai bentuk reaksi post vaksinasinya. Oleh karena itu dianjurkan pemakaian vaksin Gumboro, seperti HIPRAGUMBORO-GM97 yang aman terhadap Bursa Fabrisius dan organ limfoid lainnya, serta mampu menghasilkan kekebalan yang bersifat spesifik terhadap vv-IBD virus maupun virus IBD klasik.


Drh. Wayan Wiryawan
HIPRA –Spain
wayan@hipra.com

VAKSINASI terus atau PEMBELAJARAN dahulu

Tampaknya kisah flu burung (Avian Influenza) di Indonesia masih akan panjang. Kita sangat prihatin korban manusia masih saja berjatuhan (Jembrana, Agustus 2007), belum lagi korban ternak unggas yang tak terhitung nilainya. Sampai saat ini iklan layanan masyarakat diberbagai media semua mengkampanyekan Tumpas Flu Burung sangat gencar. Kapan flu burung akan berakhir di negeri kita tercinta ini kita tidak tahu

Kembali lagi sasaran pemberantasan flu Burung pada peternakan sektor 4. Hampir setiap pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pemberantasan flu burung. Kegiatan yang sering diadakan adalah vaksinasi dan desinfeksi pada peternakan sektor 4. Desinfeksi biasanya dijalankan oleh masyarakat sendiri karena cukup mudah dan mengajak masyarakat mandiri. Pemerintah cukup membagikan desinfektan saja. Desinfeksi dan vaksinasi biasanya sudah merupakan kegiatan rutin 4x setahun atau 3x setahun, atau 2x setahun ada pula yang 1x setahun. Sampai saat ini efektifitas vaksinasi disektor4 masih dipertanyakan. Kegiatan vaksinasi disektor 4 sering belum terkoordinasi dengan baik. Ayam atau unggas yang sudah terlanjur dilepas/umbar tidak mungkin kita kejar-kejar saat itu juga untuk divaksin, kedatangan petugas vaksinasi yang terlambat juga menjadi kendala karena membuat masyarakat meragukan kedatangan petugas dan ayam-ayampun dilepas. Sifat kegiatan yang rutin kadang menjadi tidak mengacuhkan kondisi cuaca. Kondisi cuaca yang kurang baikpun vaksinasi tetap dilakukan dan efek sampingnya dapat kita tebak banyak ayam yang mati setelah divaksin.

Kegiatan disektor 4 biasanya bersifat gratis, semua kegiatan dari pengadaan vaksin, operasional petugas, peralatan, desinfektan dan lain-lain ditanggung pemerintah. Jika dinilai dalam bentuk rupiah akan sangat besar sekali, tetapi apakah hasilnya sepadan dengan biaya yang kita keluarkan? Kenapa demikian? karena masalah kita sebenarnya disektor 4 adalah pada pola hidup dan cara beternak masyarakat. Walaupun kegiatan vaksinasi terus dilaksanakan tetapi apabila kesadaran masyarakat belum ada kita hanya akan menghabis-habiskan energi dan biaya. Sektor 4 adalah masyarakat yang sangat tradisional, berpikir sangat sederhana dan naluri turun-menurun yang kental dan sangat susah untuk ditinggalkan. Wilayah kita sudah merupakan daerah endemis penyakit Flu Burung. Pola beternak umbaran tanpa kandang yang jelas sangat rentan untuk dapat terjangkit penyakit Flu Burung lagi, masih ditambah kebiasaan hidup serumah dengan ternak seperti di dapur atau jadi satu dengan ternak lainnya. Satu kandang dapat terdiri atas ayam kampung, entog, itik, angsa bahkan kalkun atau unggas liar lainnya.

Mengenalkan cara hidup sehat dimasyarakat adalah hal yang perlu kita perjuangkan dengan keras, terus menerus tanpa kenal lelah. Kita butuh petugas-petugas dengan ketelatenan tinggi dan dapat dekat dengan masyarakat. Kesuksesan kegiatan Posyandu tahun '90an dapat kita contoh. Bagaimana dahulu pemerintah mengenalkan imunisasi, makanan bergizi, penimbangan berat badan dan lain-lain pada bayi dan balita serta ibu hamil, dan hasilnya cukup bagus. Tidak kurang informasi tentang Flu Burung/AI dari pemerintah pusat ataupun daerah yang telah disampaikan pada warga masyarakat, tetapi biasanya transfer informasi tersebut berhenti pada forum penyuluhan ditingkat kelurahan. Harapan pemerintah warga yang hadir di kelurahan dapat menyebarluaskan ke warga yang lain, namun kenyataannya informasi tidak sampai ke masyarakat luas.

Ternyata kita perlu masuk langsung ke forum-forum warga. Masyarakat akan sangat senang merasa dihargai keberadaannya jika kita langsung masuk ke dunia mereka. Jika sudah merasa dihargai, diakui (jawa: diuwongke) masyarakat akan dengan senang hati membuka diri terhadap masukan-masukan atau ide-ide baru. Kita dapat memanfaatkan forum-forum pertemuan warga yang sudah ada sebagai tempat transfer informasi atau memperkenalkan ide-ide baru. Ide yang kita usung jangan terlalu muluk-muluk. Kenalkan pola-pola yang sederhana, misalnya menyediakan kandang sederhana tempat berteduh unggas, pemanfaatan limbah sabun sebagai desinfektan kandang, atau membatasi lokasi berkeliarannya unggas. Dari ide sederhana itu akan muncul berbagai permasalahan, seperti membuat kandang atau sekedar pagar membutuhkan biaya, siapa yang mau menanggung? dan kita tidak bisa memaksakan kehendak. Untuk itulah perlunya ketelatenan dan kesabaran petugas pendamping membuka pikiran masyarakat akan pentingnya tatacara beternak yang baik. Apabila kita berhasil membawa pola hidup dan cara beternak masyarakat yang baik (peternakan sektor 4) akan sangat mudah kita menjadikan kegiatan vaksinasi menjadi efektif sebagai sarana pencegahan flu burung.

Tidak salah kegiatan vaksinasi dilakukan tetapi akan lebih baik jika didahului dengan penyadaran dan pembelajaran pada masyarakat. Butuh waktu yang cukup lama untuk memasukkan ide baru dan perlu ketelatenan serta kesabaran petugas pendamping. Mestinya buang-buang energi dan biaya untuk kegiatan vaksinasi Flu Burung tidak akan berulang jika kehadiran vaksinasi sudah dirasakan sebagai kebutuhan bagi masyarakat. Mari kita membangun bangsa melalui pembelajaran. Indonesia akan bebas Flu Burung jika kita berhasil menghadirkan pola beternak unggas yang baru dan baik dalam masyarakat. Hadirkan petugas peternakan yang tangguh menemani peternak (red: sektor 4). Kita tidak akan pernah menginginkan ayam atau unggas menjadi hewan langka bagi anak cucu kita. Selamat berjuang membangun bangsa.......


Dh Ely Susanti
Poskeswan Karangnongko, Klaten
Tm PDR 1 Kab. Klaten, LDCC Semarang

SOSIS DAN CHICKEN NUGGET GIZI VS MURAH

Oleh: Drh Agus Rumboko

Pada saat ini perkembangan konsumsi terhadap daging ayam sudah bervariasi. Disamping daging ayam segar, masyarakat bisa memilih daging olahan seperti Nugget, Sosis, Bakso dengan berbagai merk dagang. Untuk mendapatkannya pun sudah semakin mudah, kalau dulu produk-produk frozen tersebut hanya ada di supermarket, maka saat ini produk frozen sudah tersedia di outlet-outlet toko makanan, pasar becek, bahkan di kantin sekolah, di gerobak-gerobak dorong, banyak yang memperjual belikan produk tersebut dalam bentuk gorengan.

Pengetahuan terhadap produk tersebut saat ini sudah sangat baik, dibandingkan 5 tahun lalu. Segmentasinya pun sudah meluas, sosis dan nugget sudah bukan lagi makanan orang kelas atas. Supermarket dan Hypermarket sudah menyediakan Nugget dan Sosis dengan kemasan yang mewah, hingga Nugget dan Sosis Curah dengan harga yang murah. Masyarakat tinggal memilih, tanggal muda beli yang mahal, tanggal tua beli yang curah atau sebaliknya.

Di luar supermarket apalagi, di pasar becek, variasi produk lebih luar biasa. Nugget dan Sosis dengan berbagai merek di tata di freezer dan bahkan hanya di taruh di atas lapak tanpa fasilitas pendingin. Luar biasa, di segmen pasar becek tersebut, lalu lintas perdagangannya tumbuh pesat. Hal teserbut dikarenakan ada beberapa variasi produk yang akhirnya dipakai sebagai komoditi dan dijual kembali di kantin dan di depan sekolah dalam bentuk gorengan. Beribu-ribu Abang Penggoreng memperjualbelikan produk sosis, Tempura, Skalop, Nugget, dan Kornet. Akhirnya para produsen produk frozen pun berlomba lomba memenuhi kebutuhan Abang Penggoreng Sosis.

Perlombaan antar produsen Froozen Food semakin menggelora, ketika permintaan akan produk frozen yang murah dan bisa dijual kembali semakin tinggi. Abang Penggoreng Sosis pun semakin giat bekerja, karena mereka mendapatkan berbagai dukungan dari produsen, begitu juga agen-agen mereka. Semakin lama semakin banyak untungnya. Dan akhirnya mereka punya ide, kalo saja mereka bisa membuatnya sendiri di rumah? Mengapa harus beli ke pabrik?.

Maka dimulailah industri rumah tangga, yang membuat Nugget, Sosis, Sate dan banyak lagi. Asal mereka bisa goreng, dan anak anak suka? Maka untung akan didulang. Maka menjadi sah-sah saja, di depan sekolah anak kita, Abang Penggoreng Sosis tidak lagi menjual sosis beneran. Mereka memilih menjual produk buatan mereka sendiri, dengan rasa gurih, penuh MSG.

Di supermarket pelaku bisnis Frozen Food juga semakin kreatif. Tapi sayang kreativitas mereka tidak diimbangi rasa kasihan terhadap konsumen. Dibuatlah Nugget Curah, Sosis Curah, Dari bahan tepung dengan perasa ayam kuat. Dan tentu saja harganya Murah.


Bagaimana dengan Gizinya?

Perlahan lahan akhirnya konsumen terbiasa mengenal nugget dengan aroma rasa curah yang murah, nugget dan sosis murah dengan bahan baku seadanya, gizi cukupnya. Semakin lama semakin tinggi permintaan produk “seadanya”, semakin bergairah produsen berkreasi dan memenuhinya. Tentu saja jangan tanya gizinya, mereka sudah tidak perlu lagi memakai daging ayam bagus untuk membuat Nugget. Sehingga jadilah Nugget dari kepala leher, Nugget dari tepung dengan perasa ayam. Konsumen mereka adalah Abang Penggoreng Sosis, yang luar biasa bekerja memasarkan kepada anak anak kita.

Dulu ketika awal Abang Penggoreng Sosis masih menjual Sosis, Nugget, Baso yang diproduksi oleh pabrik besar, pastilah nilai gizi dan takaran proteinnya dapat dipertanggung jawabkan. Pabrikan sekelas Japfa Confeed, Charoen Pokphand Indonesia, Sierad Produce dan terakhir Wonokoyo, sangat concern terhadap nilai gizi produk yang diproduksinya. Karena mereka juga mempunyai raw material yang cukup untuk memperduksi Frozen Food. Saat ini Abang Penggoreng Sosis sudah mulai pintar memodifikasi barang jualannya. Mereka menjual tidak hanya sosis, nugget, baso dari pabrikan tersebut, namun mereka menjual : tempura, sate kakap, kornet boneka, karage mawar, nugget donat, yang diproduksi oleh Rumah Tangga. Tentu saja syarat gizi dan higienitas produknya tidak bisa lagi dapat disamakan dengan produksi perusahaan besar.


Frozen Food atau Bukan?

Frozen food sebenarnya produk makanan yang mensyaratkan penyimpanan di tempat beku minus 18 derajat celcius. Dengan model pengawetan tersebut, sedikit diperlukan bahan pengawet atau bahkan tidak perlu lagi ada bahan pengawet. Tentu saja perlakuan terhadap produk frozen sangat istimewa. Mulai dari proses produksinya, penyimpanan di gudang produksi, proses distribusinya, hingga proses penjualan retailnya hingga bagaimana menyimpan produk di tempat konsumen. Sehingga seharusnya frozen food adalah daging ayam olahan yang kualitasnya sama dengan daging segar. Ditambah dengan bumbu yang dapat menambah gairah makan anak anak.

Dengan Frozen Food, seharusnya ibu-ibu rumah tangga selalu dapat menyediakan gizi yang cukup untuk keluarganya. Demikian apabila semua proses produksi, distribusi dan perlakuan terhadap produk Frozen food sesuai dengan standar. Namun saat ini perkembangannya sangat memprihatinkan. Dimulai dari berkembangnya pembuatan Nugget dan produk frozen food sudah dapat diproduksi oleh industri rumah tangga. Tentu saja proses produksinya sangat sederhana. Dan maklum apabila proses pengawetannya tidak lagi melalui Quick Frozening Machine, sehingga benar-benar sempurna pembekuannya. Paling hanya disimpan di suhu frezer Box. Namun menurut pengamatan penulis, produk produk rumah tangga sangat awet di simpan di suhu ruang. Maka pasti di dalamnya di tambahkan pengawet. Jadi proses pengawetannya tidak lagi tergolong frozen food.

Maka dari itu, seharusnya pembaca betul-betul teliti bahwa sebenarnya makanan frozen food (sosis, nugget dan bermacam macam daging olahan further processing meat) seharusnya diawetkan dengan mekanisme pembekuan. Apabila dijumpai di pasar terdapat produk dengan keawetan yang luar biasa, tanpa disimpan dalam suhu yang disyaratkan, maka produk tersebut bukanlah produk frozen food. Dan yang pasti menggunakan bahan pengawet kimiawi.


Pilih Bergizi atau Murah

Untuk memenuhi gizi dan protein dalam konsumsi kelurga, sepatutnya tidak hanya mempertimbangkan harga. Tingkat konsumsi protein hewani (daging ayam) di Indonesia masih sangat rendah. Dengan variasi produk (chicken nugget, sosis, bakso) sebenarnya dapat membantu meningkatkan tingkat konsumsi terhadap daging ayam. Namun sayang sekali terkadang masyarakat masih memiliki kecenderungan mencari produk yang harganya murah, asal masih berasa AYAM. Dan ternyata para produsen terpaksa harus tergoda untuk memenuhi keinginan masyarakat untuk memproduksi barang murah tersebut, dan akhirnya dibuatlah Nugget, Sosis, Baso yang mementingkan RASA AYAM. Dan akhirnya seperti FX Rahardi (di harian KOMPAS), menyebut dan mencurigai bahwa nugget dibuat dari daging ayam sisa, MDM, Tulang.

Jadi akhirnya semestinya FX Rahardi lebih melihat mekanisme Action dan Reaction, mekanisme Supply and Demand, yang tambah lama bertambah menurunkan kualitas. Karena memang produsen sangat mengikuti kemauan konsumen. Karena konsumen juga akhirnya mencari akal untuk mencari produk yang murah, dan tumbuhnya produsen produsen rumah tangga. Dan yang paling menyedihkan, peranan pemerintah (Badan POM) yang pengawasannya sangat lemah. Mereka tidak pernah secara aktif mengikuti perkembangan industri makanan di pasar.

Pemenuhan gizi dan protein memang tidak selalu harus mahal, tapi bahan dan produk yang sehat dan higienis harusnya tetap menjadi pilihan Daging Ayam olahan yang berbentuk Chicken Nugget, Sosis, Baso harusnya diawasi benar oleh Badan POM, agar tidak lagi jauh melenceng dari syarat-syarat kesehatan. Tidak seperti saat ini, Nugget Curah di supermarket yang hanya berisi tepung, dengan perasa ayam, dibiarkan saja di jual dan tanpa ada pengawasan dari Badan Penguji dan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Badan POM mungkin sedang menanggung banyak pekerjaan, sehingga masyarakat dibiarkan mengkonsumsi produk yang sebenarnya bukan daging ayam.


Penulis adalah praktisi perunggasan alimnus FKH UGM

Abstract Infovet September 2007

To strengthen the control of Avian Influenza (AI) in animals, Ministry of Agriculture had established Campaign Management Unit (CMU) within the Animal Health Directorate. The central management unit is operating through 9 regional operational units based nine Disease Investigation Centers in Provincial Level.

The envolvement of community especially related with animal production and health industry is essential in ensuring achievement of the program. Indonesia Veterinary Drug Association (ASOHI) as an organization comprising veterinary drug companies is directly relating with animal health program since its role in supplying biologicals and disinfectants as well as human resources such as veterinary technical representatives in the field.

The cooperation between ASOHI and CMU is being formulated to cover central and provincial level. In central level various activity will be implemented, namely:

- To prepare coordination on operational cooperation with all stakeholders.
- To formulate AI action plan.
- To monitor and evaluate mutual activity program.
- To coordinate with other institutions in AI control.

In provincial level will be implemented, namely:

- Periodic meeting between provincial CMU/LDCC, PDS/PDR with ASOHI provincial chapter, to coordinate technical services and discussion, relating with development of AI in each area, to formulate action plan on AI control in the community.
- Promoting AI control in the field.
- To send suspected AI samples to government laboratory and accredited private laboratory.
- To encourage capability of AI diagnosis in the field through short training to optimize early detection and early response.
It is hoped that cooperation with other associations related with poultry industry will also be implemented to optimize AI control.


Problem of Immunosuppresive Disease

Infectious Bursal Disease (IBD) or Gumboro, is one of important poultry disease, caused by viral infection, characterized with immunosuppressive, potentially cause high economic loss.

Some of farmers were disappointed that vaccination program is not totally guarantee the protection against this disease. As immunosuppressive disease, the presence of IBD could be easing infection of other diseases.

For broiler farmers IBD is really frightened since it could attack chicken in early period or prior to be harvested. The effective way to protect DOC (day old chick) against IBD is through maternal immunity by maintaining high level of humoral antibody in the parent stock.

There are 3 kind of preventive measure against early infection of the virus, namely:

- To prevent contact between chicken with Gumboro virus.
- To vaccinate parent stock
- To vaccinate DOC in early period with active and non virulent vaccine.


First Human Case of AI in Bali

First human case of AI (Avian Influenza) in Bali was reported on August 12th, 2007. the team of Ministry of Public Health and Consultant investigator of World Health Organization (WHO) had collected blood samples from the victim’s family in Dakin Tukad Aya village, Jembrana District. Further studies should be provided to conclude virus transmission.

Bali Province had been decided by Ministry of Agriculture as the first priority in controlling AI. Total cases of AI on human in Indonesia since the year 2005 had reported 104 persons infected, including 83 mortalities.

Dr Tri Satya Putri, vice chairman of National Commission for AI control appeal to the Government that recent outbreak of AI not be treated as ordinary cases, since the outbreak in poultry cause high mortality. She considered that action taken by Government is still slow.


Technical Sales Representatives

Technical sales representatives (TS) is officer in charge of animal health companies in the field. The presence of TS is very essential in providing information and services to the farmers, related with animal health problem and veterinary drug application.

Coverage of each TS in conducting their duties in certain area is decided by the companies, based on technical as well as economic consideration. In some areas there are independent or “freelance” TS, since they are not recruited by any companies, as they could sell products of various manufactures.

Many cases of conflict of interest between independent TS and certain companies, since they can sell the products in lower price as ability to operate the business in efficient way. The most important condition is they should run their business in line with regulation, in providing services to the farmers only market registered products.

Editorial Infovet Edisi 158 September 2007

Untuk mengatasi kelemahan dalam penanganan penyakit Avian Influenza (AI) khususnya dalam pengendalian dan implementasinya di lapangan, dalam lingkup Departemen Pertanian telah dibentuk Unit Pengendalian Penyakit AI (UPPAI) atau Campaign Management Unit (CMU).

Dalam melakukan tugas pengendalian telah dilaksanakan secara berjenjang melalui tingkat regional, propinsi dan kabupaten/kota, dengan implementasi di lapangan oleh tenaga-tenaga dokter hewan secara intensif melalui penyidikan dan tindakan responsif.

Menyadari bahwa keberhasilan dalam pengendalian penyakit sangat diperlukan dukungan masyarakat, adalah sangat tepat pihak UPPAI telah menjalin kerjasama dengan ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia). Sebagai organisasi usaha obat hewan, ASOHI memang berkaitan dengan penanganan penyakit hewan, baik sebagai penyedia sarana kesehatan hewan berupa vaksin dan desinfektan maupun sumber daya manusia, dokter hewan sebagai technical services yang tersebar di lapangan.

Agar dapat efektif maka kerjasama ini akan dilakukan baik ditingkat pusat maupun di daerah. Diharapkan kerjasama ini akan diperluas dengan melibatkan asosiasi-asosiasi lainnya terkait dalam industri perunggasan sehingga penanganan AI dapat dilakukan lebih optimum.

Gonjang ganjing Perususan Nasional (2) Salah Kaprah Pakan Sapi Perah

oleh Ir Tatang E P

Tingginya biaya produksi susu di Indonesia salah satu sebab utamanya karena penggunaan pakan yang tidak tepat. Basis pemberian pakan sapi perah kita masih menggunakan biji-bijian sedangkan hijauan hanya sebagai pelengkap.

Ini sebenarnya kurang tepat mengingat sapi perah mempunyai sistem pencernaan berbasis mikroba yang lebih cocok menggunakan pakan berserat alias hijauan. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Dr Ir Marsetyo, dosen fakultas peternakan Universitas Tadulako, Palu.

Menurut Marsetyo, di negara sedang berkembang seperti Indonesia, biji-bijian disamping harganya mahal, juga kurang pas diberikan kepada ternak sapi karena manusia juga membutuhkan biji-bijian.

Selain itu juga ternak sapi perah harus bersaing dengan unggas yang pasokan makanannya berbasis biji-bijian. Oleh karena itu penggunaan hijauan merupakan pilihan yang menarik untuk ternak ruminansia di Indonesia, walaupun porsinya bisa diatur.

Memang menurut Ir Mulyoto Pangestu PhD, dalam konsep nutrisi ruminansia : pakan berserat tetap dibutuhkan, namun bila ingin berproduksi tinggi ya harus ada pakan penguat tambahan.

Artinya menurut peneliti dari Monash University ini pengembangan sapi perah di Indonesia tak perlu ngotot untuk memperoleh produksi susu yang tinggi, namun yang menguntungkan.

Sebab iklim tropis membuat ternak memang lebih mungil dari ternak-ternak sapi sub tropis. Namun yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang memadai.

“Mungkin kita perlu melihat munculnya trend baru pada sapi potong dengan LowLine Breed yang tubuhnya mini dan beratnya hanya 200 kg,” tegasnya. Jadi apa salahnya kalau Indonesia mulai mencoba menikmati mungilnya sapi tropis supaya bisa memberikan rejeki sebesar Limousine atau Angus.

Ternak yang kecil bukan berarti akan kecil keuntungannya. Namun dengan ternak yang kemampuannya hidup di daerah tropis maka daya cerna terhadap hijauan akan lebih baik.

Hijauan di Indonesia sebenarnya cukup melimpah dan beragam. Sayangnya ini kurang dipahami oleh para peternak. Hal ini diperparah dengan tidak adanya penelitian yang intensif mengenai hijauan. Akibatnya peternak hanya tahu untuk meningkatkan produksi susu adalah dengan mempertinggi pakan yang berasal dari biji-bijian.

Peternak sapi perah lebih kenal dengan jagung, dedak, kedele, tepung daging dan tulang ketimbang rumput kolonjono, cetaria lampung atau bahkan jenis legume yang biasa menjadi penutup tanah di perkebunan.

Padahal penggunaan biji-bijian seperti jagung, dedak dan kedele akan berbenturan dengan industri unggas yang jauh lebih besar kebutuhannya.

Kebanyakan peternak sapi perah kita hanya memberikan rumput gajah atau rumput raja sebagai makanan hiajauan. Kedua rumput tersebut kandungan nutrisi tidak begitu bagus dan lebih banyak serat kasarnya saja.

Namun memang rumput gajah atau rumput raja dari segi ketersediaan memang memadai karena rumput ini besar sehingga mampu mengenyangkan sapi. Tapi sayang kandungan nutrisinya tidak begitu bagus.

Penggunaan hijauan sebagai salah satu alternatif untuk mendapatakan nutrisi yang murah harusnya menjadi prioritas bagi peternak untuk menekan harga susu sehingga memperoleh margin yang lebih tinggi.

Sayangnya pemerintah yang harusnya membantu mencarikan alternatif nutrisi dari hijauan tak banyak membantu. Riset tentang hijauan makanan ternak sangatlah minim. Apalagi berbicara tentang sistem pengawetan hijauan atau pemanfaatkan hijauan kering.

Dengan satuan ternak yang rendah memang peternak tak mungkin menggembalakan ternaknya pada padang penggembalaan atau mempunyai lahan yang memadai untuk makanan hijauan ternaknya.

Namun bukan tidak mungkin bila peternak yang mempunyai kepemilikan sapi perah sedikit dikumpulkan menjadi satu koperasi dan koperasilah yang mensupport untuk menyediakan lahan atau padang penggembalaan dengan hijauan pilihan dan kandungan nutrisi yang baik.

Di Negara-negara maju peternakan sapi baik perah maupun potong mengandalkan makanan hijauan yang diperoleh dari padang penggembalaan. Namun bukan berarti pakan yang berasal dari biji-bijian ditinggalkan hanya saja porsinya lebih kecil.

Penataan padang penggembalaan dengan berbagai macam tanaman baik rumput maupun legume terasa asing ditelinga kita. Padahal padang penggembalaan merupakan salah satu kunci sukses

Negara-negara pengekspor susu dan sapi terbesar di dunia macam Australia dan Selandia Baru. Karena biaya rumput dan legume jelas lebih murah ketimbang biji-bijian.


Kajian Yang Komprehensip

Sapi perah sebagai salah satu potensi besar di Negara ini harusnya pemerintah mampu memfasilitasi sebuah riset yang terpadu dan berkesinambungan.

Menurut Ir Budi Rustomo PhD, pakar sapi perah asal Fapet Unsoed melihat, pendekatan atau teknologi tanpa melihat karakteristik atau sifat-sifat dasar aslinya, akan menghasilkan sesuatu yang tidak optimal.

Pengetahuan tentang habitat asal, sifat asli dan behaviour mutlak diperlukan dalam menentukan pendekatan-pendekatan teknologi. Apalagi teknologi yang dibuat untuk memanipulasi atau menyiasati kinerja makhluk hidup seperti hewan ternak.

Dalam pengembangan teknologi peternakan, tiga pendekatan yang lazim dilakukan oleh pakar-pakar peternakan di negara barat.

1.Mengetahui sifat dasar (karakteristik) ternak. Termasuk mengerti benar “what is the purpose of God creating the creatures/species?”.
2. Mengetahui bagaimana ternak bisa hidup (how do they survive in the original habitat or in the junggle, before being domesticated)
3. Mengetahui how do they reproduce their offspring.

Ketiga pendekatan tersebut di atas yang seharusnya mendasari bagaimana ilmuwan peternakan mengembangkan teknologi. Baik teknologi di bidang pemuliaan, pakan, perkandangan, reproduksi, kesehatan dan banyak lagi faktor lainnya.

Budi yang pernah lama tinggal di Kanada dan Australia ini mencontohkan, Di Kanada, pada saat musim panas suhunya bisa mencapai 40 oC. Tapi, konsumsi pakan dan produksi susu tidak menurun.

Sebab, meskipun panas, kelembaban udaranya masih relatif rendah. Itupun masih dibantu dengan pemasangan blower dikandang-kandang pada saat musim panas.

“Namun Bila pendekatan itu kita tiru, peternak Indonesia dengan modal yang terbatas

akan bangkrut karena bengkaknya biaya listrik,” ujarnya memberi contoh.

Untuk itulah riset yang dilakukan haruslah terpadu dan berujung pada sosial ekonomi artinya peternak sapi perah Indonesia mampu menggunakan teknologi tersebut.


Penulis adalah Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI)

Fenomena Pemasar Obat Hewan Mandiri: ”Ancaman atau Prospek bagi Perusahaan yang Mapan?”

Adalah Drh Nur Fauzi lulusan Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang memilih terjun menjadi seorang pemasar obat hewan yang mandiri. Di lapangan lebih sering disebut sebagai TS Freelance.

Seperti juga pada umumnya sarjana yang baru lulus, Fauzi demikian biasa disapa, mempunyai cita-cita dan idealisme tinggi untuk mewujudkan impiannya sejak kuliah dulu. Begitu lulus sebagai dokter hewan yang masih gress alias baru lepas dari kampus ia segera melayangkan surat lamaran ke berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Tidak lain tujuannya kecuali untuk membuktikan kepada masyarakat di kampung halamannya dan juga keluarga besarnya bahwa ia mampu mensejajarkan dengan sarjana yang lainnya yang lebih dahulu bekerja dan sukses berkarier di kota besar.

Termasuk beruntung ia hanya dalam hitungan kurang dari 1 (satu) bulan setelah lepas dari kampus sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan obat hewan yang termasuk mapan, meskipun harus jauh dari keluarga besarnya nun jauh di Pekalongan. Dan kota Medan, Sumatera Utara adalah pertama kali yang ia jejaki sebagai awal meniti karier. Jabatannya memang mentereng seperti yang tertulis di kartu namanya yang selalu ia bagikan ke setiap orang yang ketemu, termasuk ke kerabat dan keluarga besarnya di kampung, yaitu ”Technical Sales Representative”.

Meski sebenarnya bagi banyak kalangan masih awam arti jabatan pekerjaannya itu, namun sudah sangat berati bagi Fauzi dan keluarga besarnya. Setidaknya menurut Fauzi hal itu sudah membuktikan bahwa ia tidak termasuk dalam daftar deretan sarjana penganggur. Apalagi ia bisa mengirimkan kabar dan sedikit uang juga beberapa lembar fotonya dengan berlatar belakang kendaraan roda empat sebagai penunjang kerja/dinasnya. Seolah semakin, menguatkan ”posisi sosial” dirinya dan keluarga besarnya bahwa ia sudah memasuki kelas sosial baru yang patut diperhitungkan. Dan bahkan menjadi bahan perbincangan kawan SD SMP dan SMA nya serta tetangga di kampung halamannya.

Terlebih ketika di sela hari liburnya bisa meluangkan waktu untuk pulang kampung, meski hanya sebentar sudah menjadikan dirinya tampil beda dan disapa banyak orang sejak dari mulut jalan sampai halaman yang menuju rumahnya. Orang tua dan sanak famili serta tetangga se desa seolah sudah mendaftar antri untuk bisa ketemu, ngobrol dan tentunya yang penting adalah mereka nitip pesan agar bisa diajak kerja jika ada lowongan kerja.

Namun, perjalanan hidup dan peruntungan seseorang memang salah satu misteri manusia di dunia, selain hidup dan jodoh. Akhirnya Fauzi, meninggalkan kota Medan dan tidak kembali ke kampung halaman tetapi menuju ibukota Metropolitan Jakarta untuk mengadu nasib kembali. Tidak jelas alasannya, namun yang umum terjadi sebagai orang yang lahir dan besar dengan kultur Jawa, maka memang meninggalkan kampung halaman yang sangat jauh menjadi salah satu beban berat dalam hidupnya.

Masih beruntung Fauzi dapat kembali menjalani profesi yang sama yaitu di perusahaan obat hewan yang di tempatkan di sentra unggas Jawa Timur, Blitar. Di kota ini ia kembali dengan pekerjaan dan jabatan yang sama meski di kartu namanya kini disebut sebagai ”Sales Excecutive Service”. Kembali kartu nama itu di’sebar’ ke kolega dan tentu saja kepada keluarga besarnya di kampung halaman. Muncul bisik-bisik di keluarganya dan sudah pasti juga para tetangga bahwa Fauzi naik jenjang jabatannya alias promosi kedudukannya dalam bekerja karena bisa kembali ke Jawa.

Semakin banyak saja kerabat dan tetangga yang berharap Fauzi bisa dan mau menarik anak-anak desa yang masih menganggur. Fauzi pun mendengar permintaan itu tidak bisa lain kecuali dengan mengangguk meski dengan kepala yang terasa berat. Dan berikutnya ketika secara ekonomi dirasakan sudah mapan, ia memutuskan membina rumah tangga dengan gadis Klaten. Praktis, kini waktunya tidak ada lagi untuk sekedar mudik menengok keluarganya di Pekalongan, tetapi lebih banyak dihabiskan di Blitar dan sehari dalam seminggu di Klaten. Singkat cerita ia ternyata hanya mampu bertahan 3 tahun dalam menggeluti pekerjaan di kota kecil itu yang terpisah dari istri yang dicintai.

Kali ini alasan ia meninggalkan kota itu muncul dari mulutnya, bahwa ia tidak bisa pisah terlalu lama dengan istrinya yang berada di Klaten Jawa Tengah. Sehingga kembali ia mencoba mencari pekerjaan yang secara geografis tidak jauh dari mukim istrinya. Dan masih beruntung lagi Fauzi kembali bekerja di perusahaan obat hewan dengan wilayah kerja di sekitar Klaten, seperti Jogja, Solo, Boyolali dan Magelang.

Tetapi ternyata, justru jauh lebih singkat ia bekerja di dekat mukim istri, hanya bertahan 3 bulan. Keputusan keluar karena waktu untuk bisa ketemu istri hanya malam hari dan itupun sudah sangat capek sekali. Hal ini oleh karena wilayah kerja yang relatif luas dan medan yang berat.

Fenomena seperti ini tidak menjadi monopoli Drh Nur Fauzi, karena ratusan orang dan bahkan ribuan Dokter hewan dan Sarjana Peternakan mengalam perjalanan hidup yang nyaris sama. Benturan antara peradaban sosial manusia Indonesia (Jawa?) versus peradaban global. Kultur Jawa yang lebih menekankan keeratan kekerabatan (sosial) dan kultur modern global yang seolah manusia menjadi mesin ekonomi, akhirnya melahirkan benturan.

Banyak yang tidak mampu melawan kondisi seperti itu, akan tetapi juga tidak sedikit yang sukses dan maju mengikuti irama peradaban global.

Fauzi adalah salah satu ’korban’ yang tergilas peradaban global dan kini menekuni pekerjaan yang sama namun tidak secara langsung dibawah payung sebuah perusahaan. Dengan jabatan dan sebutan yang sebenarnya masih sama yaitu sebagai tenaga pemasar obat hewan. Namun kini, ia kini lebih bebas menentukan ritme kerja dan mengotong beban kerja hariannya.

Meski tidak bisa lepas 100% dari pengaruh perusahaan/produsen, namun ternyata profesi ini kini justru yang banyak diminati para Dokjter Hewan dan Sarjana Peternakan yang baru lulus maupun yang sudah lama malang melintang di lapangan. Setidaknya di Kota-kota di Jawa Tengah profesi tenaga pemasar obat hewan mandiri, tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para produsen/importir sarana peternakan di Indonesia.

Volume penjualan atau omzet para tenaga pemasar mandiri kini, tidak bisa diremehkan dan justru menjadi salah satu mitra penting perusahaan yang pada umumnya banyak berkantor pusat di kota-kota besar.

Beberapa pihak memandang kehadiran tenaga pemasar mandiri sebagai ancaman serius. Argumennya, bahwa kelompok pemasar ini sering secara berani membanting harga, sehingga pasar menjadi kacau. Bahkan terkadang sisipan obat illegal dan juga menenteng obat murni / pure melahirkan masalah di lapangan bagi perusahaan legal. Namun harus diakui dan juga tidak bisa dibantah lagi karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa tidak sedikit perusahaan legal/resmi justru memasok obat illegal serta obat pure ke peternak dan para pemasar mandiri.

Jika kesemrawutan peredaran obat yang tidak jelas asal usulnya itu, kesalahan hanya ditimpakan kepada para pemasar mandiri, maka jelas tidak adil dan kurang bijak. Kenyataan lapangan seperti itu, harus dipertimbangkan oleh pihak yang menyalahkan. Oleh karena itu memang lebih bijaksana, jika ada pendapat bahwa para pemasar mandiri ini justru sebagai mitra efisien dan effektif bagi perusahaan/produsen sarana peternakan, terutama setelah mati surinya Poultry Shop dalam 10 tahun terakhir ini.

Pemasar mandiri bisa menjual dengan harga lebih miring dan murah oleh karena beban operasional yang ditanggung memang relatif jauh lebih ringan. Biaya operasional yang relatif kecil itu tidak lepas dari margin keuntungan yang dipatok para pemasar mandiri yang tipis. Bahkan pada umumnya dengan dukungan mobilitas berupa kendaaraan roda dua yang lebih luwes dan mampu menerobos kawasan yang terpencil sekalipun, tentu salah satu sebab efisien.

Fenomena Fauzi dan Pemasar Mandiri atau TS Freelance, memang patut menjadi renungan bagi para praktisi marketing di tingkat atas sebuah perusahaan. Apakah keberadaannya menjadi mitra atau justru sebagai kompetitor, maka sangat tergantung dari kecerdasan para pemegang kendali pemasaran di level perusahaan. Yang pasti ini adalah sebuah realitas lapangan yang harus disikapi dengan bijak. Akan dimusuhi atau dilembagakan sebagai mitra..... ? (iyo)

IMAKAHI Abdikan Diri ke Masyarakat

Sebagai bagian dari Insan pendidikan, terutama dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian masyarakat, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) bekerjasama dengan BEM FKH Universitas Airlangga (Unair), dan Kelompok Minat Profesi Veteriner (KMPV) Ternak Besar dan KMPV Unggas dan Burung FKH Unair Surabaya, mengadakan Pengabdian Masyarakat Nasional 2007 pada 4-13 Agustus 2007 di Kediri Jawa Timur.

Kegiatan yang diawali dengan acara Pra Munas IMAKAHI XI dan dilanjutkan dengan kegiatan pengabdian masyarakat (pengmasy) ini di sambut baik oleh Dekan FKH Unair, Prof Drh Hj Romziah Sidik PhD.

Dalam sambutannya Prof Romziah mengatakan bahwa sebagai calon generasi profesi dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan harus mampu menjawab segala tantangan yang ada, sehingga dengan adanya kegiatan ini agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa sebagai proses pembelajaran sebelum menempuh kehidupan yang sebenarnya. Bahkan melalui kegiatan pengmasy dapat dijadikan sebagai momentum yang baik untuk memperkenalkan profesi veteriner kepada masyarakat luas.

Menurut ketua pelaksana, Jeremia Sibarani, kegiatan pengmasy ini dilaksanakan di 4 kecamatan dengan 15 desa di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Dimana tiap kecamatan dibimbing oleh satu orang dosen pembimbing dan satu kordinator kecamatan serta satu orang supervisor ditiap desanya. Ditempat yang sama, Iwan Berri Prima selaku Ketua Umum IMAKAHI yang didampingi Dony Bindariyanto selaku ketua BEM FKH Unair dan Novi Susanty selaku Ketua IMAKAHI Cabang FKH Unair, berharap kegiatan ini dapat secara kontinyu dilaksanakan tiap tahunnya sebagai program kerja rutin dari IMAKAHI.

Ikut hadir dalam kegiatan ini adalah mahasiswa FKH Unair (Surabaya), delegasi mahasiswa FKH Universitas Syiah Kuala (Aceh), FKH Institut Pertanian Bogor (Bogor) dan FKH Universitas Udayana (Bali) dan delegasi mahasiswa FKH luar negeri dari Kanada. (Imakahi)

Lokakarya Stakeholder dan Alumni 2007 Fapet Undip

Guna mengantisipasi perkembangan Industri Peternakan yang demikian pesat, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro (FP UNDIP) melakukan Pengkajian dan Pengembangan Kurikulum. Hal itu dimaksudkan agar lulusannya mempunyai kompetensi dalam bidangnya serta diakui oleh masyarakat pengguna (user). Oleh karenanya, dibutuhkan masukan dari stakeholder maupun alumni tentang tingkat kemampuan keilmuan serta keterampilan apa saja yang seharusnya dimiliki oleh Sarjana Peternakan. Agar masukan yang disampaikan oleh stakeholder dan alumni dapat ditangkap secara menyeluruh oleh semua komponen sivitas akademika FP UNDIP, maka pada hari Rabu tanggal 1 Agustus 2007 dilaksanakan Lokakarya Stakeholder dan Alumni tahun 2007.

Lokakarya yang berlangsung di Ruang Serba Guna Gedung F Lantai II Kampus Drh Soejono Koesoemowardojo, Tembalang-Semarang tersebut dihadiri sekitar 75 orang. Sebagian besar yang hadir adalah para dosen. Sementara dari pihak stakeholder adalah utusan dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Brebes, Peternak, serta wakil dari Industri Perunggasan. Beberapa alumni juga hadir sebagai narasumber.

Dekan FP UNDIP Dr Ir Joelal Achmadi MSc dalam sambutannya berharap agar para peserta benar-benar berpartisipasi aktif dalam lokakarya tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa masukan dari peserta akan dipergunakan sebagai bahan menyusun rumusan profil dan kompetensi Sarjana Peternakan lulusan FP UNDIP yang siap kerja dan atau mampu berwirausaha. Selain memberi sambutan, Dekan juga membuka secara resmi acara Lokakarya yang didanai dari pos APBN tahun 2007 tersebut.

Setelah acara seremonial, dalam sesi pertama tampil 4 Ketua Program Studi yang memaparkan Profil dan Kompetensi masing-masing Lulusannya. Hingga saat ini, Program Studi Sarjana (S1) di FP UNDIP meliputi Produksi Ternak; Nutrisi dan Makanan Ternak; Sosial Ekonomi Peternakan dan Teknologi Hasil Ternak.

Wonokoyo Group tampil dalam sesi kedua. Sebagai stakeholder (pengguna=user), Wonokoyo Group memberikan masukan-masukan, yaitu : dalam penyusunan kurikulum yang akan datang hendaknya porsi Ilmu Perunggasan lebih ditingkatkan mengingat dunia perunggasan (khususnya di Indonesia) telah berkembang demikian pesatnya. Selain itu, porsi praktikal hendaknya diperbanyak lagi. Guna mencapai hal tersebut, Wonokoyo Group mengusulkan agar pihak FP UNDIP menjalin kerjasama dengan para pelaku bisnis Perunggasan di Indonesia, mulai dari sektor hulu hingga hilir. (HS)

NTB ANTISIPASI MUNCULNYA KASUS FLU BURUNG PADA MANUSIA

Sejak diketemukannya kasus flu burung pada manusia di Kabupaten Jembrana Ball pada awal Agustus yang lalu. Pemerintah Daerah NTB secara cepat melakukan antisipasi untuk menangkal munculnya kasus flu burung pada manusia, agar tidak terjadi seperti di Bali, maka pada tanggal 16 Agustus yang lalu bertempat di ruang Rapat Utama Kantor Gubernur NTB telah dilaksanakan Rapat Koordinasi Terpadu yang dipimpin langsung Gubernur NTB dan dihadiri semua Instansi terkait seperti Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Distanak Kabupaten se pulau Lombok, Karantina Hewan Lembar, Dinas Kesehatan Propinsi NTB, Rumah Sakit Umum Mataram, RSAD Mataram, Pangkalan Utama Angkatan Laut Lembar dan Muspida Propinsi NTB.

Pada kesempatan itu Gubernur NTB menegaskan perlunya kewaspadaan kita semua untuk menghadapi munculnya kasus flu burung, baik pada manusia maupun unggas agar kasus flu burung di Bali tidak terjadi di NTB. Kadisnak NTB Drh H Abdul Muthalib MM mengatakan dalam eksposenya bahwa walaupun satu tahun terakhir sudah tidak diketemukan kasus flu burung pada unggas di NTB dan NTB termasuk daerah beresiko rendah, namun mengingat sifat penyakit ini penyebarannya sangat cepat dan kematian pada unggas sangat tinggi, maka tetap menjadi prioritas kita untuk mengantisipasinya, apalagi pulau Bali yang menjadi barier bagi NTB telah terjadi kasus flu burung pada manusia maka NTB harus lebih waspada.

Untuk itu telah diperintahkan kepada semua jajaran unit Pelayanan Kesehatan Hewan terdepan yaitu Poskeswan telah dibekali dan dipersiapkan segala sarana dan prasarana untuk mengendalikan penyakit flu burung ini. Pengawasan lalu lintas unggas antar kabupaten diperketat, dan pelarangan unggas masuk NTB dari pulau Bali tetap berlaku untuk menolak dan menangkal penyakit flu burung ini sesuai SK Gubernur NTB No. 71 tanggal 21 April tahun 2004 tentang “Penolakan dan pencegahan masuknya penyakit flu burung di Propinsi NTB dan pengawasan lalu lintas unggas dan produknya”.

Drh Soleh Anwar Kepala Balai Karantina Hewan Kelas II Lembar Lombok menambahkan bahwa pihaknya sejak bulan April 2006 telah melakukan pengawasan di pintu pelabuhan Lembar dan mengadakan operasi terpadu selama 24 jam setiap hari bersama pihak Kepolisian Pelabuhan dan KKP serta Adpel Pelabuhan Lembar sebagai upaya antisipasi pemasukan ilegal unggas dari pulau Bali.

Dr Baiq Magdalena, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTB pada ekspose pemaparan di Rapat tersebut juga menegaskan walaupun di NTB belum ditemukan kasus flu burung pada manusia, namun jajaran kesehatan NTB telah siap mengantisipasi dan melakukan kewaspadaan tinggi berupa antara lain menyiapkan Rumah Sakit Umum Mataram sebagai Rumah Sakit Rujukan pasien kasus flu burung, menyiapkan obat-obatan seperti Tamiflu pada setiap Puskesmas yang ada di NTB serta melakukan sosialisasi bersama Dinas Peternakan Propinsi NTB kepada masyarakat dan sekolah-sekolah SMA yang ada di NTB agar mereka dapat memahami secara benar apa itu penyakit flu burung dan bagaimana cara penanggulangan dan pencegahannya baik ditinjau dari aspek kesehatan manusia dan kesehatan hewannya.

Semoga dengan melakukan Rakor ini benar-benar dapat mengamankan wilayah NTB tidak terjadi kasus flu burung pada manusia dan unggas serta tetap mempertahankan tidak ada kasus Avian Influenza (flu burung) di NTB dengan tetap mengacu pada 9 langkah pengendalian flu burung pada unggas, semoga !!!

Dan kepada teman-teman Poskeswan NTB Selamat Berjuang, kalian adalah ujung tombak Kesehatan Hewan di wilayah NTB dan juga Barometer Kesehatan Hewan Nasional “Lindungi ungggasnya, Basmi virusnya, Makan daging dan telurnya, Sehat manusianya dan Sejahtera peternaknya, Amin...”.

Drh. HERU RACHMADI
Kasubdin Keswan Lombok Timur dan Koresponden INFOVET NTB

Peringatan Hari Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2007

Hari Kebangkitan Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia, akhirnya, diperingati kembali pada 26 Agustus 2007 (dengan pelaksanaan tanggal 27) sebagai peringatan ke 5 sejak 2003. Peringatan di Departemen Pertanian itu dihadiri oleh Direktur Jenderal Peternakan Ir Mathur Riyadi MS, didukung oleh para Direktur Jenderal Peternakan sebelumnya yang kini menjadi 'sesepuh' alias yang dituakan, di mana yang hadir adalah Dr Drh H Soehadji, dan Dr Drh Sofjan Sudardjat MS.

Dirjen Ir Mathur Riyadi MS menyampaikan, penetapan hari lahir peternakan dan kesehatan hewan ini berdasar kesepakatan berbagai pihak melalui penelusuran sejarah yang cermat sehingga ditetapkan hari lahirnya peternakan dan kesehatan hewan adalah tanggal 26 Agustus 1836. Jadilah, tahun ini adalah hari Peternakan dan Kesehatan Hewan yang ke-171. Dihitung dari saat Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan plakat pelarangan pemotongan sapi betina produktif pada hari itu.

Thema peringatan pada tahun 2007 ini adalah: "Melalui Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan ke V tahun 2007, Kita Tingkatkan Profesionalisme Peternakan dan Kesehatan Hewan Menuju Tercapainya Swasembada Daging Sapi dan Restrukturisasi perunggasan." Sedangkan Bulan Bakti Peternakan dan kesehatan Hewan tahun dicanangkan mulai 31 Juni sampai minggu ke 2 September 2007.

Dalam sambutannya, Dirjen mengajak semua memanfaatkan momentum untuk menumbuhkan rasa percaya diri mempersatukan gerak langkah dan meningkatkan koordinasi dalam pelaksanaan tugas yang diamanatkan terutama dalam upaya penanggulangan penyakit Avian Influenza secara cepat dan tuntas, mewujudkan program swasembada daging tahun 2010 serta pembangunan peternakan dan kesehatan hewan lainnya.

Pada acara itu Dr Soehadji menyampaikan paradigma dalam memandang hari besar bagi kaum peternakan dan kesehatan hewan itu selain bisa dari sudut historis seperti yang disampaikan Dirjen Mathur Riyadi dan Dr Drh Sofjan Sudardjat, juga bisa dari kacamata Yuridis dan Empiris.

Dari aspek yuridis ada 2 undang-undang yang dipakai sebagai dasar, yaitu Staatblad 432 tahun 1912 dan UU No 6 tahun 1967 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Dari aspek empiris menurut perkembangannya meliputi periode-periode tahapan peningkatan populasi, terpadu, agribisnis dan global.

Dari sisi agribisnis dikonsep pada saat Menteri pertanian Prof Dr Ir Bungaran Saragih. Sedangkan dari sisi globalisasi adalah kekinian yang mau tak mau disesuaikan oleh masayarakat peternakan dan kedokteran hewan Indonesia, yang tidak bisa dipisahkan dari situasi global.

Peringatan berlangsung sederhana, menghadirkan berbagai tokoh peternakan dan sosiasi peternakan, dan seluruh karyawan Direktorat Jenderal Peternakan yang mengenakan seragam Deptan hijau-hijau, diisi doa dan sykuran dengan pemotongan nasi tumpeng berlanjut ramah tamah dengan mengundang para tokoh dimulai oleh Dr Soehadji menyenandungkan lagu-lagu nostalgia, sebagai simbol benang merah masa lalu, masa kini, dan masa datang yang lebih baik.

Selamat Hari Lahir dan Majulah Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia! (YR)

Open House BBPMSOH

Di usianya yang ke-22, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang terletak di Gunungsindur Bogor melakukan Open House yang diisi dengan seminar terbuka. Acara yang diselenggarakan 2 Agustus 2007 lalu ini diikuti oleh banyak pelaku bisnis obat hewan, institusi pemerintah, swasta dan akademisi.

Menurut Drh Agus Heriyanto MPhill Kepala BBPMSOH pelaksanaan Open House ini untuk mendapatkan masukan dari semua stakeholder dalam upaya menata obat hewan yang beredar di masyarakat, sekaligus meningkatkan kemampuan dan pemahaman tentang ketentuan dan peraturan obat hewan serta pemahaman siklus manajemen pendaftaran dan pengujian obat hewan.

Hal ini dilakukan menyusul masih banyaknya obat hewan ilegal yang belum terdaftar yang beredar di Indonesia. Diharapkan dengan open house ini mampu mencairkan segala hambatan dan kendala serta perbedaan persepsi antara BBPMSOH dan pelaku usaha obat hewan.

Agus menambahkan open house ini dilakukan sebagai salah satu upaya yang terus menerus dilakukan dalam rangka meningkatkan transparansi, eksistensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam bentuk peningkatan kinerja pelayanan pengujian obat hewan yang bermutu dan aman tanpa menimbulkan dampak yang merugikan konsumen.

Mengenai masih banyaknya peredaran obat hewan ilegal, kata Agus, hal ini harus segera dibenahi. Peraturan dan perundangan yang mengatur penanganan pengawasan obat hewan telah banyak ditetapkan, namun dalam pelaksanaanya masih banyak menjumpai kendala dan hambatan serta pelanggaran dalam peredaran obat hewan.

Banyaknya obat hewan ilegal dan yang belum terdaftar yang beredar di Indonesia menunjukkan bukti betapa lemahnya komitmen kita tentang peraturan obat hewan. Sementara tuntutan era globalisasi serta pesatnya perkembangan industri obat hewan belum diikuti dengan mantapnya pengawasan obat hewan dari hulu hingga hilir.

Di sesi seminar Drh Wayan Teguh Wibawan PhD peneliti dari FKH IPB memaparkan tentang perkembangan virus AI di Indonesia. Selanjutnya Michel Bublot DVM PhD dari Merial menguraikan tentang keuntungan dan kerugian penggunaan vaksin vektor dan perkembangan teknologi vaksin jenis ini. Setelah rehat Drh Rakhmat Nuriyanto dari ASOHI menjelaskan tentang prospek industri obat hewan memasuki era globalisasi (wan)

Mendesak Peningkatan Sistem Kesehatan Nasional

Di era perdagangan bebas, setiap negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berhak melindungi negaranya dari ancaman masuknya agen penyakit hewan menular dengan menerapkan tindakan Sanitary and Phytosanitary (SPS). Dalam penerapan SPS yang terkait kesehatan hewan, maka Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) adalah badan yang berhak menetapkan standar dan prosedur yang dijadikan acuan internasional di bidang kesehatan hewan.

Untuk mendukung perdagangan hewan dan produk hewan, sejak tahun 2007 OIE mulai memperkenalkan suatu gagasan baru dengan menciptakan suatu alat yang dapat digunakan mengevaluasi sistem veteriner (Veterinerary Services/Sistem Kesehatan Hewan) suatu negara. Perangkat tersebut dikenal dengan nama Performance, Vision and Strategy (PVS) yang menjadi tolok ukur pencapaian suatu negara dalam mengembangkan dan memperkuat sistem kesehatan hewannya.

Hal itu terungkap dalam seminar yang diselenggarakan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) bekerjasama dengan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB dan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Askesmaveti) di Ruang FKH A Kampus IPB Darmaga, Selasa (14/8).

Tujuan seminar ini untuk lebih memperkenalkan PVS kepada pihak yang berkepentingan dalam mengembangkan dan memperkuat sistem veteriner di Indonesia

Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat MPhill PhD OIE Certified Expert on PVS, “PVS dirancang untuk membantu suatu negara dalam menetapkan tingkat kinerja dari sistem veterinernya saat ini. Dengan cara mengidentifikasi kekurangannya dan kelemahan negara tersebut dalam memenuhi standar dan pedoman OIE.”

Tujuan evaluasi PVS untuk membantu otoritas nasional dalam proses pengambilan keputusan menyangkut sumberdaya dan prioritas yang harus diterapkan terhadap sistem veteriner nasionalnya. Keberadaan PVS juga mampu menguatkan posisi tawar kita dalam perdagangan dunia menyangkut keamanan komoditi yang diperdagangkan.

Rencananya OIE akan mengirimkan misi PVS ke 105 negara anggota dalam 3 tahun ke depan. Sampai dengan saat ini, OIE telah melakukan 30 misi ke negara-negara anggota terutama di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. (wan)

Japfa Comfeed Gelar Kejurnas Tenis Meja

Japfa Comfeed Indonesia sebagai perusahaan agrobisnis terkemuka di Indonesia yang basis utamanya disektor industri perunggasan semakin peduli terhadap kesejahteraan karyawannya. Hal itu diwujudkan dengan diselenggarakannya Kejurnas Tenis Meja JAPFA Group 2007 yang digelar 2-3 Agustus 2007.

Kejurnas yang diselenggarakan di Gedung KONI Jakarta Pusat ini bertujuan untuk meningkatkan kebersamaan seluruh karyawan JAPFA Group dalam rangka menyambut HUT Republik Indonesia ke-62.

Ir Budiarto Soebijanto Head of Sales & Marketing PT Japfa Comfeed Indonesia Feed Division yang ditemui Infovet usai memenangi pertandingan dikelas perorangan perempat final Kejurnas ini mengatakan bahwa tujuan yang lain dari kejurnas ini sekaligus untuk menggiatkan olahraga. Agar karyawan lebih sehat yang nantinya juga menunjang kesehatan dan kinerjanya di Japfa.

“Karena karyawan itu aset perusahaan yang harus selalu dijaga kesehatannya. Dengan motivasi olahraga seperti ini diharapkan mampu menggiatkan olah raga sekaligus menciptakan bibit baru atlet tenis meja setidaknya dilingkup Japfa Group,” ujar Budi.

Dipilih tenis meja karena murah dan menyehatkan selain itu olah raga melatih semua otot tanpa harus bergerak berat seperti olah raga berat lainnya contohnya tenis lapangan dan sepak bola.

Tenis meja atau yang lebih kita kenal dengan ping pong, kata Budi, bermanfaat menunjang kerja otak karena selama ini kita sebagai karyawan terlalu banyak dijejali berbagai macam training. Ada yang tentang leadership, marketing, management, dan lain sebagainya.

Secara konsep bagus bermacam training ini memang bagus namun untuk aplikasi mungkin sulit dilakukan. Maka dengan kegiatan semacam ini yaitu olah raga yang membutuhkan team work merupakan aplikasi yang tepat bagi semua pelatihan-pelatihan tersebut.

Dengan kebersamaan semua karyawan mampu mengurangi jarak antara bawahan dan atasan dengan satu tujuan yaitu memenangi tantangan yang dihadapi. Hal itu bermanfaat dikondisi yang sebenarnya yaitu memenangi persaingan bisnis global.

Kejurnas ini diikuti oleh seluruh karyawan Japfa Group dari setiap cabang dan unit dengan total peserta 72 orang yang terbagi menjadi 18 regu dari kelas beregu dan perorangan.

PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk merupakan salah satu perusahaan agrobisnis terkemuka di Indonesia. Untuk bidang perunggasan Japfa memiliki divisi unggas yang merupakan kegiatan yang terintegrasi, meliputi produksi pakan dengan merk ”Comfeed”, bibit ayam (DOC) Multibreeder dan pengolahan daging ayam. Untuk consumer goods, JAPFA memproduksi daging olahan berupa chicken nugget dengan merk ” SO GOOD”, Sosis sapi dan ayam siap makan dengan merek ”SOZZIS” . Selain produksi daging olahan perusahaan juga memproduksi Susu ”Real Good” atau susu bantal, susu Yahuii. (wan)

ASOHI dan UPPAI Jalin Kerjasama Tangani AI

Pengendalian Avian Influenza (AI) pada unggas merupakan tanggung jawab bersama semua stakeholder sesuai dengan fungsinya masing-masing. Unit Pengendalian Penyakit AI (UPPAI) sebagai unit khusus Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian yang diberi mandat dalam pengendalian AI perlu mengkoordinasikan kegiatan pengendalian AI di lapangan. Salah satu stakeholder yang diharapkan bekerjasama adalah Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) sebagai organisasi yang mewadahi produsen, importir, distributor, dan pengecer obat hewan di Indonesia.

Adanya kerjasama dengan ASOHI diharapkan dapat mengefektifkan pengendalian AI di lapangan, karena para produsen, importir, distributor dan pengecer obat hewan memiliki tenaga kesehatan hewan lapangan yang bertugas memberikan pelayanan di sektor 1, 2, dan 3, juga memiliki jejaring dengan para pemilik poultry shop sehingga bisa bekerjasama dengan petugas PDS/PDR (participatory disease surveilance / participatory disease response) atau dinas peternakan dan kesehatan hewan setempat dalam hal tukar informasi dan aksi bersama dengan stakeholder lainnya.

Hal itu terungkap dalam pertemuan antara UPPAI Pusat dengan ASOHI di kantor UPPAI Departemen Pertanian, Senin (20/8). Hadir pada pertemuan itu diantaranya dari UPPAI adalah Drh Elly Sawitri, Drh Mastur Aini, dan Drh Memed Zoelkarnaen Hassan. Sementara dari ASOHI antara lain Drh Rakhmat Nuriyanto, Drh Andi Wijanarko, dan Drh Mulyati Sutandi. Infovet hadir berdasarkan undangan khusus diwakili Drh Yonathan Rahardjo dan Wawan Kurniawan.

Lebih lanjut, rencananya kerjasama ini akan diwujudkan dalam bentuk penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara ASOHI dan UPPAI-Deptan yang akan digelar saat Rakornas ASOHI tanggal 29 Agustus 2007. UPPAI sebagai unit khusus yang dibentuk Menteri Pertanian bertugas membantu kerja Dirjen Peternakan cq Ditkeswan dalam pengendalian penyakit AI. Lebih jauh tentang UPPAI telah diulas Infovet di edisi Agustus 2007 lalu.

Dalam MoU tersebut ASOHI akan bekerjasama dengan UPPAI (Campaign Management Unit/CMU) untuk mendayagunakan tenaga pemasar obat hewan (technical services/TS) anggota ASOHI yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menjadi PDS/PDR sebagai jejaring kerja dari UPPAI di tingkat yang paling bersentuhan dengan kenyataan lapangan.

Selain itu pertemuan rutin berkala antara petugas Dinas bersama dengan UPPAI Propinsi/LDCC dan PDS/PDR dengan ASOHI Tingkat Propinsi akan digelar untuk mengkoordinasikan Technical Services dari para produsen, importir, distributor dan pengecer obat hewan untuk melakukan pembahasan situasi penyakit AI diwilayahnya masing-masing serta merencanakan aksi bersama dalam pengendalian AI di masyarakat.

Selain itu anggota ASOHI daerah bersama PDS/PDR bersama melakukan sosialisasi AI dan surveilance. Bila ditemukan sampel kasus yang dicurigai dilakukan pengujian dengan memanfaatkan laboratorium milik pemerintah dan swasta yang terakreditasi. Sementara untuk meningkatkan kemampuan petugas di lapangan dilakukan pelatihan singkat tentang early detection, early reporting, dan early response.

Drh Rakhmat Nuriyanto (ASOHI) mengungkapkan, sebenarnya ASOHI di daerah telah banyak berperan dalam membantu pemerintah menanggulangi AI sebagai contoh di ASOHI Kalbar yang banyak memberi masukan ke Dinas Peternakan setempat untuk mewujudkan cita-cita Kalbar bebas AI 2008, sementara di Jawa Tengah ASOHI menggelar aksi simpatik vaksinasi massal yang telah digelar sebanyak dua kali,.

Drh Elly Sawitri menambahkan, selain dengan ASOHI, asosiasi lain seperti GAPPI seperti diungkapkan Drh Sudirman dan Drh Teguh juga menyampaikan keinginan untuk membantu UPPAI dalam rangka meningkatkan pengawasan/surveilance terhadap AI di lapangan dengan memanfaatkan TS dari anggota mereka.

“Keberadaan TS-TS ini bisa dimanfaatkan sebagai informan namun bisa juga sebagai investigator. Karena kemungkinan untuk sektor 1 & 2 rekan-rekan TS ini lebih bisa berperan daripada petugas dinas peternakan,” ujar Drh Mastur Aini yang mantan Kepala Dinas Peternakan Subang dan kini ditarik ke pusat untuk bertugas di UPPAI.


Dimulai dengan Pilot Project

Rencananya kerjasama ini akan diawali dengan pilot project yang akan dilakukan di wilayah Sukabumi, Tasikmalaya dan Bali. Saat ini jumlah PDS/PDR yang dimiliki UPPAI telah mencapai 1200 orang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Diharapkan dengan bantuan 6.000 personil TS anggota ASOHI yang tersebar di seluruh Indonesia hingga wilayah pelosok, mobilitas mereka bisa dimanfaatkan sebagai tenaga surveilance terhadap munculnya kasus AI di wilayah kerjanya. Sekaligus memberikan sosialisasi public awareness ke peternak melalui komunikasi, informasi dan edukasi. (wan)

Permasalahannya pada Lalu-lintas Perdagangan Babi

Masalah lalu lintas perdagangan ternak babi selalu mencuat tiap tahun dan belum dapat diatasi. Untuk wilayah Jawa, misalnya pemasaran terbesar hanya ke Jakarta dan Surabaya, sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan berbagai kota besar serta kebutuhan konsumen lokal di sekitar daerah peternakan babi.

Peternakan babi di Pulau Jawa jika diperhitungkan cukup untuk memenuhi kebutuhan pelanggan di Pulau Jawa. Jika kondisi ini bertahan, maka harga jual babi hidup diharapkan akan stabil. Akan tetapi, seringkali pada saat harga jual tinggi, babi dari daerah lain masuk ke Jawa sehingga harga babi di Jawa menjadi anjlok. Hal ini tentu saja tidak diinginkan khususnya oleh para pengusaha peternakan babi di Pulau Jawa.

Hal itu mencuat dalam seminar nasional yang diselenggarakan GITA Organizer bekerjasama dengan Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) di Hotel Sahid Raya, Solo, Rabu, 27 Juni 2007 dengan tajuk Lalu-Lintas Perdagangan Ternak Babi: Masalah dan Solusinya.

Masalah lalu lintas antar area, ada yang bersifat teknis ada pula masalah sosial. Jika babi dari Pulau Jawa tidak dapat keluar karena masalah teknis kesehatan hewan, hal ini dapat dimaklumi, namun seringkali yang terjadi hanya masalah sosial ekonomi. Misalnya untuk masuk ke Bali, babi dari Pulau Jawa hingga saat ini selalu ditolak. Ini perlu dicari solusinya.

Masalah lalu lintas juga terkait dengan pungutan-pungutan di daerah dimana sejalan dengan otonomi daerah, masalah ini makin membebani peternak. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah angka kematian selama transportasi yang masih tinggi. Ke depan perlu diupayakan agar pengiriman antar wilayah dalam bentuk karkas.

Peternakan babi, di satu sisi sangat menjanjikan karena jika dibandingkan dengan ternak lain, babi paling produktif dan paling cepat besar sehingga dari berat lahir yang hanya sekitar 2 kg dapat meningkat menjadi 100 kg pada usia hanya 4-6 bulan. Dengan status bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Indonesia juga memiliki peluang yang besar untuk mengekspor hasil peternakan babi.

Akan tetapi di sisi lain, peternakan ini sangat spesifik, karena hanya dinikmati oleh kalangan terbatas, sehingga wilayah pemasarannya pun juga terbatas.


Perlu Input Bibit Baru

Saat ini kualitas bibit babi mengalami penurunan. Seperti disampaikan Ketua Umum AMI Ir Rachmawati Siswadi MAgr Sc karena angka depresi inbreeding pada babi di Indonesia sudah cukup menghawatirkan maka akan berpotensi mengakibatkan performans ternak babi menjadi kurang baik. (Baca juga artikel berjudul Kompleksitas Permasalahan Peternakan Babi di Indonesia)

Dari tahun ke tahun tetua babi yang ada di Indonesia hanya bersaling silang antara babi yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Sebagian peternak memang sudah berinisiatif impor semen beku dari berbagai Negara (Amerika, kanada, Australia, new Zealand) dan Negara-negara lain di dunia. Akan tetapi prosedur yang seharusnya dilalui belum sepenuhnya diketahui sehingga untuk impor semen beku dirasa sangat sulit. Sebagai akibatnya, kadang-kadang ditempuh jalan pintas untuk impor semen yang mungkin belum mengikuti prosedur yang benar, yaitu pemasukan secara ilegal.

Saat ini British Pig Association sudah menawarkan kerjasama untuk mengirim bibit babi yang berkualitas, namun terkendala persyaratan perijinan impor, karena pemerintah Indonesia menilai Inggris belum bebas PMK. Enggano Swara dari kedutaan Inggris yang hadir dalam seminar tersebut mendampingi Brian Edwards menyatakan, saat ini pihaknya sedang mengurus dokumen dari Inggris yang dipersyaratkan oleh pemerintah Indonesia dalam pemasukan bibit babi ke Indonesia.


Lokasi Peternakan Babi dan Perijinan

Peternakan babi di Indonesia menghadapi masalah ketidakpastian hukum mengenai lokasi usaha peternakan, karena kebijakan pemerintah mengenai tata ruang masih belum jelas.

Dalam tujuh kegiatan utama Dirjen Peternakan disebutkan adanya pengembangan Budidaya Ternak Kambing/Domba, Kerbau, Babi Dan Aneka Ternak. Namun dalam kasus Perda di Kabupaten Karanganyar, justru tidak mencantumkan pengembangan ternak babi.

Dalam seminar ini terungkap, meski tidak dicantumkan dalam perda, namun peternakan babi boleh berdiri dengan izin khusus. Hal ini justru mengkhawatirkan para peternak babi mengenai masa depan usahanya, karena ketidakjelasan status usahanya, apakah masih bisa berdiri dalam jangka waktu 5-10 tahun atau tidak. Padahal selama ini wilayah Surakarta (termasuk kabupaten Karanganyar) merupakan sentra peternakan babi yang mensuplai kebutuhan Jakarta dan Surabaya.

Meskipun seminar ini membahas masalah perdagangan ternak babi, peserta seminar menyampaikan masalah-masalah lain seperti masalah sarana kesehatan hewan sebagai pendukung usaha peternakan babi. Diusulkan adanya peta penyakit babi di Indonesia untuk memudahkan penanganan kesehatan ternak babi. Diusulkan juga perlunya kerjasama antara AMI, ASOHI & peternak babi untuk menyusun jenis vaksin yang dibutuhkan di Indonesia, sehingga proses registrasi obat untuk ternak babi bisa lebih lancar. (wan)

Open House BBPMSOH

Di usianya yang ke-22, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang terletak di Gunungsindur Bogor melakukan Open House yang diisi dengan seminar terbuka. Acara yang diselenggarakan 2 Agustus 2007 lalu ini diikuti oleh banyak pelaku bisnis obat hewan, institusi pemerintah, swasta dan akademisi.

Menurut Drh Agus Heriyanto MPhill Kepala BBPMSOH pelaksanaan Open House ini untuk mendapatkan masukan dari semua stakeholder dalam upaya menata obat hewan yang beredar di masyarakat, sekaligus meningkatkan kemampuan dan pemahaman tentang ketentuan dan peraturan obat hewan serta pemahaman siklus manajemen pendaftaran dan pengujian obat hewan.

Hal ini dilakukan menyusul masih banyaknya obat hewan ilegal yang belum terdaftar yang beredar di Indonesia. Diharapkan dengan open house ini mampu mencairkan segala hambatan dan kendala serta perbedaan persepsi antara BBPMSOH dan pelaku usaha obat hewan.

Agus menambahkan open house ini dilakukan sebagai salah satu upaya yang terus menerus dilakukan dalam rangka meningkatkan transparansi, eksistensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam bentuk peningkatan kinerja pelayanan pengujian obat hewan yang bermutu dan aman tanpa menimbulkan dampak yang merugikan konsumen.

Mengenai masih banyaknya peredaran obat hewan ilegal, kata Agus, hal ini harus segera dibenahi. Peraturan dan perundangan yang mengatur penanganan pengawasan obat hewan telah banyak ditetapkan, namun dalam pelaksanaanya masih banyak menjumpai kendala dan hambatan serta pelanggaran dalam peredaran obat hewan.

Banyaknya obat hewan ilegal dan yang belum terdaftar yang beredar di Indonesia menunjukkan bukti betapa lemahnya komitmen kita tentang peraturan obat hewan. Sementara tuntutan era globalisasi serta pesatnya perkembangan industri obat hewan belum diikuti dengan mantapnya pengawasan obat hewan dari hulu hingga hilir.

Di sesi seminar Drh Wayan Teguh Wibawan PhD peneliti dari FKH IPB memaparkan tentang perkembangan virus AI di Indonesia. Selanjutnya Michel Bublot DVM PhD dari Merial menguraikan tentang keuntungan dan kerugian penggunaan vaksin vektor dan perkembangan teknologi vaksin jenis ini. Setelah rehat Drh Rakhmat Nuriyanto dari ASOHI menjelaskan tentang prospek industri obat hewan memasuki era globalisasi (wan)

Mendesak Peningkatan Sistem Kesehatan Nasional

Di era perdagangan bebas, setiap negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berhak melindungi negaranya dari ancaman masuknya agen penyakit hewan menular dengan menerapkan tindakan Sanitary and Phytosanitary (SPS). Dalam penerapan SPS yang terkait kesehatan hewan, maka Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) adalah badan yang berhak menetapkan standar dan prosedur yang dijadikan acuan internasional di bidang kesehatan hewan.

Untuk mendukung perdagangan hewan dan produk hewan, sejak tahun 2007 OIE mulai memperkenalkan suatu gagasan baru dengan menciptakan suatu alat yang dapat digunakan mengevaluasi sistem veteriner (Veterinerary Services/Sistem Kesehatan Hewan) suatu negara. Perangkat tersebut dikenal dengan nama Performance, Vision and Strategy (PVS) yang menjadi tolok ukur pencapaian suatu negara dalam mengembangkan dan memperkuat sistem kesehatan hewannya.

Hal itu terungkap dalam seminar yang diselenggarakan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) bekerjasama dengan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB dan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Askesmaveti) di Ruang FKH A Kampus IPB Darmaga, Selasa (14/8).

Tujuan seminar ini untuk lebih memperkenalkan PVS kepada pihak yang berkepentingan dalam mengembangkan dan memperkuat sistem veteriner di Indonesia

Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat MPhill PhD OIE Certified Expert on PVS, “PVS dirancang untuk membantu suatu negara dalam menetapkan tingkat kinerja dari sistem veterinernya saat ini. Dengan cara mengidentifikasi kekurangannya dan kelemahan negara tersebut dalam memenuhi standar dan pedoman OIE.”

Tujuan evaluasi PVS untuk membantu otoritas nasional dalam proses pengambilan keputusan menyangkut sumberdaya dan prioritas yang harus diterapkan terhadap sistem veteriner nasionalnya. Keberadaan PVS juga mampu menguatkan posisi tawar kita dalam perdagangan dunia menyangkut keamanan komoditi yang diperdagangkan.

Rencananya OIE akan mengirimkan misi PVS ke 105 negara anggota dalam 3 tahun ke depan. Sampai dengan saat ini, OIE telah melakukan 30 misi ke negara-negara anggota terutama di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. (wan)

IMAKAHI Abdikan Diri ke Masyarakat

Sebagai bagian dari Insan pendidikan, terutama dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian masyarakat, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) bekerjasama dengan BEM FKH Universitas Airlangga (Unair), dan Kelompok Minat Profesi Veteriner (KMPV) Ternak Besar dan KMPV Unggas dan Burung FKH Unair Surabaya, mengadakan Pengabdian Masyarakat Nasional 2007 pada 4-13 Agustus 2007 di Kediri Jawa Timur.

Kegiatan yang diawali dengan acara Pra Munas IMAKAHI XI dan dilanjutkan dengan kegiatan pengabdian masyarakat (pengmasy) ini di sambut baik oleh Dekan FKH Unair, Prof Drh Hj Romziah Sidik PhD.

Dalam sambutannya Prof Romziah mengatakan bahwa sebagai calon generasi profesi dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan harus mampu menjawab segala tantangan yang ada, sehingga dengan adanya kegiatan ini agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa sebagai proses pembelajaran sebelum menempuh kehidupan yang sebenarnya. Bahkan melalui kegiatan pengmasy dapat dijadikan sebagai momentum yang baik untuk memperkenalkan profesi veteriner kepada masyarakat luas.

Menurut ketua pelaksana, Jeremia Sibarani, kegiatan pengmasy ini dilaksanakan di 4 kecamatan dengan 15 desa di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Dimana tiap kecamatan dibimbing oleh satu orang dosen pembimbing dan satu kordinator kecamatan serta satu orang supervisor ditiap desanya. Ditempat yang sama, Iwan Berri Prima selaku Ketua Umum IMAKAHI yang didampingi Dony Bindariyanto selaku ketua BEM FKH Unair dan Novi Susanty selaku Ketua IMAKAHI Cabang FKH Unair, berharap kegiatan ini dapat secara kontinyu dilaksanakan tiap tahunnya sebagai program kerja rutin dari IMAKAHI.

Ikut hadir dalam kegiatan ini adalah mahasiswa FKH Unair (Surabaya), delegasi mahasiswa FKH Universitas Syiah Kuala (Aceh), FKH Institut Pertanian Bogor (Bogor) dan FKH Universitas Udayana (Bali) dan delegasi mahasiswa FKH luar negeri dari Kanada. (Imakahi)

NTB ANTISIPASI MUNCULNYA KASUS FLU BURUNG PADA MANUSIA

Sejak diketemukannya kasus flu burung pada manusia di Kabupaten Jembrana Ball pada awal Agustus yang lalu. Pemerintah Daerah NTB secara cepat melakukan antisipasi untuk menangkal munculnya kasus flu burung pada manusia, agar tidak terjadi seperti di Bali, maka pada tanggal 16 Agustus yang lalu bertempat di ruang Rapat Utama Kantor Gubernur NTB telah dilaksanakan Rapat Koordinasi Terpadu yang dipimpin langsung Gubernur NTB dan dihadiri semua Instansi terkait seperti Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Distanak Kabupaten se pulau Lombok, Karantina Hewan Lembar, Dinas Kesehatan Propinsi NTB, Rumah Sakit Umum Mataram, RSAD Mataram, Pangkalan Utama Angkatan Laut Lembar dan Muspida Propinsi NTB.

Pada kesempatan itu Gubernur NTB menegaskan perlunya kewaspadaan kita semua untuk menghadapi munculnya kasus flu burung, baik pada manusia maupun unggas agar kasus flu burung di Bali tidak terjadi di NTB. Kadisnak NTB Drh H Abdul Muthalib MM mengatakan dalam eksposenya bahwa walaupun satu tahun terakhir sudah tidak diketemukan kasus flu burung pada unggas di NTB dan NTB termasuk daerah beresiko rendah, namun mengingat sifat penyakit ini penyebarannya sangat cepat dan kematian pada unggas sangat tinggi, maka tetap menjadi prioritas kita untuk mengantisipasinya, apalagi pulau Bali yang menjadi barier bagi NTB telah terjadi kasus flu burung pada manusia maka NTB harus lebih waspada.

Untuk itu telah diperintahkan kepada semua jajaran unit Pelayanan Kesehatan Hewan terdepan yaitu Poskeswan telah dibekali dan dipersiapkan segala sarana dan prasarana untuk mengendalikan penyakit flu burung ini. Pengawasan lalu lintas unggas antar kabupaten diperketat, dan pelarangan unggas masuk NTB dari pulau Bali tetap berlaku untuk menolak dan menangkal penyakit flu burung ini sesuai SK Gubernur NTB No. 71 tanggal 21 April tahun 2004 tentang “Penolakan dan pencegahan masuknya penyakit flu burung di Propinsi NTB dan pengawasan lalu lintas unggas dan produknya”.

Drh Soleh Anwar Kepala Balai Karantina Hewan Kelas II Lembar Lombok menambahkan bahwa pihaknya sejak bulan April 2006 telah melakukan pengawasan di pintu pelabuhan Lembar dan mengadakan operasi terpadu selama 24 jam setiap hari bersama pihak Kepolisian Pelabuhan dan KKP serta Adpel Pelabuhan Lembar sebagai upaya antisipasi pemasukan ilegal unggas dari pulau Bali.

Dr Baiq Magdalena, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTB pada ekspose pemaparan di Rapat tersebut juga menegaskan walaupun di NTB belum ditemukan kasus flu burung pada manusia, namun jajaran kesehatan NTB telah siap mengantisipasi dan melakukan kewaspadaan tinggi berupa antara lain menyiapkan Rumah Sakit Umum Mataram sebagai Rumah Sakit Rujukan pasien kasus flu burung, menyiapkan obat-obatan seperti Tamiflu pada setiap Puskesmas yang ada di NTB serta melakukan sosialisasi bersama Dinas Peternakan Propinsi NTB kepada masyarakat dan sekolah-sekolah SMA yang ada di NTB agar mereka dapat memahami secara benar apa itu penyakit flu burung dan bagaimana cara penanggulangan dan pencegahannya baik ditinjau dari aspek kesehatan manusia dan kesehatan hewannya.

Semoga dengan melakukan Rakor ini benar-benar dapat mengamankan wilayah NTB tidak terjadi kasus flu burung pada manusia dan unggas serta tetap mempertahankan tidak ada kasus Avian Influenza (flu burung) di NTB dengan tetap mengacu pada 9 langkah pengendalian flu burung pada unggas, semoga !!!

Dan kepada teman-teman Poskeswan NTB Selamat Berjuang, kalian adalah ujung tombak Kesehatan Hewan di wilayah NTB dan juga Barometer Kesehatan Hewan Nasional “Lindungi ungggasnya, Basmi virusnya, Makan daging dan telurnya, Sehat manusianya dan Sejahtera peternaknya, Amin...”.


Drh. HERU RACHMADI
Kasubdin Keswan Lombok Timur dan Koresponden INFOVET NTB

Ketika Ditemukan Kasus Flu Burung pada Manusia Pertama di Bali

((Departemen Kesehatan mengkonfirmasi bahwa telah terjadi kasus flu burung pada manusia di Bali. Ini merupakan kasus pertama pada manusia yang terkonfirmasi di Bali. Kita pun kilas balik sejarah dan konsep ketahanan tubuh ayam. ))

Warga Dusun Dangin Tukad Aya, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Ni Luh Putu Sri Widiantari, 29 tahun, yang positif terinfeksi virus H5N1 penyebab flu burung, meninggal dunia, Minggu (12/8), setelah dirawat di RS Sanglah. Kasus tersebut merupakan yang pertama di Bali. Demikian disampaikan Bayu Krisnamurthi, Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) kepada Infovet saat jumpa pers di Jakarta, Senin (13/8).

“Kami memahami kebutuhan masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri mengenai kasus suspek ini. Sebuah tim sudah berada dilapangan dimana para pakar dari FAO dan WHO sedang menyelidiki kasus ini,” jelas Bayu.

Dari pantauan Infovet, hingga Selasa (14/8), empat anggota Tim Depkes dan seorang investigator Konsultan WHO mengambil sampel darah sembilan orang terdekat korban, seperti suami, nenek, kakek almarhumah. Sampel hendak diuji di laboratorium Depkes di Jakarta.

Kasus itu disorot Depkes dan WHO karena penderita meninggal dan sebelumnya, Dian (5), yang merupakan anak korban, juga meninggal dunia. “Ini jadi pertanyaan, apakah anak korban juga terduga virus H5N1. Kami belum bisa menyimpulkan apakah virus ini mulai menular antarmanusia. Ini perlu penelitian lebih serius,” kata Kepala Sub- dinas Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Dinas Kesehatan Bali I Ketut Subrata.

Dia menjelaskan, Dian meninggal pada 3 Agustus, di saat yang sama, Widiantari menderita gejala sakit. Berdasarkan keterangan RSUD Negara, Dian meninggal akibat infeksi paru-paru. Sementara seorang anak perempuan berumur 2 tahun 9 bulan dari dusun yang sama juga sedang dibawah pengawasan. Sampel dari anak ini sudah dikirim ke Jakarta untuk diperiksa.

Hingga berita ini diturunkan, kasus penularan flu burung pada manusia di Indonesia telah menyerang 103 penderita, 82 di antaranya meninggal dunia. Angka kematian manusia akibat terinfeksi flu burung 79,6 persen. Kabupaten Jembrana sudah ditetapkan sebagai wilayah kejadian luar biasa flu burung. Ratusan unggas dimusnahkan.

Sebenarnya keberadaan virus AI telah terdeteksi di area tersebut sejak bulan sebelumnya dan sejak 19 Juli 2007 telah dilakukan pemusnahan terbatas di daerah tersebut serta pemusnahan lanjutan telah mulai dilakukan sejak beberapa hari yang lalu.


Gubernur Kecewa pada Bupati Jembrana

Ditempat terpisah, Gubernur Bali Dewa Beratha mengaku kecewa terhadap Bupati Jembrana, dan menganggap kasus tersebut sebagai sebuah kecolongan. Oleh karena itu, Gubernur meminta Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan Bali dan Jembrana memantau aktivitas di sekitar rumah korban.

Widiantari mulai menderita sakit pada 3 Agustus lalu dengan gejala panas, batuk berdahak, dan menggigil. Pada 6 Agustus, ia berobat ke petugas kesehatan, lalu ke dokter. Ia sempat dirawat di RSU Daerah Negara sebelum dirujuk ke RS Sanglah dengan diagnosis pneumonia berat.

Penderita dirawat di RS Sanglah pada 10 Agustus dengan panas 40 derajat Celsius. Tetangga Widiantari, PN (2 tahun 9 bulan) juga diduga terinfeksi H5N1 dan dirawat di RS Sanglah sejak Minggu lalu.

Dewa Beratha juga memerintahkan agar seluruh unggas yang berada pada radius satu kilometer dari rumah korban dimusnahkan dan seluruh warga diperiksa kesehatannya. Ini untuk memastikan tidak adanya penularan lebih lanjut.

Tak lama berselang, Bupati Jembrana Gede Winasa mengelak bahwa kasus flu burung tersebut sebuah kecolongan. “Kami tidak ingin menuduh atau menjadikan siapa pun kambing hitam. Kami prihatin dengan kasus ini,” katanya. Ia menegaskan, biaya untuk pemberantasan flu burung pasca kasus Widiantari tidak terbatas. Bupati juga menyantuni keluarga korban sebesar Rp 5 juta.

Dari Sukabumi, Jawa Barat, Wakil Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza Tri Satya Putri N mengimbau pemerintah agar tidak melihat kembali merebaknya flu burung pada unggas sebagai hal biasa. Hal itu dia sampaikan karena flu burung kembali menyerang unggas di peternakan-peternakan dan menyebabkan kematian massal. Tri Satya menilai, penanganan pemerintah masih lambat.


Sungguh Ironis...

Bayu juga menambahkan, petugas kesehatan dari dalam dan luar negeri juga memonitor lalu lintas semua jenis hewan dari dan ke daerah sekitar kasus dideteksi. Semua unggas dalam radius 1 kilometer dari lokasi disembelih dalam minggu ini. Bersama dengan UNICEF, kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di daerah sekitar juga segera dilaksanakan.

Pihaknya bersama tim ahli dari Komnas FBPI segera bertolak ke Bali untuk melihat langsung langkah-langkah yang dilakukan untuk mengendalikan penyebaran pada unggas. “Dengan kejadian ini wisatawan diminta untuk tidak panik, tetapi mereka juga harus mengetahui informasi yang ada. Kasus pada manusia di Jakarta telah bisa dikendalikan dan kontrol ketat juga sedang diberlakukan di Bali,” jelas Bayu.

Lebih lanjut Bayu juga memaparkan langkah-langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko tertular virus flu burung:

1. Jangan sentuh unggas yang sakit atau mati. Jika telanjur, cepat-cepat cuci tangan pakai sabun dan laporkan ke kepala desa.
2. Cuci pakai sabun tangan dan juga peralatan masak Anda sebelum makan atau memasak. Masak ayam dan telur ayam sampai matang.
3. Pisahkan unggas dari manusia. Dan juga pisahkan unggas baru dari unggas lama selama 2 minggu.
4. Periksakan ke puskesmas jika mengalami gejala flu dan demam setelah berdekatan dengan unggas.

Yang menjadi pemandangan ironis adalah saat ini Bali telah ditetapkan sebagai wilayah dengan prioritas pertama dalam penanggulangan virus Avian Influenza oleh Departemen Pertanian. Sementara di saat yang sama terjadi kasus kematian akibat Flu Burung pertama di Pulau Dewata ini yang bisa jadi bisa memukul sektor pariwisata yang menjadi andalan devisa pendapatan daerah.


Kilas Balik ke Tahun 2004

Flu Burung yang makan korban manusia di Bali belum lama ini tersebut secara teoritis memang bisa terjadi, bila sebelumnya sudah diketahui ada Avian Influenza ketika pada 2004

Pemerintah pun pada 2004 sudah menyampaikan perkembangan wabah penyakit unggas menular (avian influenza) penyebarannya termasuk di Bali, meski pada saat itu hasil uji serologi dari Departemen Kesehatan terhadap peternak di Bali menunjukkan hasil reaksi negatif terhadap avian influenza/flu burung

Saat 2004 itu, Virus flu burung yang menjangkiti Indonesia termasuk Bali membuat semua pihak ekstra waspada. Sebab tak hanya unggas yang bisa kena virus ini. Manusia pun bisa kena. Hanya saja penularannya lewat unggas yang sudah terkena virus ini. Jembrana pun sempat dikagetkan dengan pemberitaan ribuan unggas mati karena flu burung.

Sejak tersiarnya kabar adanya virus flu burung sampai berita ribuan unggas di Jembrana mati pada 2004 itu, pemantauan terhadap peternak makin intensif. Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan melalui Bidang Peternakan turun ke lapangan. Data yang mereka temukan, tidak ada kematian ternak hingga ribuan ekor.

Kalau ada yang mati jumlahnya tak sampai ribuan. Peternakan yang sudah mereka sasar adalah Mitra Abadi Farm (20 ribu ayam petelur), Suwina, peternak di Sebual (3500 ayam petelur), Tantra peternak di Melaya (7000 ayam petelur) dan Adi Adnyana peternak di Negara (2000 ayam petelur).

Mengantisipasi lebih mewabahnya flu burung Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Jembrana mengeluarkan surat edaran no 524.3/140/Nak/PKL/2004 ini tentang wabah penyakit unggas. Surat edaran tersebut menekankan lima hal, yakni semua peternak unggas harus melaporkan tiap ada penyakit dan menutup lokasi peternakan yang sudah tertular.

Selain itu, tidak memberdayakan unggas yang sakit dari peternakan yang sudah tertular, melakukan pemusnahan unggas yang sakit dan mati dengan cara dibakar atau ditanam, terakhir melakukan sanitasi (desinfeksi) terhadap unggas, kandang dan alat ternak lainnya dengan venol, Na/K, dan hipo klorit.

Selain surat edaran, para peternak juga dihimbau melakukan mencegahan di kandang masing-masing. Peternakan terbesar yang ada di Jembrana, Mitra Abadi Farm sampai melakukan isolasi kandang.

''Hal ini kami lakukan agar mereka yang ke luar masuk diperhatikan dan mengurangi penyebaran virus. Kami pun akan membelikan masker untuk tujuh karyawan yang bertugas di kandang,'' papar I Ketut Sudiasa, pemiliki kandang yang terletak di banjar Kebon, kelurahan Baler Bale Agung, Negara ini.

Pada 2004 itu, Kabid Peternakan IGN Sandjaja menambahkan, isolasi kandang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus, seandainya kandang sudah terjangkit virus. ''Mereka yang masuk kandang wajib memakai masker dan melakukan cuci hama,'' tandasnya.

Hal ini dilakukan karena penyebaran virus melalui kontak alat dengan manusia, melalui angin dan makanan. Obat untuk virus ini belum ditemukan, yang ada adalah vaksin.


Gumboro

Sebelumnya, Januari 2004, Pihak Dinas Kesehatan Propinsi Bali bersama Dinas Kesehatan Jembrana dan Bid Peternakan pun sudah melakukan pemantauan di lokasi peternakan milik Sudiasa. Apa yang dilakukan ini untuk mengetahui apakah ada masyarakat sekitar lokasi kandang ayam terkena imbas virus.

Sampai saat itu belum ditemukan adanya orang yang terkena virus flu burung di Jembrana. Komisi B DPRD Jembrana bersama Bid Peternakan direncanakan turun lagi ke lapangan.

Soal kekhawatiran terjangkitnya flu burung juga menghantui para peternak. ''Saya yang tiap hari bergelut dengan ayam juga khawatir. Kalau ada pekerjaan lain saya mau kerja yang lain saja,'' ujar Ketut Winarsa, salah seorang pengelola peternakan ayam pedaging di Banjar Dangin Berawah, Perancak, Negara januari 2004.

Kebetulan kandang ayam yang dimiliki Putu Budiastra ini sedang kosong. Mereka baru saja panen dan belum tahu apakah akan melanjutkan usaha ini sehubungan dengan adanya virus flu burung. ''Melanjutkan atau tidak terserah bos saja. Kalau ternak ayam lagi, ya saya kerja kalau nggak ya nggak apa-apa,'' ujar Winarsa yang didampingi istrinya, Ni Wayan Sutarmi yang sampai 2004 sudah tiga tahun mengelola peternakan ayam milik Budiastra.

Salah seorang adik Sudiasa pun mengakui ada kekhawatiran virus flu burung ini. Walaupun sudah disemprot desinfektan, rasa khawatir juga masih ada. Soal ayam-ayam yang mati, Sudiasa dan Winarsa mengakui ada yang mati, namun jumlahnya tidak sampai ribuan. ''Tiap hari paling-paling ada tiga ekor yang mati. Itu pun langsung kami bakar di dapur khusus,'' papar Sudiasa.

Sementara Winarsa mengatakan dari 5000 ekor ayam pedaging, yang mati dalam waktu 36 hari itu sekitar 300-400 ekor. ''Matinya ayam itu tidak bersamaan, penyebabnya juga bukan virus flu burung tetapi gumboro,'' tandasnya. Soal kebersihan kandang pun dia akui sudah dilakukan dengan baik. Tiap dua hari kandang dibersihkan dan kotoran pun sudah ada yang memesan untuk dijadikan pupuk.


Peneguhan oleh FKH Universitas Udayana

Pada tahun 2004 itu pun terjadi peneguhan tentang adanya kasus AI di Bali. Tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana sudah mengisolasi virus Avian Influenza (AI) pada ayam kampung di Bali.

Kasus yang ditemukan tim ahli FKH Unud tersebut terjadi pada ayam kampung milik seorang peternak di Desa Kerobokan, Kota Madya Denpasar yang pada tanggal 16 Juni 2004 yang menunjukkan gejala tidak mau makan dan minum, bulu kusam, lemah, pucat, inkoordinasi dan kepala menunduk.

Adapun tim dari FKH Unud itu adalah GNK Mahardika, M Sibang, M Suamba, KA Adnyana, NMS Dewi, KA Meidiyanti, dan YA Paulus. Pada kasus yang dilaporkan Jurnal Veteriner FKH Universitas Udayana itu, bedah bangkai ditemukan perdarahan titik atau menyebar di bawah kulit, trakhea dan paru-paru, proventrikulus dan seka tonsil.

Selanjutnya, suspensi material paru-paru, seka-tonsil, dan otak ayam contoh diinjeksikan pada ruang alantois telur ayam bertunas umur 10 hari. Sekitar 20 jam paska injeksi semua embryo telah mati dan mengalami perdarahan seluruh tubuh serta membrannya.

Sumber yang sama menyatakan, aktivitas hemaglutinasi dapat dideteksi dari cairan alantois dengan uji haemaglutinasi (haemagglutination assay/ HA). Aktivitas tersebut dapat dihambat oleh antibodi standar terhadap AI tetapi tidak dapat oleh antibodi terhadap ND dengan menggunakan teknik hambatan hemaglutinasi (haemaglutination inhibition/HI) yang baku.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa agen yang terlibat adalah virus AI. Pengujian dari agen tersebut untuk dijadikan sebagai bibit untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.

Ternyata, 3 (tiga) tahun setelah tahun 2004 itu, kini kita mendapati kenyataan berbeda dengan penyebaran virus Avian Influenza, menurut berita Komnas Pengendalian Flu Burung itu, telah menyerang manusia.

Maka berbagai wacana tentang AI di Bali pun kembali bermunculan. Namun hendaknya semua tidak berhenti cuma sampai pada wacana semata. Menjadi tugas kita untuk terus melakukan evaluasi dan perbaikan dalam pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus yang penuh liku-liku ihwal penguasaan konsep tentang ketahanan tubuh ayam ini. (wan/YR/berbagai sumber)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer